Anda di halaman 1dari 14

Geriatri: Inkontinensia

Posted by Agatha Dinar at 21:27 Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane dkk., 1989 dalam Pranarka, 2000).

Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).

Fisiologi dan patofisiologi diuresis


Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007). Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007). Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu,prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007). Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking(propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).

Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).

Proses menua dan inkontinensia urin


Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000): Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran sistem lokomosi. Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.

Etiologi inkontinensia urin


a. b. c. Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000): Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya. Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam Pranarka, 2000): Inkontinensia akut. Biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik).Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan. Inkontinensia persisten/kronik/menetap. Tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama. Inkontinensia urin akut Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000): D : Delirium R : Retriksi, mobilitas, retensi I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel

1.

2.

1.

2.

3.

4.

blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007). Inkontinensia urin persisten Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): Tipe stress Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. Tipe urgensi Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. Tipe luapan (overflow) Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain: Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin. Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. Tipe fungsional Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.

Terapi
Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: Program rehabilitasi antara lain Melatih respons VU agar baik lagi Melatih perilaku berkemih Latihan otot-otot dasar panggul Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo) Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indwelling) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogen Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

a. b. c. d. e.

Inkontinensia Alvi
Pengaturan defekasi normal
Defekasi merupakan proses fisiologis yang melibatkan (Pranarka, 2000): Koordinasi SSP dan perifer serta sistem refleks

Kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan seran lintang yang terlibat Kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besar Hal penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang bertugas mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu (Brocklehurst, 1987 dalam Pranarka, 2000): a. Sudut ano-rektal, yang dipertahankan pada posisi paling ideal, dibawah 100 oleh posisi otot-otot puborektal. b. Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intraabdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya. c. Bentuk anus sendiri yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otot-otot serta lipatam-lipatan mukosa yang saling mendukung.

Gambaran klinis
1. 2. Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000): Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau ditempat tidur. Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.

Jenis-jenis inkontinensia alvi dan pengelolaannya


Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Pranarka, 2000): 1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi Konstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar sudut anorektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum, kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia alvi. Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga akan mendukung. 2. Inkontinensia alvi simtomatik Dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang kurang berhasil, dan prolapsis rekti. Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi. 3. Inkontinensia alvi neurogenik Terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rectum

dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang. Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan. Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar. 4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal Terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat inkontinensiaalvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.

Daftar Pustaka
Pranarka K. 2000. Inkontinensia dalam Darmojo R.B. dan Martono H.H. Buku Ajar Geriatri Ed.2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. A. KONSEP INKONTINENSIA ALVI 1. 1. Pengertian 1. Inkontinensia alvi adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan/atau sosial. 2. Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. 3. Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar, menyebabkan feses bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia alvi juga disebut inkontinensia usus. Inkontinensia alvi berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali. 4. Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan dari proses defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak disadari,atau hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui spingterakibat kerusakan sfingter. 1. 2. Etiologi

Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989): 1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi 1). Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar (broklehurst dkk, 1987). 2). Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi (kane dkk, 1989). 1. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk, 1987) Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert Thomson) 1. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik) inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst dkk, 1987). 1. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal

Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit unit yang berfungsi motorik pada otot otot daerah sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987). 1. 3. Proses Inkontinensia Alvi Reflek defekasi parasimpatis

Feses masuk rectum Saraf rectum Dibawa ke spinal cord Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum Intensifkan peristaltic Kelemahan spingter interna anus Inkontinensia alvi 4. Gambaran klinis

1. Klinis inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan: 1). Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes 2). Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian atau ditempat tidur. 2. Gejalanya antara lain: 1). Tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin cair atau padat, dari perut 2). tidak sempat ke toilet untuk tidak berak di celana.

3). Berkuragnya pengontrolan oleh usus 4). pengeluaran feses yang tidak dikehendaki c. Inkontinensia alvi bisa disertai dengan masalah usus lainnya, seperti: 1). Diare 2). Sembelit 3). Kentut dan kembung 4). Kram perut 5. Penatalaksanaan

Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat menghindari kejadian inkontinensia alvi.Langkah utama dalam penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor faktor yang menyebabkan timbulnya sembelit. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkontinensia alvi adalah dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan buang air besardi toilet. Pada inkontinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan saraf, terapi latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien geriatri dengan dimensia tidak dapat menjalani terapi tersebut. Penatalaksanaan inkontinence tergantung pada jenis inkontinensia yang telah diuraikan di atas: 1. Pada overflow inkontinence yang disebabkan konstipasi, perlu diberikan obat pencahar, dan perlu pula dibantu dengan pemberian makanan yang mengandung banyak serat (buahbuahan dan sayur-sayuran, tahu, tempe dan lain-lain), minum yang cukup serta perlu gerakan tubuh yang cukup. 2. Pada inkontinensia simtomatik, perlu diketahui terlebih dahulu penyakit yang menyebabkannya dan memberikan pengobatan. 3. Pada neurogenic inkontinence, pengobatannya sulit. Hal yang paling penting adalah melatih penderita untuk memasuki kamar kecil (WC) setiap kali setelah makan dan berjalan di pagi hari ataupun setelah minum air panas. Latihan ini saja dapat memadai pada sebagian penderita. Jika perlu, dapat diberikan obat pencahar setelah makan dan dua puluh menit kemudian, penderita harus telah berada di kamra kecil. Jika tidak menolong dapat dilakukan dengan memompa kotoran tadi dengan alat dan melatih pola buang air besar yang teratur.

4. Pada anorektal inkontinence perlu dilatih kekuatan otot-otot pada dasar panggul. 6. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Inkontinensia Alvi 1. Usia Pada usia lanjut control defekasi menurun 2. Diet Makanan berserat dapat mempercepat produksi feses,banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi proses defekasi 3. Aktivitas Tonus oto abdomen,pelvis dan diafragma akan sangat membantu proses defekasi, gerakan peristaltic akan memudahkan bahan feses bergerak sepanjang kolon 4. Fisiologis Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic sehingga meningkatkan inkontenensia. 5. Gaya hidup Kebiasaan untuk melatik buang air besar, fasilitas bab dan kebiasaan menahan bab mempengaruhi inkontenensia 6. Proses diagnosis Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostic biasanya dipuasakan atau dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat bab kecuali setelah makan. 7. Kerusakan sensorik dan motorik Kerusakan spinal kord dan injuri kepala akan menimbulkan kerusaka stimulus sensori untuk bab. 7. Perawatan Inkontinensia Alvi Pada Lansia

1. Melatih kebiasaan defekasi (buang air besar) yang teratur, yang akan menghasilkan bentuk feses yang normal 2. Pada waktu tertentu setiap 2 sampai 3 jam letakkan pispot dibawah pasien 3. Kalau inkontenensia berat diperlukan pakaian dalam yang tahan lembab. 4. Pakailah laken yang dapat dibuang dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien 5. Mengurangi rasa malu perlu dilakukan dukungan semangat dalam perawatan. 6. Mengubah pola makan, berupa penambahan jumlah serat

8.

B. 1. a.

7. Jika hal-hal tersebut tidak membantu, diberikan obat yang memperlambat kontraksi usus, misalnya loperamid 8. Melatih otot-otot anus (sfingter) akan meningkatkan ketegangan dan kekuatannya dan membantu mencegah kekambuhan 9. Dengan biofeedback, penderita kembali melatih sfingternya dan meningkatkan kepekaan rektum terhadap keberadaan tinja 10. Jika keadaan ini menetap, pembedahan dapat membantu proses penyembuhan. Misalnya jika penyebabnya adalah cedera pada anus atau kelainan anatomi di anus. 11. Pilihan terakhir adalah kolostomi, yaitu pembuatan lubang di dinding perut yang dihubungkan dengan usus besar. Anus ditutup (dijahit) dan penderita membuang fesesnya ke dalam kantong plastik yang ditempelkan pada lubang tersebut. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan anoskopi 2. Pemeriksaan protosigmoidoskopi KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN INKONTINENSIA ALVI Pengkajian Data identitas pasien

meliputi nama,tempat tanggal lahir, pendidikan, agama,status perkawinan,TB/BB, penampilan, alamat. b. Riwayat keluarga

terdiri atas susunan anggota keluarga, genogram, tipe keluarga. c. Riwayat pekerjaan

meliputi pekerjaan saat ini, pekerjaan masa lalu, alat transportasi yang digunakan,jarak dengan tempat tinggal, serta sumber pendapatan saat ini. d. Riwayat lingkungan hidup

meliputi tipe rumah, jumlah tongkat di kamar, kondisi tempat tinggal, jumlah orang yang tinggal dalam 1 rumah, tetangga terdekat dan bagaimana pola interaksi dengan tetangga. e. Riwayat rekreasi

hobi/minat yang dimiliki, keanggotaan dan kegiatan liburan yang biasa dilakukan, hal ini dikaji untuk mengetahui aktivitas yang dapat dilakukan untuk menguragi kebosanan. f. Sistem pendukung

sistem pendukung yang dimiliki keluarga yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan seperti dokter, bidan, klinik, dan dukungan dari keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami inkontinensia alvi, termasuk kebutuhan personal hygiene. g. Status kesehatan

status kesehatan yang pernah diderita selama 5 tahun yang lalu, keluhan utama yag dirasakan sekarang yaitu ketidakmampuan menahan bab, dan diuraiaka secara PQRST, obat,obatan yang pernah diminum,status imunisasi dan riwayat alergi. h. Aktivitas hidup sehari hari

dikaji melalui indeks katz,khususnya pengkajian eliminasi Termasuk pola eliminasi,keadan feses : warna bau konsistensi ,bentuk. 1). Kegiatan yang mampu dilakukan lansia 2). Kekuatan fisik lansia (otot, sendi, pendengaran, penglihatan,) 3). Kebiasaan lansia merawat diri sendiri 4). Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur,BAB / BAK. 5). Kebiasaan gerak badan / olah raga. 6). Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan. Pola komunikasi dan interaksi dengan orang lain,perlu dikaji untuk mengetahui sebagai respon terhadap keterbatan fisik dan psikis yang terjadi, meliputi persepsi diri,bagaimana penilaian dia terhadap kondisinya yang mengalami inkontinensia, konsep diri ,apakah dia merasa malu dengan kondisinya yang mengalami inkontinensia,dan meknisme koping yang dilakukan. i. Pemeriksaan fisik

keadaan umum,tingkat kesadaran, GCS,TTV, dan pemeriksaan persistem 1. khususnya pemeriksaan gastrointestinal, termasuk bising usus,peristaltik dan sistem integumen sekitar anus 2. Sistem integumen / kulit 3. Muskuluskletal 4. Respirasi 5. Kardiovaskuler 6. Perkemihan

j.

7. Persyarafan 8. Fungsi sensorik )penglihatan, pendengaran, pengecapan dan penciuman) Kaji tentang data status mental,

dengan sekala depresi beck, Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ), dan Mini Mental State Examination (MMSE) serta tingkat keasadarn klien. 2. 1. 1. Gangguan eliminasi alvi (inkontinensia alvi) berhubungan dengan 1). melemahny spingter interna anus 2). gangguan spingter rektal akibat cedera rektum/tindakan pembedahan 3). kurangnya kontrol pada spingter 4). distensi rektum akibat konstipasi kronik 5). kerusakan kognitif 6). ketidakmampuan mengenal/merespon defekasi Tujuan: 1). pasien dapan mengontrol pengeluaran feses 2). pasien kembali pada pola eliminasi yang normal kriteria hasil: 1). Px bisa menahan BABnya 2). Px tidak BAB di celana 3). Bab terkotrol 4). pola bab teratur 1. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan Diagnosa keperawatan

1). Perubahan pola sosial sekunder akibat defisit fungsi perawatan diri

2). Perubahan pola sosial sekunder akibat kehilangan pasangan 3). Perubahan pola sosial sekunder akibat pensiun tujuan : 1). tidak terjadi gangguan interaksi dengan masyarakat 2). komunikasi dengan masyarakat berjalan lancar kriteria hasil: 1). px merasa percaya diri saat berinteraksi dengan masyarakat 2). px merasa tidak malu saat beriteraksi dengan masyarakat 3). frekuensi interaksi pasien dengan masyarakat meningkat 3. 1. Intervensi keperawatan

1. a. Gangguan eliminasi alvi (inkontinensia alvi) berhubungan dengan Penurunan fungsi otot-otot pada anus
intervensi 1. kaji perubahan faktor yang mempengaruhi masalah eliminasi R/ alvi sebagai data dasar untuk menentukan intervensi selanjutnya 1. berikan latihan BAB dan anjurkan pasien selalu berusaha latihan R/ utuk mengontrol pola eliminasi sehingga dapat mengurangi terjdinya inkontinensia 1. jelaskan eliminasi yang normal R/ meningkatkan pengetahuan pasien tentang pola eliminasi yang benr 1. bantu defekasi secara manual R/ melatih kekuatan spingter anus agar tidak terjadi kebocoran/inkontinensia

1. e.

bantu bab denga cara yang benar

R/ meotivasi pasien untuk latihan kekuatan otot spingter anus

1. f.

Lakukan latihan otot panggul

R/ untuk menguatkan otot dasar pelvis

1. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan Perubahan pola sosial sekunder akibat defisit fungsi perawatan diri intervensi: 1. Kaji tigkat kemampuan px dalam berinteraksi dengan masyarakat R/ Sebagai data dasar untuk perencanaan selanjutnya 1. Kaji tentang penyebab terjadinya gangguan interaksi social R/ Dengan mengetahui penyabab ,maka dapat menetukan intervensi yang sesuai 1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkakan perasaanya R/ Membantu klien untuk mengurangi beban fikiran dengan mengeksplor perasaanya 1. Jelaskan kepada klien tentan manfaat interaksi social R/ Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat 1. Motivasi klien untuk melakukan interaksi socia R/ Dapat memotifasi klien untuk meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat 4. Evaluasi 1. 1. memahami eliminasi normal 2. mempertahankan defekasi normal 3. mempertahankan rasa nyaman 4. mempertahankan integritas kulit (daerah perianal)

Anda mungkin juga menyukai