Anda di halaman 1dari 5

PERALIHAN PBB-P2 dan BPHTB MENJADI PAJAK DAERAH Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No.

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menggantikan UU PBB No. 12 tahun 1994. Atas dasar tersebut, pemerintah mengalihkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi pajak daerah. Pengalihan kedua jenis pajak tersebut menjadi pajak daerah terhitung mulai tanggal 1 Januari 2011 untuk BPHTB dan PBB-P2 paling lambat pada 1 Januari 2014. Sedangkan bagi beberapa daerah yang telah siap, dapat memungut PBB-P2 lebih cepat dari tahun 2014. Pengalihan a. tersebut dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa

Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia

adalah PBB) Menjadi Urusan pemerintah daerah. b. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu negara yang mengimpor minyak bumi. c. Akibatnya, sumber pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam APBN. d. Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak berhasil membentuk KPP Pratama yang merupakan peleburan dari Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan PBB, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Keberadaan PBB dengan sejumlah permasalahan yang sangat banyak dan tidak diimbangi dengan jumlah

penerimaannya, dirasakan mengganggu konsentrasi DJP sebagai tulang punggung pemenuhan APBN.

UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah(PDRD) menyatakan terdapat 11 jenis pajak daerah. Kesebelas jenis pajak daerah bersifat tertutup sehingga kabupaten/kota tidak diperbolehkan memungut pajak selain 11 jenis tersebut. Satu di antaranya adalah PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan. Adapun untuk PBB Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan tetap menjadi pajak pusat. Berkaitan dengan terbitnya UU PDRD, terdapat beberapa ketentuan yang membedakan antara PBB pada UU PDRD No. 28/2009 dengan PBB pada UU PBB No. 12/1993, antara lain: 1) Pasal 77 ayat (1) UU PDRD menyatakan bahwa obyek PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau

dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (UU PBB mengatur semua sektor). 2) UU PDRD menyatakan bahwa besarnya NJOPTKP(Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) ditetapkan paling rendah sebesar Rp 10.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak(UU PBB menyatakan bahwa NJOPTKP ditetapkan paling tinggi Rp 12.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak). 3) UU PDRD mengatur bahwa besarnya Nilai Jual Objek Pajak(NJOP) ditetapkan oleh Kepala Daerah(UU PBB menyatakan bahwa NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan). 4) UU PDRD mengatur bahwa tariff PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%(UU PBB menyatakan bahwa tariff PBB adalah tariff tunggal sebesar 0,5%). 5) UU PDRD tidak mengenal Nilai Jual Kena Pajak/NJKP(UU PBB menyatakan NJKP serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJKP). Upaya pemerintah dalam mengalihkan BPHTB dan PBB menjadi Pajak Daerah tentu dapat menimbulkan dampak yang dapat ditinjau dari segi positf maupun segi negatif. Jika ditinjau dari segi positifnya:

1.

PBB dan BPHTB sudah menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan PAD dapat meningkat secara signifikan. Karena PAD merupakan salah satu sumber dana pembiayaan desentralisasi suatu daerah yang paling penting, karena PAD

merupakan cermin kemandirian suatu daerah karena PAD dipungut oleh daerah itu sendiri, tidak bergantung pada APBN. 2. Dengan adanya kebijakan pemerintah ini, pemerintah pusat bermaksud memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan desentralisasi secara maksimal dengan meningkatkan pendapatan asli daerahnya sehingga pemerintah daerah dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien serta dapat menyesuaikan jumlah dan sumber pendapatannya. 3. Selain itu tugas pemerintah pusat pun dapat terbantu dan penarikan PBB dan BPHTB pun dapat dilakukan secara maksimal jika penarikannya dilakukan oleh daerah itu sendiri. Dengan jauh berkurangnya Wajib Pajak yang dilayani oleh Pemerintah Pusat, maka diharapkan pelayanan perpajakan akan jauh lebih baik. Pelayanan yang baik akan meningkatkan kepatuhan perpajakan, yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak. 4. Dilimpahkannya pengelolaan PBB dan BPHTB kepada daerah, bukanlah sekadar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan

pengeluarannya, tetapi juga dalam rangka mengefektifkan pengelolaan administrasi dan pelayanannya. Pemerintah daerah tentu akan lebih memahami seluk beluk daerahnya serta mengetahui pula apa yang terbaik bagi daerahnya. Dari sisi pelayanan kepada Wajib Pajak, pengelolaan PBB dan BPHTB diharapkan akan menjadi lebih baik. Jika ditinjau dari segi negatif masuknya PBB dan BPHTB pada pajak daerah : 1. Dari sisi Pemerintah Daerah khususnya bagi daerah yang penerimaan BPHTB-nya kecil, maka dengan devolusi ini akan berdampak negatif terhadap PAD-nya. Karena selama ini seluruh Pemda Kabupaten/Kota akan menerima bagi rata sekitar 2 miliar

rupiah per tahun. Mulai tahun 2011 penerimaan pajak dari bagi rata ini tidak akan diperoleh lagi. Menurut data realisasi penerimaan BPHTB tahun 2009, diperkirakan kemungkinan hanya 89 Kabupaten/Kota (18%) saja yang penerimaan BPHTB-nya akan lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, sisanya akan mengalami penurunan penerimaan. 2. Masih terbatasnya pengalaman daerah dalam pengembangan sistem informasi dan pengembangan infrastruktur penunjang. Kesulitan-kesulitan itu pula yang barangkali menyebabkan sebagian daerah masih lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat sementara daerah cukup menunggu bagiannya saja. 3. Dari segi kemampuan aparat daerah terutama dalam penentuan basis pajak dan pelayanan masyarakatnya. Selain itu, terbuka kemungkinan kecilnya kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau menerapkan sanksi yang keras berhubung terkait langsung dengan kepentingan politik penguasa yang bersangkutan di daerah. Namun,demikian, peraturan yang ada tetap mengharuskan daerah siap tidak siap Pemerintah Kabupaten/Kota harus menerima pengalihan PBB P2 beserta seluruh aspeknya, mulai dari pengiriman SPOP sampai dengan penerbitan SPPT, pemenuhan hak wajib pajak sampai dengan sengketa dengan wajib pajak di pengadilan pajak, Jakarta. Peran yang telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam rangka

menyukseskan pengalihan PBB-P2 dan BPHTB menjadi pajak daerah, antara lain: pemberian sosialisasi kepada seluruh pemerintah kabupaten/kota, baik melalui media massa, tatap muka, maupun pendidikan dan pelatihan serta e-learning. Selain itu juga, pembekalan aparatur Pemda dengan memberikan tugas belajar kepada beberapa pegawai Pemda tentang PBB di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang sekarang ini sedang berjalan sangat membantu untuk menyukseskan pengalihan PBB-P2 dan BPHTB menjadi pajak daerah.

Sumber:

http://pusdiklatpajak.blogspot.com/2009/12/peluang-dan-tantangan-pengalihanpbb.html

http://www.scribd.com/doc/82762678/iSi-Paper-Pengantar-Pajak http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=perkembangan%20pelaksanaan%20pbb% 20pajak%20daerah&source=web&cd= 5&sqi=2&ved=0CDcQFjAE&url=http%3A%2F%2Fwww.setjen.depkeu.go.id%2Fdata %2Fmkeuangan%2Fexe%2FMK%2520Desember%25202010.pdf&ei=SnhlT6O2Os_ wrQeYqfC8Bw&usg=AFQjCNE66bAT9S9xQ93Cvv8PxBjdvSpi0w

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/06/15/pbb-perdesaan-dan-perkotaansebagai-pajak-daerah/

http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/layanan-diklat/elearning/1063diklat-berbasis-e-learning-pbb-dan-bphtb-untuk-pemda

http://www.stan.ac.id/posts/20111112/program-d-i-untuk-pemerintah-daerah.html

Anda mungkin juga menyukai