Anda di halaman 1dari 21

5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tepung Terigu Di dalam tepung terigu terdapat Gluten , yang secara khas membedakan tepung terigu dengan tepung tepung lainnya. Gluten adalah suatu senyawa pada tepung terigu yang bersifat kenyal dan elastis, yang diperlukan dalam pembuatan roti agar dapat mengembang dengan baik, yang dapat menentukan kekenyalan mie serta berperan dalam pembuatan kulit martabak telur supaya tidak mudah robek (anonymous, 2011) Umumnya kandungan gluten menentukan kadar protein tepung terigu, semakin tinggi kadar gluten, semakin tinggi kadar protein tepung terigu tersebut. Kadar gluten pada tepung terigu, yang menentukan kualitas pembuatan suatu makanan, sangat tergantung dari jenis gandumnya (anonymous, 2011) Dalam pembuatan makanan, hal yang harus diperhatikan ialah ketepatan penggunaan jenis tepung terigu. Tepung terigu berprotein 12 %-14 % ideal untuk pembuatan roti dan mie, 10.5 %-11.5 % untuk biskuit, pastry/pie dan donat. Sedangkan untuk gorengan, cake dan wafer gunakan yang berprotein 8%-9%. Jadi suatu tepung terigu belum tentu sesuai dengan semua makanan (anonymous, 2011) Menurut Anonymous ( 2011 )Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas terigu:

Moisture adalah jumlah kadar air pada tepung terigu yang mempengaruhi kualitas tepung. Bila jumlah moisture melebihi standar maksimum maka memungkinkan terjadinya penurunan daya simpan

tepung terigu karena akan semakin cepat rusak, berjamur dan bau apek.

Ash adalah kadar abu yang ada pada tepung terigu yang mempengaruhi proses dan hasil akhir produk antara lain warna produk (warna crumb pada roti, warna mie) dan tingkat kestabilan adonan. Semakin tinggi kadar ash semakin buruk kualitas tepung. Sebaliknya semakin rendah kadar ash semakin baik kualitas tepung. Hal ini tidak berhubungan dengan jumlah dan kualitas protein.

Kemampuan tepung terigu menyerap air disebut Water Absorption. Kemampuan daya serap air pada tepung terigu berkurang bila kadar air dalam tepung (moisture) terlalu tinggi atau tempat penyimpanan yang lembab. Water Absorption sangat bergantung dari produk yang akan dihasilkan. Dalam pembuatan roti umumnya diperlukan water absorption yang lebih tinggi dari pada pembuatan mie dan biskuit.

Kecepatan tepung terigu dalam pencapaian keadaan develop (kalis) disebut developing time. Bila waktu pengadukan kurang disebut under mixing yang berakibat volume tidak maksimal, serat/remah roti kasar, roti terlalu kenyal, aroma roti asam, roti cepat keras, permukaan kulit roti pecah dan tebal. Sedangkan bila kelebihan pengadukan disebut over mixing yang berakibat volume roti melebar/datar, roti kurang mengembang, serat/remah roti kasar, warna kulit roti pucat, permukaan roti mengecil, permukaan kulit roti banyak gelembung dan roti tidak kenyal.

Proses terakhir adalah stability yaitu kemampuan tepung terigu untuk menahan stabilitas adonan agar tetap sempurna meskipun telah melewati waktu develop (kalis). Stabilitas tepung pada adonan dipengaruhi beberapa hal antara lain jumlah protein, kualitas protein dan zat additive/tambahan

2.2. Ubi jalar Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang dapat tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat non beras tertinggi keempat setelah padi, jagung, dan ubi kayu; serta mampu meningkatkan ketersediaan pangan dan diversifikasi pangan di dalam masyarakat. Sebagai sumber pangan, tanaman ini mengandung energi, karoten, vitamin C, niacin, riboflavin, thiamin, dan mineral. Oleh karena itu, komoditas ini memiliki peran penting, baik dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan ternak (Ambasari,I, 2009). Plasma nutfah (sumber genetik) tanaman ubi jalar yang tumbuh di dunia diperkirakan berjumlah lebih dari 1000 jenis, namun baru 142 jenis yang diidentifikasi oleh para peneliti. Lembaga penelitian yang menangani ubi jalar, antara lain: International Potato centre (IPC) dan Centro International de La Papa (CIP). Di Indonesia, penelitian dan pengembangan ubi jalar ditangani oleh Pusat Peneliltian dan Pengembangan Tanaman Pangan atau Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi), Departemen Pertanian (Prihatman dan Kemal, 2000). Menurut Juanda, Dede dan Bambang Cahyono (2000) berdasarkan warna umbi, ubi jalar dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai berikut

a. Ubi jalar putih yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna putih. Misalnya, varietas tembakur putih, varietas tembakur ungu, varietas Taiwan dan varietas MLG 12659-20P. b. Ubi jalar kuning, yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna kuning, kuning muda atau putih kekuningan. Misalnya,varietas lapis 34, varietas South Queen 27, varietas Kawagoya, varietas Cicah 16 dan varietas Tis 5125-27. c. Ubi jalar orange yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna jingga hingga jingga muda. Misalnya, varietas Ciceh 32, varietas mendut dan varietas Tis 3290-3. d. Ubi jalar ungu yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna ungu hingga ungu muda Ubi jalar sebagai bahan baku pada pembuatan tepung, mempunyai keragaman jenis yang cukup banyak, yang terdiri dari jenis-jenis lokal dan beberapa varietas unggul. Jenis-jenis ubi jalar tersebut mempunyai perbedaan yaitu pada bentuk, ukuran, warna daging umbi, warna kulit, daya simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen. Tepung ubi jalar dapat diproduksi dari berbagai jenis ubi jalar dan akan menghasilkan mutu produk yang beragam. Kulit umbi dibedakan menjadi dua tipe yaitu tebal dan tipis. Kandungan getahnya, ada jenis yang bergetah banyak, sedang atau sedikit. Warna kulit umbi ada yang putih, kuning atau ungu/merah. Bentuk umbi umumnya dapat dibedakan antara lain bentuk bulat dan lonjong dengan permukaan rata atau tidak rata. Warna daging umbi terdiri dari beberapa yaitu putih, kuning, jingga, dan ungu. Warna kuning pada

umbi disebabkan adanya pigmen karoten, sedangkan warna ungu disebabkan adanya pigmen anthosianin (Winarno dan Laksmi, 1973). Kandungan karoten pada ubi jalar merupakan suatu kelebihan dari kelompok umbiumbian, karena karoten ini merupakan provitamin A. Perbedaan warna daging umbi tersebut menyebabkan perbedaan sifat sensoris, fisik dan kimia umbi maupun produk olahannya. Menurut Rodriquez dkk (1986), jenis-jenis umbi yang warna daging putih lebih manis daripada umbi warna kuning. Di samping itu jenis putih memiliki aroma, rasa serta sifat-sifat yang baik untuk dimasak, sedangkan umbi warna kuning menarik karena warna serta kandungan vitamin A dan vitamin C tinggi. Berdasarkan tekstur umbinya setelah dimasak terdapat beberapa jenis yaitu (1) umbi dengan tekstur kering dengan kandungan air kurang dari 60%, apabila direbus daging umbinya berasa agak kering seperti bertepung (firm dry), (2) umbi dengan tekstur lunak (soft, gelatinous) mempunyai kandungan air lebih besar dari 70% yang termasuk ubi jalar basah, dan (3) jenis umbi dengan tekstur sangat kasar (coarse) yang hanya cocok untuk pakan ternak atau digunakan dalam industri (Onwueme, 1978).

10

Tabel 1 kandungan gizi ubi jalar


Kandungan Gizi Ubi Putih Ubi Merah Ubi Kuning Daun Kalori (kal) 123,00 123,00 136,00 47,00 Protein (g) 1,80 1,80 1,10 2,80 Lemak (g) 0,70 0,70 0,40 0,40 Karbohidrat (g) 27,90 27,90 32,30 10,40 Kalsium (mg) 30,00 30,00 57,00 79,00 Fosfor (mg) 49,00 49,00 52,00 66,00 Zat besi (mg) 0,70 0,70 0,70 10,00 Natrium (mg) 5,00 Kalium (mg) 393,00 Niacin (mg) 0,60 Vitamin A (SI) 60,00 7.700,00 900,00 6.105,00 Vitamin B1 (mg) 0,90 0,90 0,10 0,12 Vitamin B2 (mg) 0,04 Vitamin C (mg) 22,00 22,00 35,00 22,00 Air (g) 68,50 68,5 84,70 Bagian yang dimakan 86,00 86,00 73,00 Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Direktorat Kacang-kacangan dan Umbiumbian (2002)

2.3 Ubi Jalar Kuning

Gambar 1. Ubi jalar kuning varietas Majalengka

Ubi jalar kuning mengandung gula yang tinggi. Daging umbi ubi jalar kuning setelah dimasak memiliki tipe daging umbi padat, kesat dan bertekstur pangan baik (Bouwkamp, 1985). Perubahan nisbah pati terhadap gula terjadi selama pertumbuhan. Kandungan gula total juga menurun selama periode pertumbuhan cepat bersamaan dengan pembesaran umbi, terjadi penurunan kandungan gula lebih lanjut sedangkan kandungan pati meningkat (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Pati ubi jalar kuning

11

tersusun sepertiga bagian amilosa dan dua sepertiga bagian amilopektin. Ubi jalar kuning memiliki kandungan vitamin C dan vitamin B, juga mengandung betakaroten yang tinggi dibandingkan ubi jalar putih. Daya cerna protein ubi jalar kuning jika dikonsumsi mentah relatif rendah karena mengandung tripsin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Warna kuning atau oranye pada ubi disebabkan oleh adanya senyawa betakaroten yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena dapat berfungsi sebagai provitamin A. Betakaroten juga dilaporkan dapat memberi perlindungan / pencegahan terhadap kanker, penuaan dini, penurunan kekebalan, penyakit jantung, stroke, katarak, sengatan cahaya matahari, dan gangguan otot (Mayne, 1996 dalam Ginting dkk, 2006). Hal ini berkaitan dengan kemampuannya untuk menangkap radikal bebas, yang dipercaya sebagai penyebab terjadinya tumor dan kanker (Hongmin et al, 1996 dalam Ginting dkk, 2006). Keberadaan senyawa betakaroten merupakan suatu kelebihan yang perlu ditonjolkan untuk meningkatkan citra ubi jalar yang selama ini dianggap sebagai makanan inferior. Warna daging ubi juga turut menentukan jenis dan kualitas produk yang akan dihasilkan (Ginting dkk, 2006). Betakaroten tergolong ke dalam karotenoid kelompok pigmen larut lemak yang berkontribusi terhadap warna kuning, oranye dan merah pada buah dan sayuran. -karoten merupakan salah satu provitamin yang penting secara nutrisi dan komersial. Provitamin ini memiliki aktivitas vitamin A. Kestabilan karotenoid ini sama dengan vitamin A, yang mana sensitif terhadap oksigen, cahaya dan media asam. Produk yang mengandung -karoten haruslah dihindarkan dari cahaya dan

12

ditempatkan dengan kondisi udara terjaga (Ottaway, 1999). Komposisi kimia ubi jalar kuning dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Gizi Ubi Jalar Kuning dalam tiap 100 g Ubi Jalar Segar Kandungan Gizi Jumlah Kandungan Gizi Kalori (Kal) 136,00 Natrium (mg) Protein (g) 1,10 Kalium (mg) Lemak (g) 0,40 Niacin (mg) Karbohidrat (g) 32,30 Pro Vitamin A (SI) Kalsium (mg) 57,00 Vitamin B1 (mg) Fosfor (mg) 52,00 Vitamin B2 (mg) Zat besi (mg) 0,70 Vitamin C (mg) Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI dalam Safalina (2007) Jumlah 5,00 393,00 0,60 900,00 0,14 0,04 35,00

2.4 Karatenoid Karotenoid tergolong kelompok pigmen larut lemak yang berkontribusi terhadap warna kuning, oranye dan merah pada buah dan sayuran. Karotenoid sendiri merupakan kelompok senyawa isoprenoid dengan berbagai karakteristik struktural dan aktivitas biologis. Struktur dasar karotenoid dibentuk dari unit-unit isoprenoid dan sebagian besar penyusun karotenoid adalah senyawa terpen yang terdiri dari 40 karbon,misalnya -karoten. Meskipun hampir 600 karotenoid telah diidentifikasi dari alam, namun hanya 50 diantaranya memiliki aktivitas vitamin A (Madhavi et al., 1996). Ekstrak karotenoid yang tinggi dapat digunakan sebagai pewarna dan juga baik sebagai sumber senyawa bioaktif. Manipulasi genetik dapat dilakukan untuk meningkatkan karotenoid pada tanaman, sehingga menghasilkan bahan pangan kaya karotenoid. Karotenoid tersebut dapat diaplikasikan langsung sebagai nutrisi maupun

13

sebagai bahan mentah untuk mengekstrak warna alami (merah dan kuning) (Socaciu, 2008). Karotenoid sensitif terhadap alkali, oksigen, cahaya, dan suhu tinggi dan karotenoid bersifat tidak larut dalam air, etanol, gliserol, dan propilen glikol. Namun karoten larut dalam minyak nabati pada suhu ruang (Madhavi et al., 1996). Zempleni et al (2007) juga mengungkapkan bahwa semua karotenoid merupakan turunan dari struktur C40H56 siklik, mempunyai rantai utama panjang yang terkonjugasi pada ikatan ganda melalui proses (1) hidrogenasi, (2) dehidrogenasi, (3) siklisasi, (4) oksidasi, atau kombinasi dari keempat proses tersebut. 2.5. Stabilitas Karotenoid Provitamin merupakan senyawa yang dapat dikonversi dalam tubuh menjadi vitamin. Pada umumnya provitamin terdapat dalam pigmen tumbuhan akan tetapi senyawa tersebut dapat juga ditemukan di hati, ginjal, limpa dan susu. Salah satu provitamin yang penting secara nutrisi dan komersial adalah -karoten dan turunannya (-apo-8-carotenal dan ethyl ester dari -apo-8-carotenoic acid). Provitamin ini memiliki aktivitas vitamin A. Kestabilan karotenoid ini sama dengan vitamin A, yang mana sensitif terhadap oksigen, cahaya dan media asam. Produk yang mengandung -karoten haruslah dihindarkan dari cahaya dan ditempatkan dengan kondisi udara terjaga (Ottaway, 1999). Socasiu (2008) menyatakan pengolahan pangan melibatkan perubahan struktur matrix bahan pangan, menghasilkan efek negatif seperti penurunan karotenoid akibat isomerasi dan oksidasi, dan menimbulkan efek positif karena bioavaibilitas meningkat. Sebagai akibat dari kehilangan padatan terlarut ke dalam

14

media cair. dan peningkatan efisiensi ekstraksi karotenoid dikarenakan pelunakan jaringan dan kerusakan kompleks protein-karotenoid selama proses pengolahan sehingga meningkatkan konsentrasi karotenoid. Alasan utama kehilangan karotenoid pada sayuran adalah karena oksidasi struktur jenuh karotenoid. Oksidasi yang muncul antara lain autooksidasi, reaksi ini muncul secara spontan karena keberadaan oksigen. Selain itu, kehilangan karotenoid juga dapat disebabkan oleh fotooksidasi yang terjadi karena adanya cahaya (MacDoughall, 2003). Ranhorta, et al (1995) melaporkan bahwa produk bakery seperti roti dan cracker mempunyai kestabilan yang tinggi pada tahap prebaking (pencampuran, fermentasi) dan juga terhadap daya simpan produk selama pemasaran. Akan tetapi, kehilangan karoten menjadi cukup besar pada tahap baking (pemanggangan). Pada produk roti, kehilangan karoten sekitar 4 15 % dan cracker sekitar 18 - 23%. 2.6. Tepung Ubi Jalar kuning Tepung ubi jalar kuning memiliki kandungan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan jenis ubi jalar putih dan ubi jalar merah yang mempunyai jumlah karbohidrat lebih rendah, hal ini telah diketahui dalam Direktorat Gizi Depkes RI, 1981, dalam Anonymous (2010) yang menyatakan jumlah karbohidrat ubi jalar kuning segar per 100 gram ubi jalar kuning memiliki kadar 32,30 gram dibanding ubi jalar putih dan merah sebesar 27,90 gram. Komposisi kimia beberapa jenis tepung ubi jalar disajikan dalam Tabel 3.

15

Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar Tepung ubi jalar Tepung ubi jalar Tepung ubi jalar putih* kuning**** ungu**** Kadar air (%) 10,99 6,77 7,28 Kadar abu (%) 3,14 4,71 5,31 Protein (%) 4,46 4,42 2,79 Lemak (%) 1,02 0,91 0,81 Karbohidrat (%) 84,83 83,19 83,81 Serat (%) 4,44 5,54 4,72 Warna (%) Putih Kuning keputihan Ungu keputihan Gula Reduksi (%) 18,33** Tanin (%) 0,18** Kalori (kkal / 100 g) 366,89*** Sumber :*) Vera, F.H (2006) dalam Susilawati dan Medikasari (2008) **) Latifah (1993) ***) Azizah (2007) ****) Hasil analisis Susilawati dan Medikasari (2008) Kandungan Kimia Tepung ubi jalar mengandung serat makanan yang relatif tinggi disertai dengan indeks glisemik yang rendah, artinya tepung ubi jalar atau makanan berbasis tepung ubi jalar lebih lamban dicerna dan lamban meningkatkan kadar gula darah (Budiman, 2008). Produk tepung yang bermutu harus memenuhi syarat mutu tepung ubi jalar. Adapun syarat mutu tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4. Syarat Mutu Tepung Ubi Jalar Kriteria Kandungan Air (maks) (%) Serat (maks) (%) Pati (min) (%) Total asam (ml 0,1 NaOH/10 g) Abu (maks) (%) HCN Sumber: Antarlina (1993) Jumlah 15 3 55 4 2 -

Pembuatan tepung ubi jalar dimulai dengan mencuci ubi jalar segar untuk menghilangkan tanah yang menempel selanjutnya dikupas, dicuci dengan air bersih,

16

dan diiris-iris tipis atau dibuat sawut dengan menggunakan alat manual penyawut. Irisan atau sawutan ubi jalar dimasukan dalam air yang sudah ditambahkan natrium metabisulfit 0,2 % (b/v) untuk menghambat reaksi Maillard. Biarkan selama 10-15 menit, setelah itu ditiriskan dan dikeringkan. Penirisan sawut dapat mengurangi kadar air 7-10%. Pengeringan dilakukan dengan alat pengering atau oven dengan suhu 605oC selama 24 jam, irisan (sawut) ubi jalar kering dihancurkan dan digiling menggunakan mesin penepung, kemudian diayak dengan ayakan 80 mesh (Azizah, 2007). Natrium metabisulfit dapat mencegah reaksi pencoklatan dengan menghambat pembentukan D-glukosa menjadi 5-hidroksi metil furfural dengan membentuk kompleks dengan gula reduksi dan glukosa membentuk hidroksisulfonat. Sulfit juga dapat menghambat grup karbonil dari gula-gula reduksi yang terlibat dalam proses karbonilamo (Fennema, 1994). Depkes RI (1999) menyatakan bahwa residu sulfit maksimum pada produk makanan berbasis pati sebesar 500 ppm. Mekanisme penghambatan reaksi maillard dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2. Mekanisme Penghambatan Reaksi Maillard dengan Sulfur (IV) oxoanion (sulfit, bisulfit) (Fennema, 1994)

17

2.7. Modifikasi pati heat moisture treatment Salah satu modifikasi fisik yang sekarang berkembang adalah heat moisture treatment (HMT) yaitu proses modifikasi dengan pemanasan tinggi dengan kadar air terbatas (<35%) (Collado et al. 2001). Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung memungkinkan pelemahan ikatan hidrogen inter- dan intramolekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak terjadi adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi. Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Adanya pengaturan kembali pada molekul granula berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati. 2009). Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil amilografi pati, perubahan karakteristik termal melalui pengujian Differential Scanning Calorymetri (DSC), perubahan volume pembengkakan granula pati (Collado dan Corke. 1999; Collado et al. 2001), dan perubahan kelarutan (Collado dan Corke 1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang memiliki berat

18

molekul pendek. Modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi kristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada zona amorphous. memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin. meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi. serta merubah derajat kristalinisasi pati. HMT dapat merubah karakteristik fisikokimia tepung tanpa merusak granula pati (Stute 1992). HMT diketahui dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan viskositas puncak; pengembangan granula dan pelepasan amilosa; viskositas breakdown; dan viskositas setback, sehingga dapat meningkatkan stabilitas granula terhadap panas dan pengadukan (Hormdok dan Noomhorm 2007). Kondisi pati dan proses seperti kadar air, sumber pati, suhu pemanasan, dan waktu proses telah dilaporkan dapat mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik fungsional yang berbeda-beda. 2.7.1. Pengaruh Kadar Air Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas puncak, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk teretrogradasi (meningkatkan setback). Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005) perubahan tersebut sangat

19

tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air modifikasi tidak memberikan pola khas dalam meningkatkan suhu gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan setback pati sorgum merah. Namun demikian. modifikasi yang dilakukan pada kadar air 24% memberikan pati termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan setback paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21%, dan 27%. Menurut Jacobs et al. (1995), formasi struktur granula mengembang dan rusak yang rapat dapat mempengaruhi viskositas selama pemanasan dan peningkatan rigiditas granula akibat ketidaksempurnaan proses gelatinisasi. Peningkatan rigiditas menyebabkan granula menjadi lebih resisten terhadap pemanasan dan pengadukan sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan viskositas. Pengaruh pengaturan kadar air modifikasi HMT terhadap karakteristik fungsional pati juga dilaporkan oleh Lewandowicz et al. (1997) pada pati tapioka dan kentang dengan teknik radiasi microwave. Pati modifikasi dengan kadar air HMT hingga 20% belum memperlihatkan perubahan signifikan dibanding pati native-nya. Perubahan signifikan ditunjukkan pada pati modifikasi dengan kadar air 25-35% di mana kurva Brabender cenderung memperlihatkan adanya penurunan viskositas dan kenaikan suhu gelatinisasi. Perubahan isotermal terjadi pada pati teradiasi microwave sehingga mempengaruhi perubahan temperatur gelatinisasi yang mungkin disertai dengan perubahan sifat fungsionalnya (Lewandowicz et al. 1997).

20

2.7.2. Pengaruh Sumber Pati Adanya perbedaan proporsi amilosa/ amilopektin kemungkinan akan mempengaruhi sensifitasnya terhadap pengaruh modifikasi HMT. Hoover dan Manuel (1996) mengungkapkan bahwa pati termodifikasi HMT dari beberapa jenis tanaman polong dengan proporsi amilosa/ amilopektin berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa, penurunan faktor pembengkakan granula, dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Lewandowicz et al. (1997) menambahkan pada pati kentang (21% amilosa) menunjukkan perubahan lebih besar pada karakteristik fisikokimia dibandingkan tapioka (17% amilosa). Peristiwa tersebut dapat dijelaskan dalam Donovan et al. (1983) yang menyatakan bahwa asosiasi amilosa pada zona amorphous cenderung mengalami perubahan yang lebih besar daripada perubahan asosiasi amilopektin pada zona kristalin selama proses iradiasi microwave berlangsung. Hal ini mengakibatkan penurunan yang signifikan pada pengembangan dan kelarutan pada granula pati yang teriradiasi microwave. Kenaikan temperatur gelatinisasi pada pati termodifikasi mengindikasikan asosiasi dan konfigurasi struktur granula yang lebih stabil. Hal berbeda diungkapkan oleh Anderson dan Guraya (2006) pada pati beras (waxy maupun non waxy) yang dimodifikasi HMT dengan teknik iradiasi microwave. Penurunan viskositas puncak pada pati beras dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy) mengindikasikan penurunan daya pengembangan granula pati yang menyebabkan meningkatnya kemampuan ketahanan terhadap pengadukan dan viskositas setback (Stute 1992). Namun demikian. dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa lebih tinggi mempunyai

21

perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi kemudahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air terutama saat berlangsungnya modifikasi HMT. 2.7.3. Pengaruh Interaksi Suhu dan Kadar Air Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Studi yang dilakukan oleh Lewandowicz et al. (1997) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih besar, dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Pada penelitian yang dilakukan Lewandowicz et al. (1997). pati dengan pengaturan kadar air 25-35% memiliki perubahan seperti peningkatan suhu gelatinisasi, penurunan kelarutan, dan perubahan struktur kristalin. Perubahan yang terjadi akan lebih besar jika pengaturan kondisi kadar air pada modifikasi HMT dan suhu yang semakin meningkat. Hal ini

22

disebabkan air mempengaruhi proses perubahan isotermal pada pati yang dimodifikasi dengan teknik radiasi microwave (Lewandowicz et al. 1997). Hoover dan Vasanthan (1994) menambahkan bahwa penurunan entalpi pada pati termodifikasi HMT seiring dengan meningkatnya kadar air menunjukkan adanya kerusakan pada struktur heliks ganda yang dipicu oleh pergerakan rantai heliks ganda (yang meningkat seiring kenaikan kadar air). Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula lebih besar pada suhu 1300C dan integritas granula telah hilang sebagian (Lewandowicz et al. 1997). Vermeylen et al. (2006) juga menemukan hilangnya sifat birefringence serta kekosongan pada pusat granula yang disebabkan oleh hilangnya orientasi radial pada pusat granula. Imbibisi air yang didukung suhu tinggi menyebabkan hilangnya kristalinitas granula. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat

ketidakteraturan sehingga meningkatkan molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998). 2.7.4. Pengaruh Interaksi Waktu dan Suhu Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 1100C selama 16 jam dengan kadar air sebesar 26% dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila

23

dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas panas pasta pasti meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi 12 jam menjadi 16 jam namun kemudian menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta panas pati turut meningkat seiring dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 1000C menjadi 1100C namun kemudian menurun ketika suhunya ditingkatkan menjadi 1200C. 2.8. Tahap Penepungan Ubi Jalar Menurut marwati (2011), tahapan proses pembuatan tepung jalar sebagai berikut: 1. Bahan baku Sebagai bahan baku pembuatan tepung Ubi jalar adal ubi jalar segar yang bebas dari hama dan penyakit. 2. Pegupasan dan Penyawutan Ubi jalar dikupas kemudian dirajang tipis-tipis atau disawut. Penyawutan dilakukan dengan alat penyawut /perajang yang digerakan secara manual atau tenaga motor. Sawut yang dihasilkan berupa irisan-irisan ubi jalar dengan lebar 0,2 0,4 cm, panjang 1 3 cm, dan tebal 0,1 0,4 cm. Sawut basah ditampung dalam bak pelastik atau wadah lain yang tidak korosif, 3. Perendeman dalam larutan Sodium Bisulfit Perendaman sawut basah dengan larutan Sodium Bisulfit (0,3%) selama 1 jam bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan getah yang masih melekat

24

pada sawut ubi jalar, tahap ini penting agar menghasilkan tepung ubi jalar yang putih. Bila Sodium bisulfit tidak tersedia dapat digantikan dengan larutan garam dapur. 4. Pengepresan Perendeman dengan larutan Sodium Bisulfit 0,3 % menyebabkan sawut ubi jalar akan basah, sehingga untuk menghilangkan air dan larutan tersebut dilakukan pengepresan yang akan mempercepat waktu pengeringan sawut ubi jalar. 5. Peremahan Hasil pengepresan sawut biasanya bergumpal, agar cepat kering, gumpulan tersebut harus diremahkan dengan memakai tangan secara pelan-pelan dan merata. 6. Pengeringan Sawut ubi jalar yang sudah dipres memerlukan waktu pengeringan (penjemuran) selama 10 16 jam, sedangkan sawut tanpa pres harus dijemur selam 30 40 jam. Sawut yang sudah dipres harus segera dijemur, apabila cuaca buruk dapat digunakan alat pengering. Pengeringan sawut sampai mencapai kadar air 12 14 %, bila kadar air masih tinggi dapat mengakibatkan sawut/tepung ubi jalar tidak tahan disimpan dan menurun kualitasnya. Penjemuran dilakukan diatas rak, menggunakan alas dari bahan yang tidak korosif 7. Penyimpanan Sawut yang telah kering dapat disimpan atau langsung ditepungkan.

25

Penyimpanan dalam bentuk sawut maupun dalam bentuk tepung harus kedap udara supaya tidak terserang hama gudang. 8. Penepungan Penggilingan sawut kering menjadi tepung ubi jalar dapat menggunakan mesin penepung beras yang banyak beredar dipasaran. Agar efesien, penepungan dilakukan dua tahap, yaitu a) penghancuran sawut untuk menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh), b) penggilingan/penepungan dengan saringan lebih halus (80 mesh) 9. Pengemasan Sawut kering atau tepung dikemas dalam dengan kantong plastic tebal kedap udara, lalu dimasukan dalam karung plastik. Gudang atau ruang penyimpanan harus bersih, kering, dan diberi alas kayu agar karung tidak bersentuhan dengan lantai.

Anda mungkin juga menyukai