Anda di halaman 1dari 9

INSOMNIA A.

PENDAHULUAN Tidur merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya kesadaran secara reversibel, biasanya disertai posisi berbaring dan tidak bergerak. Aserinsky dan Kleitmen (1953) di university of Chicago menemukan bahwa biasanya pada orang yang sedang tidur, bola matanya bergerak perlahan-lahan, tetapi kadang-kadang bola matanya bergerak dengan cepat pula. Keadaan tidur ini berturut-turut dinamakan tidur tanpa gerak mata cepat (NREM sleep atau non-rapid eye movement sleep) dan tidur dengan gerak mata cepat (REM sleep atau rapid eye movement sleep). Sekurang-kurangnya ada empat tingkat pada tidur, yaitu mulai dari tidur ringan sampai tidur nyenyak yang semuanya dapar diamati dengan baik pada elektro encephalogram (EEG) dan hubungannya dengan tidur REM dapat dilihat bila pada waktu yang sama ditempelkan pula elektrode di samping mata. Tidur REM, yang lamanya 20-25 % dari lamanya tidur semalam seorang dewasa muda, ada hubungannya dengan mimpi. Ada anggapan bahwa tidur REM itu merupakan bentuk kesadaran tersendiri. Jumlah tidur NREM sebagian besar dapat dikurangi tanpa kerugian pada organisme. Akan tetapi sejumlah tidur REM harus ada setiap malam. Dalam percobaan menghilangkan tidur REM (menghapuskan mimpi atau dream deprivation) ternyata, bahwa saraf (neuron) menjadi sangat lekas terangsang; individu menjadi lekas marah dan ada pula yang menjadi bingung dan gelisah sekali setelah beberapa hari tanpa tidur REM. Bila percobaan dihentikan, maka tidur REM itu menjadi lebih banyak, seakanakan kehilangan itu dikejar. Apakah sebenarnya faedah tidur NREM dan berlebih-lebih tidur REM, hinga kini belum diketahui dengan pasti. Gangguan tidur dapat berupa: insomnia (sukar tidur), biasanya karena sebab psikologik; berjalan sewaktu tidur (somnambulisme);

mimpi buruk (nightmare) atau pavor nocturnus, sering pada anak-anak dan biasanya hilang denga sendirinya;

narkolepsi (serangan tidur bersamaan dengan katapleksi, kelumpuhan tidur atau halusinasi hipnagogik) Salah satu jenis gangguan tidur yang sering didengar dalam praktek kedokteran ialah insomnia atau kesukaran tidur. Insomnia biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya, seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia. Untuk insomnia yang ringan tidak perlu diberi obat, tetapi cukup dengan penjaminan kembali. Insomnia yang berat biasanya merupakan gejala gangguan yang lain atau dapt merupakan faktor penyebab (umpamanya kelemahan badan, tremor, berkurangnya konsentrasi) atau faktor pencetus karena stres yang ditimbulkannya (umpamanya gejala-gejala skzofrenia mungkin timbul lagi atau kecemasan). Insomnia pada pagi-pagi sekali (penderita tertidur biasa, tetapi terbangun pada pukul 02 atau 03, lalu tidak dapat tidur lagi) biasanya merupakan gejala depresi endogenik. Kesukaran memulai tidur biasanya terdapat pada nerosa (depresi atau cemas). Terdapat juga pasien yang takut tertidur karena takut mimpi-mimpi buruk.

B. DEFINISI Insomnia adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat tidur seperti yang ia harapkan, atau suatu ketidak mampuan yang patologik untuk tidur. Terdapat tiga tipe insomnia: 1.Tidak dapat atau sulit masuk tidur (insomnia inisial) : Keadaan ini sering dijumpai pada ansietas pasien muda, berlangsung 1 - 3 jam dan kemudian karena kelelahan a tertidur juga. 2.Terbangun tengah malam beberapa kali: pasien ini dapat masuk tidur dengan mudah tetapi setelah 2-3 jam terbangun lagi, dan ini terulang beberapa kali dalam satu malam. 3.Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini (insomnia terminal) : pasien ini dapat tidur dengan mudah dan tidur dengan cukup nyenyak, tetapi pagi buta sudah terbangun lalu tidak dapat tidur lagi. Keadaan ini sering dijumpai pada keadaan depresi.
C. PREVALENSI

Insomnia adalah suatu gangguan tidur yang paling sering dijumpai baik pada pasien dengan maupun tanpa gangguan psikiatrik. Menurut penelitian di luar negeri, 70% pasien psikiatrik yang dirawat di rumah sakit menderita insomnia. Di Inggris, 15% pasien yang mengunjungi dokter keluarga menderita insomnia. Prevalensi insomnia meningkat dengan bertambahnya usia. Insomnia lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria (2:1) (Mc Ghie dan Russell) .
D. SEBAB-SEBAB INSOMNIA

Tidak semua insomnia didasari oleh adanya suatu kondisi psikopatologik. Insomnia dapat pula disebabkan karena kondisi atau penyakit fisik dan karena faktor ekstrinsik seperti suara atau bunyi, suhu udara, tinggi suatu daerah, penggunaan bahan-bahan yang mengandung stimulansia susunan saraf pusat.
1. Suara atau bunyi: biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara atau bunyi sehingga

tidak mengganggu tidurnya. Yang penting sering bukan intensitasnya tetapi makna dan suara itu. Misalnya seorang yang takut diserang atau dirampok, pada malam hari ia terbangun berkali-kali hanya karena suara yang halus sekalipun. Bila intensitas rangsang cukup tinggi maka Arousal Promoting System akan membangunkan kita.
2. Suhu udara : kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara yang menyenangkan

bagi dirinya. Bila suhu udara rendah ia memakai selimut, bila suhu tinggi ia memakai pakaian tipis. Insomnia sering dijumpai di daerah tropik.
3. Tinggi suatu daerah: Insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai pada mountain

sickness, terjadi pada pendaki gunung yang lebih dan 3500 meter di atas permukaan laut. Hipoksia hipobanik dapat mempengaruhi Sleep Promoting System secara langsung. Demikian juga nafas yang lebih cepat merupakan tambahan rangsang terhadap Arousal Promoting System.
4. Penggunaan bahan-bahan yang mengandung stimulansia susunan saraf pusat : Insomnia

dapat terjadi karena penggunaan bahan-bahan seperti kopi yang mengandung kafein, tembakau yang mengandung nikotin dan obat-obat pengurus badan yang mengandung amfetamin atau yang sejenis.
5. Penyakit jasmani tertentu: misalnya arteriosklerosis, tumor otak, demensia presenil,

tirotoksikosis, Sindrom Cushing, demam, kehamilan normal trimester ketiga, rasa nyeri,

diabetes melitus, ulkus duodeni, artritis reumatika, cacing keremi pada anak, tuberkulosis paru yang berat, penyakit jantung koroner tertentu.
6. Penyakit psikiatrik : beberapa penyakit psikiatrik ditandai antara lain dengan adanya

insomnia seperti pada gangguan afektif, gangguan neurotik, beberapa gangguan kepribadian, gangguan stres pasca-trauma dan lain-lain. E. PSIKOPATOLOGI INSOMNIA 1. Depresi Berat (Psikosa Depresi): Seringkali ditandai dengan adanya insomnia walau ada pula kasus depresi berat yang ditandai dengan hipersomnia, di samping gejala-gejala lain seperti afek yang disforik, hilangnya minat atau rasa senang, perasaan sedih, murung, putus asa, rasa rendah diri, anoreksia, berat badan turun, gerakan serba lambat, kurang bisa konsentrasi, pikiran tentang mati atau bunuh diri.
2. Episode Manik (Psikosa Manik): Ditandai antara lain dengan adanya afek yang meningkat,

peningkatan aktivitas dalam pekerjaan, hubungan sosial maupun seksual, banyak bicara, pikiran terbang (flight of ideas), grandiositas dan insomnia karena kebutuhan tidurnya berkurang. 3. Gangguan Skizofrenik (Skizofrenia): Tidak semua penderita gangguan skizofrenik mengalami insomnia. Pada tipe furor katatonik, gangguan skizofreniform (episode skizofrenik akut) atau pada skizofrenika tipe paranoid dengan waham kejar dan halusinasi berupa kejaran dapat terjadi insomnia. 4. Gangguan Cemas Menyeluruh (Neurosa Ansietas): Ditandai dengan ketegangan motorik sehingga tampak gemetar, nyeri otot, lelah, tak dapat santai, hiperaktivitas saraf otonom berupa banyak berkeringat, berdebar-debar, rasa dingin. tangan yang lembab, mulut kering, pusing, rasa kuatir berlebihan, sukar konsentrasi dan insomnia. 5. Gangguan Distimik (Neurosa Depresi): Sering ditandai dengan adanya insomnia atau sebaliknya yaitu hipersomnia, di samping gejala depresi lainnya walaupun tidak seberat pada Depresi Berat. Tidak ada ciri-ciri psikotik. 6. Gangguan Kepribadian Sikiotimik (Afektif): Baik pada periode depresif maupun periode hipomanik dapat dijumpai adanya insomnia, walaupun pada periode depresif dapat pula terjadi hipersomnia.

7. Gangguan Stres Pasca-trauma: Sesudah mengalami suatu trauma psikologik yang pada umumnya berada di luar batas-batas pengalaman manusia yang lazim terjadi, seringkali di jumpai penumpulan reaksi terhadap dunia luar, pengurangan hubungan dengan dunia luar, disertai gambaran penyerta berupa depresi dengan insomnia, kecemasan, kesulitan berkonsentrasi, emosi labil dan nyeri kepala.
8. Gangguan Penyesuaian: Sering diwarnai afek depresi atau afek cemas misalnya pada

culture shock. 9. Delirium: Pada delirium kadang-kadang dijumpai gangguan siklus tidur-bangun, berfluktuasi dan biasanya berlangsung untuk waktu yang singkat saja, dapat berupa insomnia atau hipersomnia atau berfluktuasi di antara keduanya. 10. Sindroma Putus Zat: Insomnia sering kali merupakan gejala yang cukup menonjol pada sindroma putus zat misalnya pada sindroma putus opioida, sindroma putus alkohol. dan sindroma
11. Putus sedativa-hipnotika. 12. Intoksikasi Zat: Pada penyalahgunaan zat sering tenjadi keadaan intoksikasi yang ditandai

antara lain dengan insomnia, misalnya pada intoksikasi kokain dan amfetamin 13. Sindroma Postkontusio : Sesudah mengalami kontusio. orang sering mengalami insomnia di samping nyeri kepala. pusing dan perasaan lelah. 14. Faktor psikik yang mempengaruhi kondisi fisik : Misalnya nyeri psikogenik, poliuria psikogen, pruritus psikogenik. 15. Mimpi buruk. 16. Mendengkur. F. PEMERIKSAAN Anamnesa Berkurangnya kuantitas waktu tidur Pada insomnia inisial terdapat kesulitan untuk memulai tidur pada waktu yang biasa Insomnia periode tengah terbangun selama siklus tidur normal Insomnia terminal bangun lebih awal dari waktu yang dibutuhkan Mengantituk dan berkurangnya konsentrasi pada siang hari, tertidur pada saat aktivitas Rasa lelah

Kecemasan Sleep hygiene Keadaan lain yang berhubungan, penyakit medis seperti rasa nyeri, stressor, gangguan moos, obat-obatan Alloanamnesa: mengorok, pernapasan tidak teratur, pergerakan pada waktu tidur, panjang waktu tidur, perubahan pada mood dan performance Anamnesa khusus: durasi, lama waktu gangguan, ganggguan pada jatuh tidur, onset tidur, kesulitan untuk mempertahankan tidur, bangun tidur terlalu awal, tidak dapat kembali tidur setelah bangun.

Pemeriksaan penunjang Polisomnografi : untuk evaluasi dari sleep apnea, restless legs, parasomnia, atau ketika anamnesa tidur tidak dapat memberikan diagnosis. G. DIAGNOSIS Klasifikasi : Insomnia primer, Gejala minimal 1 bulan: kesulitan untuk memulai tidur, mempeertahankan atau kembali tidur setelah terjaga Gangguan pada sosial, pekerjaan atau area fugsiopnal pentiyg lainnya Tidak hanya muncuol secara khusus selama narkolepsi, gangguan tidur terkait pernapasan, irama sirkardian atau parasomnia Tidak mundcul secara khusus pada penyakit depresif nayor, gangguan cemas ment=yeluruh, delirium Bukan sekunder dari efek fisiologis substansi tertentu Gangguan tidur menyebabkan distress yang signigfikan Insomnia sekunder Akibat dari penyalahgunaan ibat, muncul sekunder pada gangguan depresif primer, gangguan cemas menyeluruh atau fobia, streees akut situasional, PTSD, nyeri, dll. Insomnia non organik (F51.0) Untuk membuat diagnosis pasti dari insomnia non organik diperlukan kriteria diagnosis sebagai berikut:

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk; b. Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam semingu selama minimal 1 bulan c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleepless-ness) dan peduli yang berlebiha terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari; d. Ketidakuasan terhadap kualitas dan/atau kuantitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempngaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan. Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua ko-morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terpai tersendiri. Kriteria lama tidur (kuantitas) idak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas ( seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2). (ppdgj3)

H. PENATALAKSANAAN

1. Non Farmakologis

Obati keadaan yang menyebabkannya, terutama rasa nyeri Hindari minum alkohol, kopi dan teh pada malam hari Kurangi merokok, makan dan berolah raga dekat sebeIum tidur Modifikasi tingkah laku, teknik relaksasi dan konseling psikologik, termasuk

memperbaiki gangguan pada perpindahan fase melalui perubahan bertahap dalam irama biologis 2. Farmakologis Many agents are useful in treating insomnia. Short-term drug therapy is preferred to restore a normal sleep pattern. Generally, hypnotic drugs are approved for 2 weeks or less of continuous use. In chronic insomnia, longer courses may be indicated, which require longterm monitoring to ensure ongoing appropriate use of the medication. Secara farmakologis, obat yang digunakan untuk penatalaksannaan insomnia, yaitu: 1. Golongan benzodiazepine 2. Golongan non benzodiazepined

Zolpidem (Ambien) and zaleplon[3 ](Sonata) are the newest and, arguably, the safest agents that are US Food and Drug Administration (FDA) approved for short-term hypnotic use. Zolpidem (Ambien CR) has recently released an extended-release version that lasts slightly longer than the original preparation. In addition, the FDA recently approved the new agent eszopiclone (Lunesta) as the first agent for long-term use in the management of chronic insomnia.

Bila terdapat indikasi terapi dengan obat-obatan, pilihan obat tergantung pada Bila ansietas merupakan penyebab utama, pengobatan dengan antiansietas dengan Obati insomnia yang menyertai depresi dengan sedatif antidepresan Gunakan penginduksi tidur 'short-acting' pada insomnia tahap permulaan Gunakan obat tidur pada gangguan yang telah lebih lama, karena hipnotik long-

penyebab rasio potensi sedatif tinggi merupakan indikasi

acting' mungkin menyehabkan efek pusing ('hangover') dan gangguan penampilan, maka hanya boleh digunakan bila ansietas terjadi pada siang hari Hipnotika baru diberikan sesingkat mungkin untuk memecahkan masalah Terdapat kemungkinan penyalahgunaan obat yang potensial walaupun kecil dengan Obat hipnotik mungkin memperburuk gejala kilnik penderita dengan apne waktu

kebanyakan sedatif hipnotik dan masalah peracunan obat sendiri yang potensial tidur ('sleep apnea') Pengobatan ialah meemtermkan penderita dan mengobati gangguan yang mendasarinya. Bila tidak terdapat gangguan yang mendasarinya, maka dilakukan psikoterpi suportif dibantu dengan obat tidur bial perlu untuk mengembalikan ritme tidur penderita. Perlu dikatakan kepada pasien bahwa ia tidak usah berusaha untuk tidur. Sering penderita menceritakan bahwa ia sudah berusaha dengan menutup mata, menghilangkan pikiranpikiran, tidak bergerak dan sebagainya, ttapi tidak dapat tertidur, karena makin ia berusaha, makin tertuju perhatiannya pada keadaannya da hal ini menghambat ia tertidur. (maramis)

I. PROGNOSIS Respon terhadap pengobatan tergantung pada etiologi insomnia. "Rebound insomnia" dapat terjadi pada penghentian tiba-tiba dan obat sedatif hipotik. Beberapa penderita mungkin memberikan respon terhadap cara-cara tanpa obat setelah masalah didiskusikan dan etiologinya ditemukan

Anda mungkin juga menyukai