Anda di halaman 1dari 8

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PENUNJANG PEMBANGUNAN DI DAERAH Oleh: Afrizal Woyla Saputra Zaini BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran pajak (PBB) dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai basis material dan darah kehidupan (lifeblood) bagi negara dan roda kekuasaanya. Dalam catatan sejarah, tidak ada Negara otoriter maupun demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda kekuasaannya tanpa adanya pajak dari rakyat. Sehingga dapat diteorikan, apabila basis material dan darah kehidupan ini pajak bisa berjalan dengan lancar baik dari segi penganggaran maupun pembelanjaannya, akan tercipta suatu negara yang sejahtera. Pajak dibayar, negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Walaupun sebenarnya banyak sekali sektor pendapatan negara ini yang telah dikembangkan untuk meningkatkan anggaran negara. Mulai dari pemanfatan sumber daya alam yang melimpah sampai penyelenggaraan usaha-usaha perusahaan negara. Akan tetapi sektor-sektor tersebut masih belum bisa membawa negara ke jenjang yang lebih baik seperti yang diharapkan. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan bagian terpenting dari denyut nadi perekonomian suatu Negara, dengan pemungutan pajak Negara dapat memakmurkan rakyat dan dapat membiayai rumah tangga Negara itu sendiri, namun kendalanya selama ini pajak masih di andalkan untuk pendapatan Negara yang paling banyak dan menempatai urutan pertama dalam APBN. Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sangat luar biasa, tetapi pemanfaatannya kurang maksimal sehingga kesejahtraan masyarakat tidak bisa terjamin dan masih banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Peran Pajak Bumi dan Bangunan dalam mewujudkan perekonomian serta untuk membangun Negara sangat potensial sehingga diperlukan suatu kesadaran dalam membayar pajak. Pajak bumi dan bangunan dalam hal ini juga dapat merangsang pertumbuhan dan pemberdayaan daerah, dengan hasil yang didapatkan dari Pajak Bumi dan Bangunan harapan besar ketika dikembalikan ke daerah dapat dimanfaatkan dengan baik dan sesuai keinginan rakyatnya. Proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sudah menjadi kerangka yang sangat ideal, apali sebagian besar dari dana pendapatan di kemabalikan lagi ke daerah dalam bentuk DAK, DAU, dsb. B. Tujuan Masalah

Tujuan dari penulisan ini agar dapat memahami suasana dan arah pemanfaatan Pajak Bumi dan Bangunan dalam pembangunan Daerah yang telah diamanatkan dalam kontitusi dan undang-undang agar dapat menumpu kemajuan daerah dan nasional pada umumnya ke arah yang lebih baik.

Tujuan lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera. C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses pemungutan pajak bumi dan Bangunan dalam meningkatkan perekonomian pembangunan Daerah.? 2. Bagaimana landasan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan.? 3. Bagaimana Kebijakan pajak bumi dan bangunan dalam pembangunan Indonesia khususnya di tingkat daerah.? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Ruang Lingkup PBB

Pajak Bumi dan Bangunan tidak hanya penting sebagai sumber penerimaan daerah tetapi juga strategis dan signifikan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kegiatan kehidupan yang lain. Dengan demikian persoalan PBB tidak hanya persoalan ekonomi atau administrasi maupun persoalan keuangan tetapi harus dilihat secara holistik dan komprehensif. Dalam konteks seperti inilah pemerintah merasa penting untuk mengatur dan mengelola PBB, untuk selanjudnya sebagian besar didistribusikan kembali ke pada daerah-daerah dengan persentase tertentu ( Suharno 2003). Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang no 12 tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan.Objek PBB adalah Bumi dan atau Bangunan. Bumi yaitu permukaan bumi (tanah dan perairan), dan tubuh bumi yang ada dipedalaman serta di laut Indonesia. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan jenis pajak yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah dalam menentukan besar pajaknya (menganut sistem pemungutan official assessmen system). Pajak ini bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Di sini keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Adapun hasil dari penerimaan pajak tersebut dilakukan pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat II dan Tingkat I, akan tetapi sebagian besar dari penerimaan pajak diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II3 sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan harus benar-benar diatur dengan undang-undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Sebelum diterbitkannya undang- undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985, pengaturan tentang pajak yang berkaitan dengan bumi dan /atau bangunan sudah ada sejak zaman kolonial seperti Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding

1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalanan 1942, Iuran Pembangunan Daerah 1957, Pajak Hasil Bumi 1959. Sejak tahun 1986 Pajak Bumi dan Bangunan dipungut berdasarkan Undang-Undang No. 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang merupakan penyederhanaan dari undangundang di atas. Dalam sejarah perkembangannya, Undang-Undang PBB tahun 1985 mengalami perubahan pada tahun 1994. Adapun tujuan dan arah penyempurnaannya adalah seperti disebutkan dalam penjelasan undang-undang No. 12 Tahun 1994: Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari pajak. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya. B. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

Dalam mewujudkan atau merealisasikannya, Pajak Bumi dan Bangunan juga diatur oleh Peraturan Pemerintah serta Keputusan Menteri Keuangan. Jadi sebagai acuan untuk pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undangundang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 2. Peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/1985 tentang Tata Cara Pendaftaran Objek Pajak Bumi dan Bangunan. 4. Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/1985 tentang Tata Cara Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan dan penunjukan Pejabat yang berwenang mengeluarkan surat paksa. 5. Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK/1985 tentang pelimpaham wewenang penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan / Bupati/ Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II. 6. Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK. 04/1998 tentang penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. 7. Keputusan Menteri Keuangan No. 201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan. 8. Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK. 04/2002 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan No. 552/KMK. 03/2002 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. C. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

1. Subjek / Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Yang menjadi subjek pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan /bangunan5. Jangkauan subjek dalam UU PBB sangat

luas, karena meliputi orang atau badan yang memiliki, menguasai dan /atau memperoleh manfaat atas bumi dan / atau bangunan. Ini berarti meliputi antara lain pemilik, penghuni, pengontrak, penggarap, pemakai dan penyewa atas bumi dan /bangunan. Oleh karena sangat luasnya maksud yang terkandung dalam UU PBB, yang menjadi subjek pajak belum tentu menjadi wajib pajak. Sebab subjek pajak akan /baru menjadi wajib pajak apabila sudah memenuhi sayarat-syarat objektif atau sudah mempunyai objek PBB yang dikenakan pajak. Yang berarti subjek pajak mempunyai hak atas objek yang dikenakan pajak (memiliki, menguasai, memperoleh manfaat dari objek kena pajak). Misalanya si A memperoleh manfaat dari bangunan yang Nilai Jual Kena Pajaknya kurang dari Rp. 8000.0006,-. Si A tetap menjadi subjek pajak akan tetapi bukan merupakan wajib pajak. Yang berarti dia akan dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak. Ketentuan ini bermaksud untuk tidak mengenakan atas rumah /bangunan milik subjek pajak yang kurang mampu. Jika suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa wajib pajaknya, maka Dirjen Pajak oleh undang-undang diberi wewenang untuk menunjuk dan menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Beberapa ketentuan khusus tentang siapa yang menjadi subjek pajak dalam hal ini adalah: a. Jika subjek pajak memanfaatkan dan menggunakan bumi dan /bangunan milik orang lain bukan karena suatu hak atau perjanjian, maka subjek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak. b. Jika objek pajak masih dalam sengketa, maka orang /badan yang memanfaatkan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak. c. Apabila subjek pajak sudah memberi kuasa kepada orang/badan untuk merawat (mengurus) bumi dan bangunannya disebabkan suatu hal, maka orang/badan yang telah diberi kuasa dapat ditetapkan sebagai wajib pajak. 2. Pengecualian Subjek PBB Sebenarnya Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal adanya pengecualian terhadap subjek pajak, karena pajak ini bersifat objektif. Yang ada hanya pengecualian objek pajak. Wakil-wakil diplomatik (konsulat) dan wakil-wakil organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan, bukan berarti pengecualian subjektif, melainkan karena pembebasan /pengecualian objektif, yaitu yang digunakan oleh wakil-wakil tersebut, pengecualian /pembebasan pajak tersebut dengan syarat timbal balik atau pembebasan itu baru diberlakukan, jika negara yang bersangkutan juga memberikan pembebasan yang sama dari pajak yang dikenakan kepada wakil-wakil diplomatik Indonesia. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka dengan sendirinya pembebasan pajak itu tidak berlaku. D. Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985 menyebutkan bahwa yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan /bangunan. Keduanya (bumi dan

bangunan) dapat berdiri sendiri (bumi saja atau bangunan saja) maupun secara bersama-sama sebagai objek yang dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Pengertian bumi dijelaskan meliputi permukaan bumi dan juga tubuh bumi yang ada di bawahnya. Apa yang disebut permukaan bumi di sini tak lain adalah tanah itu sendiri yang meliputi perairan. Sedangkan tubuh bumi adalah apa-apa yang berada di dalam bumi dan yang berada di bawah air. Apa yang disebut dengan air (perairan) disini mencakup perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa) serta laut wilayah Indonesia. Jadi yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan itu adalah tanah, air (perairan) dan tubuh bumi. Contoh : sawah, ladang, kebun, pekarangan, tambang, dll. Bangunan sebagai objek Pajak Bumi dan ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada Indonesia yang diperuntukkan sebagai tempat dalam pengertian bangunan dalam penjelasan adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Bangunan adalah Konstruksi teknik yang tanah dan/atau perairan di wilayah Republik tinggal atau tempat usaha10. Yang termasuk Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan

Jalan lingkungan yang teletak dalam suatu kompleks bangunan. Kolam renang. Galangan kapal, dan dermaga. Jalan tol. Pagar mewah. Taman mewah. Tempat penampungan / kilang minyak. Tempat olah raga, dan lain-lain.

Apabila seseorang atau badan memiliki rumah (bangunan) yang berada di atas tanah orang lain sehingga pemilik bangunan terpisah dari pemilik tanah. Undang-undang Pajak Bumi Bangunan memungkinkan pemilik bangunan dikenakan pajak sendiri terlepas dari pajak yang dikenakan pada pemilik tanah. Dalam keadaan seperti itu, pengaturan hukum (Undang-Undang Pokok Agraria) menganut asas pemisahan horizontal yang bertumpu pada hukum adat. Masalah ini sering terjadi di kota-kota besar yang banyak dibangun rumah bertingkat dan di setiap tingkat dimiliki oleh orang lain. Yang sekarang lebih kita kenal dengan sebutan rumah susun atau apartemen. Sedangkan untuk bumi atau bangunan yang digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Sedangkan mengenai bumi dan /bangunan milik perorangan atau badan (swasta) yang digunakan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan, kewajiban pajakannya tergantung dari perjanjian. E. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Dalam melaksanakan proses perpajakan wajib pajak mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati untuk. 1. Hak Wajib Pajak.

2. Hak untuk memperoleh SPOP, SPPT, STTS beserta informasinya dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi danBangunan. 3. Hak untuk memperbaiki atau mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan. 4. Hak untuk menunjuk pihak lain selain pegawai pajak dengan surat kuasa untuk mengisi dan menandatangani SPOP. 5. Hak untuk mengajukan permohonan mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah. 6. Hak untuk mengajukan keberatan dan pengurangan atas penetapan PBB.
o o o o o

Kewajiban Wajib Paja Mendaftarkan Objek Pajak. Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi ke Kantor Pelayanan PBB. Melaporkan perubahan data objek pajak atau wajib pajak ke Kantor Pelayanan PBB setempat apabila ada perubahan dengan cara mengisi SPOP baru sebagai perbaikan.

F.

Pembangian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan sekurang-kurangnya 90% untuk Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sisanya untuk Pemerintah Pusat. Kebijakan seperti ini dimaksudkan untuk merangsang masyarakat dalam memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak sekaligus mencerminkan sifat gotong royong rakyat dalam membiayai pembangunan. Pembagian hasil penerimaan PBB antara pemerintah pusat dan daerah adalah sebagai berikut: 1. 10% dari jumlah hasil penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Pusat dan harus disetorkan ke Rekening Kas Negara untuk dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten /kota. 2. 90% dari jumlah penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Daerah. Dengan pembagian setelah dikurangi biaya pemungutan sebesar 10%. Pemda propinsi Kabupaten /Kota = 20%. = 80%.

Jadi masing-masing penerimaan PBB adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Pusat 10%. 2. Biaya pemungutan 3. Pemerintah daerah propinsi 4. Pemerintah daerah kabupaten /Kota Jumlah Penerimaan PBB 100%. = 10% x 90% 20% x (90% 9%) 80% x (90% 9%) = 9%. = 16,2%. = 64,8%. =

Bagian 10% untuk pemerintah adalah sebagai pengganti karena pemerintah pusat sudah tidak menerima hasil pajak kekayaan lagi. Dan penerimaan yang diterima oleh Pemerintah daerah Tingkat I dan II sebagai pengganti atas hasil Ipeda dan PRT (yang telah dihapuskan). G. Pajak Bumi dan Bangunan Untuk Pembangunan Daerah

Pajak Bumi dan Bangunan untuk membangun daerah dalam suatu Negara harus didasarkan pada perekonomian yang riil dan berkesinambungan agar pembangunan yang di cita-citakan bangsa ini cepat tercapai, peran pajak bumi dan bangunan daerah sangat vital dan dapat mengembalikan uang tersebut ke daerah untuk pembangunan dan pemberdayaan daerah itu sendiri. Melihat bertapa pentingnya Pajak Bumi dan Bangunan dalam membangun daerah yang sangat potensial, maka diperlukan strategis dalam pemungutannya lapangan, karena sering sekali para wajib pajak tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak sering melihat hantu koruptor di lembaga tersebut. Dalam hal pembangunan daerah maka diperlukan kesadaran dalam membayar pajak bumi dan bangunan agar pembangunan daerah melalui pajak bumi dan bangunan cepat terealisasi dengan baik, dan paling tidak daerahpun dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian dengan pendapatannya sendiri. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Peran pajak dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai basis material dan darah kehidupan (lifeblood) bagi negara dan roda kekuasaanya. Dalam catatan sejarah, tidak ada Negara otoriter maupun demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda kekuasaannya tanpa adanya pajak dari rakyat. Sehingga dapat diteorikan, apabila basis material dan darah kehidupan ini pajak bisa berjalan dengan lancar baik dari segi penganggaran maupun pembelanjaannya, akan tercipta suatu negara yang sejahtera. Pajak dibayar, negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Walaupun sebenarnya banyak sekali sektor pendapatan negara ini yang telah dikembangkan untuk meningkatkan anggaran negara. Mulai dari pemanfatan sumber daya alam yang melimpah sampai penyelenggaraan usaha-usaha perusahaan negara. Akan tetapi sektorsektor tersebut masih belum bisa membawa negara ke jenjang yang lebih baik seperti yang diharapkan. B. Kritik & Saran

Mari kita mengubah paradigma yang telah lama berkembang di Indonesia tentang pendapatan dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan agar Pajak Bumi dan Bangunan tidak selalu menjadi hal yang dipasakan kepada masyarakat dan pemerintah tidak lagi mengandalkan pajak sebagai pendapatan yang paling utama dalam APBN.

Paling tidak sektor pendapatan nasional dapat di tompang dari sektor pendapatan-pendapatan lain, hal ini juga pemerintah dapat membuat trobosan baru dan strategis untuk pemanfaatan sumber daya alam yang lain, agar suatu saat nanti pendapatan dari sektor lain bisa menerobos dan mendukung pendapatan nasional.

Anda mungkin juga menyukai