Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENDAHULUAN Rhinosinusitis atau secara populer dikenal sebagai sinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi

hidung dan sinus paranasal. Penyebab tersering adalah infeksi saluran nafas atas akibat virus yang disertai infeksi sekunder oleh bakteri patogen dari traktus respiratorius bagian atas.(1) Sinusitis baik yang akut maupun kronis, mempunyai prevalensi cukup tinggi di masyarakat. Data terbaru tahun 1999 dari bagian THT dan bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, menunjukkan prevalensi sinusitis maksila akut yang cukup tinggi pada penderita ISNA anak-anak, yaitu 25 %. Angka ini adalah 2-3 kali lipat dari angka-angka di literatur luar negeri. Data lain dari sub bagian Rhinologi THT FKUI/RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo, juga menunjukkan angka sinusitis yang tinggi yaitu, 247 pasien (50 %) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996.(2) Sinusitis yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila, diikuti dengan sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid.(3) Namun permasalahannya adalah bagaimana menegakkan diagnosa sinusitis maksilaris kronis dengan tujuan agar para klinisi dapat mengelola dengan baik dan tahu kapan harus merujuk ke dokter spesialis THT. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis sinusitis maksila kronis, sehingga bila menghadapi kasus yang sama dapat melakukan penatalaksanaan dengan baik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ANATOMI SINUS PARANASAL Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung, melalui ostiumnya. Ada tiga pasang sinus yang besar, yaitu sinus maksila, sinus frontal, dan sinus sfenoid masing-masing kanan dan kiri. Sedangkan beberapa sinus dengan sel-sel kecil disebut sinus etmoid (anterior dan posterior). Tiap-tiap sinus melalui ostiumnya akan bermuara ke dinding lateral hidung.(4) Dinding lateral hidung merupakan organ penting karena di dalamnya berisi saluran-saluran sinus dan mempunyai tiga tonjolan tulang yang dilapisi mukosa, disebut konka superior, konka media, dan konka inferior. Diantara konka-konka tersebut terdapat rongga sempit yang disebut meatus, terdiri dari : Meatus superior Terletak diantara konka superior dan konka media. Merupakan muara dari sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Meatus media Terletak diantara konka media dan konka inferior. Merupakan muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior Terletak di bawah konka inferior. Merupakan muara duktus nasolakrimalis. Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, terdapat suatu daerah yang disebut kompleks ostiomeatal (KOM). Daerah ini sempit dan rumit. Terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang resesus

unsinatus, resesus frontal, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya serta ostium sinus maksila. Seperti pada hidung dan bagian traktus respiratorius lainnya, sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang terdiri dari epitel torak berlapis semu bersilia. Diantara sel-sel tersebut terdapat sel goblet penghasil lendir. Di bawahnya terdapat tunika propria yang mengandung kelenjar seromukus. Sekresi sel goblet dan kelenjar ini membentuk palut lendir yang menutupi permukaan epitel. Silia dan palut lendir pada hidung dan sinus, merupakan sistem yang berfungsi untuk proteksi dan untuk melembabkan udara inspirasi yang disebut sebagai sitem mukosilier.(5) Silia akan selalu bergerak dengan teratur, sehingga mengalirkan lendir untuk dibuang dari hidung ke arah posterior, dan dari sinus-sinus menuju ostium alamiahnya, dengan jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral rongga hidung, terdapat 2 jalur transpor mukosilier dari sinus. Yaitu: 1) Jalur Pertama: Lendir dari sinus anterior yang bergabung di dalam infundibulum etmoid, dialirkan ke nasofaring, di depan muara tuba Eustachius. 2) Jalur Kedua: berasal dari kelompok sinus posterior, yang bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring, di sebelah posterosuperior muara tuba Eustachius. Inilah sebabnya mengapa pada sinusitis terdapat postnasal drip, yaitu ingus yang mengalir ke arah nasofaring, dari sinus-sinus akibat gerakan silia, tetapi belum tentu ada sekret di dalam rongga hidung. Dari nasofaring, lendir turun ke tenggorok, karena gaya berat atau akibat gerakan menelan.(6) Sinus maksila atau Antrum Highmore merupakan sinus paranasal yang terbesar. Bentuknya piramid, dengan apeks di

prosesus zigomatikus dan basis di dinding lateral rongga hidung. Batasnya adalah: -

dinding anterior :permukaan fasialis os maksilla dinding posterior : fossa infra temporal dan pterigomaksila dinding superior: dasar orbita dinding inferior: prosesus alveolaris dan palatum (7)

A. FISIOLOGI SINUS PARANASAL Fungsi sinus paranasal adalah : 1. 2. 3. 4. sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) untuk keseimbangan kepala untuk menjaga suhu udara inspirasi untuk resonansi suara Sinus yang sehat akan berisi udara serta kuman aerob dan anaerob. Fungsi sinus yang normal dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu fungsi silia normal, sekresi kelenjar yang adekuat, serta patensi ostium sinus. Kelainan pada salah satu fungsi tersebut akan mengarah pada sinusitis. Sekresi sel goblet dan kelenjar pada mukosa sinus akan membentuk lendir yang menutupi permukaan epitel, disebut

mukus blanket yang berfungsi sebagai drainase, pertahanan, serta memberi kelembaban udara yang akan masuk ke sinus. Jika terdapat partikel, benda asing, atau kuman yang masuk bersama dengan udara akan melekat pada mukus membran, kemudian akan terdapat sel lekosit PMN, sel mast, eosinofil, lisozym, dan imunoglobulin G di sekitarnya. Karena gerakan silia maka mukus membran akan bergerak secara alamiah ke arah ostium sinus menuju hidung. Aliran mukus membran di sinus maksila mulai dari dasar ke arah dinding depan, medial, posterolateral, dan atap sinus kemudian ke ostium sinus maksila. Semua mukus membran yang keluar dari ostium sinus akan mengalir ke nasofaring kemudian menuju arah orofaring, laringofaring dan selanjutnya mengalir ke dalam esofagus ikut dalam proses menelan. C. PATOGENESIS SINUSITIS Infundibulum etmoid dan prosesus frontal yang termasuk bagian dari KOM. Berfungsi sebagai serambi depan sinus maksila dan frontal, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa di tempat ini, berdekatan satu sama lain. Dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka, terjadi gangguan drainase dan ventilasi dari sinus maksila dan sinus frontal, sehingga akibatnya aktifitas silia terganggu dan terjadi genangan lendir. Sehingga lendir menjadi kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, maka akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri anaerob pun akan berkembangbiak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya, dapat terjadi

perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau terbentuk polip dan kista.(3,8)

Patogenesis sinusitis dapat digambarkan sebagai suatu siklus sinusitis : Adanya Faktor Predisposisi: a) Faktor Anatomi : - Deviasi septum - Konka hipertrofi b) Faktor Alergi : - Rinitis alergi c) Adanya massa : - Tumor Jinak: Polip nasi Angiofibroma - Tumor Ganas: Edema mukosa ( KOM ) Sumbatan Kompleks Osteo Meatal (KOM) mukosa cavum nasi &

Kompleks Osteo Meatal

Sekret terbendung

perubahan jaringan jadi hipertrofi dan polipoid

silia tidak dapat bergerak, lendir tidak dapat mengalir

toksin bakteri merusak silia

gangguan drainase & ventilasi sinus maksila

bakteri anaerob berkembang biak hipoksia & retensi lendir

perubahan lingkungan sebagai medium yang baik untuk pertumbuhan kuman di rongga tertutup

Sebagai faktor predisposisi terjadinya sinusitis adalah adanya deviasi septum, konka bulosa, konka hipertrofi, adenoid hipertrofi, polip, kista, jamur. Sedangkan etiologi sinusitis maksila dapat dibedakan menjadi : 1. Faktor rinogen, seperti deviasi septum nasi, benda asing, massa tumor, infeksi saluran napas atas. Sebagian besar sinusitis maksila disebabkan oleh faktor rinogen. 2. Faktor odontogen, terdapat pada 10 % sinusitis maksila. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar terutama molar 1 atas, karena tulang yang membungkus antrum maksila dan memisahkannya dari socket gigi sangat tipis. Penyebab lain adalah infeksi periapikal dan infeksi periodontal. D. DIAGNOSIS SINUSITIS MAKSILA Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut (gejala berlangsung 1 hari sampai 12 minggu), sinusitis kronik (gejala lebih dari 12 minggu). Diagnosis sinusitis maksila ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesis (gejala subyektif) Sinusitis akut : demam, rasa lesu, terdapat ingus kental kadang berbau pada ke nasofaring. rongga hidung dan dirasakan mengalir terasa tersumbat. Pada sinusitis Nyeri alih Hidung

maksila, rasa nyeri dirasakan di bawah kelopak mata kadang menyebar ke alveolus sehingga gigi terasa nyeri. dirasakan di dahi dan di depan telinga. Sinusitis kronik : hidung terasa tersumbat dan mengeluarkan ingus yang kental dan berwarna kuning atau hijau. Dan kadang-kadang menyebabkan nafas berbau, disertai adanya ingus yang turun ke tenggorok. Sering disertai gangguan indera penciuman dan iritasi kronis pada tenggorok, yang

menyebabkan batuk yang tidak sembuh-sembuh. Biasanya, tidak ada rasa nyeri. Tetapi ada sakit kepala yang lokasinya tergantung sinus yang terkena. Dan sakit kepala ini lebih berat dirasakan, pada pagi hari sewaktu bangun berkurang setelah melakukan aktivitas sehari-hari. 2. Pemeriksaan fisik (gejala obyektif) Sinusitis akut : - tampak pembengkakan di daerah muka. - nyeri tekan / nyeri ketok daerah pipi infraorbita rinoskopi anterior : mukosa hiperemis, konka udem dan hiperemis, tampak sekret purulen/mukopurulen di meatus media. - rinoskopi posterior : post nasal drip (sekret di nasofaring). Sinusitis kronik : gejala obyektif tidak seberat sinusitis akut, serta tidak terdapat pembengkakan di daerah wajah. Dikatakan bahwa pada sinusitis, ada trias gejala: Hidung tersumbat dan batuk produktif Ingus di meatus medius Post nasal drip(9,10) tidur dan

3. Pemeriksaan penunjang - Transiluminasi (diafanoskopi) Dilakukan di kamar gelap, memakai sumber cahaya penlight yang dimasukkan ke dalam mulut dan bibir dikatupkan. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit terang di infraorbita. Pada sinusitis tampak suram. - Pemeriksaan radiologik Dengan x foto sinus paranasal posisi waters dan caldwell, akan tampak penebalan mukosa (radioopaq), dapat disertai

gambaran air fluid level pada sinus maksilaris. Pemeriksaan ini tidak dapat menampilkan kompleks ostiomeatal. - CT scan Gambaran sinus paranasal dan kompleks ostiomeatal tampak jelas. Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai telah terdapat komplikasi sinusitis. - Pungsi sinus Pungsi sinus dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dan untuk terapi. Kultur dilakukan pada sekret yang keluar dari pungsi ini. - Endoskopi (Sinoskopi) Pada saat dilakukan pungsi sinus melalui meatus inferior atau fosa kanina, endoskop. Menurut Saphiro dan Rachelefsky diagnosis klinis sinusitis berdasarkan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor.(1) Kriteria mayor : 1. sekret hidung purulen, kental kuning atau kehijauan. 2. sekret nasofaring purulen, kental kuning atau kehijauan. 3. batuk kering/ produktif. Kriteria minor : 1. nyeri wajah, daerah pipi, sekitar kedua mata. 2. nyeri kepala. 3. nafas berbau yang diketahui oleh penderita/ orang lain. 4. sakit gigi waktu mengunyah/ spontan di daerah kaninus/ premolar. 5. sakit tenggorok yang dapat disertai keluhan nyeri telan. 6. demam, pada orang dewasa biasanya tidak tinggi. trokar yang terpasang dihubungkan dengan

7. nyeri telinga atau telinga terasa penuh.

BAB III LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PENDERITA : Tn. T : 59 tahun : Laki-laki : Pegawai Negeri : Karang Anyar : Islam : 554.935

Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat Agama No. CM II.

PEMERIKSAAN SUBYEKTIF Keluhan Utama : Hidung Kiri Berbau

( Autoanamnesis dan alloanamnesis tanggal 18 November 2008


1.

2.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluh Hidung Kiri berbau sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga megeluh keluar ingus kental kuning kehijauan dan berbau, terkadang ingus mengalir ke tenggorokan. Pasien juga sering pusing dan saat sholat jika membungkuk terasa nyeri di pipi kiri. Beberapa tahun terakhir pasien sering batuk pilek kumat kumatan. Tidak ada keluhan berkurangnya penciuman. Pasien 6 bulan lalu pernah sakit gigi geraham kiri atas tapi tidak diperiksakan ke dokter gigi. Tidak ada keluhan pendengeran. 3. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat asma disangkal Riwayat DM disangkal. Riwayat alergi disangkal.

4.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini. 5. Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien oleh Askes Kesan Ekonomi : cukup III. PEMERIKSAAN OBYEKTIF 1. Status Generalis : Baik : 37 C : 72 kali/menit : 24 kali/menit : 120/80 mmHg : Sawo Matang Status Internus : Mesocephal : Simetris : Simetris, deviasi trachea (-), pembesaran Keadaan Umum Suhu Badan Frekuensi Nadi Frekuensi Nafas Tekanan Darah Kulit 2. Kepala Wajah Leher KGB (-) Thorax - Jantung - Paru-paru Tambahan (-) Anggota Gerak Refleks Kelamin : Gangguan gerak (-) : Fisiologis (+) Patologis (-) : Tidak ada kelainan : Suara Jantung I dan II regular, bising (-) : Suara Dasar Ventrikuler (+), Suara adalah seorang pegawai negeri, mempunyai

seorang istri dan dua orang anak. Biaya pengobatan ditanggung

3. Kiri

Status Lokalis Kanan

Telinga Aurikula

- Bentuk Normal - Nyeri Tekan (-) - Benjolan

Normal (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Pre Aurikula

- Tragus Pain - Kista/Fistel - Abses (-)

Retro Aurikula (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) Abu - Abu (-) (-) (-) (-) (-) (-)

- Nyeri Tekan (-) - Bengkak

Canalis Auditorius Externa

- Discharge - Serumen - Hiperemis - Corpus Alienum - Bengkak

Membran Timpani

- Warna Abu-abu

Mengkilap mengkilap - Bentuk intak, konkaf - Perforasi - Refleks Cahaya (-) - Bengkak Hidung dan Sinus Paranasal Bentuk Hidung : Normal Rhinoskopi Anterior Kiri

intak, konkaf (-) (+) (-) (-) (-) (-) (+)

Mastoid

- Nyeri Tekan

Kanan (-)

Sekret mukopurulen (+) Mukosa (-)

(+)

- Hiperemis Konka Media - Pembesaran - Hiperemis (-) - Hiperemis Meatus Media - Sekret mukopurulen (+) Konka Inferior - Pembesaran

(-) (-)

(-) (-) (-) (-)

(+)

(-)

- Hiperemis (-) - Hiperemis

(-) (-) (-) Deviasi (-) (-) (-)

(+)

Meatus Inferior

- Sekret

(-)

Septum Tumor Corpus Alienum

Deviasi (-)

(-) (-) Sinus Paranasal

Nyeri Tekan Supra Orbita (-) Nyeri Tekan Infra Orbita Nyeri Tekan Glabella (-) (-)

(-)

(+)

(-)

Pemeriksaan Rutin Khusus : - Transiluminasi : Pada pipi kiri tak tampak biasan cahaya seperti di pipi kanan.

Tenggorokan

Orofaring : simetris, hiperemis (-) : di tengah : merah muda, sama dengan

- Arcus Faring - Uvula - Palatum sekitarnya

- Dinding Retrofaring mukopurulen,

: granulasi (-), post nasal drip (+) hiperemis (-)

- Tumor

: (-) Kanan T1 merah muda melebar (-) rata (-) abses (-) rata (-)

Tonsil Kiri

- Ukuran T1 - Warna merah muda - Kripte melebar (-) - Permukaan - Detritus - Peritonsil abses (-) IV. RESUME a. Anamnesis

Keluhan Utama : Feator ex nasi sinistra 3 bulan feator ex nasi sinistra, rinorhoe mukopurulen, Post nasal drip ( + ), batuk ( + ), cephalgia ( + ), febris (-), canina sinistra nyeri saat membungkuk, riwayat gangrene radix molar 2 dan 3 rahang atas kiri 6 bulan lalu tidak diperiksakan ke dokter gigi b. Bentuk Hidung : Normal Pemeriksaan Fisik

Hidung dan Sinus Paranasal

1. Rhinoskopi Anterior Kiri

Kanan (-)

Sekret Mukosa (-)

mukopurulen (+) (+) - Hiperemis (-) - Hiperemis Meatus Media (-) (-) (-) (-) Deviasi (-) (-) (-) (-) (+) - Sekret mukopurulen (+) - Hiperemis (-) - Hiperemis

- Hiperemis Konka Media - Pembesaran

(-) (-)

(-) (-) (-)

(+)

Konka Inferior

- Pembesaran

(-)

Meatus Inferior

- Sekret

Septum Tumor Corpus Alienum

Deviasi (-)

(-) (-) 2. Sinus Paranasal

- supraorbita - canina - glabela : :

nyeri tekan (-); nyeri ketuk (-) nyeri tekan (-); nyeri ketuk (-) nyeri tekan (-); nyeri ketuk (-)

nyeri

tekan (-); nyeri ketuk (-) nyeri tekan (+); nyeri tekan (-); nyeri ketuk (+) nyeri ketuk (-) 3. Pemeriksaan Rutin Khusus : - transiluminasi : pada pipi kiri terlihat lebih suram disbanding pipi kanan. 4. Pemeriksaan Orofaring : - dinding retrofaring : post nasal drip (+) mukopurulen. 5. Dentis V.

gangren radix molar 2 & 3 rahang atas kiri

PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto rontgen SPN waters & caldwell DIAGNOSA BANDING 1. 2. Sinusitis Maxillaris Kronis Sinistra Sinusitis Ethmoidalis Kronis Sinoskopi

VI.

VII. VIII.

DIAGNOSA SEMENTARA RENCANA PENGELOLAAN a. 1) 2) Antibiotik Dekongestan Analgetik Mukolitik Terapi Irigasi Maxillaris Sinistra Medikamentosa :

Sinusitis Maxillaris Kronis Sinistra

3) Pengobatan Faktor penyebab odontogen setelah sinusitis dikoreksi; dengan dikonsul ke dokter gigi untuk proekstraksi gangren radix molar 2 dan 3 rahang atas kiri IX. FOLLOW UP X. PROGNOSA Dubia ad Bonam apabila pengelolaan adekuat. BAB IV PEMBAHASAN PENGELOLAAN SINUSITIS MAKSILA AKUT Bakteri menyebabkan Streptococcus sinusitis, diikuti pneumoniae paling sering Hemophyllus influenzae, Keadaan Umum Perkembangan terapi

- Kemungkinan terjadinya komplikasi

Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif yang jumlahnya sedikit. Bakteri aerob lebih dominan, dengan jumlah gram positif dan gram negatif yang seimbang. sinusitis akut adalah antibiotik.(5) Pilihan antibiotik dilakukan secara empirik, yang dapat berubah sesuai pola resistensi kuman. Sebagian besar kuman penyebab sinusitis memproduksi enzim -laktamase. Mikroba golongan -laktam hampir semuanya resisten Penisilin sehingga perlu dipertimbangkan kombinasi asam klavulanat (penghambat -laktamase) pada pemberian Amoksisilin. Berdasarkan algoritma penatalaksanaan sinusitis akut, pemberian antibiotik dimulai dengan lini pertama, yaitu Amoksisilin 3x500 mg atau Cotrimoksasol 2x480 mg. Pemberian Amoksisilin terbukti efektif pada banyak kasus sinusitis, dan Sehingga terapi utama

dianggap cukup aman. Karenanya pemantauan cukup 2x24 jam. Jika tidak ada perbaikan dapat diberi antibiotik lini kedua. Yang termasuk dalam antibiotik lini kedua adalah Amoksisilin-klavulanat 3x500/125 mg, ampisilin sulbaktam, atau sefalosporin generasi kedua (cefuroxime 2x250 mg, cefaclor 3x250 mg, cefixime 2x400 mg). Antibiotik alternatif adalah makrolid dan linkosamid. Tidak tertutup kemungkinan untuk langsung memberikan antibiotik lini kedua tanpa melalui lini pertama, yaitu pada serangan akut berulang atau jika telah terbukti bahwa amoksisilin sudah tidak efektif. Jika ada perbaikan dari pemberian antibiotik lini pertama dan lini kedua maka antibiotik diteruskan sampai 10-14 hari. Terapi tambahan sangat penting diberikan, yaitu dekongestan topikal, mukolitik, analgetik, serta pada pasien atopi dapat diberikan antihistamin/kortikosteroid topikal. Jika tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik lini pertama dan lini kedua, maka perlu dilakukan pemeriksaan foto polos /CT scan dan atau naso-endoskopi. Jika ada kelainan pasien pasien dapat didiagnosis sebagai sinusitis akut berulang atau sinusitis kronik. Lakukan penatalaksanaan sinusitis kronik. Jika tidak ada kelainan maka perlu evaluasi kembali, misalnya dengan tes alergi secara komprehensif, atau dilakukan pemeriksaan kultur dari pungsi sinus maksila. B. PENGELOLAAN SINUSITIS MAKSILA KRONIK Pengelolaan sinusitis kronik secara umum dibagi menjadi 1. pengobatan konservatif 2. pengobatan operatif 1. Pengobatan Konservatif a. Antibiotik spektrum luas

Pemilihan

penggunaan

antibiotik

tergantung

pada

beberapa faktor, idealnya pemilihan berdasarkan hasil kultur dan tes sensitifitas. Menurut guideline penatalaksanaan sinusitis , penderita dengan sinusitis kronik diberikan antibiotik lini II, yaitu : Amoksisilin + Asam klavulanat 3x 500mg/125mg; Ampisilin Sulbaktam 3 x 500 mg; Golongan Sefalosporin generasi II : Cefuroxime 2 x 250 mg; Cefixime 2 x 400 mg; Cefaclor 3 x 250 mg. Jika dengan antibiotik lini II tersebut diperoleh perbaikan, maka pengobatan diteruskan sampai minimal 1 minggu setelah gejala terkontrol, atau sampai mencukupi 10-14 hari.Tetapi jika dengan antibiotik lini II tersebut tidak didapatkan perbaikan maka diberikan antibiotik alternatif atau dibuat kultur. Antibiotik alternatifnya yaitu dari golongan makrolida dan linkosamid, selama 7 hari, jika ada perbaikan obat diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika dengan pengobatan tersebut tidak ada perbaikan maka perlu dilakukan evaluasi kembali dengan naso-endoskopi, sinuskopi, jika didapatkan obstruksi pada Kompleks Osteo Meatal (KOM) maka dilakukan tindakan bedah dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Bedah Konvensional. Pemberian AB intravena saat ini jarang digunakan pada terapi sinusitis kronik dimana mukosa sudah mengalami perubahan, karena membutuhkan waktu yang lama dan dosis yang tinggi. Saat ini telah diperkenalkan AB nebulizer yang dapat mengobati infeksi secara topikal. Pengobatan ini dilakukan dengan cara menghirup AB melalui hidung. Studi Stanford University (Sept 2002 ) menyebutkan kelebihan terapi ini antara lain dapat mencapai rongga sinus lebih cepat, efek

samping yang ditimbulkan lebih kecil, dan merupakan pilihan terpi pada pasien yang tidak ada perbaikan setelah operasi. Disebutkan pula terapi ini dapat mengurangi secara signifikan gejala post nasal drip dan nyeri pada daerah sinus. Kegagalan terapi medikamentosa misalnya pada AB, mungkin menunjukkan organisme tidak lagi peka terhadap antibiotik, atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokasi infeksi. b. Dekongestan Dekongestan topikal seperti Phenylephrine Hcl 0,5 % dan oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan mengurangi udem mukosa. Penggunaan obat ini sebaiknya tidak lebih 35 hari, karena mempunyai efek samping berupa rhinitis medikamentosa, Dekongestan withdrawal pada effect, dan lebih berkurangnya aman untuk yang kepekaan terhadap obat itu sendiri. oral umumnya penggunaan jangka panjang. Phenylpropanolamine dan Pilihan obat antara lain Pseudoephedrine,

merupakan agonis alfa adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek dimana obat topikal tidak dapat bekerja secara efektif. c. Mukolitik Pemberian mukolitik sekret lebih yang bersifat kental simtomatik sehingga untuk mudah mengencerkan hari. d. Antialergi

dikeluarkan. Obat yang digunakan antara lain 2.400 mg per

Terapi alergi diberikan bila terdapat faktor alergi yang mendasari keadaan sinusitis kronik. Terapi yang paling efektif adalah dengan menghindari faktor-faktor pencetus seperti debu, bulu binatang, hawa dingin, dan sebagainya. Untuk medikamentosa dapat diberikan sesuai dengan penyebabnya, umumnya pada rhinitis alergi diberikan anti histamin dan kortikosteroid. Adapun penggunaan kortikosteroid pada sinusitis kronik saat ini banyak dihindari, mengingat efek samping yang ditimbulkan khususnya pada penggunaan jangka panjang, seperti imunosupresi, osteoporosis, moon face. e. Diatermi Dengan sinar gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. f. Terapi pencucian Proetz. Pada prinsipnya membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal dan mengisap sekret keluar. Diteteskan larutan vasokonstriktor untuk membuka ostium kemudian masuk ke dalam sinus paranasal, yaitu larutan HCl ephedrin 1,5-1%. HCl ephedrin akan mengurangi oedema mukosa dan tercampur dengan sekret dalam rongga sinus, kemudian diisap keluar. Sementara itu pasien harus mengucapkan kak-kak-kak, supaya palatum molle terangkat sehingga ruang antara nasofaring dan orofaring tertutup. Dengan demikian ruang nasofaring, hidung, dan sinus menjadi satu, sehingga mudah mengisa sekret keluar. Tetapi cara ini kurang efektif untuk sinus maksila dan sinus frontal. g. Pungsi dan irigasi sinus.

Pada kasus yang meragukan pungsi dan irigasi dapat dipakai untuk diagnostik dalam menentukan ada tidaknya sinusitis maksila. Irigasi ini bertujuan untuk drainase sekret (pus) dan aerasi. Prosedur ini dapat dilaksanakan dibawah pengaruh anestesi dengan memasukkan sebuah kanula bersaluran melalui dinding nasal dari antrum maksila dibawah konka inferior. Garam fisiologis dengan suhu diatas suhu tubuh, dipompakan melalui kanula dengan semprit Higginson. Pus dan cairan yang tinggal, mengalir ke hidung melalui ostium maksila dan ditampung dengan sebuah baskom yang diletakkan dibawah dagu pasien. Pasien dalam keadaan seperti ini harus bernafas dengan mulut. Irigasi yang dilakukan secara berulang setiap minggu sering merupakan langkah efektif dalam mengembalikan aktifitas normal mukosa ( dibantu dengan pemberian AB dan dekongestan ). Bila cara ini berhasil, cairan yang dibersihkan secara bertahap berubah dari mukopus menjadi mukus, dan akhirnya menjadi cairan jernih. 2. Pengobatan pembedahan Pengobatan pembedahan menjadi pertimbangan jika pasien tidak berespon terhadap terapi konservatif. Tujuan umum bedah sinus antara lain : mengeluarkan mukosa yang sakit dan menjamin drainase ke dalam hidung menghilangkan obstruksi dan menciptakan hubungan kontinu dari sinus yang terlibat ke dalam ruangan intranasal. Ventilasi sinus yang adekuat

a. pembedahan radikal Yaitu mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pada prosedur bedah ini, epitel rongga sinus maksila diangkat seluruhnya dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi untuk drainase. Hasil akhir memuaskan karena membran mukosa yang sakit telah diisi oleh jaringan normal atau terisi dengan jaringan parut lambat. b. pembedahan non radikal Metode yang lebih modern dan populer akhir-akhir ini adalah Operasi sinus paranasal menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). BSEF pada umumnya dilakukan untuk penatalaksanaan sinusitis kronik dan sinusitis akut berulang, yang seringkali telah disertai adanya poliposis di daerah meatus medius atau adanya polip yang meluas ke rongga hidung. Keuntungan BSEF ialah tindakan ini biasanya sudah cukup untuk menyembuhkan kelainan sinus yang berat-berat sehingga tidak perlu tindakan yang lebih radikal. Dengan BSEF risiko lebih sedikit, gejala-gejala post operasi dapat minimal, waktu pulih juga lebih cepat Pasien yang dipersiapkan untuk operasi BSEF harus diperiksa fisik secara lengkap termasuk tekanan darah, laboratorium darah tepi dan fungsi hemostasis dan gula darah serta urin lengkap. Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien dibri antibiotik dan kortikosteroid sistemis dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan

mengurangi inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan kelancaran yang operasi. banyak, yang akan juga mengganggu Kortikosteroid

bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga operasinya akan lebih mudah. Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan KOM, dengan hanya mengangkat jaringan patologik sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi, sehingga nantinya tidak ada lagi hambatan ventilasi dan drainase. Hasil operasi pada umumnya didapati yang sukses lebih dari 90%. Studi evaluasi Venkatachalam (2002), menyebutkan bahwa dengan BSEF, sebanyak 76 % pasien terbebas sama sekali dari gejala sinusitis, 16 % masih mengalami gejala parsial, dan hanya 8 % yang tidak berhasil.

BAB V KESIMPULAN Telah dilaporkan sebuah kasus dengan sinusitis maksilaris kronis sinistra faktor etiologi odontogenik di bagian THT RSUD Swadana Kudus. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Anamnesa yang dikumpulkan adalah keluhan foetor ex nasi sinistra, rinore mukopurulen, post nasal drip, batuk, pipi kanan terasa kemeng, malaise. Pemeriksaan fisik ditemukan sekret mukopurulen di meatus media sinistra, oedema dan hiperemis di konka media, post nasal drip di dinding retrofaring, nyeri tekan canina sinistra. Pada pemeriksaan gigi rahang atas kiri molar 2 dan 3 ditemukan gangren radix dan pemeriksaan transiluminasi didapatkan kesuraman di canina sinistra. Diagnosa pasti sinusitis maksilaris kronis adalah dengan irigasi sinus. Terapi yang dilakukan adalah dengan irigasi sinus maksilaris sinistra disertai pemberian antibiotik dan selanjutnya dapat diberikan obat-obat simtomatis berupa dekongestan, analgetik, mukolitik. Pada kasus sinusitis maksilaris kronis sinistra ini prognosisnya baik karena sifatnya reversibel, bila pengelolaannya optimal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo,

Endang

dan

Rifki,

Nusjirwan

SINUSITIS

Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,ed, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2006 : 120 124 2. Rusdy Ghazali : Malueka, dr. SINUS PARANASAL Cetakan SINUSITIS
3. Arif,

Dalam

Radiologi

Diagnostik.

kedua,

Penerbit Pustaka Cendekia Press Yogyakarta, 2008 : 116 119 M., Kuspuji, T., Rakhmi, S., Wahyu, I.W., & Wiwiek, S. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Ilmu Penyakit Hidung Dan Tenggorok. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta. : 102 - 106 4.Anonim, 2006; Serba serbi Sinusitis, http://ilmukedokteran.blogspot.com, dikutip 5 November 2008 5.Anonim, Sinusitis, bukan sekedar hidung mampat, 5

http://jurnalnasional.com/?med=Koran %20Harian&sec=Kesehatan&rbrk=&id=35176, November 2008 6.Erawati,dr; Seputar Pengobatan Sinusitis; Residen Medical Officer dikutip 6 November 2008 7.Sinusitis http://www.emedicine.com/radio/topic638.htm, November 2008 8.Armstrong & Wastie; X-Ray Diagnosis, BlackwellScientific Publication, First P.G Asian Economy Edition, 1983; Singapore : page 331 - 334 Management; dikutip 6 Sinar Harapan; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/28/fea02.html, dikutip

9.Burnside Mc Glynn; Hidung dan Sinus Dalam : ADAMS Diagnosis Fisik, edisi 17, Cetakan kelima, Penerbit Buku kedokteran EGC; Jakarta, 1995 : 141 144.
10.

Adam Boies, H. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.

EGC. Jakarta. : 240 - 260

Anda mungkin juga menyukai