Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU PENYAKIT DALAM (RUMINANSIA 2) A.

PENDAHULUAN Pemeriksaan ini telah dilakukan di Unit Pembesaran Pedet Koperasi Warga Mulya, Cemoro Harjo, Candi Binangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui keadaan serta kondisi pedet FH yang mengalami penyakit enteritis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan umum, pengambilan sampel darah dan pengambilan sampel feses. Pengambilan feses yang telah dilakukan sebelumnya teridentifikasi terdapat telur cacing Strongyl sp. Untuk itu dilakukan pemeriksaan lagi apakah pedet masih mengalami helmintiosis dan enteritis dikarenakan terlihat sisa feses yang menempel pada rambut di sekitar gluteus, sehingga tampak kotor.

B. RIWAYAT KASUS Pada tanggal 29 Februari 2012 telah dilakukan pemeriksaan terhadap hewan sapi (PFH) dengan jenis kelamin betina, umur 9 bulan milik Koperasi Warga Mulya Cemoro Harjo. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan hasil:
1. ANAMNESIS: napsu makan kurang baik, minum masih normal, pagi diberi hijauan

dan konsentrat, sore hijauan saja, feses kadang cair kadang tidak. Pada pemeriksaan sebelumnya telah ditemukan telur Strongyl. 2. STATUS PRAESENS:
a. Keadaan umum

: kurus, kotor, ekspresi muka biasa, cara berdiri normal, BCS 3, rambut rontok : 40 kali/menit Frek. pulsus: 40 kali/menit : 39,40C : rambut rontok, kasar, kusam, ada keropeng, ada ektoparasit : conjunctiva mata berwarna pink-pucat, CRT < 2 detik : limfoglandula submandibulla membengkak
1

b. Frekuensi napas

Suhu badan
c. Kulit dan rambut

d. Selaput lendir

e. Kelenjar limfe

f. Pernafasan
g. Peredaran darah

: normal, vesikuler : suara jantung normal, systole-diastole dapat dibedakan : lidah---- normal , mulut---- normal dan bersih (tidak ada sisa makanan), tonus rumen 8x / 5 menit, bau mulut normal

h. Pencernaan

i. j.

Kelamin dan perkencingan Saraf

: urinasi normal, vulva bersih, tidak ada leleran : reflek palpebra normal, reflek pupil normal, reflek pedal normal : normal, dapat berdiri dengan 4 kaki, tidak ada pincang, tidak ada lesi, dapat berjalan normal : tidak tampak perubahan yang signifikan dari luar BB: 150 kg : : coklat kehijauan : terdapat Bunostomum sp :: 24 % : 5,84 jt/mm3 : 12400 sel/mm3 : 26 % :5% :5% : 400 mg/dl

k. Anggota gerak

l. Lain-lain m. Pemeriksaan laboratorium 1) Feses Warna Natif Centrifuge 2) Urine


3) Darah

: Konsistensi : padat

:: Hematokrit Eritrosit Leukosit Limfosit Monosit Eosinofil Fibrinogen Hemoglobin : 9 g/dl

Neutrofil seg. : 64 %

Protein total : 6,5 g/dl

3. DIAGNOSA 4. PROGNOSA 5. TATALAKSANA

: Enteritis : Fausta : R/ Verm-O s.i.m.m Dupapral multi inj s.i.m.m Duradryl inj s.i.m.m

6. SARAN PEMILIK

: Perbaikan manajemen kandang, rutin untuk pemberian obat cacing, dan cek kesehatan ternak secara berkala

C. TINJAUAN PUSTAKA Secara umum, enteritis (diare) adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya, dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat), dapat pula disertai frekuensi defekasi yang meningkat. Enteritis dapat disebabkan antara lain oleh: a. Colibacillosis Etiologi Bakteri penyebab colibacillosis adalah Escherichia coli. Merupakan bakteri Gram negatif, tidak tahan asam, tidak membentuk spora dan umumnya berukuran 2-3 x 0,6 m. Bakteri ini motil dengan memiliki flagella dengan tipe peritrichous dan memiliki fimbria. Biasa teridentifikasi pada MacConkey agar. Beberapa strain membentuk koloni dengan berwarna hijau metalik jika ditumbuhkan pada media eosin-methylen blue. E.coli menyebabkan diare pada pedet dapat berupa septicemia atau enteric. Infeksi E.coli dapat dibagi menjadi bentuk enterotoxigenic, enteropathogenic, enterohemorrhagic, enteroadhrent dan enteroinvasive. Tiap bentuk memproduksi spesifik toksin. Pada pedet entertoxigenic colibacillosis yang sering biasa terjadi (Smith, 2002). Patogenesis Hal ini bisa terjadi karena hewan muda terpapar E.coli dari strain patogen dari lingkungan. Faktor predisposisi enteric colibacillosis adalah kurang atau tidak adanya

imunitas dari kolostrum, banyaknya E.coli strain patogen, reseptor adesi ETEC hanya ada selama satu minggu pertama pada pedet, lingkungan yang kotor. Faktor virulensi E.coli meliputi capsula, endotoxin, enterotoxin dan substansi lainnya yang disekresikan oleh bakteri ini. Strain yang biasa menimbulkan diare pada pedet adalah enterotoxigenic E.coli. Diare dapat terjadi karena peningkatan sekresi atau penurunan absorsi di lumen usus. E.coli mensekresikan enterotoxin yang mana akan menstimulasi peningkatan sekresi instestinal. Enterotoksin diduga mampu merangsang aktivitas siklik AMP atau siklik GMP. Peningkatan jumlah AMP akan menyebabkan kenaikan sekresi ion klorida, sodium, potassium. Enterotoxigenic E.coli menstimulasi sekresi bicarbonate di intestinal (Smith, 2002). Enterotoxigenic E.coli yang mempunyai fimbrial adhesins seperti K88 dan K99, merupakan partikel penting dalam diare neonatal. Strain ini berkolonisasi di distal usus halus dengan cara menempel pada reseptor yang ada dalam enterocyte neonatus. Enterotoxin menstimulir hipersecretory diare dan menghalangi absorbsi cairan tanpa ada kelukaan pada enterocyte. Namun,nekrosis enterocyte dengan pemendekan dan fusi villi bisa terjadi karena E.coli yang berasal dari strain AEEC yang berkoloni di usus dan kolon. Strain ini menyebabkan diare dengan maldigestion dan malabsorbsi nutrisi di usus halus dan menurunkan absorbsi dari mukosa kolon. b. Salmonellosis / Enterocollitis Etiologi Salmonellosis pada sapi disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella dublin, Salmonella typhimurium atau Salmonella newport. Penyakit ini menyebabkan peradangan usus atau enteritis dan invasi organisme ke dalam aliran darah menyebabkan septicemia. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agen farmaseutika dan feses. Salmonella adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang langsing, tidak membentuk spora, tidak berkapsul dan bersifat motil. Pada media agar MacConkey membentuk koloni bulat, permukaannya bulat, permukaan datar dan pucat. Bakteri salmonella membentuk antigen somatik (O) yang stabil panas dan antigen flagella (H) yang tidak
4

tidak

stabil panas.. Selain itu dikenal antigen S (smooth), R (rough), M (mucoid) dan K (kapsuler). Semua jenis hewan peka terhadap salmonellosis. Kepekaan hewan tergantung pada umur, kondisi tubuh tubuh hospes, adanya gangguan keseimbangan flora dalam tubuh oleh pengobatan antibiotika yang terus menerus. Pathogenesis Setelah berhasil memasuki tubuh penderita bakteri bereplikasi di dalam usus. Dalam waktu yang relatif singkat infeksi tersebut akan menyebabkan septicaemia, dalam waktu pendek akan dapat menyebabkan kematian penderita. Apabila yang terjadi hanya bakteriemia, bakteri akan menyebabkan radang usus akut. Pada yang sifatnya kronik, bakteri dapat diisolasi dari kelenjar-kelenjar limfe di sekitar usus, hati, limpa dan kantong empedu. bakteri bisa ditularkan melalui tinja atau air susu. Pada infeksi yang bersifat laten, bakteri akan berkembangbiak di dalam tubuh bila keadaan umumnya menurun. Penurunan kondisi tubuh bisa disebabkan karena stress (Quinn, et al, 2002). c. Paratuberculosis Etiologi Disebabkan oleh Mycobacterium avium subsp. paratubercolusis. Bisa menginfeksi pedet yang memakan feses dari hewan yang terinfekai MAP pada periode neonatal. Bakteri ini juga dapat ditularkan melalui susu induk, sehingga pedet akan terinfeksi terus menerus sampai pedet disapih (Tarmudji, 2007). Patogenesis Mycobacterium avium subsp. paratubercolusis merupakan pathogen intra seluler dan reaksi cell-mediated menyebabkan lesi pada usus. Mycobacteria dicerna dan ditelan oleh makrofag, tapi bakteri dapat bertahan dan bereplikasi di dalam makrofag. Seiring dengan perkembangan, timbul respon imun yang ditandai dengan adanya akumulasi limfosit dan makrofag di lamina propria dan submukosa. Lesi pada usus menyebabkan penurunan protein plasma dan malabsorbsi nutrisi dan air (Tarmudji, 2007).
D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada saat palpasi terasa bahwa limphoglandula submandibullar membengkak walaupun tidak terlihat jika hanya diinspeksi. Secara inspeksi semua tampak normal. Hanya saja pada bagian gluteus terlihat kotor. Sehingga perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk pemberian pakan sudah sesuai dengan literatur bahwa sapi selain makan hijauan juga diberi konsentrat. Pada uji laboratorium, hasil pemeriksaan darah tersebut secara garis beras dapat diakatakan normal, tidak terdapat gangguan. Kenaikan netrofil kemungkinan dari respon terhadap adanya telur cacing Strongyl sp dan enteritis ringan yang disebabkan oleh bakteri. Untuk pemeriksaan feses sudah tidak ditemukan lagi telur Strongyl. Sesuai anamnesa pemilik bahwa pemeriksaan sebelumnya terdapat telur Strongyl pada fesesnya. Suhu 39,40 C menunjukan sapi agak demam, tetapi masih dalam rentang batas yang wajar, sehingga tidak perlu diberikan antibiotik. Kenaikan suhu ini kemungkinan disebabkan oleh inflamasi yang terjadi pada limphoglandula submandibullaris yang terlihat adanya kenaikan netrofil sebagai respon inflamasi. Jika dibandingkan dengan literatur hasil pemeriksaan darah sebagai berikut:
Test Eritrosit (RBC) Hematokrit (PCV) Hemoglobin WBC Neutrofil segmented Limfosit Monosit Eosinofil Protein total Fibrinogen Unit x 106/mm3 % g/dl x 103/mm3 % % % % g/dl mg% Hasil Laboratorium 5,84 24 9,0 12,4 64 26 5 5 6,5 400 Literatur (Mitruka, 1981) 5 10 24 48 8 14 4 12 15-45 45 75 27 2 20 7,56 300-700 Interpretasi Normal Normal Normal Meningkat Meningkat Turun Normal Normal Turun Normal

Setelah didiagnosis pedet tersebut diterapi menggunakan antelmintik (Verm-O), vitamin dan mineral (Dupapral multi) sebanyak 4 cc dan antihistamin (Duradryl) sebanyak 4 cc. Untuk antelmintik diberikan secara per oral, sedangkan antihistamin dan vitamin diberikan secara injeksi intra musculer.
6

E. KESIMPULAN Sapi mengalami enteritis tetapi mulai dalam tahap recoveri, sudah tidak ditemukan lagi telur Strongyl sp, tetapi perlu pemberian antelmintik secara teratur. F. SARAN Untuk menjaga agar sapi tidak mengalami helmintosis seperti sebelumnya maka disarankan untuk memberikan antelmintika secara rutin, sedangkan untuk menghindari enteritis disarankan dilakukan pengecekan kesehatan sapi secara berkala.
G. DAFTAR PUSTAKA

Mitruka,B.R.I.J., Rawnsley, H.M. 1981. Clinical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal Experimented Animals and Normal HumansI. Year Book Medical Publisher: Chicago Quinn, P. J., Markey, B. K., Carter, M. E., Donnelly, W. J., Leonard, F. C..2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science: Dublin Smith, B.P. 2002. Large Animal Internal Medicine 3rd edition. Mosby: St.Louise Subronto. 2003. IlmuPenyakit Ternak (Mamalia) I. Gadjah Mada University :Yogyakarta Tarmudji. 2007. Kejadian Paratubercolusis (Johnes Disease) pada Ruminansia di Indonesia Perlu Diwaspadai. J. Wartazoa vol.17 no.2 tahun 2007

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai