A.
Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang merupakan proses modernisasi membawa dampak
positif maupun negatif. Banyak peristiwa yang menarik perhatian masyarakat akhir-akhir ini yaitu salah satunya dengan semakin banyaknya perbuatan-perbuatan pidana (openbare orde), delinkuensi/kenakalan anak-anak atau meningkatnya deviasi serta anak-anak terlantar. Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang oleh pelaku-pelaku muda usia, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakalan remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal, mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penanganan, khususnya di bidang Hukum Pidana (Anak), serta Hukum Acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakukan khusus terhadap pelaku tindak pidana yang masih muda usianya. Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan lebih lanjut, yang tidak selalu dapat diatasi secara peseorangan, tetapi harus secara bersama-sama, dan yang penyelesaiannya menjadi tanggungjawab bersama antar kita. Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Dan apabila ingin mengetahui ada, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus
memperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Oleh sebab itu, masalah perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum perlu diselesaikan melalui suatu badan, yaitu lembaga peradilan khusus, agar ada jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat, tanpa mengabaikan terlaksananya Hukum dan Keadilan. Secara harfiah Peradilan Anak, terdiri dua kata yaitu Peradilan dan Anak. Sedangkan, secara sosiologis Peradilan merupakan lembaga kemasyarakatan atau suatu institusi sosial yang berproses untuk mencapai keadilan. Alasan bahwa peradilan sebagai lembaga sosial berdasar pada pengertian dari lembaga sosial adalah Suatu lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan dari pada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat.1 Kaidah-kaidah atau norma-norma ini meliputi peraturan yang secara hirarkis tersusun dan berpuncak pada pengadilan untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan masyarakat yaitu hidup tertib dan tentram. Untuk memberikan suatu keadilan, Peradilan melakukan kegiatan dan tindakan secara sistematis dan ajeg, berpatokan pada ketentuan Undang-undang yang berlaku sebagai suatu sistem. Arti sistem menurut Soerjono Soekanto2 adalah Suatu sistem merupakan suatu keseluruhan terangkai, yang mencakup unsur-unsur bagian-bagian, konsistensinya, kelengkapan dan konsepsi atau pengertian-pengertian dasarnya. Pengertian tentang keadilan yang tepat, yang mendukung kegiatan perlindungan anak, bahwa Keadilan adalah suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat.3
Yang dimaksud dengan rasional, bertanggungjawab dan bermafaat adalah: - Rasional, berarti masuk akal, wajar. Tetapi kerasionalannya tersebut dapat bersifat positif atau negatif. - Bertanggungjawab, berarti: dapat dipertanggungjawabkan secara horizontal (terhadap sesam manusia) dan vertikal (terhadap tuhan), dapat
dipertanggungjawabkan terhadap orang lain dan diri sendiri; - Bermanfaat, berarti: bermanfaat untuk orang lain, masyarakat, bangsa, dan diri sendiri. Perundang-undangan di Indonesia menempatkan konsepsi keadilan ini dalam pasal 3 ayat (2), pasal 4 (1) dan pasal 5 (1) Undang-Undang No. disampaikan bahwa keadilan harus : 1. Berdasarkan Pancasila 2. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 3. Menurut hukum dengan tidak Membeda-bedakan orang Ketentuan ini menekankan bahwa pengadilan sebagai Badan/ Lembaga Peradilan dalam mengadili memandang bahwa harkat dan martabat seseorang tersebut adalah sama antara satu dengan yang lainnya. Inti dari semua ini adalah bahwa dalam sidang Pengadilan itu ada dua alam pikiran yang bertentangan satu dengan yang lainnya yaitu alam pikiran terdakwa dan alam pikiran hakim. Pengadilan merupakan suatu badan untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. Di Indonesia terdapat berbagai macam pengadilan yang mengadili dan meyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh 4 tahun 2004, yakni dapat
mereka yang mencari keadilan dan ketetapan hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan perumusan dalam pelbagai Undang-undang terdahulu tentang anak tidak memberikan pengertian akan konsepsi anak, melainkan perumusan tersebut merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu. Akan tetapi, definisi anak menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan: Anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mancapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang dimaksud dengan anak nakal tersebut diatas diatur dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan: Anak nakal adalah (a) anak yang melakukan tindak pidana, atau (b) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan amupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.4 Pengadilan umum yang ada di Indonesia adalah Pengadilan Negeri (sebagai Pengadilan Tingkat I) yang telah menjalankan fungsinya untuk menegakkan dan melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan perkara pidana yang salah satunya dalam hal delik pencabulan. Dalam hal kasus anak dibawah umur yang berkonflik dengan hukum mayoritas dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri, disebabkan keterbatasan Pengadilan Anak di Indonesia masih kurang dan Pengadilan Negeri pun mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutus suatu perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Hukum formil untuk pengadilan anak adalah UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan tentang wewenang pengadilan
dalam hal perkara anak nakal, yaitu: Pasal 2 : Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan peradilan umum. Pasal 3 : Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut siding anak bertugas dan berweang memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara anak
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 21 : Sidang anak berweang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara anak nakal.5 Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam siding, pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (pasal 1 ayat 11 KUHAP) Dalam hal ini, salah satu perkara yang telah diproses dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Bale Bandung adalah perkara Nomor 1074/Pid.B.PA/2009/PN.BB, tentang delik pencabulan yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang bernama Fachmi Pasa Bin Dadan Adenan sebagai terdakwa. Perkara tersebut dipurtus pada hari Rabu, tanggal 30 September 2009, oleh majelis hakim yang dihadiri terdakwa dan para saksi dalam siding terbuka untuk umum. Mengenai amar putusan dari perkara Nomor 1074/Pid.B.PA/2009/PN.BB adalah: 1) 1). Menyatakan terdakwa : Fachmi Pasa Bin Dadan Adenan secara sah dan menyakinkan terbukti melakukan tindak pidana : Mempergunakan perbawa yang ada padanya menggerakkan anak yang diketahui atau patut disangkanya belum dewasa melakukan perbutan cabul dengan dirinya.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. 3) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4) Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan. 5) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000.- (seribu rupiah). Putusan pengadilan merupakan penerapan hukum yang bersumber pada hukum tertulis, hal ini dijelaskan dala pasal 25 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi : Segala keputusan pengadilan selain harus memuat alas an-alasan putusan itu, juga harus memuat pada pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dalam perkara anak yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Bale Bandung tersebut, maka hakim menggunakan Lex Spesialis dari mulai pemeriksaan persidangan sampai jatuhnya putusan yakni UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kemudian hakim diberi kebebasan untuk menemukan dan menggali hukum yang tidak ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang selanjutnya dijadikan dasar sebagai pertimbangan hukumnya. Ketntuan tersebut diatur dalam pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi : Hakim sebagai penegagk hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Adapun yang menjadi perhatian dari penulis yaitu mengenai proses jalannya persidangan yang berkenaan dengan UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, penulis menemukan adanya kejanggalan dalam putusan yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Bale Bandung, salah satunya dalam hal penggunaan pasal oleh Hakim untuk
menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa. Dengan demikian, penulis mencoba untuk merumuskan hal tersebut dalam suatu judul skripsi: ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG NOMOR : 1074/Pid.B.PA/2009/PN.BB TENTANG PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR.
B. Perumusan Masalah Maka dari latar belakang masalah tersebut pokok masalah penelitian ini, penulis merumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi dasar hukum hakim dalam penjatuhan pidana anak dalam delik pencabulan? 2. Bagaimana Pelaksanaan Peradilan Anak dalam delik pencabulan di Pengadilan Negeri Bale Bandung? 3. Bagaimana tinjuan Undang-undang No 03 Tahun 1997 terhadap Pelaksanaan Pengadilan Anak dalam delik pencabulan di Pengadilan Negeri Bale Bandung?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui yang menjadi dasar hukum hakim dalam penjatuhan pidana anak dalam delik pencabulan? 2. Untuk mengetahui pelaksanaan peradilan anak dalam delik pencabulan di Pengadilan Negeri Bale Bandung? 3. Untuk mengetahui tinjauan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 terhadap
D. Kerangka Pemikiran Tindak pidana dengan pemberian atau janji akan memberikan uang atau benda atau dengan menyalahgunakan hubungan yang ada dengan sengaja menggerakkan seorang anak dibawah umur untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan atau membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan seperti itu oleh anak dibawah umur tersebut dengan dirinya sendiri, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 293 ayat (1) KUHP, yang berbunyi: Barangsiapa dengan pemberian-pemberian atau janji-janji akan memberikan uang atau benda, dengan menyalahgunakan kelebihan yang timbul dari hubungan-hubungan yang ada atau dengan cara yang menyesatkan, dengan sengaja menggerakkan seorang yang belum dewasa yang tidak cacat kelakuannya, yang kebelum-dewasaannya ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga, untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya atau membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan seperti itu dengan dirinya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 293 ayat (1) KUHP itu terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur subjektif : yang diketahui atau spantasnya harus diduga b. Unsur-unsur objektif : 1. barangsiapa 2. dengan pemberian-pemberian atau janji-janji akan memberikan uang atau benda 3. dengan menyalahgunakan kelebihan yang timbul dari hubungan-hubungan yang
ada 4. dengan cara menyesatkan 5. menggerakkan 6. seorang yang belum dewasa yang tidak cacat kelakuannya untuk: melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya atau membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya.6 Agar pelaku tindak pidana tersebut dapat dinyatakan terbukti dengan sengaja telah melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan seperti yang dimaksudkan didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 293 ayat (1) KUHP, maka disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili hperkara pelaku, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan bahwa pelaku memang telah menghendaki atau bermaksud untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, yang apabila ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum bagi pelaku. Dalam UU RI No. 4 tahun 2004 Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, diatur mengenai badan-badan peradilan dan asas-asasnya, serta hak dan kewajibannya, yaitu dalam: Pasal 15 ayat (1) ; Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. Pasal 25 ayat (1) : Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasardasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang di jadikan dasar hukum mengadili.
:Hakim
sebagai
penegak
hukum
dan
keadilan
wajib
menggali,mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ayat (2) : Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh. Selain proses persidangan, baik mulai dari proses penerimaan, pemanggilan pihakpihak, persidangan dan pemeriksaan sampai jatuhnya putusan, hakim di Pengadilan Negeri khusus dalam kasus pidana selain berpedoman pada UU RI No. 4 tahun 2004, hakim juga harus berpedoman pada KUHP dan UU No. 3 tahun 1997 tentng Pengadilan Anak, agar terciptanya tujuan hukum. UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini diatur tentang proses persidangan sampai jatuhnya putusan, yakni: 1) Pasal 5,6,8 Mengenai Ketentuan Umum 2) Pasal 11 mengenai Wewenang sidang anak 3) Pasal 22,23,24,26 ayat (1) mengenai pidana dan tindakan 4) Pasal 40 mengenai acara pengadilan anak 5) Pasal 55 s/d 59 mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan Tujuan suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim, yang berkekuatan hukum tetap artinya suatu putusan yang tidak dapat diubah lagi dan tujuan putusan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak yang berperkara. Hal ini merupakan tugas hakim sebagai pejabat Negara yang telah diberi wewenang untuk menangani hal itu.
Menurut Roihan A. Rosyid putusan bisa disebut vonis (Belanda) yaitu produk Pengadilan Negeri karena adanya salah satu pihak yang di rugikan (sebagai korban). Produk ini biasa diistilahkan dengan produk peradilan yang sesungguhnya atau Yurisdictio Contentiosa. Dalam hal-hal tertentu sebelum menjatuhkan putusanya, terkadang hakim terlebih dahulu harus mengambil putusan mengenai suatu maslah yang menyangkut jalannya pemeriksaan terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksa. Putusan pengadilan tidak semuannya dapat diterima, ada juga putusan yang dibatalkan, untuk dapat diterimanya suatu putusan, manakala putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht) sehingga putusan itu mempunyai tiga kekuatan hukum yaitu (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan bukti (bewijzende kracht) dan (3) keuatan eksekusi (executoriale kracht). Sedangkan syarat mutlak bagi seorang hakim adalah mengusai dengan sungguhsungguh arti dan isi undang-undang, maka sebagai konsekwnsinya hakim harus menafsirkan pengertian daripada dasar-dasar hukum tersebut. Ada beberapa macam bentuk penafsiran (interpretasi hukum) dalam hukum pidana, yaitu: 1) Grammatiche interpretatie, yaitu penafsiran yang menyandangkan kata-kata yang dipakai sehari-hari. 2) Logische interpretatie, yaitu penafsiran yang menyandarkan pada akal/pikiran yang objektif, yang biasanya dengan cara mencari perbandingan diantara beberapa undang-undang. 3) Systematische interpretatie, yaitu penafsiran yang mendasarkan sistem dalam
undang-undang itu, dengan menghubungkan bagian yang lain dari undangundang itu. 4) Historische interpretatie, yaitu penafsiran yang didasarkan atas sejarah pembentukannya yang dibedakan atas: a. Rechistorische interpretatie, yaitu penafsiran yang berdasarkan sejarah pertumbuhan hukum yang diatur didalam undang-undang. b. Wetshistorische interpretatie, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah
pembentukan undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang. 5) Theologische interpretatie, yaitu penafsiran yang berdasarkan atas tujuan yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang ketika membuat undang-undang itu. 6) Extensive interpretatie, yaitu penafsiran yang berdasarkan pada cara memperluas peraturan yang termaktub dalam suatu undang-undang. 7) Analogische interpretatie, yaitu penafsiran yang berdasarkan atas jalan pikiran analogi, yaitu peraturan yang ada itu diperlakukan terhadap perbuatan yang tidak teratur dengan tegas dalam undang-undang. 8) Restrictieve interpretatie, yaitu penafsiran mempersempit pengertian dari suatu istilah.7
Yang dimaksud dengan penafsiran logis ialah menyandarkan pada akal/pikiran yang objektif, yang biasanya dengan cara mencari perbandingan diantara beberapa undangundang. Dalam putusan Nomor 1074/Pid.B.PA/2009/PN.BB ini, Hakim juga mencari
perbandingan diantara Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena perkara ini berkaitan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa.
E. Langkah-langkah Penelitian Langkah-langkah penelitian yang ditempuh oleh penulis adalah sebagai berikut: 1) Penentuan Metode Penelitian Didalam penelittian ini penulis menggunakan metode Penelitian Hukum sosiologi atau empiris yaitu suatu metode penelitian yang pada awalnya adalah data sekunder atau bahan pustaka, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer dilapangan yakni Pengadilan Negeri Bale Bandung yang dijadikan objek penelitian penulis dan Undang-undang atau hukum yang mengikat. Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Negeri Bale Bandung yang beralamat di Jl. Jaksa Narata Bale Endah Bandung Tlp (022) 5940654. Alasan mengambil lokasi penelitian adalah bahwa data yang didapat itu dari hasil Magang Penulis di Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), dari lokasi tersebut penulis menemukan permasalahan penelitian dan diangkat dalam bentuk skripsi.
2). Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data kualitatif, yang berkenaan dengan masalah penelitian yaitu data yang biasanya diperoleh dengan menggunakan teknik Studi Kepustakaan atau Dokumen. Pengamatan atau observasi dan
Wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Bale Bandung yang menangani kasus delik pencabulan. 3). Menentukan Sumber Data Data yangakan dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber pada: a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. b) Bahan hukum sekunder adalah suatu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu buku-buku, hasil penelitian yang terwujud laporan, berkas putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Bale Bandung. 4). Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan beberap teknik-teknik dalam pengembangan penelitian sosiologis yang bersumber pada studi dokumentasi atau bahan pustaka pengamatan dan observasi dan wawancara (interview). Secara garis besar teknik yang digunakan dan penelitian ini adalah hasil dari data yang digunakan yaitu data studi dokumentasi atau bahan pustaka serta hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah dikumpulkan dan digabungkan dengan hasil pengamatan (observasi) dan wawancara (interview) dengan hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dan penasehat hukum dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Bandung dalam delik pencabulan. 5). Pengolahan Analisis Data Data yang telah terkumpul selanjutnya akan dianalisa terhadap data yang diperoleh
dengan melalui beberap tahapan yaitu sebagai berikut: 1. Menelaah data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara yang didapat dari Pengadilan Negeri Bale Bandung yang kemudian disusun dengan masalah yang diteliti dengan tujuan dapat dipahami maknanya serta ditemukan teori yang berdasar pada data tersebut. 2. Dari data yang disusun kemudian dikalsifikasikan untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyelesaikan permasalahan-permaslahan dan memberikan jawaban atas persoalan yang sedang diteliti. 3. Interpretasi data yaitu mengumpulkan seluruh data yang diperoleh dari hasil pengamatan atau observasi yakni penelitian lapangan secara langsaung berdasarkan perumusan masalah yang sedang diteliti. 4. Menarik kesimpulan dari proses pernyataan-pernyataan majelis hakim, sumber hukum formil (KUHAP, UU No. 4 tahun 2004, UU No. 3 tahun 1997) dan sumber hukum materil (KUHP). 5. Memeriksa keabsahan dan kebenaran data melalui studi kepustakaan.
: Istimewa : 1 (satu) Bundel Proposal : Proposal Pengajuan Judul Skripsi Kepada Yth : Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung c.q. Biro Skripsi
di Tempat Assalamualaikum Wr.Wb. Yang bertandatangan di bawah ini : Nama NIM Jurusan Fakultas : Deden Agung Setia : 206 300 243 : Ilmu Hukum : Syariah dan Hukum
Dengan ini mengajukan proposal skripsi dengan judul : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG NOMOR : 1074/Pid.B.PA/2009/PN.BB TENTANG DELIK PENCABULAN DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Demikian pengajuan judul skripsi ini saya buat, atas dikabulkannya pengajuan ini saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb. Mengetahui, Bandung, 2010 Dosen Pembimbing, Mengajukan, Yang /