Anda di halaman 1dari 3

Penatalaksanaan Limfedema pada Ekstremitas

1 March 2010 Prima Almazini

2 Votes

Limfedema terjadi akibat adanya disfungsi limfatik yang menimbulkan akumulasi abnormal cairan di interstisial yang mengandung protein dengan berat molekul besar. Disfungsi limfatik dapat disebabkan oleh penyakit kongenital, Filariasis, keganasan, maupun radiasi.

Fungsi normal limfatik adalah untuk mengembalikan protein, lemak, dan air dari interstisium ke ruang intravaskuler. 40-50% serum protein ditransportasikan melalui rute ini setiap hari. Tekanan hidrostatik yang tinggi di tekanan kapiler arterial menekan cairan berprotein ke interstisium, menyebabkan peningkatan tekanan onkotik interstisial yang mengimbangi pertambahan cairan.

Cairan interstisial dalam keadaan normal berkontribusi terhadap makanan jaringan. Sekitar 90% cairan kembali ke sirkulasi melalui jalan masuk kapiler vena. Sisa 10% terdiri dari protein berat molekul tinggi dan airnya yang berhubungan secara onkotik, terlalu besar untuk melewati dinding kapiler vena. Hal itu mengakibatkan sisa tersebut mengalir ke kapiler limfe yang tekanannya di bawah tekanan atmosfer dan dapat menampung protein ukuran besar dan air yang menyertainya. Protein kemudian berjalan sebagai limfe melalui berbagai nodus limfe penyaring sebelum bergabung dengan sirkulasi vena. Pada keadaan patologis, kapasitas transport limfe berkurang. Hal ini menyebabkan volume normal pembentukkan cairan interstisial melebihi tingkat pengembalian limfe, menyebabkan stagnasi protein dengan berat molekul besar di interstisium. Hal ini biasanya terjadi setelah aliran berkurang 80% atau lebih. Akibatnya, dibandingkan dengan bentuk edema lain yang konsentrasi proteinnya lebih rendah, edema ini mengandung kadar protein yang tinggi atau limfedema, dengan konsentrasi protein 1,0-5,5 g/mL. Tekanan onkotik yang tinggi di interstisium ini menyebabkan akumulasi air meningkat di interstisium. Akumulasi cairan interstisium menyebabkan dilatasi masif dari saluran keluar yang ada dan inkompetensi katup yang menyebabkan aliran balik dari jaringan subkutan ke pleksus dermal. Dinding limfatik menjadi fibrosis, dan thrombi fibrinoid terakumulasi di dalam lumen, menyumbat kanal limfe yang tersisa. Shunt limfovena spontan mungkin terbentuk. Nodus limfe mengeras dan menyusut, kehilangan arsitektur aslinya.

Di interstisium, akumulasi protein dan cairan menginisiasi reaksi radang. Aktivitas makrofag meningkat, menghasilkan destruksi serat elastis dan produksi jaringan fibrosklerotik. Fibroblast bermigrasi ke interstisium dan deposit kolagen. Akibat dari reaksi radang ini adalah perubahan dari pitting edema ke edema nonpitting sebagai karakteristik limfedema yang menonjol. Akibatnya, pengawasan imun lokal tertekan, dan infeksi kronik, dan juga degenerasi maligna sampai limfangiosarkoma dapat terjadi. Kulit yang terkena menjadi tebal dan memperlihatkan peau dorange (kulit seperti kulit jeruk) dari kulit limfatik yang tersumbat. Epidermis membentuk debris terkreatinisasi dan memperlihatkan verukosis warty. Retakan kulit sering terbentuk dan menampung debris dan bakteria, menimbulkan limporea (perlekatan limfe ke permukaan kulit). The International Society of Lymphology membagi limfedema dalam beberapa kategori. Pada stadium 1 kulit yang diberi tekanan akan meninggalkan celah (pit) yang membutuhkan waktu

beberapa saat untuk kembali lagi (pitting edema). Kadang-kadang pembengkakan dapat dikurangi dengan mengelevasi ekstremitas selama beberapa jam. Pada stadium 2, area yang bengkak bila ditekan tidak membuat celah dan bengkak tidak berkurang dengan elevasi ekstremitas. Jika dibiarkan tidak diobati, jaringan di ekstremitas akan secara bertahap semakin mengeras dan menjadi fibrotik. Bila sudah stadium 3, limfedema sering disebut elefantiasis. Terjadi sering khas di tungkai setelah limfedema yang tidak diobati, jangka lama, dan progresif. Pada stadium ini terdapat perubahan besar pada kulit dan mungkin berupa penonjolan dan pembengkakan. Meskipun limfedema respon dengan pengobatan, pada keadaan ini, jarang reversibel. Prinsip-prinsip Penanganan Limfedema Penanganan limfedema pada ekstremitas atas maupun bawah meliputi pencegahan infeksi, pertolongan konservatif, dan tindakan bedah. Pencegahan infeksi dilakukan dengan selalu menggunakan alas kaki yang baik dan mengenakan sarung tangan ketika mengerjakan pekerjaan kasar, agar kaki dan tangan terhindar dari cedera. Pada luka biarpun kecil, kulit sekitarnya harus didesinfeksi dan ditutup atau dibalut supaya sembuh per primam intentionem. Pada setiap luka di ekstremitas sebaiknya diberikan antibiotik penisilin. Bila sering terjadi kambuhan erysipelas, dapat diberikan pemberian antibiotik profilaksis. Pada pertolongan konservatif diusahakan menekan limfedema sampai hilang dan mempertahankan keadaan tanpa edema ini dengan balutan elastik. Jika belum ada fibrosis jaringan edema, limfedema dapat dihilangkan pada tahap awal dengan pemasangan pembalut elastik dari jari sampai pangkal ekstremitas. Tekanan di bagian distal lebih besar daripada di proksimal. Pembalut tidak boleh dilepas. Bila edema sudah surut sedikit, pembalut sudah boleh dilepas 1-2 kali sehari. Selain itu, dapat digunakan alat kompresi yang dipasang pada ekstremitas. Alat ini akan memberikan tekanan intermiten pada ekstremitas dari distal ke proksimal. Mesin masase yang terdiri atas berbagai segmen ini memberikan kompresi pneumatik, yang berguna bila belum terdapat fibrosis dan edema masih dapat dihilangkan, lebih-lebih bila dikombinasi dengan kaus kaki elastik. Tindak bedah dilakukan bila secara konservatif tidak dapat diperoleh hasil yang memadai. Eksisi jaringan edema dilakukan bersamaan dengan cangkok kulit, tetapi secara kosmetik hasilnya tidak menggembirakan. Metode lainnya adalah pemasangan serabut sutera atau nilon untuk menyalir cairan edema yang mengandung pembuluh limf. Implantasi sebagian omentum tanpa melepaskan perdarahannya dan berbagai cara anastomosis limf vena dengan teknik bedah mikro juga dilakukan, tetapi umumnya hasil jangka panjangnya mengecewakan. primz Sumber: 1. Revis D.R. Lymphedema [citated January 27, 2010]. 2009. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/191350-followupmated 2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. 2003. Jakarta: Penerbit EGC. 3. Casley J.R., Smith M.D. Grades of lymphedema [citated January 28, 2010]. 1997. Available from: www.lymphacare.com/grades.php

Anda mungkin juga menyukai