Anda di halaman 1dari 2

1.

Soal Nomor satu (isi sendiri soalnya) Jawab: Mengenai praktek pemidanaan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, sering terjadi kontradiksi antara pengertian penjara dan Lembaga Pemasyarakatan. Pemidanaan dilakukan seolah-olah masih berprinsip pada berlakunya teori retributif, yang mana menekankan bahwa Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Mengenai Lembaga Pemasyarakatan, perlu diperhatikan mengenai tujuan dari dibentuknya Lembaga ini. Tentunya ada tujuan tertentu lembaga pidana ini disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan, alih-alih Penjara atau Bui. Hal ini terkait dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu mempersiapkan narapidana untuk dapat kembali kepada masyarakat dan diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri melalui serangkaian pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LP. 2. Soal Nomor dua (isi sendiri soalnya) Jawab: Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macammacam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama. Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-

undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang. Pertanyaan yang muncul sekarang iniadalah apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, pendapat saya adalah hendaknya hukuman atau pidana mati tetap ada, hanya penerapannya harus sangat-sangat terbatas kepada pelaku yang terbukti melakukan tindak kejahatan sangat besar, mengancam hidup dan keamanan masyarakat lainnya, telah diteliti lebih jauh bahwa upaya-upaya pemasyarakatan tidak mampu untuk mengubah perilaku berbahaya pelaku, sehingga tak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali hukuman mati. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka menjadi tidak mudahlah untuk menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang.

Anda mungkin juga menyukai