Anda di halaman 1dari 48

i

KARYA ILMIAH MAHASISWA BERPRESTASI

PENGEMBANGAN POTENSI KOMODITI KAKAO INDONESIA MELALUI STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING

Diajukan sebagai syarat mahasiswa berprestasi

Oleh: Harumi Aini H24090010

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

ii

RINGKASAN HARUMI AINI Pengembangan Potensi Komoditi Kakao Indonesia Melalui Strategi Peningkatan Daya Saing

Kakao merupakan salah satu komoditi perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.

Menurut Balitbang Pertanian Departemen Pertanian (2005), pada tahun 2002, perkebunan kakao telah memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US$ 701 juta. Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 2005, areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 1.167.046 ha dimana sebagian besar (92,6 %) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 3,3 % perkebunan besar negara serta 4,1 % perkebunan besar swasta. Sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003. Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan perkakaoan Indonesia dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain mutu produk yang masih rendah dan masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.

iii

Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermantasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana dan Kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indoneia cukup terbuka baik untuk ekspor maupun memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka.

Tantangan pasar global dan nilai tambah (added value) yang harus diperoleh oleh daerah, membawa konsekuensi perlunya peningkatan daya saing melalui pengembangan komoditi unggulan daerah. Dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang memudahkan bagi usaha komoditi kakao adalah faktor penting terutama bagi para investor untuk menanamkan modalnya pada komoditi ini.

iv

HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS MAHASISWA BERPRESTASI 2011

Judul Karya Tulis : Pengembangan Potensi Komoditi Kakao Indonesia Melalui Strategi Peningkatan Daya Saing

a. Penulis b. NIM c. Departemen d. Fakultas e. Universitas f. Alamat

: Harumi Aini : H24090010 : Manajemen : Ekonomi dan Manajemen : Institut Pertanian Bogor : Jl. Perwira no. 42 Dramaga 16680 Bogor Jawa Barat Indonesia

Dosen Pembimbing a. Nama Lengkap dan Gelar : Alim Setiawan, S.TP, M.Si. b. NIP : 19820227 200912 1 001

Bogor, Februari 2012

Dosen Pembimbing

Penulis

Alim Setiawan, S.TP, M.Si. NIP. 19820227 200912 1 001

Harumi Aini NIM. H24090010

KATA PENGANTAR

Assalamulaiakum Wr. Wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam proses penyeleksian Mahasiswa Berprestasi tingkat fakultas. Melalui karya tulis ini, penulis berharap dapat memberikan suatu gagasan dan rekomendasi terhadap permasalahan dalam perdagangan kakao Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing yaitu Bapak Alim Setiawan S.TP, M.Si, yang telah memberikan waktu, pesan, dan saran dalam pembimbingan penulisan karya tulis ini.

Akhir kata, semoga penulisan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Dan penulis menyadai bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis.

Bogor, Februari 2012

Penulis

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. Latar Belakang ......................................................................................... 1 Rumusan Masalah .................................................................................... 2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 3 Manfaat Penulisan .................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4 2.1. Jenis-jenis Komoditi Kakao ........................................................................ 4 2.2. Kandungan Biji Kakao ................................................................................. 6 2.3. Pengolahan Kakao ....................................................................................... 8 2.4. Pengertian Daya Saing ............................................................................... 11 METODE PENULISAN ....................................................................................... 13 3.1. 3.2. 3.3. Sumber Penulisan ................................................................................... 13 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 13 Tahapan Penulisan .................................................................................. 14

ANALISIS DAN SINTESIS ................................................................................. 15 4.1. Potensi Komoditi Kakao ........................................................................ 15 Perkembangan Produksi Biji Kakao Dunia..................................... 15 Perkembangan Produksi Biji Kakao Nasional ................................ 16 Potensi Pasar Kakao ........................................................................ 18 Prospek Komoditi Kakao ................................................................ 20

4.1.1. 4.1.2. 4.1.3. 4.1.4. 4.2.

Analisis SWOT....................................................................................... 21 Kekuatan ......................................................................................... 21 Kelemahan....................................................................................... 22

4.2.1. 4.2.2.

vii

4.2.3. 4.2.4. 4.3.

Peluang ............................................................................................ 22 Tantangan ........................................................................................ 23

Kebijakan Pendukung Peningkatan Daya Saing Kakao ......................... 23 Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao ................. 23 Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah dan Pendapatan Petani Kakao 27 Kebijakan Penyediaan Sumber Pembiayaan ................................... 30 Kebijakan Penataan Kelembagaan .................................................. 30 Kebijakan Pemasaran Hasil............................................................. 33

4.3.1. 4.3.2. 4.3.3. 4.3.4. 4.3.5.

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 36 4.1. 4.2. Kesimpulan ............................................................................................. 36 Saran ....................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ xi

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Kimia Pulp Biji Kakao6 Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Kakao Yang Difermentasi 7 Tabel 3. Asam Lemak Pada Lemak Kakao.8 Tabel 4. Perkembangan Produksi Biji Kakao Dunia (Ribu Ton)...15 Tabel 5. Perkembangan Konsumsi/Grindings Biji Kakao Dunia (Ribu Ton)....16 Tabel 6. Luas Lahan Kakao Di Indonesia dari Tahun 2004-2009.17 Tabel 7. Hasil Produksi Biji Kakao Indonesia Periode Tahun 2004-200917 Tabel 8. Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia 2006-2010 (juta dollar)...18 Tabel 9. Perbandingan Produksi dan Konsumsi Dunia 2001-2010.. 19 Tabel 10. Perkembangan Harga Kakao Dunia Dalam Negeri dan Luar Negeri 2000-2006..21 Tabel 11. Peremajaan Perkebunan Kakao (1000 Ha)24 Tabel 12. Parameter Umum Kualitas Biji Kakao. 26 Tabel 13. Standar Nasional Indonesia (SNI) biji kakao (SNI 01-232-2000) Khusus... 27 Tabel 14. Perusahaan Penanam Modal di Industri Kakao.29

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Theobroma Cacao L.4 Gambar 2. Pengolahan Kakao.9 Gambar 3. Skema diversifikasi produk kakao...10 Gambar 4. Kerangka Pemikiran.13 Gambar 5. Perkembangan Harga Kakao Dunia 2009-2010..19 Gambar 6. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia 2007-2011 (Juta Ton)20 Gambar 7. Cokelat Monggo..30 Gambar 8. Chocodot..30 Gambar 9. Kelembagaan Industri Kakao.......32 Gambar 10. Kerangka Keterkaitan Industri Kakao....32 Gambar 11. Tata Niaga Kakao...34

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao) atau cokelat merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Perkebunan kakao pada tahun 2002 telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta. Perkembangan kakao di Indonesia sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari program besar pada tahun 1980-an, yang dikenal dengan Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE). Pada waktu itu Indonesia berkepentingan untuk mencari dan mengembangkan komoditas ekspor nonmigas, sekaligus untuk mengantisipasi penurunan produksi dan ekspor minyak dan gas bumi, yang menunjukkan tanda-tanda kejenuhan. Kakao tumbuh pesat pada dekade 1990-an dan menjadikan Indonesia sebagai eksportir ketiga terbesar di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana. Petani kakao di Indonesia sekarang diperkirakan berjumlah 1.4 juta rumah tangga, umumnya berskala kecil, sekitar 2 hektar atau kurang, sekalipun di luar Jawa. Kenaikan harga kakao yang sangat tinggi pada saat terjadinya krisis ekonomi pada akhir 1990an benar-benar telah membawa berkah tersendiri bagi petani kakao, terutama di Indonesia Timur. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa kakao di Indonesia telah berkontribusi signifikan pada pengentasan kemiskinan, terutama di kawasan pedesaan. Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2002, areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914,051 ha. Sebagian besar (87,4%) perkebunan kakao dikelola oleh rakyat, 6,0% perkebunan besar negara dan 6,7% perkebunan besar

swasta. Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote dIvoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003

(http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditi/b4kakao). Kualitas kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia apabila dilakukan fermentasi dengan baik. Kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok digunakan sebagai campuran. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Pengembangan industri pengolahan kakao juga didukung oleh pola konsumsi cokelat masyarakat Indonesia yang cenderung meningkat 15-20% per tahun serta kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap produk cokelat lokal sebesar 50% (litbang Kompas). Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia, apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Harga kakao dunia yang relatif stabil dan cukup tinggi bisa berpengaruh terhadap perluasan areal perkebunan kakao Indonesia yang diperkirakan akan terus berlanjut. Perkebunan kakao perlu dibangun agar dapat memberikan produktivitas yang tinggi.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dari penyusunan karya tulis ini di antaranya sebagai adalah berikut : 1. Berapa besar potensi kakao di Indonesia? 2. Apa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari Industri kakao Indonesia? 3. Apa rekomendasi yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing dan mutu dari kakao Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini diantaranya adalah: 1. Mengidentifikasi potensi kakao Indonesia 2. Mengidentfikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari industri kakao Indonesia 3. Mengembangkan strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan mutu kakao Indonesia

1.4. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini bagi mahasiswa, perguruan tinggi, pemerintah dan masayarakat diantaranya adalah untuk : 1. Mengetahui potensi kakao sebagai sumberdaya alam lokal yang dapat bersaing di perdagangan internasional. 2. Mengetahui pentingnya pengembangan produk dalam rangka menghadapi persaingan dalam industri kakao. 3. Pemerintah dapat meningkatkan perannya sebagai fasilitator yang mendukung para pengusaha kakao usahanya. 4. Masyarakat, khusunya pengusaha kakao dapat mengetahui manfaat lebih yang dapat diperoleh dalam pengembangan produk kakao menjadi produk yang siap konsumsi. untuk dapat mengembangkan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jenis-jenis Komoditi Kakao Theobroma cacao adalah nama biologi yang diberikan pada pohon kakao oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995). Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis genus Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut : Divisi Sub divisi Kelas Sub kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angioospermae : Dicotyledoneae : Dialypetalae : Sterculiaceae : Theobroma : Theobroma cacao L.

Gambar 1. Theobroma cacao L.


(Sumber: http://3.bp.blogspot.com/_da5gK0Qz3_g/ /s1600/800px-cacao-pod-k4636-141.jpg)

Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan dasar klasifikasi dalam sistem taksonomi. Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat populasi Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah tropika adalah anggota subjenis Sphaerocarpum. Bentuk bijinya lonjong (oval), pipih dan keping bijinya (kotiledon) berwarna

ungu gelap. Mutunya beragam tetapi lebih rendah daripada subjenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena aluralurnya dangkal. Kulit buah ini tipis tetapi keras (liat). Pertumbuhan tanamannya kuat dan cepat, daya hasilnya tinggi dan relatif tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit. Jenis kakao yang terbanyak dibudidayakan adalah jenis Criollo (Criollo Amerika Tengah dan Amerika Selatan), Forastero, dan Trinitario. Jenis Criollo (Criollo Amerika Tengah dan Amerika Selatan) menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia, fine flavour cocoa, choiced cocoa atau edel cocoa. Jenis Forastero menghasilkan biji kakao bermutu sedang dan dikenal sebagai ordinary cocoa atau bulk cocoa. JenisTrinitario yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavour cocoa atau bulk cocoa. Jenis Trinitario yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida (Kakao lindak). Pasar kakao dunia membedakan antara dua kategori utama kakao yaitu fine or flavour dan bulk or ordinary. Secara umum, kakao jenis fine atau flavor diproduksi dari pohon kakao jenis Criolo atau Trinitario, sementara kakao jenis bulk berasal dari pohon kakao jenis Forastero. Criolo mendominasi pasar sampai pertengahan abad ke-18 namun saat ini hanya sedikit pohon Criollo yang masih dibudidayakan. Forastero merupakan kelompok terbesar yang dibudidayakan, terutama varitas Amelonado. Sebagian besar perkebunan di Brazil dan Afrika Barat ditanami dengan Amelonado. Yang termasuk dalam varitas Amelonado adalah Comum di Brazil, Amelonado Afrika Barat di Afrika, Cacao Nacional di Ekuador dan Matina atau Ceylan di Kosta Rika dan Meksiko. Saat ini, kakao yang terbanyak dibudidayakan adalah hibrida Amazon. Budidaya Trinitario mulai dilakukan di Trinidad dan menyebar ke Venezuela dan kemudian ke Ekuador, Cameroon, Samoa, Sri Lanka, Jawa dan PNG. Produksi dunia untuk kakao fine atau flavour di bawah 5% pertahun.

2.2. Kandungan Biji Kakao Pada dasarnya buah kakao terdiri atas 4 bagian yakni : kulit, placenta, pulp, dan biji. Buah kakao masak berisi 30-40 biji yang diselubungi oleh pulp dan placenta. Pulp merupakan jaringan halus yang berlendir yang membungkus biji kakao, keadaan zat yang menyusun pulp terdiri dari 80-90% air dan 8-14% gula sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi (Bintoro, 1977). Komposisi kimia pulp biji kakao ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Pulp Biji Kakao

Berbeda dengan pulp, pada biji kakao kandungan airnya sangat rendah, komponen utama penyusun biji kakao adalah lemak. Biji kakao mengandung bermacam-macam senyawa kimia termasuk diantaranya senyawa-senyawa pembentuk flavor, seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Kakao yang Difermentasi

Cokelat mempunyai alkoloid seperti theobromin dan phenethylamin yang memiliki efek fisiologi tubuh manusia yaitu aphrodisial (rasa senang). Selain itu juga mengandung Fflavanoid apicatelin dan asam galat yang dapat mencegah penyakit jantung dan memiliki aktivitas anti oksidan sehingga dapat mencegah oksidasi LDL, sebagai anti karsinogen kandungan asam palmitat yang diserap sangat lambat, asam stearat dan asam oleat dibuktikan tidak dapat meninggikan level LDL kolesterol. Lemak kakao merupakan jenis lemak yang paling sesuai untuk makanan cokelat, karena memiliki karakterisitk khas yang tidak dimiliki oleh lemak lain. Lemak kakao bewarna kuning pucat , bersifat padat dan rapuh pada suhu di bawah 20 C, mulai melunak pada suhu 30 - 32 C dan mencair pada suhu sekitar 35 C. Berikut ini kandungan asam lemak yang terdapat pada lemak kakao :

Tabel 3. Asam Lemak pada Lemak Kakao

2.3. Pengolahan Kakao

Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir kakao, karena dalam proses ini terjadi pembentukan calon citarasa khas kakao dan pengurangan citarasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit dan sepat. Mengingat pentingnya arti pengolahan terhadap mutu biji kakao kering, maka para produsen hendaknya mengusahakan agar biji kakaonya diolah dengan baik untuk memperoleh harga yang lebih tinggi dan memperkuat daya saingnya di pasaran. Proses pengolahan biji kakao terdiri dari 2 metode :

a. Metode Konvensional b. Metode Sime Cadbury

Pada prinsipnya kedua metode tersebut tidak terlalu berbeda, tetapi khusus pada kakao lindak dengan metode konvensional dihasilkan biji kakao yang mempunyai tingkat keasaman lebih tinggi sedangkan citarasa khas kakao relatif lebih rendah. Untuk mengatasinya disarankan mengolah biji kakao dengan metode Sime Cadbury dan ini dapat dilaksanakan pada perusahaan besar (PTP dan PBS). Tahapan-tahapan proses pengolahan kakao terlihat pada skema berikut:

: Gambar 2. Pengolahan Kakao

Biji buah kakao yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk. Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji dapat difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Biji kakao merupakan sumber ekonomi kakao. Dari biji kakao tersebut, dapat diproduksi empat jenis produk kakao setengah jadi yaitu: cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake and cocoa powder dan cokelat. Walaupun pasar untuk cokelat merupakan konsumen terbesar dari biji kakao, produk kakao setengah jadi seperti cocoa powder dan cocoa butter, namun dapat juga digunakan untuk keperluan lain. Lebih lanjut akan diperoleh bermacam-macam produk seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.

10

Gambar 3. Skema diversifikasi produk kakao

Cocoa powder umumnya digunakan sebagai penambah citarasa pada biscuit, ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga dikonsumsi oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan cokelat dan perment, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun dan kosmetika. Secara tradisional juga dapat menyembuhkan luka bakar, batuk, bibir kering, demam, malaria, rematik, digigit ular dan luka. Juga dapat digunakan sebagai antiseptik dan diuretic.

11

2.4. Pengertian Daya Saing Istilah daya saing (competitiveness), meskipun setidaknya telah diawali oleh konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) Ricardo sejak abad 18, kini mendapat perhatian yang semakin besar terutama tiga dekade belakangan ini. Daya saing, satu dari sekian jargon yang sangat populer, tetapi tetap tak sederhana untuk dipahami. Seperti diungkapkan oleh Garelli (2003), konsep yang multidimensi ini sangat memungkinkan beragam definisi dan pengukuran. Tidaklah mengejutkan jika perkembangan pandangan dan diskusi tentang daya saing tak luput dari kritik dan perdebatan yang juga terus berlangsung hingga kini. Dalam literatur, istilah daya saing (competitiveness) mempunyai interpretasi/tafsiran beragam. Tak satupun yang penulis klaim sebagai definisi baku yang diterima semua pihak. Tentang ini, barangkali benar yang disampaikan Michael Porter: There is no accepted definition of competitiveness. Whichever definition of competitiveness is adopted, an even more serious problem has been there is no generally accepted theory to explain it ,(Porter, 1990). Competitiveness remains a concept that is not well understood, despite widespread acceptance of its importance . . . . (Porter, 2003, 2002b). Hampir dua dekade kemudian, diskusi tentang ini bahkan meluas dan perspektif tantang apa dan bagaimana meningkatkan daya saing memperkaya debat yang berkembang. Dalam literatur, bahasan konsep daya saing dapat ditinjau pada tingkat:

perusahaan, industri atau sehimpunan/sekelompok industri, dan negara atau daerah (sebagai suatu entitas ekonomi). Pemaknaan daya saing pada konteks tersebut berbeda. Akan tetapi, daya saing pada

masing-masing tingkatan tersebut terkait secara erat. Daya saing perusahaan merupakan elemen pembentuk daya saing pada tingkat industri, daerah atau negara. Sementara di pihak lain, berbagai kondisi dan faktor yang ada dalam suatu industri dan di suatu daerah atau negara membentuk konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan dalam industri dan di wilayah yang bersangkutan. Isu ini juga merupakan salah satu topik yang terus diperdebatkan dalam diskusi tentang daya saing. Faktor yang mempengaruhi daya saing internasional suatu negara adalah sebagai berikut :

12

Strategi, struktur dan sistem persaingan diantara perusahaan Sumber daya alam yang ada di sebuah negara Permintaan domestik Keberadaan industri terkait dan pendukung

13

METODE PENULISAN

3.1. Sumber Penulisan Pada proses penyusunan karya tulis ini, pengumpulan data sekunder menjadi sumber utama uraian. Data sekunder ini diperoleh dari penelusuran literatur, yang meliputi textbook, surat kabar, situs internet, artikel, jurnal mengenai kakao. Tentunya penulisan karya tulis ini juga tidak terlepas dari pengamatan penulis.

3.2. Kerangka Pemikiran Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Besarnya potensi kakao tidak seiring dengan mutu dan perkembangan industri hilir

Pelaku bisnis kakao daerah I

Pelaku bisnis kakao daerah II

Pelaku bisnis kakao daerah III

Kerjasama antar pelaku bisnis kakao domestic (asosiasi) dan peningkatan peran pemerintah sebagai fasilitator

Industri pengembangan produk kakao terpusat

Pengembangan produk kakao


Peningkatan daya saing

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang mendasari penulisan karya tulis ini diawali dengan besarnya potensi kakao di Indonesia, namun tidak seiring dengan mutu dan perkembangan industri kakao. Dengan adanya pengembangan kebijakan pada industri kakao, dapat meningkatkan daya saing kakao.

14

3.3. Tahapan Penulisan Penulisan dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama yang penulis lakukan adalah pemilihan tema yang mengangkat potensi sumberdaya alam lokal yaitu kakao. Keputusan pemilihan tema didasari pada pengamatan dan identifikasi bahwa tingginya produksi dan ekspor kakao Indonesia ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dunia. Namun Indonesia tidak melakukan pengembangan produk kakao menjadi produk bernilai tambah. Hal ini akan membuat industri kakao Indonesia sulit bersaing dengan negara pesaing yang telah mengembangkan produk kakao ke arah siap konsumsi. Kemudian dilanjutkan ke tahap kedua dengan melakukan penelusuran dan pemilahan data serta studi literatur dari berbagai sumber, seperti textbook, jurnal ilmiah, artikel, dan situs internet. Hasil dari tahapan ini kemudian disusun dalam Bab Tinjauan Pustaka. Tahap terkahir yaitu analisis dan sintesis mengenai pengembangan produk bernilai tambah kakao yang akan meningkatkan daya saing kakao Indonesia. Berdasarkan analisis dan sintesis yang dilakukan, selanjutnya diambil kesimpulan dan rekomendasi

15

ANALISIS DAN SINTESIS

4.1. Potensi Komoditi Kakao 4.1.1. Perkembangan Produksi Biji Kakao Dunia Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Lima negara penghasil utama kakao adalah Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Nigeria dan Brazil. Diantara kelima negara tersebut, empat negara menunjukkan produksi kakao yang stabil, sedangkan satu negara lain, yaitu Ghana menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan. Peningkatan produksi lebih dari 100 % dicapai oleh Ghana mulai tahun 2003 dibanding dengan produksinya pada awal tahun 2000. Produksi kakao negara-negara tersebut sejak 2007 sampai dengan 2010 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan produksi biji kakao dunia (ribu ton)

Disisi lain konsumsi biji kakao dunia sedikit berfluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat, sehingga beberapa tahun terakhir terjadi defisit produksi. Negara konsumen utama biji kakao dunia adalah Belanda dengan tingkat konsumsi 470.000 ton pada tahun 2009/2010, konsumen utama lainnya adalah Pantai Gading, Amerika

16

Serikat, Jerman dan Brazil dengan konsumsi masing-masing 400.000, 382.000, 361.000 dan 226.000 ton. Perkembangan dan konsumsi biji kakao dunia dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Perkembangan konsumsi/grindings biji kakao dunia (ribu ton)

4.1.2. Perkembangan Produksi Biji Kakao Nasional

Kakao merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa Negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2009, areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 1,587,136.00 ha. Perkembangan luas lahan kakao di Indonesia tersaji pada Tabel 6.

17

Tabel 6. Luas Lahan Kakao di Indonesia dari tahun 2004-2009 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Luas Lahan (Ha) 1,090,960.00 1,167,046.00 1,320,820.00 1,379,279.00 1,425,216.00 1,587,136.00

Sumber: Departemen Pertanian, 2010

Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Produksi tanaman kakao dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring semakin meluasnya areal pengembangan komoditi ini. Jika pada tahun 2004, produksi nasional kakao mencapai 691.704 ton, maka pada tahun 2009 produksi kakao meningkat menjadi 809.583 ton (lihat pada Tabel 7).

Tabel 7. Hasil produksi biji kakao Indonesia periode tahun 2004-2009 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Produksi (ton) 691,704.00 748,827.00 769,386.00 740,006.00 803,593.00 809,583.00

Sumber: Departemen Pertanian, 2010

Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang

18

pasar kakao Indonasia cukup terbuka baik untuk ekspor maupun memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong

pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah komplek antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.

4.1.3. Potensi Pasar Kakao Sebagian besar (rata-rata di atas 90 %) kakao Indonesia dipasarkan (diekspor) ke negara negara Asia Pasifik, Eropa, Afrika, dan Amerika.

Dari tahun ke tahun, ekspor kakao Indonesia senantiasa meningkat. Jika tahun 2006 ekspor mencapai US$ 855,0 juta, maka pada tahun 2010 naik menjadi US$ 1.643,6 juta. Penerimaan devisa seharusnya bisa menjadi lebih besar lagi apabila mutu kakao Indonesia terus diperbaiki.

Tabel 8. Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia 2006-2010 (juta dollar)


Komoditi Kakao 2006 855,0 2007 924,2 2008 1.268,9 2009 1.413,4 2010 1.643,6 Trend (%) 2006-2010 18,91

Sumber: Kementerian Perdagangan (2010)

Dengan demikian, selama rentang waktu 2006-2009 volume ekspor kakao Indonesia nilainya melaju rata-rata 18,91 % setahun. Perkembangan ekspor seperti pada Tabel 8. mengisyaratkan bahwa peluang pasar ekspor kakao Indonesia di masa-masa mendatang masih terbuka lebar. Dalam beberapa tahun terakhir produksi kakao

19

dunia melaju sekitar 1,5 % per tahun, sementara kosumsinya tumbuh lebih besar, yakni rata-rata 2,5 % setahun. Artinya, pasar kakao dunia mengalami defisit. Tabel 9. Perbandingan Produksi dan Konsumsi Dunia 2001-2010

Sumber: ICCO Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol. XXXVII, No. 4, 2010

Disamping itu harga biji kakao kering di pasaran internasional (New York) juga menunjukkan pertumbuhan sekitar 5,62 % setiap tahunnya. Perkembangan harga kakao di pasar dunia antara tahun 2009 2010 dapat dilihat pada Gambar 5

Gambar 5. Perkembangan Harga Kakao Dunia 2009-2010


Sumber: ICCO Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol. XXXVII, No. 4, 2010

20

4.1.4. Prospek Komoditi Kakao Pada 2011 produksi kakao dunia mencapai 4,05 juta ton atau tumbuh melambat menjadi 1,9% rata-rata per tahun (2007-2011), akibat makin tingginya ketidak-seimbangan iklim global yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya produktivitas kakao. Selain itu melambatnya pertumbuhan produksi juga disebabkan masalah regulasi dan politik yang terjadi pada negara-negara produsen utama. Sementara konsumsi dunia pada 2011 lebih tinggi dari produksi yang mencapai 4,1 juta ton. Pertumbuhan rata-rata sepanjang 20072012 diperkirakan mencapai 2,7% per tahun. ICCO memperkirakan dalam jangka panjang akan terjadi defisit kakao dunia sekitar 10-50 ribu ton setiap tahun akibat makin tingginya konsumsi seperti tertera pada grafik berikut.

Gambar 6. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia 2007-2011 (juta ton)

ICCO memperkirakan produksi kakao Indonesia di tahun 2015 akan mencapai 1.062.059 ton/tahun atau tumbuh rata-rata 2,3% per tahun. Sementara itu Pantai Gading sebagai pemasok/ produsen terbesar di dunia diperkirakan tumbuh melamban hanya mencapai 1,3% per tahun akibat adanya regulasi pemerintah untuk mengurangi subsidi komoditi ini. Sebaliknya Ghana diperkirakan akan mengalami pertumbuhan produksi yang cukup tinggi, mencapai 4% per tahun yang disebabkan adanya insentif harga dari pemerintah.

21

Tabel 10. Proyeksi Produksi dan Produktivitas Kakao Nasional


Kakao Produksi (ton) Produktivitas (Ton/Ha) 2015 1.062.059 1.032 2020 1.269.059 1.158 2025 1.500.138 1.300

Disisi konsumsi, ICCO memperkirakan pada tahun 2012 AS, Jerman, Inggris, Perancis, Rusia dan Jepang merupakan negara konsumsi utama kakao dunia. AS diperkirakan akan menguasai konsumsi kakao dunia dengan pertumbuhan konsumsi 16,2% per tahun. Pertumbuhan konsumsi tertinggi selama 2007-2011 dicapai Jepang dan Rusia dengan pertumbuhan 32,6% dan 28,6% pertahun ICCO juga memperkirakan pada 2012 dan seterusnya harga kakao akan lebih dari USD1.800/ton.

4.2.Analisis SWOT 4.2.1. Kekuatan Indonesia merupakan Negara penghasil kakao terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal tanaman kakao sekitar 992.448 Ha dan produksi 456.000 ton pada tahun 2006 Tanaman Kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di hampir seluruh wilayah Indonesia, sehingga potensi kakao untuk dikembangkan masih tinggi Tersedianya banyak tenaga kerja, baik untuk sektor perkebunan maupun sector industri pengolahan Penggunaan kakao untuk industri makanan dan non pangan sangat signifikan

22

4.2.2. Kelemahan 50% tanaman kakao terkena PBK dan 5% terkena VSD 80% biji kakao (365.200 ton) diekspor dalam bentuk biji kering Produktivitas biji kakao masih rendah (rata-rata 600 kg/Ha) dibanding negara lain yang mencapai 2000 kg/Ha Tarif bea masuk biji kakao 5% Utilisasi kapasistas industri kakao dalam negeri 40% Penggunaan benih asalan, belum banyak digunakan benih klonal Umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun jauh di atas usia paling produktif 13-19 tahun. Pengelolaan produk kakao masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga mutu kakao Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan 4). Akibat mutu rendah, harga biji dan produk kakao Indonesia sangat rendah di pasar internasional (terkena diskon USD200/ton atau 10%-15% dari harga pasar). Kurangnya informasi pasar, sehingga harga mudah dipermainkan. Di samping itu juga karena kurang luasnya pemasaran kakao Indonesia, yang sebagian besar hanya diekspor ke Malaysia dan Singapura. Terbatasnya pengembangan diversifikasi produk olahan kakao dan belum berkembangnya industri hilir pengolahan cokelat

4.2.3. Peluang Ekspor biji kakao bermutu tinggi dan difermentasi ke USA mendapat premium sebesar US% 300 dari harga terminal New York Permintaan terhadap produk-produk berbasis kakao, baik di pasar domestik maupun dunia masih cukup prospektif dan terus meningkat Tingginya kebutuhan biji kakao fermentasi di Uni Eropa

23

Industri kakao dalam negeri saat ini masih mengimpor biji kakao fermentasi sebesar 30.000 ton/tahun

4.2.4. Tantangan Ekspor biji kakao berkualitas rendah dan tidak fermentasi ke USA terkena potongan harga sebesar US$ 150 300 per ton, juga terkena biaya automatic detention sebesar US $ 4/ton (biaya fumigasi) dari harga terminal New York Adanya perbedaan tarif bea masuk kakao olahan di Negara-negara tujuan ekspor antara lain ; ke UE (Afrika hanya dikenakan 0%, sedangkan Indonesia 7,7% sampai dengan 9,6% Malaysia dengan produksi biji kako 30.000 ton mempunyai kapasitas produksi industri pengolahan kakao sebesar 359.000 ton

4.3.Kebijakan Pendukung Peningkatan Daya Saing Kakao 4.3.1. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu kakao secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao ini diimplementasikan lewat programprogram sebagai berikut: Program penciptaan klon kakao tahan PBK baik melalui upaya eksplorasi tanaman kakao yang diduga tahan PBK maupun melalui rekayasa genetik. Program pengendalian hama PBK. Program peremajaan tanaman kakao karena sebagian besar sudah berumur >25 tahun melalui klonalisasi tanaman kakao dan dengan menggunakan bibit/benih unggul.

24

Tabel 11. Peremajaan Perkebunan Kakao (1000 Ha)


2007 Ekspansi Penanaman Kembali Rehabilitasi Total 23 10 7 40 2008 29 15 10 54 2009 29 16 10 55 2010 29 13 9 51 Sub-Total 110 54 36 200

Sumber: Dirjen Perkebunan, 2010

Program peningkatan kemampuan dan pemberdayaan petani dan kelembagaan usaha. Program penerapan secara ketat persyaratan mutu biji kakao untuk ekspor Program perbaikan mutu biji kakao melalui upaya perbaikan pengelolaan kebun maupun fermentasi. Untuk mendapatkan kakao yang berkualitas, petani kakao harus diberikan edukasi dalam berbagai tahapan.

a. Pemetikan buah Buah yang sudah masak dipetik dengan menggunakan pisau atau gunting tanaman. Jumlah biji dalam buah antara 20-60 biji. Di Sulawesi Selatan, untuk mendapatkan 1 kg biji kakao kering (kadar air 8 7 %) diperlukan sekitar 25-35 buah kakao. Produksi tanaman ditentukan oleh tingkat kesuaian lahan (lihat tabel 12.) Tingkat kematangan buah dapat dilihat dari perubahan warna buah, yaitu jika alur buah sudah berwarna kuning, maka tingkat kematangannya adalah C, sedangkan jika alur dan punggung buah berubah kuning, tingkatannya B. Jika seluruh permukaan buah sudah berwarna kuning atau kuning tua, maka tingkat kematangannya adalah A dan A+. Pada umumnya petani sudah memanen buah kakao jika tingkat kematangannya sekurang-kurangnya B. Pemetikan buah pada umumnya dilakukan pagi hari. Buah-buah tersebut kemudian

25

dikumpulkan di suatu tempat sambil menunggu untuk dipecahkan. Kegiatan tersebut dikenal dengan pemeraman buah.

b. Pemecahan Buah yang sudah terkumpul kemudian dipecahkan dengan alat pemukul yang terbuat dari kayu. Buah tersebut dipukul pada bagian punggung dengan arah miring. Bila kulit telah terbagi dua, kulit bagian ujung dibuang dan tangan kanan menarik biji dari placenta. Biji kemudian ditempatkan di atas lembaran plastik atau di dalam keranjang bambu. Pada prinsipnya biji basah ini sudah dapat dijual langsung ke pasar. Namun demikian harga biji basah atau fermentasi tidak sempurna, rendah harganya.

c. Fermentasi Fermentasi biji kakao dimaksudkan untuk mematikan lembaga biji kakao agar tidak dapat tumbuh dan untuk menimbulkan aroma yang khas coklat. Fermentasi dilakukan di dalam suatu wadah/kotak kayu dengan tebal tumpukkan biji tidak boleh lebih dari 42 cm. Fermentasi yang sempurna dilakukan dalam waktu 5 hari, dimana pada hari kedua harus dilakukan pengadukan/pembalikan. Sesudah itu biji dibiarkan dalam tempat fermentasi sampai hari kelima. Selama proses fermentasi, sebagian air yang terkandung dalam biji akan hilang dan aroma seperti asam cuka akan keluar dari tempat fermentasi. Biji yang sudah difermentasikan kemudian diangin-anginkan sebentar atau direndam dan dicuci sebelum dikeringkan.

d. Perendaman dan Pencucian Perendaman mempunyai pengaruh terhadap proses pengeringan dan rendemen. Selama proses perendaman berlangsung, sebagian kulit biji kakao terlarut sehingga kulit bijinya lebih tipis dan rendemennya berkurang. Dengan demikian proses pengeringan menjadi lebih cepat.

26

Sesudah perendaman, dilakukan pencucian. Tujuan pencucian untuk mengurangi sisa-sisa pulp yang masih menempel pada biji dan mengurangi rasa asam pada biji. Bila kulit biji masih ada sisa-sisa pulp, biji mudah menyerap air dari udara sehingga mudah terserang jamur dan juga memperlambat proses pengeringan.

e. Pengeringan Tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air biji dari 60 % sampai pada kondisi dimana kandungan air dalam biji tidak dapat menurunkan kualitas biji dan biji tidak dapat ditumbuhi cendawan. Pengeringan yang terbaik adalah dengan sinar matahari. Untuk mengeringkan biji sampai pada kadar airnya mencapai 7 8 % diperlukan waktu 2 3 hari, tergantung dari kondisi cuaca. Jika cuaca tidak memungkinkan, pengeringan dapat dilakukan dengan alat pengering buatan.

f. Kualitas biji kakao Kualitas biji kakao ditentukan berdasarkan standar uji yang berlaku, yaitu menurut SP-45-1976 yang direvisi bulan Februari 1990 atas usulan dari Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Dalam penentuan kualitas tersebut, yang dimaksud dengan biji kakao adalah biji tanaman kakao (Theobroma cacao L.) yang telah difermentasikan, dibersihkan dan dikeringkan. Parameter kualitas biji kakao dan cara ujinya dapat dilihat pada Tabel 12. sedangkan standar mutu biji kakao dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 12. Parameter Umum Kualitas Biji Kakao

27

Tabel 13. Standar Nasional Indonesia (SNI) biji kakao (SNI 01-232-2000)) Khusus

4.3.2. Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah dan Pendapatan Petani Kakao Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kakao Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (biji), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao ini diimplementasikan lewat program program sebagai berikut: Program pengembangan industri hilir kakao khususnya pengolahan bubuk tepung kakao dan kakao butter untuk meningkatkan nilai tambah. Program pengembangan kemitraan antara petani kakao dengan industri pengolahan di dalam negeri dan perusahaan luar negeri yang menguasai pasar kakao. Program pengembangan model mediasi (perantara) untuk

mempertemukan keinginan/ kebutuhan buyer dengan produk yang dihasilkan petani (kegiatan off-farm).

28

Program diversifikasi produk kakao, seperti kakao bubuk, lemak, pasta, dan lain lain Biji kakao merupakan bahan baku produk pangan dan non pangan (obat-obatan dan kosmetik). Biji kakao yang akan dijadikan bahan baku pangan berbeda dalam hal penanganan pasca panennya dengan bahan baku non pangan. Untuk bahan baku pangan, diperlukan proses fermentasi agar dapat diperoleh cita rasa yang baik, sedangkan Biji kakao yang digunakan sebagai bahan baku non pangan tidak memerlukan proses fermentasi. Pangsa pasar biji kakao di dalam negeri masih relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh belum berkembangnya industri pengolahan biji kakao di Indonesia, meskipun sejak tahun 1996 telah disetujui usaha penanaman modal, baik dengan fasilitas PMA ataupun PMDN untuk mendirikan industri pengolahan biji kakao.
Kapasitas Produksi kakao dalam negeri, hingga saat ini belum mencapai produktivitas maksimum. Kapasitas yang Terpasang digunakan yaitu yaitu

200.000 ton/tahun.

Sedangkan Kapasitas

180.000 ton/tahun. Dengan tingkat pertumbuhan produksi 7,98%, ekspor 8,08% dan konsumsi 6,91%., saat ini Indonesia membutuhkan tambahan kapasitas sekitar 17.000 - 20.000 ton / tahun. Industri pengolahan kakao di dalam negeri saat ini hanya 20 perusahaan yang dapat dilihat pada tabel 14.

29

Tabel 14. Perusahaan Penanam Modal di Industri Kakao

Agar coklat Indonesia memiliki nilai tambah, dapat dilakukan berbagai strategi pengembangan dan pemasaran produk. Salah satunya adalah memadukan coklat dengan keunggulan local Indonesia, seperti yang telah berhasil dilakukan oleh Coklat Monggo dan Chocodot. Cokelat Monggo memadukan cokelat dengan rempah-rempah dan buah eksotis khas Indonesia. Sedangkan Chocodot hadir dengan inovasi cokelat isi dodol Garut. Bisnis produk cokelat masih terbuka lebar dengan berbagai kreatifitas berbasis keunggulan lokal yang dapat diangkat sebagai nilai tambah produk.

30

Gambar 7. Cokelat Monggo


Sumber: http://chocolatemonggo.com/pic_4

Gambar 8. Chocodot
Sumber: http://chocodot.blogspot.com/picture23

4.3.3. Kebijakan Penyediaan Sumber Pembiayaan Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyediakan berbagai

kemungkinan sumber pembiayaan baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non-bank (antara lain memanfaatkan penyertaan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang). Salah satu kebijakan yang dapat diterapkan yaitu pemberian kredit kepada petani kakao. Petani kakao akan mendapatkan kredit melalui bank untuk melakukan rehabilitasi dan peremajaan, dengan total nilai sebesar 5.9 triliun rupiah. Dalam skema ini, semua biaya sarana produksi untuk pemeliharaan (pupuk, pestisida dan alat pertanian) akan memanfaatkan fasilitas kredit melalui perbankan. Akan tetapi, ada kekuatiran bahwa petani tetap akan menghadapi masalah klasik untuk meminjam uang dari bank, yaitu tanpa agunan petani tidak akan dapat

31

pinjaman, padahal agunan berupa sertifikat tanah jarang dimiliki petani kakao. Berdasarkan pengalaman program sebelumnya, petani akan tetap menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kredit. Masalah perkreditan petani di Indonesia sangat kompleks dan sulit untuk dipecahkan dengan cepat. Akan tetapi, tanpa ada usaha yang serius untuk mereformasi sistem perbankan dan pertanahan, kebanyakan petani akan sulit diikutsertakan dalam program GERNAS. Dengan sistem perbankan yang ada, sangat tidak realistik bahwa 5,9 trilyun rupiah dapat dicairkan kepada petani kakao seperti dicanangkan oleh program GERNAS. Sistem perkreditan petani memerlukan inovasi untuk mampu berhasil. Dalam suatu pilot program yang dikoordinir oleh IFC, sebanyak tujuh kelompok tani (129 petani) di kabupaten Luwu berhasil mendapat akses kredit perbankan dengan bunga komersil untuk jangka waktu enam bulan. Salah satu kunci keberhasilan ini adalah fungsi pendampingan, mulai dari persiapan peserta, penyusunan RDKK, pengumpulan berkas administrasi, sampai pada tahap pencairan kredit, pembelian sarana pupuk dengan benar dan pembiayaan tenaga kerja. Kehadiran pendamping lapangan di tengah-tengah petani memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada pihak bank bahwa kelompok tani dapat memanfaatkan kredit dengan tepat, serta mampu menjaga dan menyelesaikan pinjamannya sesuai waktu yang telah ditentukan

4.3.4. Kebijakan Penataan Kelembagaan Kebijakan penataan kelembagaan ini diimplementasikan lewat serangkaian program sebagai berikut: Program fasilitasi lembaga keuangan pedesaan, sehingga dapat terjangkau oleh petani pekebun.

32

Program pengembangan dan pemantapan networking and sharing, khususnya CCDC ( Cooperative Commodity Development Center ). Dalam rangka mendorong perkembangan industri Kakao nasional diperlukan kerjasama yang baik antara pihak-pihak terkait, seperti :

Gambar 9. Kelembagaan Industri Kakao

Gambar 10. Kerangka Keterkaitan Industri

33

4.3.5. Kebijakan Pemasaran Hasil Kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil diimplementasikan lewat serangkaian program sebagai berikut: Program penerapan SNI wajib segera dilaksanakan setelah fasilitas pendukungnya terpenuhi dan diterapkan secara disiplin baik untuk kakao yang dipasarkan didalam negeri maupun untuk ekspor. Program peningkatan dan pemantapan kelembagaan pemasaran mulai tingkat petani sampai pemasaran ekspor. Program pengembangan pemasaran dalam negeri, melalui kegiatan pengembangan sistem informasi pemasaran, pengembangan sistem jaringan dan mekanisme serta usaha-usaha pemasaran. Program pengembangan pemasaran internasional, melalui kegiatan pengembangan analisis peluang dan hambatan ekspor serta pengendalian impor produk perkebunan, pengembangan kerjasama internasional di bidang pemasaran hasil perkebunan, peningkatan promosi dan proteksi.

Masalah pasar merupakan masalah penting dalam merangsang petani untuk meningkatkan produksinya. Menurut Mosher, pasar merupakan salah satu syarat penting dalam pembangunan pertanian, karena pasar akan menentukan besarnya permintaan suatu komoditi (Mosher, 1981). Pemasaran yang efektif sangat dibutuhkan dalam memasarkan biji kakao. Salah satu faktor yang menentukan adalah tingkat harga dan stabilitas harga. Dilihat dari segi struktur pasar yang ada dalam pemasaran komoditas kakao di tingkat petani terhadap tujuan pemasarannya, maka struktur pasar disini bentuknya adalah pasar persaingan sempurna. Petani sebagai penjual akan menghadapi banyak pembeli (terutama pedagang pengumpul). Meskipun adakalanya pedagang pengumpul mengikat petani dengan pinjaman modal usaha tani, namun dalam prakteknya petani juga dapat menjual

34

sebagian hasil panennya kepada pedagang lainnya. Untuk lebih jelasnya, saluran pemasaran komoditas kakao dapat dilihat dalam gambar 11 berikut ini.

Gambar 11. Tata Niaga Kakao

Pada umumnya petani tidak melakukan fermentasi dalam menjual biji kakao. Alasan utama adalah tidak adanya perbedaan harga antara kakao yang difermentasi dengan yang tidak difermentasi (asalan). Sementara untuk melakukan fermentasi petani harus menyimpan dalam peti selama 4-6 hari dan setiap hari harus diperhatikan kandungan airnya. Menurut petani pekerjaan ini cukup melelahkan.

35

Pada tahun 2001 harga biji kakao yang difermentasi lebih tinggi Rp. 300,- sampai dengan Rp. 500,- per kilogramnya dibandingkan biji kakao yang tidak difermentasi. Total margin saluran pemasaran berkisar antara Rp. 750,-/kg sampai dengan Rp. 2.400,-/kg.12 Margin pemasaran terbesar diperoleh pedagang besar yang berkisar antara Rp. 560,-/kg sampai dengan Rp. 980,-/kg. Share harga tertinggi diterima petani pada saluran pemasaran nomor 6 dengan share tertinggi sebesar 95% dari total margin. Hal yang sangat menentukan tingkat harga di pasar internasional adalah mutu biji kakao. Oleh sebab itu, yang perlu diperhatikan oleh produsen kakao terutama Indonesia adalah kualitas dari biji kakao yang diekspor.

36

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan Komoditi Kakao di Indonesia mempunyai potensi yang sangat tinggi dan mampu bersaing dengan produk kakao dari negara lain. Industri kakao Indonesia memiliki beberapa kekuatan, yaitu Indonesia merupakan Negara penghasil kakao terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal tanaman kakao sekitar 992.448 Ha dan produksi 456.000 ton pada tahun 2006. Selain itu tanaman Kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di hampir seluruh wilayah Indonesia, sehingga potensi kakao untuk dikembangkan masih tinggi. Namun begitu, masih terdapat kelemahannya yang terdiri dari pengelolaan produk kakao masih tradisional sehingga mutunya rendah, produktivitas kakao masih rendah, tanaman kakao terjangkit hama dan penyakit, kurangnya diversifikasi pengembangan produk dan kurang berkembangnya industri hilir cokelat. Dalam hal kesempatan, industri kakao Indonesia masih dan akan tetap memiliki potensi pasar yang tinggi, Permintaan terhadap produk-produk berbasis kakao, baik di pasar domestik maupun dunia masih cukup prospektif dan terus meningkat terlihat dari tingginya kebutuhan biji kakao fermentasi di beberapa Negara khusunya daerah Uni Eropa. Hal yang menjadi perhatian bagi industri kakao Indonesia adalah terdapatnya beberapa ancaman, diantaranya adalah keberadaan dan majunya industri kakao di negara lain, dan pengembangan produk kakao telah dilakukan di negara pesaing. Melihat kondisi-kondisi tersebut terdapat beberapa kebijakan yang dapat dilakukan; yaitu Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao, Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah dan Pendapatan Petani Kakao, Kebijakan Penyediaan Pembiayaan, Kebijakan Penataan kelembagaan dan Kebijakan Pemasaran Hasil.

37

4.2. Saran Mengingat semakin tingginya persaingan industri kakao, untuk

mengembangkan industri kakao Indonesia maka perlu adanya suatu kerjasama antar berbagai elemen, dari petani, asosiasi kakao, pelaku bisnis kakao dan pemerintah. Untuk peningkatan daya saing komoditi kakao, mutu biji kakao merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Indonesia juga perlu meningkatkan industri pengolahan kakao menjadi cokelat konsumsi dan berbagai produk non pangan yang memiliki nilai tambah, sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk olahan kakao. Maka dari itu pemerintah perlu segera menyusun kebijakan industri kakao yang komprehensif, melalui kebijakan yang mengakomodasi seluruh aspek industri kakao dari mulai pertanian, pabrik pengolahan dan perdagangannya. Selain itu, perlu diperhatikan juga daya dukung lainnya seperti aspek keuangan yang sangat mungkin menjadi salah satu kendala terbesar bagi industri kakao untuk berkembang dengan baik. Kebijakan tersebut akan mendorong pertanian kakao Indonesia menjadi lebih kompetitif yang diharapkan sebagian besar akan menjadi input/bahan baku pabrik pengolahan kakao dalam negeri, yang pada akhirnya akan mendorong Indonesia menjadi sentra industri kakao dengan nilai tambah paling tinggi dalam jejaring industri kakao internasional.

xi

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2004. Kakao (theobroma cacao L), Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian RI.

Anonimous. 2007. Prospek dan Arah Pembangunan Agrisbisnis Kakao, Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development). Departemen Pertanian RI

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Dalam internet online:

http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4kakao. Diakses pada 24 Januari 2012

Bank

Indonesia.

2004.

Aspek

Pemasaran

Kakao.

http://www.bi.go.id/sipuk/im/ind/kakao/pemasaran. Diakses pada 24 Januari 2012

Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2006. Statistik Perkebunan 2006. Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian, Jakarta

Direktorat Jenderal Industri Agro Dan Kimia Departemen Perindustrian.2009. Roadmap Pengembangan Industri Kakao. Ditjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Jakarta

KADIN Indonesia (2007) Pengolahan kakao. http://www.kadin-indonesia.or.id/ enm/ /dokumen/KADIN-104-1605-13032007.pdf. Diakses pada 25 Januari 2012

Siregar T. 1989. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya, Jakarta

xii

Sri Mulato dkk.2005.Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember

Suryani, Dinie. 2007. Komoditas Kakao : Potret dan Peluang Pembiayaan. Economic Review No. 210 Desember 2007.

Susanto, F.X. 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahannya. Yogyakarta : Kanisius

The International Cocoa Organization (ICCO). 2007. International Cocoa Organization Annual Report 2005/2006. ICCO, London.

Tjitrosoepomo, Gembong. 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada

Tumpal H.S. Siregar dkk. 2006. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat, Jakarta: Penebar Swadaya

Anda mungkin juga menyukai