Anda di halaman 1dari 8

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

PENATALAKSANAAN BATU EMPEDU


A. Nurman Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo, Jakarta ABSTRACT The clinical approach to gallstones has undergone major revision recently because of the development of medical science and technology, particularly in the field of imajing, laparoscopy, diagnostic and therapeutic endoscopy. The wide spread availability of ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreato-graphy) dramatically decreased the need for surgical removal of the common bile duct stones. Moreover, the development of laparoscopic cholecystectomy makes the management of gallbladder stones tend to be more minimally invasive. Common bile duct stones are extracted through endoscopy with Dormia basket after performing endoscopic sphincterotomy. Large common bile duct stones are difficult or imposible to remove with a standard basket or balloon; lithotripsy may crush the stone and make it possible to remove. (J Kedokter Trisakti 1999;18 (1) : 1 - 8) Key words : Gallstones, management, laparascopic, cholecystectomy PENDAHULUAN
Kolelitiasis adalah salah satu dari penyakit gastrointestinal yang paling sering di jumpai di praktek klinik. Penelitian dengan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien batu empedu adalah asimtomatik. Secara umum dapat dikatakan bahwa pasienpasien yang asimtomatik akan kambuh dan memperlihatkan gejala-gejala pada sebanyak 1-2% per tahun follow up. (1,2,3) Manifestasi klinik dari batu empedu dapat berupa nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis akut) atau saluran empedu (kolangitis akut), komplikasikomplikasi akibat migrasi batu empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.(3) Tidak semua batu empedu memerlukan tindakan untuk mengeluarkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan bagaimana penatalaksanaannya antara lain lokasi batu tersebut, ukurannya dan manifestasi kliniknya. Kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang iptek kedokteran pada dua dekade ini terutama kemajuan di bidang pencitraan (imaging), endoskopi diagnostik dan endoskopi terapetik membawa perubahan yang sangat mendasar dalam penatalaksanaan batu empedu.(2)
1

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

Pada masa-masa yang lalu kira-kira sebelum tahun delapan puluhan, sarana diagnostik imejing untuk batu empedu hanya dari foto polos abdomen, kolesistografi oral dan kolangiografi intravena. Tetapi sarana diagnostik ini mempunyai banyak keterbatasan, antara lain bahwa fungsi hati mempengaruhi hasil foto yang diperoleh. Pada keadaan di mana bilirubin serum meningkat lebih dari 3 mg%, tidak akan ada ekskresi bahan kontras dari sel-sel hati ke saluran empedu sehingga tidak akan diperoleh gambar. Hal ini mengakibatkan bahwa pada masa itu sangat sulit menentukan apakah seseorang dengan ikterus itu disebabkan oleh kelainan parenkim atau oleh obstruksi saluran empedu yang penanganannya sangat berbeda. Sarana terapetik serta penatalaksanaannya juga mengalami perubahan yang sangat besar yakni makin terjadinya kecenderungan penanganan batu saluran empedu ditangani secara minimal invasif melalui endoskopi oleh para gastroenterolog. GEJALA BATU EMPEDU Batu empedu biasanya menimbulkan gejala-gejala sebagai akibat dari inflamasi atau obstruksi karena migrasi ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus.(4,5) Gejala yang paling spesifik dan karakteristik adalah kolik bilier. Nyeri viseral ini bersifat nyeri yang hebat, menetap atau berupa tekanan di epigastrium atau di abdomen kuadran kanan atas yang sering menjalar ke daerah inter-skapular, skapula kanan atau bahu. Kolik bilier dimulai tiba-tiba dan menetap dengan intensitas berat selama 1-4 jam dan menghilang pelahan-lahan atau dengan cepat. Episode kolik ini sering disertai dengan mual dan muntah-muntah dan pada sebagian pasien diikuti dengan ke-

naikan bilirubin serum bilamana batu migrasi ke duktus koledokus. Adanya demam atau menggigil yang menyertai kolik bilier biasanya menunjukkan komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis atau pankreatitis. Kolik bilier dapat dicetuskan sesudah makan banyak yang berlemak. Pemeriksaan laboratorium dan Ultrasonografi atau CT Scan abdomen menunjukkan bahwa bilamana kolik hanya disebabkan oleh batu kandung empedu yang tersangkut di duktus sistikus tanpa proses peradangan di kandung empedu (tanpa kolesistitis akut) dan tanpa adanya batu empedu di duktus koledokus maka tidak akan didapatkan kelainan laboratorium yakni lekositosis (-), gangguan fungsi hati (-). Bilamana sudah terdapat kolesistitis akut akan ditemukan lekositosis serta pasien demam. Pada ultrasonografi (USG) atau CT Scan abdomen didapatkan batu di dalam kandung empedu dan tandatanda radang akut dari kandung empedu berupa dinding yang menebal dan udematus. Bilamana kolik disebabkan oleh batu yang migrasi ke duktus koledokus dan belum terdapat komplikasi infeksi di saluran empedu maka laboratorium akan menunjukkan gangguan fungsi hati berupa gama glutamil transferase (GGT) atau fosfatase alkali yang meninggi, transaminase serum; bilirubin total juga meningkat. Pada sebagian kecil pasien bilirubin total masih mungkin dalam batas normal atau sedikit meninggi.(6) Ultrasonografi/CT Scan abdomen akan menemukan pelebaran saluran empedu dan kadang-kadang tampak batu di dalamnya.(5) Bilamana telah didapatkan kolangitis maka akan ditemukan lekositosis serta gambaran seperti di atas. Bilamana terdapat pankreatitis bilier, amilase/lipase serum akan meningkat sekali, di samping adanya lekositosis dan gangguan fungsi hati.
2

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENATALAKSANAAN BATU EMPEDU


Lokasi Lokasi batu empedu bisa bermacammacam yakni di kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, ampulla Vateri, di dalam hati. (Gambar 1) Batu di dalam kandung empedu yang tidak memberikan keluhan atau gejalagejala (asimtomatik) dibiarkan saja. Bilamana timbul gejala, biasanya karena batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau masuk ke duktus koledokus, maka batu ini harus dikeluarkan. Migrasi batu ke leher kandung empedu akan menyebabkan obstruksi duktus sistikus. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya iritasi kimiawi mukosa kandung empedu oleh cairan empedu yang tertinggal sehingga terjadilah kolesistitis akut atau kronis, tergantung dari beratnya perubahan pada mukosa.(1) Pada pasien dengan batu kandung empedu yang simtomatik ini dapat dilakukan kolesistektomi secara konvensional ataupun dengan cara laparoskopi. Batu empedu yang terjepit di duktus sistikus, di muara duktus sistikus pada duktus koledokus, dapat menekan duktus koledokus atau duktus hepatikus komunis sehingga mengakibatkan obstruksi (sindroma Mirizzi).(7) Batu ini harus dikeluarkan dengan cara operasi. Bila tidak dikeluarkan akan menyebabkan obstruksi dengan penyulit seperti kolangitis atau sepsis dan ikterus obstruktif yang bisa mengakibatkan gagal hati atau sirosis bilier.

Batu koledokus harus dikeluarkan karena akan mengakibatkan obstruksi bilier sehingga dapat mengganggu fungsi hati sampai menimbulkan gagal hati. Selain dari pada itu aliran bilier yang tidak lancar dapat menimbulkan penyulit kolangitis - sepsis. Pengeluaran batu koledokus ini dapat dilakukan dengan operasi secara konvensional atau dengan cara melalui endoskopi yakni dengan sfingterotomi endoskopik dan ekstraksi batu dengan basket Dormia. Batu empedu intrahepatik atau hepatolitiasis adalah batu empedu yang berada pada saluran empedu intrahepatik.(4) Batu intrahepatik didapatkan pada 20% kasus dengan batu empedu.(5) Masalah batu intrahepatik berbeda sekali dengan batu empedu yang lain karena penatalaksanaannya secara bedah sulit; kadang-kadang diperlukan operasi berulang-ulang karena sering kambuh dan pada akhirnya pasien seringkali menderita karena kerusakan hati akibat ikterus obstruktif yang lama, kolangitis, abses hati multipel dan sepsis. Bila batu intrahepatik kecil dan jumlahnya 1 atau 2 buah saja dan terletak di distal, bisa dicoba dikeluarkan dengan basket Dormia melalui endoskopi. Bila banyak diperlukan tindakan operasi yang berbeda dengan operasi-operasi batu empedu yang lain.

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

Gambar 1. Lokasi batu empedu 1. Ampulla Vateri 2. Duktus koledokus 3. Duktus hepatikus komunis 4. Batu intrahepatik 5. Muara duktus sistikus 6. Duktus sistikus 7. Kandung empedu 8. Leher kandung empedu

Ukuran Batu koledokus dengan diameter lebih dari 1 cm dipecah dulu agar lebih mudah dikeluarkan dengan cara endoskopi. Ada beberapa cara untuk memecah batu ini, yaitu (i) Litotriptor mekanik dari Suhendra: cara ini sudah lama, kini dapat dipakai litotriptor mekanik BML dari Olympus. Pada prinsipnya pada teknik ini setelah batu terperangkap dalam basket kemudian dengan alat khusus cengkeraman basket diperketat sehingga batu tersebut terpecah. Cara lain adalah (ii) Litotriptor hidrolik, (iii) Litotriptor laser, (iv) Litotriptor ultrasonic, (v) Litotriptor piezoceramic, (vi) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), ini yang paling baik. Setelah batu empedu yang besar tadi terpecah menjadi beberapa bagian kecil, dengan basket Dormia batu tersebut diekstraksi dari duktus koledokus. Batu yang lebih kecil yang sukar ditangkap dengan basket dikeluarkan dengan memakai kateter balon. Kateter dengan balon yang belum ditiup dimasukkan ke saluran empedu sehingga sampai di atas batu-batu tersebut. Balon kemudian ditiup dan ditarik kebawah sampai keluar dari papila Vateri. Dengan demikian batu-

batu kecil beserta lumpur empedu dapat dikeluarkan. Komposisi batu Batu kandung empedu yang terdiri atas kolesterol mudah dipecah dengan ESWL. Di Indonesia pada umumnya batu kandung empedu bukan batu kolesterol sehingga ESWL kurang bermanfaat. Batu duktus koledokus di Indonesia juga pada umumnya bukan batu kolesterol sehingga pemakaian ESWL untuk menghancurkan batu koledokus agaknya tidak banyak menolong. Anatomi dari distal koledokus Bagian distal koledokus yang sempit dan memanjang akan menyulitkan pengeluaran batu dengan cara endoskopi. Pada keadaan ini sebaiknya pengeluaran batu dilakukan melalui tindakan bedah. Adanya penyulit kolangitis akut atau pankreatitis akut Adanya penyulit-penyulit ini menunjukkan perlunya tindakan segera. Pada kolangitis akut untuk sementara dalam keadaan darurat bisa dipasang pipa nasobilier dan pemberian antibiotika yang adekuat. Sesudah keadaan akut teratasi dan keadaan umum pasien sudah membaik perlu tindakan definitif
4

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

elektif yaitu dengan cara operasi atau mengeluarkan batu tersebut melalui endoskopi dengan melakukan sfingterotomi dan ekstraksi batu dengan basket Dormia. Pada pankreatitis akut yang biasanya merupakan akibat batu empedu kecil menyumbat papila Vateri, perlu segera dilakukan sfingterotomi dengan cara endoskopi dan ekstraksi batu sehingga aliran cairan empedu dan cairan pankreas ke duodenum menjadi lancar kembali. Di dalam praktek sehari-hari tidak jarang ditemukan keadaan-keadaan dimana pasien dikirim ke dokter ahli penyakit dalam oleh dokter ahli bedah dengan problem bahwa sesudah kolesistektomi karena adanya batu kandung empedu, pasien tetap ikterus atau bahkan makin ikterik. Setelah dievaluasi ternyata pasien tersebut juga menderita batu koledokus yang lolos dari pengamatan. Ultrasonografi abdomen sebelum operasi hanya menunjukkan adanya batu kandung empedu. Memang pada kenyataannya di klinik, 10-15% dari pasien-pasien dengan batu kandung empedu, juga mengandung batu di duktus koledokus. (1,2,3) Cara menghindari hal tersebut tidak sulit yakni dengan melihat fungsi hati sebelum operasi. Bilamana gama glutamil transferase (GGT) atau fosfatase alkali sangat meningkat, apalagi bila bilirubin juga meningkat, patut dicurigai adanya batu di koledokus. Pada batu kandung empedu faal hati biasanya tidak terganggu. Dalam hal ini, ultrasonografi tidak selalu dapat memvisualisaikan batu koledokus karena adanya udara di colon serta duktus koledokus dan saluran empedu intrahepatik juga tidak selalu melebar pada batu koledokus. Pada umumnya memang saluran empedu intra dan ekstrahepatik melebar pada batu koledokus. Dalam hal ini perlu dilakukan kolangiografi misalnya Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreato-

graphy (ERCP) untuk konfirmasi ada tidaknya obstruksi di saluran empedu. Kadang-kadang sesudah operasi koledokotomi, pasien masih ikterus dan masih ada kolik yang disebabkan oleh adanya batu yang tertinggal di duktus koledokus. Hal ini diketahui pada saat pasien belum pulang dari Rumah Sakit bahkan kadang-kadang pasien masih di unit perawatan intensif atau di recovery room beberapa saat sesudah operasi. Tentunya kurang dapat diterima bilamana pasien dianjurkan untuk di laparotomi lagi untuk mengeluarkan batu yang tertinggal. Dalam hal ini tindakan pengeluaran batu saluran empedu per endoskopi dapat mengatasi masalah tersebut. Pada pasien dengan batu koledokus yang disertai batu kandung empedu bila kandung empedu masih baik dan batu kandung empedunya asimtomatik maka kandung empedu dibiarkan saja sedangkan batu koledokus dikeluarkan dengan cara endoskopi.(9) Bila kadung empedu menunjukkan tanda-tanda kolesistitis kronik, dilakukan pengeluaran batu koledokus per endoskopi disusul dengan kolesistektomi pada kesempatan berikutnya melalui laparoskopi. ILUSTRASI KASUS 1. OSN, 62 tahun, dikirim oleh dokter ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo tanggal 4 Januari 1999 dengan gastritis, hipertensi dan diabetes melitus. Pasien juga merasa demam disertai menggigil selama beberapa hari. Pada pemeriksaan didapatkan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut: seorang perempuan, gizi lebih, tampak sakit, kulit kekuningan, tekanan darah 150/100 mmHg, denyut nadi 112/menit, suhu 38,6oC. Sklera ikterik dan nyeri tekan di sekitar epigastrium.
5

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil sebagai berikut: Hb 13,4 g% Lekosit 19.600 Ureum 46 mg% Kretinin 1,3 mg% Gula darah sewaktu 209 mg% Bilirubin total 6,9 mg% G- glutamil transferase 310 U/l SGOT 215 U/l (N s/d 40) SGPT 258 U/l (N s/d 40) Trombosit 230.000 Masa perdarahan 2 Masa pembekuan 10,3 Masa protrombion 11 (dalam batas normal) Ultrasonografi abdomen: duktus koledokus dan saluran empedu intrahepatik melebar, dinding kandung empedu agak menebal, tidak rata dan didapatkan batu di dalam kandung empedu. Dilakukan kolangiografi dengan cara endoskopi (ERCP) dengan hasil sebagai berikut : duktus koledokus dan saluran empedu intrahepatik melebar, terdapat 3 buah batu besar di duktus koledokus, yang sebuah sangat besar dengan diameter lebih besar dari diameter skop ERCP. Dilakukan sfingterotomi dan ekstraksi batu dengan basket Dormia; 2 batu dapat ditarik keluar, yang ketiga karena besarnya, dicoba dihancurkan dengan litotriptor mekanik BML dari Olympus tetapi tidak berhasil. Kemudian batu tersebut dicoba dipecah dengan litotriptor mekanik dari Suhendra dan berhasil, untuk selanjutnya dikeluarkan dengan basket Dormia. Selanjutnya kandung empedu beserta batunya dikeluarkan secara laparoskopik pada tanggal 13 Januari 1999. Pasien dipulangkan beberapa hari kemudian dalam keadaan baik dengan fungsi hati kembali normal. Diagnosis akhir pasien ada-

2.

lah (a) Kolangitis akut karena batu koledokus (b) Kolesistitis kronik karena batu kandung empedu. Y, perempuan, 39 tahun, masuk Rumah Sakit 7 Februari 1999 dengan keluhan utama nyeri hebat di abdomen kuadran kanan atas sejak semalam dan muntahmuntah. Riwayat penyakit dahulu: kira-kira 1,5 tahun yang lalu pernah dirawat dengan keluhan seperti ini dan didapatkan batu di duktus koledokus; batu dikeluarkan dengan cara sfingterotomi dengan cara endoskopi serta ekstraksi batu dengan basket Dormia. Pada pemeriksaan didapatkan seorang perempuan yang sangat menderita karena kesakitan di perut bagian kuadran kanan atas. Pemeriksaan jasmani tidak menunjukkan kelainan yang nyata kecuali nyeri tekan di perut kanan atas. Pemeriksaan laboratorium memberikan hasil darah tepi dalam batas normal, tidak ada lekositosis, tes fungsi hati juga tidak ada kelainan (bilirubin total, GGT dan transaminase serum dalam batas normal). Pemeriksaan ultrasonografi abdomen menunjukkan gambaran batu-batu kecil di kandung empedu. Saluran empedu intra dan ektrahepatik tidak melebar. Ditegakkan diagnosis kolik bilier, sangat mungkin karena batu di duktus sistikus. Karena pasien ini menderita kesakitan yang sulit di atasi dengan analgesik yang kuat, maka segera dilakukan kolesistektomi laparoskopik. Didapatkan batu-batu kecil di kandung empedu serta batu di duktus sistikus. Pasca bedah nyeri abdomen tersebut langsung menghilang.

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

PEMBAHASAN Pada waktu-waktu yang lalu batu koledokus dikeluarkan secara bedah dengan melakukan koledokotomi diikuti pengeluaran batu. Tetapi akhirakhir ini makin diterima penanganan batu koledokus yang lebih baik dengan cara ekstraksi batu melalui endoskopi dengan melakukan sfingterotomi terlebih dahulu. Adapun alasannya adalah tindakan dengan cara endoskopi sifatnya invasif minimal dibandingkan dengan pembedahan biasa sehingga morbiditas dan mortalitas jauh lebih rendah. Pasien hanya dipremedikasi dengan sedatif (diazepam-petidin atau midazolam - petidin) dan dilanjutkan dengan sfingterotomi. Bilamana ada batu tersisa (residual stone) maka prosedur ini dapat diulangi dengan mudah. Tetapi pada umumnya lebih jarang terdapat batu tersisa karena selama prosedur saluran empedu selalu dimonitor secara radiologik kolangiografi. Waktu yang diperlukan relatif lebih pendek dibandingkan dengan operasi / eksplorasi saluran empedu. Pada prosedur pembedahan biasa, tingkat invasivitas cukup tinggi sehingga dapat berisiko tinggi pada pasienpasien yang disertai dengan gangguan kardiovaskuler atau mereka yang berusia lanjut. Kadang-kadang terjadi residual stone sehingga lebih berisiko lagi bila dilakukan operasi ulang.

Pada ilustrasi kasus pertama tersebut di atas didapatkan batu koledokus dengan batu kandung empedu pada kandung empedu yang sakit. Tindakan pertama ialah pengeluaran batu koledokus per endoskopi dan dilanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopik. Tidak dilakukan sebaliknya karena jarak waktu antara pengeluaran batu koledokus dan pengangkatan kandung empedu harus sependek mungkin, sebaiknya pada hari yang sama untuk mencegah migrasi batu dari kandung empedu lagi sesudah duktus koledokus dibersihkan dari batu empedu. Bila terlebih dahulu dilakukan kolesistektomi laparoskopik maka pengeluaran batu koledokus per endokopik tidak dapat segera dilakukan dan harus menunggu sampai beberapa hari karena menunggu kesembuhan luka laparoskopi. Pada ilustrasi kasus kedua, yang merupakan kasus kolik bilier karena batu kandung empedu yang migrasi ke duktus sistikus, tidak terdapat lekositosis maupun peningkatan bilirubin total, gama glutamil transferase dan transaminase serum. Pasien ini kira-kira 1,5 tahun yang lalu menderita batu koledokus tanpa batu di kandung empedu yang dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi dan ERCP.

DAFTAR PUSTAKA
1. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts, dari Harrisons Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-1736, Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill, 1998 2. Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology, Editor Grendell J.H., Mc Quaid K.R., Friedman S.L., hal. 668678, Appleton & Lange , 1996 3. Malet P.F. Complications of Cholelithiasis, dari Liver and Biliary Diseases, Edisi II, hal 673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins, 1996 4. Nakayama F. Intrahepatic Stones Epidemiology and Etiology, dari Intrahepatic Calculi, hal. 17-28. Edisi I, 7

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Tatalaksana batu empedu

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

Editor Kunio Okuda, Fumio Nakayama, John Wong, Allan R. Liss, Inc, New York, 1984 5. Nurman A., Lesmana L.A., Noer H.M.S. Batu intrahepatik di RSAL Dr.Mintohardjo; laporan penda-huluan. Konas II PGI/PEGI, Pertemuan Ilmiah III PPHI, Palem-bang, 1985. 6. Nurman A., dkk. Gambaran Klinik dan Penatalaksanaan Kolangitis Akut. Kongres Nasional PGI-PGGI-PPHI, 1991, Medan

7. Nurman A. dkk. Sindroma Mirizzi di RS Husada; laporan dua kasus. Konas V PGI/PEGI, Pertemuan Ilmiah VI PPHI, Medan, 1991 8. Rauws E.A.J. Komunikasi pribadi pada Postgraduate Gastroentero-logy Course Indonesia Nether-land, Jakarta, Oktober, 1997 9. Sherlock S., Dooley J. Gallstones and Inflammatory Gallbladder Diseases, dari Diseases of the liver and biliary system. Edisi 10, hal.593-623, Blackwell Science, 1997

w
w

w
w

Anda mungkin juga menyukai