Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN Mulai Paragraf 5.

Masyarakat semakin kritis terhadap mutu pelayanan, yaitu terhadap hak-hak mereka untuk mendapatkan jaminan pelayanan yang aman, informatif, efektif, efisien, bermutu dan manusiawi. Kondisi tersebut akan semakin membuka wawasan masyarakat terhadap keselamatan pasien saat menjalani perawatan di rumah sakit. Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk

menyelamatkan pasien sesuai dengan yang diucapkan Hipocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu primum, non nocere (first, do no ham). Namun diakui dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati. Di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya KTD. Pada tahun 2010 HealthGrades Seventh Annual Patient Safety in American Hospitals Study menerbitkan laporan insiden keselamatan pasien dengan

menggunakan 15 indikator, untuk setiap rumah sakit non federal sejak tahun 2006 sampai dengan 2008, dengan hasil sebagai berikut. 1. Terdapat 958.202 kasus insiden keselamatan pasien, atau 2,29% dari total kunjungan rawat inap.

2. Insiden keselamatan pasien ini membutuhkan excess cost sebesar 8,9 milyar US dolar. 3. Enam indikator tertinggi (20,16% seluruh insiden), meliputi (1) Complications of anesthesia; (2) failure to rescue; (3) selected infections due to medical care; (4) post-operative hemorrhage or hematoma; (5) post-operative abdominal wound dehiscence; dan (6) accidental puncture or laceration. 4. Terdapat 99.180 kasus kematian dari keseluruhan insiden. Peluang untuk terjadinya kematian adalah 1 : 10. Berdasarkan penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Zhan and Miller, 96.402 (97,19%) kasus kematian tersebut merupakan akibat langsung dari insiden keselamatan pasien. Di Indonesia data tentang KTD apalagi Kejadian Nyaris Cedera (near miss) masih langka, namun dilain pihak terjadi peningkatan tuduhan mal praktek, yang belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit maka Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) telah mengambil inisiatif membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS). Komite tersebut telah aktif melaksanakan langkah-langkah persiapan pelaksanaan keselamatan pasien rumah sakit dengan mengembangkan laboratorium program keselamatan pasien rumah sakit. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, disebutkan bahwa semua rumah sakit harus menjalankan Program Keselamatan Pasien. Program ini dijalankan berdasarkan Peratuan Menteri Kesehatan Nomor 1691 dengan membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) di tingkat nasional, dan membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Tim KPRS) di setiap rumah sakit. Tim KPRS memiliki peran penting untuk keberhasilan Program

Keselamatan Pasien, namun pada kenyataannya kinerja Tim KPRS Panembahan Senopati Bantul masih dinilai kurang optimal. Berdasarkan hal tersebut di atas, Laporan Kelompok Observasi Lapangan diangkat dengan judul PENINGKATAN PROGRAM KESELAMATAN PASIEN MELALUI OPTIMALISASI KINERJA KOMITE KESELAMATAN PASIEN GUNA MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL. B. RUMUSAN MASALAH Mengingat pentingnya peran Tim KPRS untuk keberhasilan pelaksanaan Program keselamatan Pasien di rumah sakit, maka rumusan masalah dalam Kertas Kerja Kelompok ini adalah bagaimana kinerja Tim Keselamatan Pasien pada RS. Panembahan Senopati Bantul?. C. LINGKUP BAHASAN Sesuai dengan judul laporan kelompok Observasi Lapangan yaitu peningkatan program keselamatan pasien melalui optimalisasi kinerja komite keselamatan pasien guna meningkatkan kualitas pelayanan di RSUD Panembahan Senopati Bantul, maka fokus bahasan dibatasi pada kajian tentang Program Keselamatan Pasien. Fokus bahasan tersebut dianalisis dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan di RSUD Bantul. D. METODE OBSERVASI LAPANGAN 1. Metode Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan secara deskriptif dengan mengakses beberapa sumber data, antara lain:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan satu informan yang merupakan anggota Tim KPRS. Instrumen yang digunakan adalah kuisioner wawancara semi terstruktur, yang terdiri dari pertanyaan tertutup dan terbuka. b. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari dokumen yang dapat memberikan informasi mengenai topik kajian Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Adapun teknik yang digunakan adalah..

BAB II LANDASAN TEORI A. KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN Mutu merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik oleh penyedia jasa atau pelayanan (Tomey, 2006). Aplikasi mutu sebagai suatu sifat dari penampilan produk atau kinerja yang merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam rangka meraih keunggulan yan g berkesinambungan, baik sebagai pemimpin pasar atau pun sebagai strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan suatu produk jasa atau pelayanan adalah tergantung dari keunikan jasa tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan keinginan pelanggan (Supranto, 2001). Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif (Wijono, 1999).

Jadi mutu merupakan suatu produk yang diberikan kepada pelanggan untuk memberikan kepuasan akan kebutuhan dalam pelayanan jasa, dengan menjamin kualitas pelayanan yang berkesinambungan, efektif dan efisien serta tanggap terhadap adanya indikator yang menyebabkan ketidakpuasan. Manajemen Mutu menurut J.M Juran dan Wijono (1999), bahwa mutu yang lebih tinggi memungkinkan untuk mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang, mengurangi kegagalan di lapangan, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi keharusan memeriksa dan menguji, meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak utama pada biaya, dan biasanya mutu lebih tinggi biaya lebih sedikit. A.1. Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan Lori Di Prete Brown, et. al dalam Wijono, 1999, menjelaskan bahwa kegiatan menjaga mutu dapat menyangkut dalam beberapa dimensi: 1. Kompetensi teknis, yang terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan petugas. Kompetensi teknis berhubungan dengan standar

pelayanan yang telah ditetapkan. Kompetensi teknis yang tidak sesuai standar dapat merugikan pasien. 2. Akses terhadap pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial dan ekonomi, budaya atau hambatan bahasa. 3. 3. Efektifitas, kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada. 4. Hubungan antar manusia, berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dan pasien, manajer, petugas serta antar tim kesehatan. Hubungan antar manusia yang baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara

menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsif , dan memberikan perhatian. 5. Efisiensi, pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh efisiensi sumber daya pelayanan kesehatan. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada memaksimalkan pelayanan pasien dan masyarakat. 6. Kelangsungan pelayanan, klien menerima pelayanan yang lengkap sesuai yang dibutuhkan. Klien hendaknya mempunyai terhadap pelayanan rutin dan preventif. 7. Keamanan dan kenyamanan klien, mengurangi risiko cedera, infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan. Keamanan pelayanan melibatkan petugas dan pasien. 8. Keramahan/kenikmatan (amenietis) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinik tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedia untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya. Dimensi mutu yang lain menurut Dep Kes 2006, yaitu keprofesian, efisiensi, keamanan pasien, kepuasan pasien, aspek sosial budaya. A.2. Pendekatan Sistem Dalam Menjaga Mutu Mutu pelayanan rumah sakit perlu untuk ditingkatkan dengan pendekatan sistem. Menurut Donabedian dalam Wijono, 1999 bahwa penilaian mutu terbagi atas input/struktur, proses, dan outcome. Struktur meliputi peralatan dan sarana fisik, keuangan, organisasi dan, sumber daya kesehatan lainnya. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari: jumlah besarnya input, mutu struktur atau mutu input, besarnya anggaran atau biaya dan kewajarannya. Proses merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan. Proses

mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Sedangkan outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap pasien. Penilaian terhadap outcome merupakan evaluasi hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan pelanggan (Wijono, 1999). Penilaian mutu menurut Dep Kes R.I, 2006 terdiri dari struktur, proses, dan outcome. Struktur adalah sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya keuangan, dan sumber daya pada fasilitas pelayanan kesehatan. Proses adalah kegiatan yang dilakukan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien, evaluasi, diagnosa keperawatan, konseling, pengobatan, tindakan dan penanganan pasien secara efektif dan bermutu. Outcome adalah kegiatan dan tindakan dokter dan

tenaga profesi lain terhadap pasien dalam arti perubahan derajat kesehatan dan kepuasan pelanggan. A.3. Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan Mutu pelayanan kesehatan perlu dilakukan pengukuran, dengan cara mengetahui tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah

petunjuk atau tolak ukur. Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcome. Indikator terdiri dari indikator proses, indikator outcome. Indikator proses memberikan petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Indikator outcomes merupakan indikator hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu input dan proses seperti BOR, LOS, dan Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan, dan sebagainya. Indikator dispesifikasikan

dalam berbagai kriteria. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah fenomena yang dapat dihitung. Selanjutnya setelah kriteria ditentukan dibuat standar-standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup hal-hal yang normatif (Wijono, 1999). Prinsip dasar mengukur mutu pelayanan kesehatan menurut Depkes (2006) adalah melalui indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk dapat melihat perubahan. Kriteria adalah spesifikasi dari indikator. Standar adalah tingkatan performance atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenangan dan merupakan suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien diantaranya adalah jumlah pasien yang terjatuh dari tempat tidur, jumlah pasien yang diberi obat salah, jumlah pasien yang tidak/terlambat ditangani karena tidak ada obat/alat emergensi, tidak ada oksigen, tidak ada alat penyedot lendir dan tidak tersedia alat pemadam kebakaran (Muninjaya, 1999). B. KESELAMATAN PASIEN Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut

diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yan disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang

seharusnya dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006). WHO Health Assembly ke 55 Mei 2002 menetapkan resolusi yang mendorong negara untuk memberikan perhatian kepada problem Patient Safety meningkatkan keselamatan dan sistem monitoring. Pada bulan Oktober 2004, WHO dan berbagai lembaga mendirikan World Alliance for Patient Safety dengan tujuan mengangkat isu Patient Safety Goal First do no harm dan menurunkan morbiditas, cedera dan kematian yang diderita pasien. (WHO: World Alliance for Patient Safety, Forward Programme, 2004). Enam sasaran keselamatan pasien (Kemkes, 2011) adalah sebagai berikut. 1. Ketepatan identifikasi pasien. 2. Peningkatan komunikasi yang efektif. 3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert). 4. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi. 5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. 6. Pengurangan risiko pasien jatuh. Salah satu penyebab utama kesalahan yang tidak dapat dihindarkan oleh pasien dalam organisasi perawatan kesehatan adalah kesalahan pengobatan. Pengobatan dengan risiko yang paling tinggi untuk terjadinya penyalahgunaan meliputi kemoterapi, cairan elektrolit konsentrasi tinggi, heparin, digoxin intravena, dan adrenergic agonists dkenal sebagai high-alert drugs. Kemungkinan untuk terjadinya kesalahan menjadi lebih besar dengan obat-obatan tersebut dibandingkan obat yang lainnya. Pencegahan kesalahan pemberian obat yang merupakan kategori LookAlike, Sound Alike Errors dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Menuliskan dengan benar dan mengucapkan ketika mengkomunikasikan informasi dalam pengobatan. Buat pendengar tersebut mengulang kembali nama atau aturan pemberian obat tersebut untuk meyakinkan mereka mengerti dengan benar. 2. Mengucapkan nama obat sebagaimana yang tertulis. 3. Memperhatikan kesalahan-kesalahan yang potensial terjadi ketika pembagian dan pemberian obat. 4. Mengelompokkan obat sesuai dengan huruf depan nama obat (berdasarkan alphabet). 5. Adanya system allert pada SIM rumah sakit sebagai pengingat untuk dokter, perawat dan tenaga farmasi, pada masalah yang potensial. 6. Memperhatikan indikasi pemberian obat untuk membantu tenaga farmasi mengidentifikasi masalah potensial. 7. Melakukan pengecekan tempat atau label pengobatan selain label pasien sebelum memberikan dosis kepada pasien (Joint Commission International, 2007). Terdapat enam tahapan untuk mengambil keputusan dalam pemberian pengobatan, yaitu: (1) Membuat diagnosa yang benar, (2) Mengerti patofisiologi penyakit tersebut mereview pilihan menu dari farmakoterapI, (3) Meneliti kembali nama pasien dengan obat dan dosis pemberian yang benar, (4) Menentukan obat dan dosis yang akan diberikan, (5) Memelihara hubungan terapeutik dg pasien. (Melmon and Morellis Clinical Pharmacology, 2000). Adapun untuk memberikan obat dengan tepat terdapat 6 tepat yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Tepat obat: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan ada tidaknya alergi obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan obat, mengecek label obat, mengetahui reaksi obat dan mengetahui efek samping obat, hanya memberikan obat yang disiapkan diri sendiri. 2. Tepat dosis: mengecek program terapi dari dokter, mengecek hasil hitungan dosis dengan perawat lain, mencampur/mengoplos obat. 3. Tepat waktu: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek tanggal kedaluwarsa obat, memberikan obat dalam rentang waktu 30 menit. 4. Tepat pasien: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan nama pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan di tempat tidur pasien. 5. Tepat cara pemberian: mengecek program terapi dari dokter, mengecek cara pemberian pada label/kemasan obat. 6. Tepat dokumentasi: mengecek program terapi dari dokter, mencatat nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat (Kozier, B. Erb, G. & Blais, K.,1997). B.1. Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit Sebagai Langkah Strategis Sesuai dengan buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Depkes R.I. (2006), tujuan sistem keselamatan pasien rumah sakit adalah sebagai berikut. 1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit. 2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat. 3. Menurunnya KTD di rumah sakit.

4. Terlaksananya

program-program

pencegahan

sehingga

tidak

terjadi

pengulangan KTD. World Alliance for Patient Safety menyusun program Six areas of action for 2005, meliputi: 1. Tantangan Global Keselamatan Pasien, dengan tema Clean Care is safer Care. 2. Pasien untuk Keselamatan Pasien atau Involving patient organizations and individuals in Alliance work. 3. Taxonomy untuk Keselamatan Pasien atau Ensuring consistency in the concepts, principles, norms and terminology used in patient safety work. 4. Riset untuk Keselamatan Pasien atau Promoting existing interventions in patient safety and coordinating international efforts to develop solutions. 5. Pelaporan dan Pembelajaran atau Generating best practice guidelines for existing and new reporting systems. Dalam program Six areas of action for 2005, pasien dan keluarganya memiliki peran aktif untuk tindakan pencegahan cedera, dengan nasehat sebagai berikut. 1. Bertanyalah apabila anda memiliki pertanyaan atau keingintahuan. Adalah hak anda untuk mengetahuinya. 2. Anda harus cermat memperhatikan seluruh perawatan yang anda terima. 3. Pelajari diagnosis, pemeriksaan dan pengobatan sesuai penyakit anda. 4. Mintalah teman atau anggota keluarga yang anda percayai sebagai penasehat anda. 5. Anda harus mengetahui obat yang diberikan dan mengapa anda mendapatkan obat tersebut.

6. Gunakan rumah sakit yang secara periodik melakukan evaluasi terhadap standar keselamatan pasiennya. 7. Ikut sertalah mengambil keputusan terhadap seluruh perawatan yang akan diberlakukan pada anda. Menurut Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit (Depkes R.I. 2006), terdapat tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit, sebagaimana berikut. 1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, yaitu menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. 2. Memimpin dan mendukung staf anda dengan membangun komitmen, fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di rumah sakit anda. 3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko, mengembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. 4. Mengembangkan sistem pelaporan, memastikan staf agar dengan mudah dapat melaporkan insiden, serta mengatur pelaporan kepada Tim KPRS. 5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien, mengembangkan cara

komunikasi yang terbuka dengan pasien. 6. Melakukan kegiatan belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. 7. Mendorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul. 8. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien, dengan menggunakan informasi yang ada tentang suatu kejadian, untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.

Adapun 7 Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang tercantum dalam Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit (Depkes R.I. 2006) adalah sebagai berikut. 1. Hak pasien 2. Mendidik pasien dan keluarga 3. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan 4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien. 5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien. 6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien. 7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. B.2. Indikator Keselamatan Pasien Indikator keselamatan pasien merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk

menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada indikator keselamatan pasien ini, maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien. Secara umum indikator keselamatan pasien (IKP) menurut Dwiprahasto (2008) ini terdiri atas 2 jenis, yaitu IKP tingkat rumah sakit dan IKP tingkat area pelayanan, dengan penjelasan sebagai berikut.

1. Indikator tingkat rumah sakit (Hospital Level Indicator) digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik. 2. Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik. Tujuan penggunaan IKP adalah mengidentifikasi area-area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, sebagaimana contoh berikut. 1. Adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu. 2. Adanya area pelayanan yang ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi sebagaimana yang diharapkan. 3. Tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan. 4. Disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan misalnya pemerintah versus swasta atau urban versus rural (Dwiprahasto, 2008). B.3. Penanganan Pasien Cedera Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya jatuh, suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang pada saat istirahat yang dapat dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi adanya penyakit seperti stroke, pingsan, dan lainnya. Beberapa hal untuk mencegah terjadinya jatuh adalah sebagai berikut. 1. Obat-obatan: perawat memperhatikan efek samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh.

2. Penglihatan menurun: perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat menyebabkan jatuh, menggunakan kaca mata, sehingga pasien dapat berjalan sendiri, misalnya pada malam hari. 3. Perubahan status mental: perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien. 4. Meletakkan sepatu dan tali sepatu pada tempatnya: perawat mengecek seluruh daerah yang dapat menyebabkan jatuh (misalya sepatu atau tali sepatu yang tidak pada tempatnya). 5. Jatuh di lantai: perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh. 6. Terlalu banyak furniture, daerah yang gelap, dan dehidrasi (perawat

menganjurkan untuk minum 6-8 gelas per hari). (Joint Commission International, 2007) B.4. Mengidentifikasi Risiko Jatuh Di Josephs Hospital dan Medical Center sejak tahun 2001 sudah mengidentifikasi risiko terjadinya jatuh (misalnya pada pasien akut). Manajer mengidentifikasi kondisi medis, obat-obatan, status mental, lingkungan, kemampuan beraktivitas, dan pola tidur pasien. Mengkaji kemungkinan terjadinya risiko jatuh adalah dengan cara meletakkan stiker berupa simbol senyuman (green smiling-face sticker) yang ditempelkan di pintu ruang rawat inap pasien sebagai tanda/sinyal untuk kemungkinan terjadinya jatuh sehingga perawat dapat memonitor pasien dengan lebih dekat. Keluarga juga ikut dilibatkan dalam program ini. Mengklasifikasi risiko jatuh dengan klasifikasi sebagai berikut. 1. Jatuh yang tidak disengaja. 2. Jatuh secara fisik yang tidak dapat diantisipasi, misalnya, pingsan, serangan mendadak, dan lain-lain.

3. Jatuh yang dapat diantisipasi, bisa diukur dengan menggunakan Morse Fall Scale. Karakteristik pasien yang harus diketahui adalah adanya kondisi lemah atau gangguan pada cara berjalan, menggunakan alat bantu berjalan atau gangguan status mental). Jatuh dapat dikarenakan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut diantaranya adalah jatuh yang pernah terjadi sebelumnya, menurunnya pandangan, sistem muskuloskeletal, status mental dan adanya penyakit akut. Faktor ekstrinsik dapat disebabkan obat-obatan, bathtubs dan toilet yang licin, serta desain alat-alat yang kurang ergonomis. Keamanan fisik (Biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari ancaman kecelakaan dan cedera baik secara mekanis, termis, elektris maupun bakteriologis. Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam kesehatan fisik. Mencegah terjadinya jatuh pada klien dilakukan dengan cara

mengorientasikan lingkungan dan sarana rumah sakit pada pasien saat awal masuk rumah sakit dan jelaskan sistem komunikasi yang ada. Perawat harus berhati-hati saat mengkaji pasien dengan keterbatasan gerak dan melakukan supervisi ketat pada awal dirawat terutama malam hari. Anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan, berikan alas kaki yang tidak licin, berikan pencahayaan yang adekuat, pasang pengaman tempat tidur terutama pada klien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, serta jaga lantai kamar mandi agar tidak licin (Potter and Perry, 1997). Penggunaan alat seperti restrains merupakan salah satu alat untuk immobilisasi pasien. Alat restrain dapat manual ataupun mekanik, dimana alat ini berguna untuk memberikan batasan pada klien untuk bergerak secara bebas. Untuk menghindari jatuh, alat ini dapat dimodifikasi dengan memodofikasi lingkungan yang

dapat mengurangi cedera seperti memberi keamanan pada tempat tidur, toilet, dan bel. Jeruji (side rails) pada sisi tempat tidur juga dapat mencegah terjadi cedera pada klien. Said rails dapat meningkatkan mobilisasi klien dan stabilitas di tempat tidur pada saat klien akan bergerak dari tempat tidur ke kursi (Potter dan Perry, 1997). C. TIM KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT Sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, maka setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien. TKPRS bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit, dengan keanggotaan terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit. Tkprs melaksanakan tugas sebagai berikut. 1. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan kekhususan rumah sakit tersebut. 2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit. 3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan (implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit. 4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit. 5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta

mengembangkan solusi untuk pembelajaran.

6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam rangka pengambilan kebijakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit. 7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan R.I (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien

Rumah Sakit. Jakarta: Bhakti Husada Depertemen Kesehatan R.I (2006). Upaya peningkatan mutu pelayanan rumah

sakit. (konsep dasar dan prinsip). Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta. HealthGrades (2010). HealthGrades Seventh Annual Patient Safety in American Hospital Study. Sitasi 27 Maret 2012 <http://www.healthgrades.com/media/DMS/pdf/PatientSafetyInAmericanHospital sStudy2010.pdf> Muninjaya, Gde, A.A.(1999). Manajemen kesehatan. Jakarta. EGC PERSIKARS, KKP-RS. (2006). Membangun budaya keselamatan pasien rumah sakit. Lokakarya program KP-RS. 17 Nopember 2006 Supranto.(2001). Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan

pangsa pasar. Jakarta: Rieneka Cipta Wijono, D. (1999). Manajemen mutu pelayanan kesehatan . teori, strategi dan aplikasi. Volume 1 dan 2. Airlangga University Press. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai