Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KELEMBAGAAN AGRARIA DASAR DAN LANDASAN HUKUM SERTA HISTORIS HUKUM KELEMBAGAAN AGRARIA DI INDONESIA

DISUSUN OLEH: NURJAMAN GUNADI P.150610090032

AGRIBISNIS A

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

A. Landasan Hukum 1. Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Analisis: Ayat 3 dalam Pasal 33 UUD 1945 secara tersirat menjelaskan tentang masalah agraria pula, yang saya ingin sedikit bahas adalah kalimat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.. Sungguh bijak sekali penyataan pasal tersebut, namun sayang dalam kenyataannya banyak menyimpang. Dalam kasus-kasus agaria misalnya, banyak BUMN-BUMN yang bergerak di bidang perkebunan menjalankan bunyi pasal 33 ayat 3, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Namun sering berbenturan dengan kalimat berikutnya, kemakmuran/kesejahteraan masyarakat di nomor sekiankan, ya karena memang masyarakat kita masih awan dalam masalah hukum-hukum/aturan dalam masalah ke-agraria-an. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ini terdiri dari empat bab, yakni: Bab I membahas Dasar dan Ketentuan Pokok Agraria Bab II membahas Hak atas tanah, air dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah Bab III Ketentuan Pidana Bab IV Ketentuan Peralihan

Dalam tugas ini saya akan mencoba menganilisis sedikit pasal yang berarti di Bab I, berbunyi antara lain: Pasal 1 ayat (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

Analisis: bahwa alam dan rakyat Indonesia adalah satu kesatuan, sehingga idealnya penggunaan tanah dengan tujuan untuk tempat tinggal/penggunaan oleh rakyat Indonesia adalah prioritas.

Pasal 2 ayat 2 point (a). Hak Negara berwenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

Analisis: menyambung dengan isi dari pasal 1 ayat 1, penggunaan tanah di Indonesia sudah memiliki peraturan sendiri, Negara dalam hal ini Badan Pertanahan Negara adalah satu lembaga yang mengatur penggunaan/peruntukan tanah di wilayah Indonesia.

3. Historis dari hukum-hukum agraria di Indonesia

Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan yaitu : 1. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat

Pada masa Pemerintahan Belanda banyak ada peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia seperti: "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu; a. "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118);

b. "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; c. "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d. "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; e. "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58; Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;

4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini;

2. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat

Bisa diketeahui sebelum menjadi Negara Kesatuan Replublik Indonesia (NKRI), Indonesia terdiri dari banyak kerajaan-kerajaan lintas budaya dan agama, masalah agrariapun sudah ada hukumnya ketika itu, namun pastinya bukan hokum yang tertulis seperti sekarang.

Contoh hukum adat dalam keagrariaan a. Hak Ulayat. Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Tanah tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat

yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku. Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual. Hak individual tersebut bukanlah semata-mata bersifat pribadi, karena didasari bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, sehingga sifat penguasaannya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan. Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

a.

Tanda-tanda dan Ciri Hak Ulayat.


y

Persekutuan hukum itu dan dan anggota-angotanya dapat mempergunakan tanah atau hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas. Misalnya, membuka tanah, mendirikan perkampungan atau memungut hasilnya.

Yang bukan anggota dari persekutuan hukum dapat mempergunakan hak itu, tetapi harus seizin dari persekutuan hukum tersebut.

Dalam mempergunakan tanah itu bagi yang bukan anggota selalu harus membayar recognitie.

Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atau beberapa kejahatan tertentu yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dapat digugat. Persekutuan hukum tidak boleh memindahkan haknya untuk selama-lamanya kepada siapa pun.

Persekutuan hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap. Misalnya, dalam pembagian pekarangan atau dalam jual beli.

Analisis: Dari pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa meskipun hukum adata khususnya hukum ulayat tidaklah tertulis dan hanya berpatokan pada riwayat turun temurun nenek moyang, namun jika dilihat dari tujuan hukum ulayat tersebut sangatlah arif. Dari literature di atas dikatakan bahwa kepentingan penggunaan tanah secara pribadi merupakan kepentingan paling bawah yang artinya

penggunaan tanah haruslah mendahulukan kepentingan yang bersifat umum. Mungkin jika saja hukum ulayat masih dominan diberlakukan di Negara Indonesia hingga kini, akan ada 2 kemungkinan. Jika kita berfikir optimis, maka masalah penggunaan agraria di Negara ini akan terurai tujuannya, tidak akan terjadi sengketa antar masyarakat atau masyarakat dengan pihak-pihak lain (perusahaan dan pemeritah), hal itu dikarenakan kembali lagi ke aturan awal dari hukum ulayat yang memprioritaskan penggunaan tanah untuk kepentingan bersama. Lalu untuk fikiran pesimisnya, dengan keadaan budaya yang sudah sangat berbeda dengan masa lalu, maka hal ulayat akan menjadi masalah baru, mungkin di karenakan ke-ego-an dari masyarakat itu sendiri yang dewasa ini semakin bertingkah lebih individualistis.

b.

Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA. Meskipun termasuk hukum adat yang sudah berlaku sebelum adanya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, namun hak ulayat sudah diakui dalam UUPA Tahun 1960, hal tersebut ditunjukkan dalam pasal 3 yang berbunyi, Dengan mengingat ketentuan ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

2. Hak Gogolan. Hak Gogolan adalah hak seorang gogol , atas apa yang dalam perundangundangan agraria dalam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa. Hak gogolan ini sering disebut dengan hak sanggao atau hak pekulen. Sedangkan dalam kepustakaan Hukum Agraria Administrasi, hak gogolan tersebut disebut dengan hak Komunal (Comminal Bezit) yang dianggap sebagai tanah desa melalui usaha dari orang-orang tertentu, sedangkan tanahnya disebut dengan tanah gogolan atau tanah pekulen. Mengenai hak gogolan tersebut dapat dibedakan menjadi dua jenis: 1. Hak Gogolan Bersifat Tetap, yaitu hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol meninggal dunia, dapat diwariskan kepada ahli warisnya yang tertentu untuk melanjutkannya, seperti istri dan anak-anaknya. 2. Hak Gogolan Bersifat Tidak Kekal, yaitu hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali kepada desa. Sehubungan dengan itu, maka dengan keputusan bersama Menteri Agraria dan Menteri Dalam Negeri tanggal 4 Mei 1965, Nomor, khususnya Diktum Ketiga, maka hak gogolan tidak tetap dapat dibedakan dalam tiga bentuk: 1) Atok Sirah Gilir Galeng, yaitu hak gogolan, dimana hak mengggarap/menguasai tanah tersebut bersifat turun-temurun (Atok Sirah), tetapi tanah yang

digarap/dikuasai berganti-ganti (Gilir Galeng). 2) Gogol Musiman/Gogol Glebangan, yaitu hak gogolan, dimana hak menggarap tanah bersifat turun-temurun, tetapi pada suatu waktu yang menggarap hanya sebagian dari para gogol untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu diganti bagian yang lain selama waktu tertentu. 3) Gogol Milir Mati, hak gogolan, dimana hak menggarap tanah bersifat tetap, tetapi apabila si gogol meninggal, maka tanah yang digarap diserahkan kembali kepada magang gogol yang kedudukannya tertinggi dalam daftar urutan Ranglijst.

3. Hak Anggaduh Hak Anggaduh adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan Raja. Menurut pernyataan ini, maka semua tanah Yogyakarta adalah kepunyaan Raja, sedangkan rakyat hanya menggaduh saja. Tanah-tanah di daerah Yogyakarta adalah tanah-tanah yang berasal dari: Hak-hak yang berasal bekas Hak Barat Hak-hak yang berasal dari bekas Hak Swapraja. Terhadap hak Anggaduh ini, dapat dibedakan menjadi: Hak anggaduh yang bersifat tetap Hak anggaduh yang bersifat tidak tetap.

Pasal 5. Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Analisis: Masih maraknya hukum adat yang berlaku di banyak bagian wilayah Indonesia, namun tetap saja sebenarnya UUPA tetap menjadi undang-undang yang mewadahi seluruh masalah mengenai agraria.

Lampiran BAB I DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pasal 1. (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional

(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.

(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.

(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.

Pasal 2.

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3.

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.

Pasal 4.

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini member wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Pasal 5.

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Pasal 6. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Pasal 7. Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 8. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.

Pasal 9.

(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

(2) Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Pasal 10.

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. (3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.

Pasal 11.

(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.

(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.

Pasal 12. (1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentukbentuk gotong-royong lainnya.

(2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.

Pasal 13.

(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.

(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria. Pasal 14.

(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:

a. untuk keperluan Negara, b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lainlain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 15.

Memelihara

tanah,

termasuk

menambah

kesuburannya

serta

mencegah

kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

Daftar Pustaka http://bocah-sinau.blogspot.com/2011/05/hak-adat-agraria.html http://usupress.usu.ac.id/files/Pokok2%20Bahasan%20Hkm%20Agraria%20I_norma l_bab%201.pdf

Anda mungkin juga menyukai