Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

FRAKTUR TEMPORAL

Oleh: Anindita Pramadyasiwi NIM. 072011101007

Pembimbing: dr. H. Bambang Indra, Sp. THT

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya Lab/SMF THT FK UNEJ - RSD dr. Soebandi Jember

SMF THT RSD dr. SOEBANDI JEMBER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2012

Fraktur Temporal
Pendahuluan Fraktur tulang temporal merupakan konsultasi kegawatdaruratan yang sering dihadapi oleh spesialis otolaringologi (Ho dan Makishima, 2010). Pengetahuan anatomi dari struktur vital dalam tulang temporal sangat penting untuk diagnosis yang tepat dan manajemen cedera tersebut. Evaluasi yang tepat dapat memperhitungkan spektrum keparahan dan gejala-gejala yang terjadi.

Epidemiologi dan Insidensi Fraktur tulang temporal terjadi sekitar 14-22% dari semua cedera tengkorak. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Sebagian besar fraktur unilateral, sedangkan fraktur bilateral berkisar 9-20%. Pasien anak-anak dengan fraktur tulang temporal mencapai 8-22% (Ho dan Makishima, 2010). Mekanisme utama dari cedera meliputi kecelakaan kendaraan bermotor (1247%), penganiayaan (10-37%), jatuh (16-40%), dan luka tembak (3-33%). Dengan pengembangan teknologi keselamatan mobil, kejadian fraktur akibat kecelakaan kendaraan bermotor mengalami penurunan. Di sisi lain, peningkatan tingkat kejahatan dengan kekerasan lebih sering menyebabkan fraktur tulang temporal (Ho dan Makishima, 2010).

Klasifikasi Fraktur tulang temporal dibagi menjadi 4 berdasarkan orientasi relatif terhadap sumbu panjang tulang petrosa, yaitu (Swartz dan Curtin, 2003): 1. Fraktur longitudinal 2. Fraktur tranversal 3. Fraktur oblik 4. Fraktur campuran

1. Fraktur longitudinal (70-90%) Fraktur longitudinal tulang temporal paralel terhadap sumbu panjang dari piramida petrosa dan biasanya terkait dengan trauma tumpul temporoparietal (Ho dan Makishima, 2010; Swartz dan Curtin, 2003). Sekitar 10% berhubungan dengan ekimosis yang terlihat di prosesus mastoid (Battles sign). Fraktur ini melintasi telinga tengah dan sangat sering dikaitkan dengan dislokasi tulang-tulang pendengaran. Struktur yang paling sering terlibat adalah membran timpani, atap telinga tengah, dan bagian anterior dari apeks petrosa (Ho dan Makishima, 2010). Selain itu, fraktur longitudinal dapat ke arah anterior menuju tuba eustachius dan fosa kranial tengah, dan dapat ke arah posterior relatif terhadap labirin, menuju foramen jugularis dan memperluas ke dalam fosa posterior (Swartz dan Curtin, 2003). Sekitar 15-20% akan melibatkan saraf fasialis dan cedera terjadi di dekat ganglion genikulatum atau di bagian horizontal. Kelumpuhan fasialis sering terjadi pada onset yang lambat, berhubungan dengan edema daripada gangguan langsung dari sarafnya. Keterlibatan vestibular dan defisit sensorineural tidak sering terjadi dan dikaitkan dengan efek benturan daripada trauma langsung pada labirin vestibular dan koklea (Ho dan Makishima, 2010). Perdarahan di telinga tengah yang kemudian keluar menjadi perdarahan dari kanalis eksternal merupakan tanda dari fraktur longitudinal, yang berlawanan dengan perdarahan di belakang membran timpani pada fraktur transversal. Kebocoran cairan serebrospinal dapat terjadi pada fraktur longitudinal, namun kurang umum dibandingkan pada fraktur transversal (Kinney, 1998).

Gambar 1. Gambaran fraktur longitudinal (Swartz dan Curtin, 2003)

Terdapat dua subtipe berdasarkan utamanya lokasi asal, yaitu posterior dan anterior (Swartz dan Curtin, 2003). Subtipe posterior sering berasal dari prosesus mastoid atau bagian posterior bagian skuamosa tulang temporal dan berakhir di foramen laserum. Jenis ini biasanya tidak melibatkan fosa glenoid. Sedangkan subtipe anterior berasal dari bagian depan bagian skuamosa tulang temporal dan melintasi tegmen timpani sampai apeks petrosa atau melewati sepanjang tuba eustachius sampai foramen laserum. Jenis ini dapat mengakibatkan kerusakan arteri meningeal medius dan perkembangan perdarahan epidural, dan jenis ini biasanya melibatkan fosa glenoid.

2. Fraktur transversal (20-30%) Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporoparietal (Ho dan Makishima, 2010; Swartz dan Curtin, 2003). Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur ini sering terjadi pada pasien dengan cedera yang parah dan kematian dari pukulan itu sendiri dapat terjadi cepat. Cedera ini sering diikuti dengan gangguan pendengaran sensorineural yang parah, dan dapat

disebabkan karena kerusakan fungsi vestibular. Kerusakan ini berhubungan dengan cedera benturan langsung terhadap telinga dalam atau berhubungan dengan fraktur yang melalui kapsul otik. Ini diperkirakan bahwa paralisis fasialis, karena gangguan saraf fasialis, dapat terjadi pada 50% kasus, tercatat cepat terjadi dan mungkin permanen jika tidak dioperasi (Kinney, 1998). Pada fraktur tranversal, sering kali terjadi perdarahan di telinga tengah, namun karena membrane timpani intak, terjadi hematotimpanum yang dapat dilihat tanpa ada perdarahan yang keluar. Otorea cairan serebrospinal umum terjadi dan paling sering dideteksi dengan aliran cairan jernih dari tuba eustachius ke dalam nasofaring (Kinney, 1998).

Gambar 2. Gambaran fraktur transversal (Swartz dan Curtin, 2003)

Terdapat dua subtipe berdasarkan lokasi terhadap penonjolan arkuata (tanda sepanjang permukaan superior petrosa yang secara kasar sama dengan posisi apeks kurva kanalis semisirkularis superior), yaitu medial dan lateral (Swartz dan Curtin, 2003). Subtipe medial melintasi fundus (aspek lateral) dari kanalis auditori internal. Pada jenis ini, gangguan pendengaran sensorineural terjadi sekunder karena transeksi saraf koklear dan seringkali terjadi lengkap dan permanen. Sedangkan subtipe lateral melintasi lebih ke labirin tulang daripada kanalis auditori internal. Hal ini menyebabkan

terjadinya gangguan pendengaran sensorineural dan berkaitan dengan fistula perilimfatik dan hubungan telinga tengah dan telinga dalam akibat fraktur.

Gambar 3. Fraktur Tranversal, suptipe lateral (Swartz dan Curtin, 2003) A. Gambar CT aksial, telinga kanan. Fraktur (panah) dimulai pada posterior permukaan petrosa di sekitar akuaduktus vestibular dan merusak bagian anterior tegmen timpani serta bagian skuamosa petrosa. B.Gambat CT aksial, telinga kanan, lebih rendah, juga memperlihatkan gangguan fraktur promontorium (panah). Perhatikan hematotimpanum difus.

Gambar 4. Fraktur Tranversal, suptipe medial (Swartz dan Curtin, 2003) A. Fraktur linier (panah) mulai dari permukaan petrosa posterior di sekitar akuaduktus vestibular dan meluas melalui fundus kanalis auditor internal terhadap genu pertama kanal saraf fasialis B. Pneumovestibular (panah)

Tabel 1. Perbedaan Fraktur Longitudinal dan Fraktur Transversal (Ling, 2001)

Tipe Lokasi

Frekuensi Gangguan pendengaran Paralisis n. fasialis

Longitudinal Melalui garis sutura petroskuamosa dan berlanjut ke arah anterior menuju kapsul otik Melalui superior CAE, telinga tengah, aksis panjang dari pyramid petrosa 70-80% Konduktif 15-20% Cedera pada ganglion genikulatum atau pada bagian horizontal saraf Rendah hingga tinggi Trauma tumpul lateral - Kerusakan osikular (umum) - CHL - Vertigo (jarang) - Perdarahan di kanalis auditori eksternal - Kebocoran cairan serebrospinal (kadang)

Transversal Melibatkan kapsul otik atau kanalis auditori internal

20-30% Sensorineural (biasanya parah) 50%

Derajat trauma Komplikasi

Biasanya tinggi Trauma oksipital atau frontal - Ruptur kapsul otik dan kanalis auditori internal - SNHL - Vertigo (umum) - Kebocoran cairan serebrospinal (umum)

3. Fraktur oblik Fraktur oblik ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur transversal (Ginat dan Wang, 2008).

4. Fraktur campuran Anatomi dasar tengkorak mengurangi kemungkinan untuk fraktur longitudinal atau transversal yang murni. Fraktur campuran dengan garis

fraktur meluas di hampir segala arah di bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat (Kinney, 1998).

Akhir-akhir ini, juga terdapat peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik (otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%) daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi daripada OCS).

Diagnosis Anamnesis
Tabel 2. Keluhan Utama Fraktur Tulang Temporal (Ling, 2001)

Gejala Gangguan pendengaran Pusing Kelemahan fasialis Hipestesi fasialis Diplopia

Diagnosis Banding Konduktif atau sensorineural Perifer atau sentral Sentral atau perifer Defisit saraf kranialis V intratemporal atau cedera fasialis Defisit saraf kranialis VI atau cedera mata

Onset Awal Bervariasi Penting untuk diputuskan Biasanya onset lambat jika intrakranial Biasanya lambat

Prioritas Terapi Tidak mendesak Tidak mendesak Intervensi awal Rekoveri spontan sebagai terapi general Rekoveri spontan sebagai terapi general

1. Gangguan pendengaran Lebih dari 40% kasus mengalami gangguan pendengaran Fraktur transversal SNHL yang parah

Fraktur longitudinal CHL dan gangguan pendengaran campuran Keterlibatan labirin atau koklea SNHL disertai vertigo

2. Pusing Sering merupakan gejala lambat

3. Kelemahan fasialis Sering terjadi Penting dalam memutuskan onset gejala Cepat saraf terputus memerlukan pembedahan

Lambat saraf mengalami oedema atau inflamasi

Parese atau paralisis onset lambat sering terjadi dan dapat tertunda selama beberapa hari atau minggu

Area cedera saraf fasialis: Fraktur longitudinal area perigenikulatum Fraktur transversal segmen labirin Cedera tusuk saraf ekstratemporal, bagian stilomastoid, segmen vertikal

4. Otorea dan rinorea Kebocoran cairan serebrospinal dari kerusakan tulang temporal

5. Hipestesi fasialis dan diplopia Fraktur meliputi Meckels cave dan permukaan superior tulang temporal atau Dorellos canal di bawah ligament petrosfenoidalis Prognosis biasanya baik

Pemeriksaan Fisik Tiga temuan yang sering: Hemotimpanum Ekimosis postaurikular (Battles sign) Ekimosis periorbital (Racoon eyes)

Kelemahan saraf fasialis memerlukan evaluasi yang hati-hati Kebocoran plasma: otorea dan rinorea

Pemeriksaan Penunjang 1. Radiologi: CT Scan tulang temporal, MRI 2. Tes pendengaran: audiogram 3. Tes saraf fasialis 4. Tes vestibular

Penatalaksanaan
Tabel 3. Penatalaksanaan (Ling, 2001)

Tanda-Gejala Gangguan pendengaran

Tidak ada Bisa diputuskan jika sekunder dari hematotimpanum Diharapkan resolusi spontan, jika tidak ada lesi vestibular bilateral atau sentral Diharapkan rekoveri sempurna pada kasus onset tertunda

Non bedah Amplifikasi, konvensional atau alat bantu dengar Farmakologi supresi vestibular untuk stadium akut Perawatan suportif mata - Terapi fisik jika diduga paralisis long-term - Rehabilitasi struktural dengan teknik biofeedback yang membantu meningkatkan fungsi dan menghindari sinkinesis Elevasi HOB, drainase lumbal

Pusing

Bedah Timpanoplasti dengan atau tanpa rekonstruksi telinga tengah Ablasi labirin atau seksi saraf vestibular pada kasus lama Dekompresi atau memperbaiki saraf fasialis Diperhatikan kebutuhan perawatan mata (gold weight atau tarsorrhaphy)

Paralisis fasialis

Otorea atau rinorea (cairan serebrospinal)

Resolusi spontan pada > 90% kasus

Digunakan hanya setelah 2 minggu dan gagal dengan perawatan konservatif Indikasi; - Kebocoran persisten - Meningitis rekuren - Pneumosefalus persisten

Prinsip Penatalaksanaan: Menstabilkan keadaan neurologis dan keadaan yang mengancam jiwa, observasi, pemberian antibiotika. Operasi diindikasikan pada keadaan perforasi 9

membran timpani yang menetap, gangguan pendengaran konduktif, parese fasialis dan kebocoran LCS yang menetap (Kolegium Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, 2008).

1. Gangguan pendengaran Lebih dari separuh pasien dengan fraktur temporal mengalami gangguan pendengaran dengan beberapa tingkat. Jenis dan tingkat defisitnya terkait dengan kekuatan cedera dan lokasi fraktur. Evaluasi audiometri awal sering akan menunjukkan CHL sekunder untuk hemotympanum. Oleh karena itu disarankan bahwa audiogram harus diulang sekitar 1-2 bulan setelah cedera untuk memungkinkan hemotympanum dan efusi telinga tengah untuk selesai. Dalam pengelolaan jangka pendek CHL, Ho dan Makishima (2010) paling suka menunggu untuk menentukan apakah gangguan akan menghilang secara spontan. Namun, jika sebelumnya intervensi neurootologic direncanakan (misal: dekompresi saraf fasialis, perbaikan kebocoran cairan serebrospinal), ossiculoplasty cocok digunakan secara bersamaan untuk eksplorasi. Untuk pasien yang mengalami CHL persisten setelah penyembuhan akut. Pasien yang mengalami SNHL ringan sampai sedang, biasanya diobati dengan amplifikasi alat bantu dengar standar. Untuk SNHL unilateral yang parah, alat bantu dengar bone anchored telah menunjukkan dengan hasil yang baik. Implantasi koklea juga telah terbukti memiliki manfaat dalam mengobati pasien dengan SNHL bilateral yang parah setelah fraktur tulang temporal (Ho dan Makishima, 2010).

2. Cedera saraf fasialis Cedera saraf fasialis terjadi hampir 15-20% pada fraktur longitudinal dan 50% pada fraktur transversal. Menurut konsensus umum, pembedahan tidak diperlukan pada pasien 1) didokumentasikan fungsi saraf fasialis yang normal setelah cedera terlepas dari perkembangannya, 2) kelumpuhan tidak lengkap selama tidak ada perkembangan untuk menyelesaikan kelumpuhan, dan 3) kurang dari 95% degenerasi oleh ENoG (Electroneurography).

10

Setelah memutuskan pada eksplorasi saraf fasialis, lokasi tersangka cedera saraf dan status pendengaran adalah dua faktor kunci dalam menentukan pendekatan yang tepat. Cedera pada saraf fasialis pada atau di distal ganglion geniculate dapat didekati melalui prosedur transmastoid. Untuk pasien yang pendengaran tidak berguna, dapat dilakukan pendekatan transmastoid-translabirintin. Untuk pasien dengan pendengaran utuh,

pendekatan transmastoid-supralabrinitin atau pendekatan fossa kranial tengah dianggap (Ho dan Makishima, 2010).

3. Otorea Otorea pada fraktur tulang temporal biasanya terjadi dalam beberapa menit atau juga dapat lambat jika mengalir melalui nasofaring. Manajemen dimulai dengan pengukuran konservatif meliputi elevasi kepala, istirahat di tempat tidur ddengan elevasi kepala, pencahar, menghindari bersin atau mengedan, dan pada pasien tertentu dilakukan penempatan lumbar drain. Resolusi spontan dengan menajemen konservatif terjadi pada 95-100% pasien (Ho dan Makishima, 2010). Penggunaan antibiotik profilaksis masih kontroversial, meskipun dengan masih terjadi kebocoran lebih dari 7 hari telah berkorelasi dengan insiden meningitis yang lebih tinggi. Perbaikan dengan bedah direkomendasikan untuk kasus-kasus yang bertahan 7-10 hari setelah cedera. Karena perbaikan bedah dengan cara pendekatan mastoidektomi sendiri dapat tidak memadai jika ada cacat tegmen ganda, pendekatan fosa tengah sendiri atau dalam kombinasi dengan pendekatan transmastoid harus dipertimbangkan dalam banyak kasus (Ho dan Makishima, 2010).

4. Cedera vaskular Cedera carotis terjadi 1-4% pada trauma tulang temporal. Untuk mengetahui fraktur kanal karotis, dilakukan CT tulang temporal dan CT maksilofasial (Ho dan Makishima, 2010).

11

5. Vertigo Biasanya self-limiting dan membaik dalam 6-12 bulan dari adaptasi sentral. Pasien dengan rasa penuh di telinga, tinitus, kehilangan pendengaran yang fluktuatif dan vertigo sama dengan pasien dengan Menieres disease. Episode vertigo utamanya berhubungan dengan BPPV (Benign Positional Paroxysmal Vertigo). Ini disebabkan oleh trauma otokonia yang tidak pada tempatnya dari vestibuler ke dalam ampula kanalis semisirkularis posterior. Penatalaksanaan BBPV meliputi rehabilitasi standar dan maneuver reposisi (Ho dan Makishima, 2010).

6. Komplikasi lainnya Beberapa dari komplikasi lambat yang jarang meliputi meningokel, ensefalokel, meningitis, dan kolesteatoma. Penatalaksanaan yang sering adalah pembedahan untuk mencegah perkembangan komplikasi intrakranial lebih lanjut (Ho dan Makishima, 2010).

7. Tinitus Cedera menyebabkan kerusakan sistem vestibule-koklearis juga labirin perifer disebut konkusio labirin atau pada struktur sentral. Peranan dari masing-masing pola kerusakan keseluruhan mungkin tergantung pada mobilitas kepala saat terjadinya cedera konkusio labirin mengikuti pukulan terhadap kepala yang terfiksasi dan kerusakan sentral menjadi lebih umum terjadi ketika mobilitas kepala secara lebih keras mengalami akselerasi (atau deselerasi). Memukul kepala yang tetap immobile menyebabkan gelombang tekanan melalui dasar tengkorak dan gerakan yang berlebihan dari lempeng kaki stapes karena inersia tulang pendengaran. Perubahan koklea yang disebabkan oleh mekanisme ini merupakan kerusakan organ korti, mirip dengan yang disebabkan oleh noise damage. Percepatan atau perlambatan dari kepala menyebabkan otak untuk bergerak relatif terhadap tengkorak, karena inersianya, sering dengan gerakan berputar. Dampak terhadap penyimpangan di dasar tengkorak ini

12

menyebabkan memar pada lobus frontal dan temporal; putaran batang otak menyebabkan kerusakan; dan nervus VIII mungkin mengalami regangan atau robek (Ballantyne dan Groves, 1979).

13

DAFTAR PUSTAKA

Ballantyne, John dan Groves, John. 1979. Scott-Browns Diseases of The Ear, Nose and Throat, Fourth edition, Volume 2 The Ear. Butterworths. Ginat, Daniel dan Wang, Henry. 2008. Imaging Sciences Interesting Cases: Case 81. University of Rocheser Medical Center, Dept. of Imaging Center. Ho, Ki-Hong Kevin dan Makishima, Tomoko. 2010. Temporal Bone Fracture. Grand Rounds Presentation, University of Texas Medical Branch, Dept. of Otolaryngology. Kinney, Sam E. 1998. Chapter 160: Trauma to the Middle Ear and Temporal Bone. http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm160.pdf Kolegium Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, 2008. Buku Acuan Modul Telinga Trauma. Edisi I. Ling, Francis T. K. 2001. Middle Ear and Temporal Bone Trauma. http://drfling.hyperphp.com/Notes/Ch%20139%20%20Middle%20Ear%20and%20Temporal%20Bone%20Trauma.pdf Swartz, Joe D. dan Curtin, Hugh D. 2003. Chapter 23: Temporal Bone: Trauma. Mosby.

14

Anda mungkin juga menyukai