Anda di halaman 1dari 21

IMUNISASI

Oleh: Eneng Susilawati

Pendahuluan Pembangunan nasional jangka panjang menitikberatkan pada kualitas hidup sumber daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada generasi muda yang memerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapat menghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi guna meneruskan pembangunan nasional dengan masyarakat yang sehat, sejahtera dan bahagia.

Definisi Imunisasi Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke daam tubuh manusia.1 Kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan untuk mengadakan pencegahan penyakit daam rangka menghadapi serangan kuman penyakit tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit, belum tentu kebal terhadap penyakit lain.1

Tujuan Imunisasi untuk Bayi Secara umum imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kematian da kesakitan serta mencegah akibat buruk lebih lanjut dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Secara khusus imunisasi memberikan kekebalan pada bayi da anak, memberikan kekebalan pada ibu hamil da wanita dewasa

Strategi Untuk mencapai tujuan program imunisasi untuk bayi, mka disusunlah strategi untuk mencapai UCI (Universal Child Imunization) yang secara operasional dijabarkan sebagai terciptanya cakupan imunisasi lengkap untuk bayi minimal 80% diseluruh wilayah. Imunisasi yang dijadikan patokan adalah imunisasi BCG, DPT, Campak. da Polio.

Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi Dasar Lengkap Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dasar lengkap meliputi tujuh penyakit, yaitu: 1. Poliomyelitis (kelumpuhan) 2. Campak 3. Difteri 4. Pertusis (batuk rejan, batuk seratus hari) 5. Tetanus 6. Tuberkulosis (TBC) 7. Hepatitis B Imunisasi terhadap penyakit tertentu dilakukan dengan memberikan bibit penyakit yang telah dilemahkan atau sebagian dari partikel virus (mantel dari virus hepatitis B), dapat pula dari hasil rekayasa genetika. Ada yang diberikan secara suntikan adapula yang diberikan dengan meneteskannya ke daam mulut.

Imunisasi Dasar Lengkap Program pemerintah daam bidang imunisasi adalah berusaha untuk mencapai suatu komitmen internasional Universal Child Imunization (UCI) pada akhir tahun 1990 yang secara operasional dijabarkan sebagai terciptanya cakupan imunisasi lengkap untuk bayi minimal 80% di seluruh wilayah (tingkat nasional. propinsi. kabupaten bahkan setiap desa). Imunisasi yang dijadikan patokan adalah imunisasi BCG, DPT I, Hepatitis B-l, Hepatitis B-3, da polio 4.1

Daam perkembangannya saat ini, pemerintah Indonesia melalui departemen Kesahatan mencanangkan kepada puskesmas-puskesmas untuk mencapai angka 98% daam cakupan imunisasi tersebut.1 Program imunisasi dasar lengkap (IDL) mencakup pemberian imunisasi BCG sebanyak l dosis, DPT sebanyak 3 dosis, Polio sebanyak 4 dosis, Hepatitis B sebanyak 3 dosis, da Campak sebanyak l dosis. Pemberian imunisasi dasar lengkap harus dapat dicapai sebelum balita berusia 12 bulan.1 Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI2 Jenis imunisasi BCG 1 2 3 1 2 3 1 2 3 4 Usia Waktu diberikan 0 - 2 bulan 0 - 2 bulan 1 - 4 bulan 6 - 1 5 bulan 2 - 4 bulan = 3 - 5 bulan = 4 - 6 bulan = 0 2 3 4 - 2 bulan - 4 bulan = - 5 bulan = - 6 bulan = 9 bulan

Hepatitis B

DPT Polio

Campak

BCG (Bacille Calmette-Guerin) Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Myobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi masih imunogenitas. Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada umur < 2 bulan. Namun, pada jadwal PPI, BCG diberkan pada umur 0 12 bulan dengan tujuan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang lebih luas. Dosis untuk bayi dan anak < 1 tahun adalah 0,05 mL dan pada anak 0,1 ml, cara pemberian intrakutan di daerah

insersio M.deltiodeus kanan. Apabila BCG diberikan pada umur > 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG ulangan tidak dianjurkan karena manfaatnya diragukan mengingat 1. efektifitas perlindungan hanya 40% 2. 70% kasus TB berat (misalnya meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan 3. kasus dewasa dengan BTA positif di Indonesia cukup tinggi (25 36%) walaupun mereka telah mendapatkan BCG pada masa kanak-kanak. BCG tidak diberikan pada pasien imunokompremais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang , infeksi HIV, reaksi uji tuberculin > 5mm, anak menderita gizi buruk, sedang mengalami demam tinggi, menderita infeksi kulit yang luas, pernah sakit tuberculosis, dan kehamilan).

Hepatitis B Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir. Pemberian imunisasi hepatitis B harus berdasarkan status HBsAg ibu pada saat melahirkan, sebagai berikut, bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui, diberikan vaksin rekombinan (HB Vax-11 5 pg atau B 10 pg) atau vaksin plasma derived 10 pg, intramuscular, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosisi kedua diberikan umur 1 2 bulan dan dosis ketiga 6 bulan. Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diketahui ibu HBsAg-nya positif, segera berikan 0,5 mL HBIG (sebelum 1 minggu). Bayi lahir dari ibu HBsAg positif. Dalam waktu 12 jam setelah lahir, secara bersamaan, diberikan 0,5 mL HBIG dan vaksin rekombinan, intramuskular di sisi tubuh yang berlainan. Dosis kedua diberikan 1-2 bulan sesudahnya dan dosis ketiga diberikan pada usia 6 bulan. Bayi lahir dari ibu dengan HBsAg negatif. Diberikan vaksin rekomninan dan vaksin derived secara intramuscular, pada umur 2-6 bulan. Dosis kedua diberikan 1-2 bulan kemudian dan dosis ketiga 6 bulan setelah imunisasi pertama. Idealnya dilakukan pemeriksaan anti HbsAg (paling cepat) 1 bulan pasca imunisasi B-3. Apabila sampai dengan 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B,

maka secepatnya diberikan (catch-up vaccination). Ulangan imunisasi hepatitis B (hep B-4) dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun.

Efek samping Efek samping yang terjadi umumnya ringan, berupa nyeri, bengkak, panas mual nyeri sendi dan otot. Walaupun demikian pernah pula dilaporkan adanya aanpilaksi, sindrom Guillain-Barre, walaupun tidak jelas terbukti hubungannya dengan imunisasi hepatitis B.

Kontra indikasi Sampai saat ini belum dipastikan adanya kontra indikasi absolut terhadap pemberian imunisasi hepatitis B, terkecuali pada ibu hamil.

Hipo dan Nonresponder Tanggap kebal yang rendah pasca imunisasi dapat disebabkan oleh; 1. usia tua, 2. pemberian vaksinasi di daerah bokong/pantat, 3. pada anak gemuk, 4. pasien hemodialisis/transplantasi, 5. pasien yang mendapat obat-obatan imunosupresif, 6. pasien leukemia dan keganasan lain, 7. pasien diabetes mellitus insulin dependent, 8. infeksi HIV 9. peminum alkohol. Pada keadaan-keadaan tersebut di atas, imunisasi perlu diulangi dengan meningkatkan dosis (dua kali), setelah melakukan koreksi seperlunya terhadap penyakit dasar.

DPT Imunisasi DPT dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan dengan interval 4-6 minggu. DPT 1 diberikan pada umur 2-6 bulan, DPT 2 pada umur 3-5 bulan

dan DPT 3 pada umur 4-6 bulan. Ulangan selanjutnya (DPT-4) diberikan 1 tahun setelah DPT : yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT 5 pada saat masuk sekolah dasar (Bulan Imunisasi Anak Sekolah = BIAS). Ulangan DPT 6 diberikan pada umur 12 tahun mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur > 10 tahun. Sebaiknya untuk ulangan pada umur 12 tahun diberikan dT (adt=adult dose untuk vaksin difteria), tetapi oleh karena di Indonesia dT belum ada di pasaran maka diberikan DT. Dosis DPT/DT 0,5 mL, intramuscular, baik untuk imunisasi dasar dan ulangan.

Tetanus Upaya Departemen kesehatan & Kesos melaksanakan Program Eliminasi Tetanus Neonatarum (ETN) melalui DPT, DT, atau TT dilaksanakan berdasarkan perkiraan lama waktu perlindungan sebagai berikut: 1. imunisasi DPT 3x akan memberikan imunitas 1-3 tahun. Dengan 3 dosis tokoid tetanus pada bayi dihitung setara dengan 2 dosis toksoid pada anak yang lebih besar atau dewasa. 2. ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun. Dengan 4 dosis toksoid tetanus pada bayi dan anak di hitung setara dengan 3 dosis toksoid pada dewasa. 3. toksoid tetanus kelima (DPT 5) diberikan pada usia masuk sekolah, akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi sampai umur 17-18 tahun. Dengan 5 dosis toksoid pada anak dihitung setara dengan 4 dosis toksoid pada dewasa. 4. toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun berikutnya di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang imunitas 20 tahun lagi. Dengan 6 dosis toksoid pada anak dihitung setara dengan 4 dosis toksoid pada dewasa. 5. jadi PPI merekomendasikan tetanus toksoid (DPIDT, TT) 5x untuk memberikan perlindungan seumur hidup sehingga wanita usia subur (WUS) mendapat perlindungan terhadap bayi yang dilahirkan terhadap

tetanus neonatarum. Maka, upaya pencapaian target ETN dengan pemberian vaksin toksoid 5x sasaran pada bayi dan anak sekolah melalui kegiaatn BIAS

Kontra indikasi imunisasi Sakit sedang sampai berat dengan atau tanpa demam merupakan kontra indikasi imunisasi DPT. Penderita imunodefisiensi dan imunosupresif merupakan kontra indikasi. Pemakaian kortikosteroid topikal jangka lama dan anak sehat yang diobati dengan kortikosteroid dosis biasa selama > 2 minggu atau dosis tinggi (dosis > 2 mg/kgbb atau 20 mg/hr) merupakan kontra indikasi pemberian vaksin virus hidup. Keadaan yang bukan merupakan kontra indikasi Sakit akut yang ringan dengan atau tanpa panas atau mencret yang ringan, Baru mendapat antibiotik atau fase konvalesens, Terjadi reaksi pada suntikan DPT sebelumnya yang berupa rasa sakit, kemerahan atau pembengkakan pada tempat suntikan, atau panas tinggi, Prematuritas (pemberian imunisasi pada bayi prematur sama seperti pada bayi normal), Baru terpapar infeksi, Satu-satunya virus vaksin yang dapat diisolasi dari ASI adalah virus vaksin rubela, tetapi terbukti tidak berbahaya buat bayi, Riwayat alergi yang tidak spesifik, Alergi penisilin atau antibiotik lainnya kecuali reaksi anafilaktik terhadap neomisin dan streptomisin, Alergi daging bebek, Riwayat kejang dalam keluarga terutama untuk vaksin pertusis, Riwayat sudden infant death di keluarga, misalnya untuk vaksin DPT, Riwayat adanya kejadian efek samping di keluarga setelah imunisasi

POLIO Vaksin Virus Polio Oral (Oral Polio Vaccine=OPV)

Vaksin virus polio hidup orak yang dibuat oleh Biofarma Bandung, berisi virus polio tipe 1,2, dan 3 adalah suku sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiap dosis (2 tetes = 0,1 ml) mengandung vims tipe 1: 106,0 CCID50, tipe2: 105,0 CCID50 dan tipe 3: 105,5 CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin tidak lebih 10 mcg. Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Virus vaksin ini kemudian menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun pada epithelium usus, yang menghsilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar yang datang masuk kemudian. Dengan cara ini, maka frekuensi eksresi polio virus liar dalam masyarakat dapat dikurangi. Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang serentak, maka sangat berguna untuk mengendalikan epidemi. Jenis vaksin virus polio ini dapat bertahan (beredar) di tinja sampai 6 minggu setelah pemberian OPV. Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosis berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3 tipe virus polio. Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8 C. Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebbakan perubahan pH setelah terpapar udara kebijaksanaan Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial manganjurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasca imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijaksanaan WHO membolehkan boto-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi, apabila tiga syarat di bawah ini terpenuhi 1. tanggal kadarluwarsa tidak terlampui 2. vaksin di simpan dalam rantai dingin yang benar (2-8C) 3. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pad temperatur 20C. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, di jaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai orange muda (sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksi yang telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian

dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal kadarluwarsa harus selalu diperhatikan.

Vaksin Polio Inactivated (inactivated poliomyielitis vaccine- IPV) Vaksin polio inactivated yang dibuat oleh Anventis Pasteur berisi tipe 1,2,3 diabiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid. Vaksin polio inaktif ini harus disimpan pada suhu 2-8C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka panjang (mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio yang di timbulkan oleh OPV.

Dosis dan cara pakai untuk imunisasi dasar (polio 1,2,3), vaksin diberikan 2 tetes per oral dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Mengingat Indonesia merupakan daerah endemik polio, maka PPI menambahkan imunisasi polio segera setelah lahir(polio-0 pada kunjungan 1) dengan tujuan menignkatkan cakupan imunisasi. Imunisasi polio-0 diberikan saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin, agar tidak mencemari bayi yang lain mengingat virus polio hidup dapat dieksresi melalui tinja. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak imunisasi polio 4, selanjutnya saat mask sekolah (5-6 tahun),

Kontra indikasi 1. Penyakit akut atau demam (temp. >38,5C), imunisasi harus ditunda 2. Muntah atau diare, imunisasi ditunda 3. Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif oral maupun suntikan, juga pengobatan radiasi umum 4. Keganasan dan penderita HIV.

CAMPAK Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak yaitu,

10

1. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B) 2. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium).

Dosis dan cara pemberian Vaksin campak diberikan pada umur 9 bulan, dalam satu dosis 0,5 mL sub-kutan dalam. Berdasarkan penelitian dianjurkan pemberian imunisasi campak ulangan pada saat masuk sekolah dasar (5-6 tahun), guna mempertinggi serokonversi.

Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi) Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari virus yang dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun dengan digunakannya vaksin campak yang dilemahkan. Gejala KIPI berupa demam > 39,5C yang terjadi pada 5-15% kasus, demam dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari. Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.

Kontra indikasi Kontra indikasi imunisasi camapk berlaku bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh pengobatan imunosupresi, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah.

11

MMR Rekomendasi Vaksin MMR harus diberikan sekalipn ada riwayat infeksi campak, gondongan dan rubela atau imunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah mendapat salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini,

Bayi dan anak beresiko terhadap infeksi campak Pada populasi dengan insiden yang tinggi pada infeksi campak dini, imunisasi dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi pemberian vaksin MMR adalah 1. anak dengan penyakit kronik seperti kistik fibrosis, kalainan jantung bawaan, kelainan gnjal bawaan, gagaltumbuh, sindrom down. 2. Anak berusia 1 tahun keatas yang berada di day care centre, family day care, dan plygroups. 3. Anak yang tinggal di lembaga cacat mental. Individu dengan HIV (+) dapat diberikan vaksin MMR bila tidak ditemukan kontra indikasi lainnya.

Vaksinasi MMR yang terlambat Vaksin yang diberikan pada anak yang berusia > 12 bulan. Bila imunisasi dasar tidak lengkap sampai waktu pemberian MMR, maka dapat diberikan secara bersamaan dengan menggunakan alat suntik dan tempat yang berbeda.

Anak dengan riwayat kejang Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang harus diberikan MMR, kepada orang tua diberikan pengertian bahwa dapat timbul demam 5-12 hari setelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi demam dengan pemberian parasetamol.

Reaksi KIPI Pada penelitian telah dilaporkan setelah vaksinasi MMR dapat terjadi

12

1. malaise, demam yang sering terjadi 1 minggu setelah MMR imunisasi dan berlangsung 2-3 hari. 2. Kejang demam pada 0,1% anak setelah 6-11 hari imunisasi

Kontra indikasi 1. Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas; mereka yang mendapat pengobatan denga imunosupresif atau terapi sinar atau mendpat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgBB/hari prednison) 2. Anak dengan alergi berat ( pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin dan neomisin. 3. Anak dengan demam akut. Pemberian MMR harus ditunda sampai penyakit ini sembuh. 4. Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada saat ini imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin. 5. Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selam 2 bulan, seperti pada vaksin rubela. 6. Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood). 7. Defisiensi imun bawaan dan didapat.

Dosis dan cara pakai Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan, dosis satu kali 0,5 ml, subkutan. Vaksin MMR yang beredar di pasaran ialah MMR-II (MSD) dan Trimovax (Avenitis Pasteur). MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyutnikan imunisasi lain. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan, imunisasi campak 2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun.

13

Hib (H.influienzae tipe b) Vaksin conjugate H.influenzae tipe b yang beredar pertama, PRP-T (poly ribosyribitol-tetanus) yaitu Act Hib (Aventis Pasteur). Kedua, PRP-OMPC (PRPouter membrane protein complex) yaitu Pedvax Hib (MSD). Imunisasi dasar untuk Act Hib diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan; sedangkan Pedvax Hib diberikan pada umru 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan. Ulangn vaksin Hib diberikan pada umur 18 bulan. Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.

Demam tifoid Di Indonesia terdapat 2 jenis sediaan vaksin, yaitu vaksin polisakarida suntikan dan oral. Polisakarida suntikan adalah vaksin capsular Vi polysaccharide yaitu Trphim Vi (Aventis Pasteur) diberikan pada anak umur >2 tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun. Tifoid oral Ty21a yaitu Vivoiif (Bema) diberikan pada umur >6 tahun, dikemas dalam 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3, dan 5). Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun.

Hepatitis A Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan imunoglobulin (human normal imunoglobulin). Diberikan sebagai pencegahan segera setelah kontak atau pencegahan sebelum kontak, bagi mereka yang akakn berpergian ke daerah endemis. Dosis yang dianjurkan 0,02 ml/kgBB, diberikan dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu setelah kontak. Bagi calon pengunjungdaerah endemis, dianjurkan: Dosis: 0,02 ml/kgBB, pda kunjungan singkat kurang dari 2 bulan. Dosis: 0,08 ml/kgBB, pada kunjungan lebih dari 4 bulan. Imunisasi aktif dilakukan dengan imunisasi, rekomendasi : 3 Pada anak usia sekolah ( diatas 2 tahun), terutama mereka yang terbukti belum mempunyai antibodi. Di daerah resiko tinggi, diberikan secara selektif.

14

Pada penderita penyakit hati kronik (B maupun C)

Vaksin Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (underexposure) pada umur >2tahun. Vaksin hepatitis A yang telah beredar ialah Havrix (Glaxo Smith Kline), Avaxim (Aventis Pasteur), dan Vaqta (MSD).

Dosis Havrix -Untuk vaksin denga dosis 360 U diberikan 3x dengan interval 4 minggu anatara suntikan 1 dan 2. Untuk mendapatkan perlindungan jangka panjang (10 tahun) denga nilai ambang pencegahan >20 mlU/ml, dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama. -Apabila mempergunakan dosis 720 U, imunisasi cukup diberikan dua kali dengan interval 6 bulan.

Dosis Avaxim 0,5 ml berisi 160 unit, intramuskuler; ulangan 6 bulan verikutnya. Vaksin diberikan secara intramuskular di daerah deltoid.Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine), dari strain HM-175. Saat ini vaksin yang tersedia di Indonesia adalah : 45 Havrix (Glaxo Smith Kline), Vaqta (Merck Sharp Domme), dan Avaxim (Aventis Pasteur).

Kemasan Havrix Untuk dewasa 1 flakon (1 ml) berisi 1440 EIU (Elisa International Unit) Untuk anak : 1 flakon (0,5 ml) berisi 720 EIU Cara pemberian melalui suntikan intramuskular, di daerah deltoid atau paha lateral, dengan dosis tunggal (dewasa 1440 EIU dan anak 720 EIU). Pemberian boster dianjurkan 6 bulan kemudian.

Kemasan Avaxim Setiap 0,5 ml mengandung 160 unit antigen virus hepatitis A yang dimatikan.

15

Cara pemberian melalui suntikan intramuskular, didaerah deltoid atau paha lateral, dengan dosis tunggal pada anak maupun dewasa sama, dilanjutkan pemberian booster 6 bulan kemudian.

Efek Samping Efek samping yang terjadi sangatlah jarang, dapat berupa reaksi lokal berupa nyeri atau kemerahan, ataupun sistemik berupa demam, lemas, nyeri otot/sendi dan gangguan pencernaan.

Influenza

Manifestasi Klinik Masa inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi antara 1 5 hari. Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas akut, dapat mengenai semua umur, dan pada orang dewasa muda yang sehat, dapat sembuh sendiri. Biasanya ditandai dengan adanya demam dan berbagai kombinasi gejala seperti rinitis, faringitis, batuk tak produktif, lelah, nyeri otot, nyeri kepala, muntah dan diare. Gejala tersebut biasanya berlangsung dari satu sampai lima hari, jarang lebih dari 5 hari. Akan tetapi, penyakitnya bisa lebih berat dan dapat berisiko menyebabkan kematian pada sebagian kecil kasus, misalnya pada lansia, pasien penyakit paru atau jantung. Pada keadaan demikian infeksi influenza dapat memperburuk penyakit jantung atau paru-paru. Pada keadaan demikian infeksi influenza dapat memperburuk penyakit jantung atau paru-paru. Pada keadaan berat dapat menimbulkan komplikasi berupa ensefalopati atau ensefalitis. Anak dan bayi yang menderita infeksi virus influenza jangan diberi aspirin karena adanya risiko terjadi sindrom Reye.

Komplikasi Komplikasi yang paling sering adalah pneumonia, yaitu infeksi sekunder bakteri (Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, atau Staphylococcus aureus). Komplikasi pneumonia primer virus influenza sangat jarang, biasanya

16

bila ada risiko kematian tinggi. Sindrom Reye merupakan komplikasi yang dapat timbul pada anak, biasanya dihubungkan dengan tipe B, dengan gejala muntah hebat dan penurunan kesadaran bisa sampai koma, akibat oedem otak.

Vaksin Vaksin Influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus). Terdapat 2 macam vaksin yaitu whole-virus dan split-virus vaccine. Saat ini dikenal 2 macam vaksin influenza yaitu Fluvax-CSL (Rhone-Poulenc Rorer) dan Vaxigrip (Aventis Pasteur). Formulasi vaksin influenza direview secara berkala, sehingga perubahan komposisi dapat dipakai untuk menyesuaikan antigenic shifts dan antigenic drift. Pada saat ini cakupan imunisasi influenza mencapai 70-90 % untuk proteksi selama satu tahun, daya proteksi menurun pada tahun berikutnya, apabila galur tetap sama atau hanya terjadi antigenic drift yang kecil. Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus menerus, maka perlu dilakukan vaksinasi secara kontinu menggunakan vaksin yang mengandung galur yang mutakhir. Vaksin hidup intranasal (cold attenuated intranasal vaccine) telah dikembangkan selama lebih dari 20 tahun. Di Rusia telah digunakan untuk vaksinasi dewasa. Di Amerika belum digunakan pada anak, namun mungkin dalam waktu dekat telah bisa didapat. Untuk anak dianjurkan pemakaian jenis split-virus vaccine saja, karena tidak mengakibatkan demam tinggi. Kekebalan terhadap influenza didapat dari pembentukan antibodi sekretori IgA dan IgG terhadap glikoprotein, hemaglutinin dan neuraminidase virus. Antibodi ini sangat spesifik untuk galur tertentu. Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-80 C, tidak boleh dibekukan.

Rekomendasi Imunisasi influenza direkomendasikan pada, 1. Lansia diatas 65 tahun, mengingat risiko infeksi influenza pada lansia terutama bila menderita penyakit paru atau penyakit jantung kronis,

17

2. Imunisasi influenza secara teratur juga dianjurkan untuk dewasa dengan penyakit kronis seperti jantung, paru, ginjal dan penyakit metabolik, 3. Anak dengan kelainan jantung bawaan, 4. Dewasa dan anak yang mendapat obat imunosupresif, 5. Penghuni rumah perawatan (nursing homes) dan fasilitas pelayanan penyakit kronis lain.

Imunisasi teratur juga perlu dipikirkan untuk individu yang masuk kelompok, 1. Staf yang merawat pasien immunokompromais (penyakit keganasan, defisiensi imun, penerima transplantasi sumsum tulang dan hati, mempunyai risiko tinggi untuk infeksi influenza, tetapi mempunyai kemampuan respon imun yang kurang terhadap vaksinasi influenza) 2. Staf rumah perawatan dan fasilitas perawatan kronis lain (untuk melindungi pasien)

Vaksinasi influenza diberikan sebelum KLB terjadi. Misal untuk mencegah KLB pada musim dingin, maka vaksin diberikan pada musim gugur. Vaksin diberikan satu kali, dosis tunggal, pada individu yang pernah terpajan pada galur yang terkandung dalam vaksin tersebut. Pada anak atau dewasa dengan gangguan fungsi imun, diberikan 2 dosis dengan jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan. Vaksin diberikan dengan suntikan subkutan dalam atau intramuskular. Tidak ada bukti efikasi vaksin influenza pada bayi usia kurang dari 6 bulan. Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam 18%. Perlu diingat bahwa anjuran pemberian vaksin influenza sama dengan vaksin pneumokokus, kedua vaksin tersebut dapat diberikan pada waktu kunjungan yang sama. Satu dosis vaksin secara teratur setiap tahun dapat diberikan pada usia 9 tahun keatas. Anak usia 6 bulan sampai 9 tahun bila mendapat vaksin pertama kali, harus diberikan 2 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.

18

Reaksi yang akan terjadi: 1. Reaksi lokal sakit, eritema dan indurasi pada tempat suntikan, lamanya 1-2 hari. Didapat pada 15-20 % resipien yang mendapat vaksinasi. 2. Gejala sistemik tidak spesifik berupa demam, lemas dan mialgia (flu-like symptoms), yang timbul beberapa jam setelah penyuntikan, terutama pada anak yang muda: timbul setelah 6-12 jam pasca vaksinasi dan lamanya 1 atau 2 hari, didapat pada < 1% resipien. 3. Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angio-oedema, asma, syok anafilaksis) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respons alergi terhadap komponen vaksin, seperti protein telur. Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanya respons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin influenza. 4. Pada tahun 1976 vaksin influenza produksi Amerika Serikat, dihubungkan dengan peningkatan frekuensi penyakit Guillain-Barre syndrome (GBS) pada lansia, prevalensi sekitar 1-2 orang per 100.000 populasi dewasa. Namun penelitian yang lebih baru menunjukkan tidak ada hubungan. 5. Vaksin influenza dapat meningkatkan beban virus pada resipien yang telah terinfeksi HIV. Namun progresifitas penyakit HIV tidak pernah ada dan vaksinasi influenza pada keadaan demikian di Amerika masih

dilaksanakan.

Kontra indikasi Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza sebelumnya dan komponen vaksin seperti telur jangan diberi vaksinasi influenza. Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan. Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita penyakit demam akut sedang dan berat. Begitu pula tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui. Bila diberikan pada wanita hamil, ditakutkan setelah vaksinasi timbul demam yang akan menyebabkan

perkembangan fetal terganggu.

19

Varisela Data prevalensi kasus varisela di negara tropis berbeda denga sub tropis. Dampak penyakit pada orang dewasa lebih berat daripada anak, apabila terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan bayi menderita sindrom varisela kongenital dengan kecacatan dan kematian yang tinggi. Apabila dinilai efektivitas vaksin varisella tidak diragukan lagi, namun sampai saat ini cakupan imunisasi belum luas oleh karena harganya yang masih mahal. Penelitian mengenai lama perlindungan vaksin varisela baru 10 tahun sehingga belum diketahui apakah suntikan satu kali dapat melindungi kehamilan di masa dewasa. Berdasarkan peretimbangan tersebut maka IDAI merekomendasikan agar imunisasi varisela diberikan pada anak umur 10-12 tahun yang belum terpajan. Vaksin yang telah beredar adalah Vaarilrix (Glaxo Smith Kline), dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali pemberian. Namun apabila dikehendaki oleh orang tua, vaksin dapat diberikan setelah umur >1 tahun dan diulang 10 tahun kemudian untuk melindungi varisela dewasa. Apabila diberikan pada umur >13 tahun maka imunisasi diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Notoatmodjo, S. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Andi Offset. Yogyakarta, 1993. 2. Ranuh, I.G.N. Dasar-Dasar Imunisasi dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2001. 3. Rahajoe, N.N. et al. Tuberkulosis (Vaksin BCG) dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 4. Hidayat, B. et Pujiarto, P.S. Hepatitis B dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. . 5. Tumbelaka, A.R. et Hadinegoro, S.R.S. Difteria, Pertusis, Tetanus dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 6. Suyitno, H. Poliomielitis dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 7. Soegijanto, S. Campak dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 8. Pasaribu, S. Campak, Gondongan, Rubela (MMR) dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 9. Pusponegoro, H.D. Haemophilus influenza tipe b dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 10. Rampengan, T.H. Demam Tifoid dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 11. Hidajat, B. et Pujiarto, P.S. Hepatitis A dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 12. Kartasasmita, C. Influenza dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005.

21

13. Satari, H.I. Varisela dalam Buku Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2005. 14. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Kerja Puskesmas. Jilid 3. Departemen Kesehatan. Jakarta, 1992.

22

Anda mungkin juga menyukai