Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.

1 2011

The Habibie Center

105

KESIAPAN USAHA KECIL MENENGAH DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI ACFTA DAN PASAR TUNGGAL ASEAN 2015 Dean Y. Affandi Staf Pengajar, Universitas Indonesia Email: bpkdean@gmail.com Abstract The contribution of small scale industries (SMEs) to the national development of Indonesia is signi icant. The SMEs role is sometimes vital, so it is necessary for the government to support their business. The government has to take the role of issuing policies and building infrastructure that support the industries in general, and particularly the SMEs. The 2015 ASEAN single market would be a good opportunity for Indonesia to develop stronger and more competitive SMEs, but, the government is still to work hard from now on to convert the opportunity into bene its for the SMEs. Kata Kunci: Perdagangan Bebas, UKM, infrastruktur, masyarakat ekonomi ASEAN I. Pendahuluan

Liberalisasi Perdagangan telah meningkatkan interpendensi dan intensitas kerjasama antar negara, namun pada saat yang sama juga meningkatkan iklim kompetisi secara global. Selama beberapa dekade terakhir ini, tren regionalisme semakin meningkat, terutama dalam kerangka kerjasama ekonomi.Integrasi ekonomi regional ASEAN

106

diharapkan dapat meningkatkan kondisi perekonomian kawasan secara menyeluruh. Sebagai stabilisator perekonomian nasional maupun regional, sektor UKM akan menghadapi tantangan yang lebih berat, terutama dari kalangan pengusaha asing. Dalam pembahasan tentang UKM, kesuksesan Cina dalam mengembangkan sektor UKM-nya secara global tidak dapat dikesampingkan, integrasi ekonomi ASEAN juga tidak terpisahkan dari peran Cina. Di satu sisi, integrasi ekonomi akan meningkatkan iklim kompetisi regional, namun di sisi lain integrasi ekonomi juga perlu direalisasikan untuk menghadapi pengaruh ekonomi Cina di kawasan terutama sejak dimplementasikannya perjanjian ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) sejak Januari 2010. Dalam rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN, terdapat empat karakterisitik utama, yaitu kebebasan arus barang dan jasa, kebebasan arus tenaga kerja dan kebebasan arus modal. Penerapan pasar tunggal ini dapat dipandang sebagai peluang (bertambahnya pangsa pasar) sekaligus ancaman (banjirnya produk asing yang lebih kompetitif) bagi kalangan usaha domestik, terutama sektor UKM. Apabila dilihat dari sudut pandang kebijakan, daya saing sektor UKM Indonesia secara regional masih lebih rendah dibanding sektor UKM Thailand dan Malaysia. Jika ingin bertahan dalam kompetisi regional maka Pemerintah Indonesia dapat mengikuti pengembangan sektor UKM Cina yang didukung penuh oleh negara, Indonesia perlu merumuskan cetak biru dan strategi pengembangan UKM yang lebih selaras dengan prinsip liberalisasi perdagangan. II. Sekilas Mengenai UKM Nasional

Banyak kalangan di Inonesia yang menyatakan sikap pesimis terhadap peluang dan daya saing Indonesia dalam liberalisasi perdagangan, khususnya dalam menghadapi Cina dan Pasar Tunggal ASEAN 2015. Pada umumnya, usaha besar sudah memiliki akses terhadap sarana

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

107

dan prasarana industri yang kondusif, sehingga lebih berpeluang untuk meraih keuntungan dari mekanisme Pasar Tunggal. Nilai ekspor non-migas dari sektor usaha besar mencapai 79,72 persen pada tahun 2005 (BPS, 2007). Dengan demikian, peran usaha besar dalam perdagangan internasinal Indonesia cukup signi ikan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa jumlah perusahaan yang tergolong usaha besar di Indonesia hanya 0,02 persen dari total usaha domestik. Sebagian besar unit usaha di Indonesia (99,98 persen) tergolong jenis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) (BPS, 2007). Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor UKM Indonesia tahun 2010, mencapai 95,53 persen terhadap jumlah total lapangan kerja yang tersedia. Pada tahun 2010, sektor UKM Indonesia menyumbangkan 54,2 persen dari total PDB (produk Domestik Bruto) nasional, sementara sisanya, yaitu sekitar 46,7 persen merupakan kontribusi sektor Usaha Besar. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan UKM merupakan salah satu faktor yang signi ikan bagi perekonomian nasional, terutama dalam menjaga kestabilan sosial dalam negeri. Potensi UKM dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan peran UKM dalam pembagunan perekonomian nasional merupakan beberapa aspek penting yang melatarbelakangi perlunya pengembangan dan pemberdayaan UKM di Indonesia. Stiglitz (2005) mengemukakan bahwa usaha kecil seringkali berperan sebagai tulang punggung masyarakat, maka keberadaan dan perkembangannya layak mendapatkan perhatian pemerintah. Dalam hubungan antara UKM nasional dan perdagangan internasional, Pasar Tunggal ASEAN 2015 dapat dilihat sebagai peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi sektor UKM dalam negeri. Peluang, karena konsep Pasar Tunggal ASEAN 2015 sebagai single market dan single production base memberikan kesempatan bagi sektor UKM untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Hal ini berarti, Pasar Tunggal ASEAN memberikan kesempatan bagi UKM nasional

108

untuk meningkatkan peran, bukan hanya sebagai produsen tunggal, tetapi juga sebagai supplier dan mitra kerja bagi perusahaanperusahaan multinasional. Selain kebutuhan terhadap berbagai fasilitas pendukung, faktor utama yang menetukan keberhasilan pengembangan UKM adalah negara dengan mengupayakan kebijakan pemerintah yang mampu meningkatkan daya saing UKM dalam negeri. Dalam pembahasan mengenai UKM sebagai aktor ekonomi (Non-State Enterprise) internasional, success story Cina dalam pemberdayaan UKM tidak dapat dikesampingkan. Pada tahun 2005 kontribusi sektor UKM Cina terhadap perolehan ekspor mencapai 68,3 persen, yang meliputi industri pakaian jadi, kerajinan dan mainan anak (Danmex China Business Resource, 2006). Masih terbatasnya akses modal, teknologi dan informasi merupakan sebagian kecil hambatan yang masih dihadapi oleh sektor UKM nasional dalam persaingan dengan Cina dan negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini, upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing sektor UKM, kebijakan dan insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan faktor yang paling berpengaruh. Seiring dengan komitmen pemerintah untuk turut serta dalam wacana penerapan Pasar Tunggal ASEAN dan pelaksanaan ACFTA, sebenarnya sudah sampai manakah kesiapan sektor UKM nasional dalam menghadapi tantangan global ini?
III. Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Peran Sektor UKM dalam Perekonomian Nasional

Dari tahun ke tahun, peran UKM Indonesia terhadap perolehan PDB nasional cenderung stagnan, bahkan pada tahun 2009 sempat mengalami sedikit penurunan. Kontribusi sektor UKM pada PDB nasional tahun 2010 tercatat 53,85 persen sementara pada tahun 2009 tercatat sebesar 53,67 persen. Dalam perolehan PDB nasional, kelompok usaha kecil memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan usaha menengah, yaitu 37,62 persen untuk usaha kecil dan 15,55 persen untuk usaha menengah. Selebihnya,

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

109

yaitu 46,83 persen merupakan kontribusi kelompok usaha besar. Dalam perolehan nilai ekspor nasional tahun 2010, sektor UKM memberikan kontribusi sebesar 15,70 persen dengan perincian 3,89 persen dari kelompok usaha kecil dan 11,81 persen dari kelompok usaha menengah. Selebihnya yaitu sekitar 84 persen disumbangkan oleh kelompok usaha besar (Kemenneg KUKM, 2011). Sebanyak 99,98 persen jumlah usaha di Indonesia berasal dari sektor UKM, pada tahun 2010, sektor UKM menyerap 96,18 persen dari total angkatan kerja nasional. Sektor pertanian, perikanan, perhutanan dan peternakan memberikan kontribusi terbesar dalam penyediaan lapangan kerja dikelompok usaha kecil.Sementara itu dari kelompok usaha menengah, kontribusi terbesar bagi penyediaan lapangan kerja berasal dari sektor industri pengolahan (Kemenneg KUKM, 2011). Pada tahun 2009, kontribusi sektor UKM terhadap perolehan investasi nasional mencapai Rp. 303,52 triliun atau sebesar 45,99 persen dari total nilai investasi. Pada tahun 2010, peran sektor UKM dalam nilai investasi nasional mengalami kenaikan sebesar Rp. 67,68 triliun, sehingga kontribusi UKM terhadap pembentukan investasi nasional mencapai 46,22 persen dari total nilai investasi. Sektor industri yang memberikan kontribusi terbesar dalam perolehan nilai total investasi di Indonesia adalah usaha pengangkutan dan komunikasi (Kemenneg KUKM, 2011). Secara umum, pengembangan sektor UKM di Indonesia tidak terpisahkan dari koperasi. Pemerintah membentuk Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada tahun 2001. Tugas utama Kementerian Negara UKM adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi kebijakan dibidang koperasi dan UKM. Dalam merumuskan Renstra Kementerian Negara UKM (Tabel 1), pemerintah sudah menyadari bahwa sektor UKM memiliki peranan penting dalam ketahanan ekonomi nasional. Sektor UKM menyediakan lapangan pekerjaan bagi segala lapisan masyarakat, memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan dapat membantu tercipatanya pemerataan distribusi pendapatan.

110

Tabel 1. Arah Kebijakan Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM Periode 2009-2014
Arah Kebijakan 1. Mengembangkan sektor UKM dan usaha mikro Indikator Kebijakan Kontribusi sektor UKM yang signikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya saing Kontribusi usaha mikro dalam meningkatkan pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah Memperluas akses kepada sektor perbankan Memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perizinan Memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung

2. Memperkuat aspek kelembagaan dengan menerapkan prinsip good governance dan berwawasan gender

3. Memperluas basis dan kesempatan usaha untuk mendorong peningkatan ekspor dan lapangan kerja

4. Meningkatkan peran UKM sebagai produsen

Meningkatkan kolaborasi antara tenaga tenaga kerja terampil dan terdidik melalui penerapan teknologi Mengembangkan sektor UKM agribisnis dan agroindustri melalui pendekatan cluster Meningkatkan peran UKM dalam industrialisasi, linkage antar industri, percepatan alih teknologi dan peningkatan kualitas SDM Memenuhi kebutuhan masyarakat dan bersaing dengan produk impor

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

111

5. Membangun koperasi

lembaga

Membenahi tatanan kelembagaan koperasi di tingkat makro, meso, mikro untuk menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi koperasi Melindungi koperasi dari iklim persaingan yang tidak sehat Meningkatkan pemahaman dan kepedulian stakeholders terhadap kemajuan koperasi Meningkatkan kemandirian koperasi

Sumber: Menneg KUKM. Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM 2009-2014 Sejak tahun 1994, setidaknya 16 kebijakan yang berhubungan dengan KUKM telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Kebijakankebijakan tersebut dirumuskan dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan presiden dan instruksi presiden. Dalam Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM 2009-2014, tercantum puluhan kebijakan dan program pengembangan KUKM, namun Renstra tersebut belum dapat dikategorikan sebagai cetak biru pengembangan UKM. Tidak adanya petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan yang jelas dan terarah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh sektor UKM. Perumusan Renstra tersebut tidak secara otomatis mendorong koordinasi antar departemen, karena sifatnya eksklusif dan tidak mengindikasikan adanya pembagian tugas yang jelas antar departemen, baik pusat maupun daerah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia pada dasarnya, belum memiliki grand strategy dalam pengembangan UKM. Dari sudut pandang makro ekonomi UKM, kinerja sektor UKM Indonesia dapat dikatakan cukup baik dalam perolehan PDB nasional, namun belum optimal dalam kegiatan perdagangan internasional.

112

Tabel 2 ini menunjukkan perbandingan penyerapan tenaga kerja oleh sektor UKM, kontribusi UKM terhadap PDB nasional dan kontribusi UKM terhadap perolehan ekspor nasional di Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Di antara keempat negara tersebut, sektor UKM Indonesia merupakan penyedia lapangan kerja terbesar, namun memiliki kontribusi yang paling rendah terhadap nilai perdagangan (ekspor) internasional. Kondisi tersebut menunjukkan rendahnya produkti itas sektor UKM Indonesia. Sektor UKM Indonesia juga masih sangat mengandalkan pasar dalam negeri sebagai target pemasaran utama. Sementara itu sektor UKM Cina, merupakan sektor UKM dengan kinerja terbaik dalam akti itas perdagangan internasional. Di kawasan Asia Tenggara, kinerja UKM Thailand dan Malaysia dapat dikatakan masih lebih baikd dibandingkan dengan sektor UKM Indonesia. Tabel 2. Perbandingan Indikator Makro UKM Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia
Sektor UKM Proporsi UKM terhadap Total Unit Usaha Nasional 99% 99.5% 60% s/d 70% 99.98% Penyerapan Tenaga Kerja Persentase terhadap PDB Nasional Persentase terhadap Nilai Ekspor Nasional 68.3% 29% 19% 15.70%

China Thailand Malaysia Indonesia

75% 80.4% 56% 96.18%

60% 37.8% 32% 53.3%

Selain kenyataan diatas, tingkat daya saing Indonesia baik di level regional maupun dalam system internasional belum dapat menyamai daya saing Thailand dan Malaysia. Tabel 3 menunjukkan daya saing Thailand, Malaysia dan Indonesia dalam kurun waktu 2001 hingga 2006.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

113

Tabel 3. Global Competitiveness Index Thailand, Malaysia dan Indonesia periode 2001-2006
Negara Thailand Malaysia Indonesia 2001 38 37 55 2002 37 30 69 Tahun 2003 2004 32 34 29 31 72 69

2005 33 25 69

2006 35 26 50

Sumber: World Economic Forum. http://www.weforum.org (diakses tanggal 3 Mei 2011) IV. Hambatan Politis Indonesia dalam Pengembangan UKM di

Timberg (2000) menyatakan bahwa hambatan pengembangan UKM di Indonesia justru disebabkan oleh sistem birokrasi dan situasi ekonomi politik dalam negeri yang kurang kondusif. Tidak adanya cetak biru pengembangan UKM yang konsisten membuat setiap kali terjadi pergantian kabinet dapat menciptakan kebijakan-kebijakan baru yang menyebabkan return to zero starting point, tidak ada kesinambungan kebjiakan antar periode pemerintahan. Timberg (2000) dalam artikelnya kembali menyatakan bahwa penyusunan kebijakan pengembangan UKM di Indonesia dipenuhi dengan kompetisi dan kepentingan-kepentingan politik yang melibatkan partai politik, interest group, akademisi dan institusi-institusi. Disebabkan sektor UKM belum memiliki wadah organisasi atau himpunan yang solid, para praktisi UKM mengandalkan organisasiorganisasi ini sebagai sarana aspirasi. Namun lebih lanjut, organisasi atau institusi-institusi yang mewakili UKM tersebut juga saling berkompetisi untuk menggolkan kepentingannya masing-masing (Timber, 2000). Dengan kata lain, kebijakan pengembangan UKM di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai pihak dengan kepentingan politik yang terpecah-belah. Konsentrasi untuk mengamankan kekuasaan mengakibatkan depolitisasi kebijakan sulit dicapai.

114

Hasil penelitian Timberg mengindikasikan bahwa setiap institusi (organisasi) mengadakan program pemberdayaan UKM dengan tujuan untuk mendapatkan jatah dana APBN, dana perbankan, publisitas dan client baru dalam pelaksanaan proyek. Setiap institusi saling berkompetisi untuk mendapatkan persentase keuntungan material dan dukungan politik. Pemerintah pusat melalui beberapa instansinya telah berupaya meningkatkan koordinasi antar institusi terkait, namun karena tidak ada keuntungan yang dapat diperoleh institusi (secara individu) melalui koordinasi, ada semacam keengganan untuk meningkatkan kolaborasi dan kerjasama internal. Penelitian lain yang dilakukan oleh ADB (Asian Development Bank) tahun 2002 juga mengungkapkan hal yang sama, yaitu terdapat banyak program promosi peningkatkan ekspor produk UKM yang saling tumpah tindih antar institusi dan lembaga pemerintah (Sandee dan Ibrahim, 2002). Hal tersebut merupakan salah satu penghambat utama dalam peningkatan daya saing sektor UKM dalam negeri. Persoalan lainnya yang perlu dikaji lebih lanjut adalah desentralisasi dan implikasinya bagi upaya pengembangan sektor UKM nasional. Di satu sisi, penerapan otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah setempat untuk merumuskan kebijakan pengembangan UKM yang lebih spesi ik, disesuaikan dengan karakteristik industri UKM yang beroperasi di wilayah tersebut. Namun, di sisi lain, desentralisasi dapat mempersulit upaya konsolidasi dan kooordinasi antar institusi, karena akan semakin banyak lembaga dan kepentingan politik yang terlibat dalam pemberdayaan UKM. Mengenai hal tersebut, Timberg (2000) berpendapat bahwa otonomi daerah dapat mendorong politisi untuk lebih memperhatikan kepentingan masyarakat setempat, namun desentralisasi juga dikhawatirkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk lebih mengambil keuntungan dari sektor UKM. Sementara itu, hasil penelitian lainnya mengindikasikan bahwa secara umum, kebijakan inansial yang dikeluarkan oleh pemerintah kota dan kabupaten tidak mempengaruhi pengembangan sentra UKM di daerah tersebut secara signi ikan (Deputi Bidang Pengkajian

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

115

Sumberdaya UKMK, 2006). Dengan demikian, upaya pemberdayaan UKM di daerah masih sangat dipengaruhi oleh peran dan strategi pemerintah pusat. Sementara itu program dekonsentrasi kebijakan juga masih perlu dikaji lebih lanjut, karena untuk mewujudkan sektor UKM domestik yang berdaya saing regional dibutuhkan grand strategy yang jelas, serta kolaborasi dan koordinasi yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Kebangkitan Ekonomi Cina: Saatnya bagi Sektor UKM Nasional Mengambil Kesempatan? Rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN selain memberikan peluang yang lebih luas dalam memperoleh pangsa pasar, akses terhadap teknologi dan kemudahan pengembangan usaha, Pasar Tunggal ASEAN juga membawa tantangan tersendiri bagi sektor UKM dalam negeri. Berhasil atau tidaknya pemerintah Indonesia dalam menghadapi tantangan ini akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan sektor UKM dalam negeri. Tantangan pertama, meningkatnya iklim kompetisi regional karena pada dasarnya negara-negara di kawasan memiliki produk-produk unggulan yang bersifat non-komplementer. Kondisi tersebut menyebabkan kalangan industri dan usaha di ASEAN memperebutkan pangsa pasar yang sama. Kedua, dengan prinsip kebebasan arus barang dan jasa, Pasar Tunggal ASEAN juga berpotensi mendorong banjirnya produk impor di pasar domestik, bukan hanya dari negara-negara kawasan ASEAN tetapi juga produk impor dari Cina. Apabila sektor usaha domestik mengeluarkan produk yang kalah saing, mekanisme Pasar Tunggal justru akan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri. Ketiga, Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar di ASEAN, sehingga bertambahnya pangsa pasar bagi Indonesia dalam Pasar Tunggal ASEAN kurang signi ikan bila dibandingkan dengan

116

potensi petumbuhan pangsa pasar bagi Negara anggota lainnya. Proyeksi pertumbuhan pasar bagi Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN, yaitu sebesar 134 persen, sementara Malaysia 2000 persen, Thailand 717 persen dan Singapura 14.600 persen (Koesoema, 2002). Dari simulasi tersebut, tampak bahwa peluang Indonesia untuk menguasai pangsa pasar regional menjadi lebih sulit, terutama bila dibandingkan dengan pemain regional dengan GDP per kapita yang lebih besar seperti Singapura, Thailand dan Malaysia. Kurangnya daya saing kalangan usaha dalam negeri menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk pemasaran produk dan jasa-jasa di ASEAN. Ketiga tantangan tersebut, mengharuskan sektor usaha untuk mulai mengarahkan kebijakan yang bersifat outward looking dan mempelajari perilaku konsumen dalam mendesain produkproduknya, baik konsumen domestik maupun konsumen regional. Keempat, berhubungan dengan akses inansial dan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Akses inansial merupakan salah satu kunci terpenting dalam kesuksesan UKM, namun sektor UKM Indonesia masih mengalami hambatan memperoleh akses modal, terutama dari institusi pemerintah dan perbankan nasional. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga formal bukan hanya disebabkan oleh factor lokasi namun juga terbentur pada aspek legalitas usaha dan administrasi. Dalam upaya pengembangan UKM, perlunya penerapan ICT tidak dapat dikesampingkan. Dengan ICT, UKM dapat meningkatkan e isiensi dan efektivitas pemasaran secara lebih mandiri, namun tingkat penggunaan ICT Indonesia masih merupakan salah satu yang terendah di level ASEAN. Meningkatnya kompetisi dari kalangan usaha manca negara, masih belum diiringi oleh upaya peningkatan daya saing industri domestik yang optimal. Ketika sektor industri negara-negara lain sudah mampu bersaing secara regional. Sektor usaha dalam negeri

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

117

masih menghadapi kesulitan dalam mempertahankan pangsa pasar domestik yang kini juga menjadi target pasar sektor industri asing. Pemerintah Indonesia harus dapat melihat celah pasar potensial di tingkat domestik maupun regional, kebijakan pro aktif dan strategi yang tepat sasaran merupakan gerbang utama yang dapat mendorong peningkatan daya saing UKM secara regional. Dalam menjawab tantangan diatas, sektor UKM dengan dibantu oleh pemerintah, perlu lebih mengupayakan pengembangan usaha secara internasional tanpa meninggalkan pasar domestik. Ada beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan sebagai landasan cetak biru pengembangan UKM nasional. Pertama, mempromosikan potensi yang dimiliki koperasi sebagai sumber pengadaan biaya bagi sektor UKM di daerah-daerah pedesaan. Disamping itu, pembentukan Bank UKM nasional juga perlu untuk dipertimbangkan, karena institusi perbankan lebih dapat diandalkan sebagai sumber modal bagi kalangan usaha. Kedua, mengembalikan kontrol pemerintah pusat terhadap perumusan kebijakan UKM dan proses implementasi daerah. Dalam hal ini, dekonsentrasi kebijakan UKM dalam rangka desentralisasi (otonomi daerah) perlu ditinjau ulang, karena berdasarkan pengalaman pemerintah Cina dalam menangani UKM, peran negara amat dibutuhkan. Ketiga, pemerintah Indonesia perlu mempererat hubungan antara sektor swasta dan pemerintah, serta mempublikasikan informasi mengenai kebijakan UKM secara transparan, jelas dan komunikatif sehingga dapat dijangkau oleh berbagai kalangan masyarakat. Keempat, pemerintah perlu mengambil pelajaran dari strategi branding Malaysia di forum-forum internasional, pemerintah harus secara aktif memperkenalkan diri khas budaya dan produk-produk Indonesia. Kelima, pemerinta perlu merestrukturisasi program-program pengembangan sentra UKM yang selama ini belum dikelola secara optimal. Cetak biru UKM nasional perlu dirancang sedemikian rupa agar

118

dapat dijadikan sebagai acuan program pengembangan UKM bagi seluruh instansi dan lembaga yang terkait dengan pengembangan UKM. Blueprint UKM yang terintegrasi juga dapat meminimalkan resiko timpang tindih kebijakan antar instansi pemerintah. V. Kerjasama ASEAN-Cina dan implikasinya terhadap Sektor UKM nasional

Pengaruh Cina di ASEAN semakin meningkat dengan diimplementasikannya ACFTA, kerjasama ini dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi ASEAN dalam memperluas pangsa pasarnya. Sementara itu, keberhasilan Cina dalam mengembangkan sektor UKM-nya dapat menjadi semacam faktor pendorong dalam pemberdayaan UKM di ASEAN. Namun demikian, faktor kekuatan ekonomi Cina juga menghadirkan beberapa tantangan bagi negaranegara ASEAN secara regional. Pertama, Cina merupakan pesaing terberat ASEAN dalam memperoleh FDI.Sejak tahun 1996, Cina menggeser posisi ASEAN sebagai tujuan utama investasi asing dalam kelompok negara-negara berkembang. Cina juga sudah tumbuh sebagai bagian dari jaringan produksi global. Peran Cina dalam global supply chain dan kerjasama ACFTA dapat membuka peluang bagi ASEAN untuk bersama-sama dengan Cina berperan sebagai basis produksi regional yang berpengaruh dalam system internasional. Kedua adalah perseteruan politik yang terjadi di ASEAN dapat mengurangi potensi integrasi ASEAN dan lebih jauh, mengurangi daya tawar ASEAN secara regional, baik dalam menghadapi Cina maupun dalam forum internasional. Kebijakan Cina dalam mengorbankan ego politik dan perseteruan ideologinya dengan negara-negara barat, terbukti dapat mendukung kemajuan pembangunan Cina di tingkat domestik. Pemerintah Cina telah menyadari bahwa untuk memperoleh manfaat dari era globalisasi, aspek-aspek yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan, kerjasama

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

119

antar negara, kemajuan teknologi dan modernisasi harus lebih didahulukan. Ketiga, dalam menghadapi ASEAN, Cina tidak hanya menggagas pembentukan ACFTA, namun juga merencanankan FTA bilateral dengan beberapa anggota ASEAN. Selama integrasi ekonomi belum terwujud, kerjasama bilateral yang lebih menguntungkan bagi negara-negara ASEAN secara individu, tentu dapat dengan mudah diprioritaskan. Keempat, de isit perdagangan Cina dengan negaranegara ASEAN+5 telah meningkatkan kepentingan ASEAN untuk mempertahankan Cina. Kondisi tersebut dapat mendorong negaranegara ASEAN untuk berjalan sendiri-sendiri dan mengedepankan kepentingan individu karena adanya persaingan untuk menguasai pasar Cina. Di sisi lain, ketergantungan ASEAN terhadap pasar Cina juga dapat memperkuat dominasi Cina di kawasan. Hubungan perdagangan Cina-ASEAN bersifat non-komplementer, hal ini membawa kita pada tantangan kelima, produk-produk Cina pada umumnya bersifat labor intensive, low value added part of production dan low prices. Tantangan-tantangan yang ada ini perlu dijawab oleh ASEAN dengan mendukung pengembangan UKM sebagai salah satu upaya untuk dapat berhadapan dengan Cina. Dominasi ekonomi CIna perlu diantisipasi dengan memperkuat komitmen negara-negara ASEAN dalam integrasi ekonomi. ASEAN juga perlu mempersiapkan strategi yang lebih bersifat praktis, dalam hal ini konsep perencanaan dan mekanisme implementasi Regional Production Network (RPN) perlu diupayakan secara maksimal dalam rangka mengupayakan komplementerisasi kawasan dalam menghadapi dominasi ekonomi Cina. Indonesia bersama-sama dengan Thailand dan Malaysia dapat berperan sebagao pelopor dalam upaya merealisasikan Jaringan Produksi Regional (RPN) UKM yang terintegrasi di kawasan Asia Tenggara. VI. Langkah ke Depan bagi UKM Nasional dalam menghadapi Regionalisme

120

Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan, seperti Pasar Tunggal ASEAN, dominasi ekonomi Cina dan tantangan untuk mengedepankan kepentingan nasional, Indonesia masih perlu meningkatkan daya saingnya. Sektor UKM belum mendapatkan prioritas dalam cetak biru perekonomian nasional. Perekonomian Indonesia belum memiliki visi pembangunan yang berkesinambungan dan mandiri, sehingga terus menerus mengalami ketergantungan terhadap investasi asing. Sebagai perbandingan, Malaysia dan Thailand telah memiliki strategi pembangunan yang jelas dan terarah, sehingga lebih siap dalam menghadapi Pasar Tunggal ASEAN. Indonesia juga perlu memanfaatkan ASEAN sebagai sarana yang efektif dalam membendung kekuatan ekonomi Cina, Indonesia dapat berperan aktif sebagai leader ASEAN seperti yang dilakukan selama tahun 2011 ini. Hubungan perdagangan intra-ASEAN yang bersifat komplementer dapat dimanfaatkan untuk menghadapi produk-produk unggulan Cina yang bersifat non-komplementer terhadap ASEAN. Kesempatan Indonesia untuk meraih kesuksesan dari liberalisasi perdagangan di level regional ASEAN, akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah dalam meningkatkan daya saing sektor usaha domestik, terutama kalangan usaha kecil dan menengah. Dengan demikian, cetak biru UKM nasional perlu segera dirumuskan agar tercipata koordinasi yang berkesinambungan antar institusi pemerintah baik pusat maupun daerah. Selanjutnyam diperlukan benchmark nasional untuk menyeragamkan dan meningkatkan daya saing produk domestik agar sesuai dengan standarisasi regional dan internasional. Dalam perumusan konsep pembangunan nasional, diperlukan cara pandang secara holistik, yaitu dengan merubah paradigma pembangunan tradisional menjadi lebih pragmatis. Paradigma pembangunan nasional (ND) tradisional yang secara umum merupakan fungsi dari MNCs (M), Industri Minyak dan Gas Bumi (MG), International Institution seperti IMF dari World Bank (II), Political Gain (PG), Kepentingan Kelompok (GI), Desentralisasi dan Dekonsentrasi

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

121

Kebijakan (DD), dan Ego Politik / Konfrontasi Regional (RC); perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek-aspek praktis dan pragmatis, sehingga paradigma baru pembangunan nasional. Secara umum ND merupakan fungsi dari Pengembangan UKM dan Usaha Berbasis Masyarakat (UKM), Industri Non-Migas (NMG), Fokus pada Regional Institution (RI), Political Reliance / Clean Government (PR), Kesejahteraan Sosial / Kepentingan Nasional (NI). Sentralisasi dan Konsentrasi Kebijakan (SK), Political Will / Kerjasama Regional (RCo), Perbaikan Infrastruktur (PI), Peningkatan Pendidikan (E), Law Enforcement (LE), Perbaikan Akses Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT). Dengan kata lain, perlu ada perubahan paradigma pembangunan perekonomian nasional dari formula matematika: NDt = t (M, MG, II, PG, GI, DD, RC) (1) menjadi: ND = t (UKM, NMG, RI, PR, NI, SK, Rco, PI, E, LE, ICT) (2) Cara pandang holistik dan pragmatis tersebut dapat dikatakan lebih relevan dan sinergis dengan kepentingan pembangunan nasional dan keikutsertaan negara dalam liberalisasi ekonomi. Dalam menghadapi perkembangan pembangunan ekonomi China dan Pasar Tunggal ASEAN 2015, Indonesia perlu mengejar ketertinggalannya dari negara negara, terutama dalam hal peningkatan daya saing. Belajar dari kesuksesan China, Thailand, dan Malaysia, upaya pengembangan sektor usaha domestik bukan merupakan persoalan teknis semata, namun juga sangat dipengaruhi oleh factor kepemimpinan serta stabilitas social-ekonomi-politik dalam negeri. -oooOoooDaftar Pustaka Badan Pusat Statistik dan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2007. Indikator Makro UKM 2007. BRS No.17/03/Th.X (16 Maret 2007) Danmex China Business Resource. 2011. China SMEs Crucial to

122

Transnational Corporations World Industrial Chain. http:// www.danmex.org (diakses tanggal 2 Mei 2011) Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. 2006. Pengkajian Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah yang Berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 2 Tahun I-2006 Koesoma, Bambang Warih. 2002. Indonesia dalam Proses Globalisasi Berkaitan dengan Kesiapan Menghadapi AFTA, Strategi Pemberdayaan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan Penegakan Sistem Hukum (ekonomi)/Law Enforcement. dalam Dialog Publik Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah dalam Menghadapi AFTA melalui Penegakan Sistem Hukum Ekonomi Indonesia. Dies Natalis Universitas Airlangga Surabaya, 2002. Menneg KUKM.2011. Revitalisasi Koperasi dan UKM Sebagai Solusi Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan: Tahun Ketiga Kinerja Kementerian Negara Koperasi dan UKM 2007 http://www. depkop.go.id (diakses tanggal 2 Mei 2011) Sandee, Henry dan Buddy Ibrahim. 2002. Evaluation of SME Trade and Export Promotion in Indonesia: Background Report. (ADB Technical Assistance 2002) Stiglitz, Joseph. 2005. Making Globalization Work: The Next Step to Global Justice. England: Penguin Group. Timberg, Thomas A. 2000. The Political Economy of SME Development Policy in Indonesia-the Policy Process, the Facts, and Future Possibilities. Paper presented at USAID Retreat, Bogor, Indonesia, 2000 World Economic Forum. 2011. http://www.weforum.org (diakses tanggal 3 Mei 2011)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011

The Habibie Center

123

Resensi Buku ASEAN DI TENGAH DINAMIKA REGIONAL DAN GLOBAL Bawono Kumoro Peneliti the Habibie Center Email: bwnkmr@gmail.com Judul Buku Penulis Penerbit Cetakan Halaman : Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerjasama : Rahadhian T Akbar (ed) : Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI : Pertama, Maret 2011 : xxii + 234 halaman

Negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) baru saja menggelar hajatan besar berupa konferensi tingkat tinggi (KTT) di Indonesia. Penyelenggaraan KTT ASEAN ke-18 di Jakarta, tanggal 7-8 Mei lalu, turut mendapatkan perhatian luas dunia internasional, tidak hanya dari masyarakat Asia Tenggara. Memang, ASEAN kini tengah menjadi poros baru yang memikat negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, Jepang, dan negaranegara Uni Eropa untuk menjalin kerjasama yang lebih erat. Di samping itu, asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini sedang

Anda mungkin juga menyukai