Anda di halaman 1dari 5

Lembar Jawaban UTS Mata Kuliah : HUKUM PERKAWINAN dan KHI Dosen : SURJANTI, SH., MH.

NAMA : SOFAM PUSTA ENDROYONO NPM/SMTR : 10.12000.000006 / 4 (empat) FAKULTAS HUKUM 1. A. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai Pencatat Nikah memiliki beberapa tujuan, diantaranya: 1) Pegawai pencatat Nikah dapat mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi di sini dalam artian menjaga jangan sampai perkawinan tersebut melanggar, ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, jika diketahui ada pemalsuan identitas, memakai wali yang tidak berhak, masih terikat perkawinan dengan lelaki/wanita lain, beda agama, atau adanya halangan perkawinan, maka pegawai Pencatat Nikah harus menolak menikahkan mereka. 2) Dapat membatalkan perkawinan (melalui proses pengadilan), apabila dikemudian hari diketahui -setelah berlangsungnya perkawinan- bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perkawinan (misalnya, istri masih terikat perkawinan dengan suami yang sebelumnya atau masih dalam masa iddah). Dengan adanya pencatatan, maka pernikahan secara hukum agama maupun negara menjadi sah. 3) Hal ini penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak (terutama pemgaian harta waris, pengakuan status anak, dasar hukum kuat bagi istri jika ingin menggugat suami atau sebaliknya). Pencatatan berfungsi sebagai perlindungan bagi istri/suami. Pencatatan pernikahan menurut hukum Islam Dari sisi dalil naqli tidak ada nash secara eksplisit menyatakan keharusan pencatat An pernikahan. Namun sebagai ijtihad, dengan mempertimbangkan aspek maslahat dan mudharat, pencatatan pernikahan menjadi penting dengan argumen sebagai berikut: 1) Kemaslahatan tujuan pencatatan pernikahan. 2) Banyak kemudharatan yang mungkin timbul. 3) Kaidah fiqh, Sesuatu yang mendatangkan mudharat harus dihilangkan. 4) Nash Al Quran yang memerintahkan agar setiap transaksi dicatat dengan baik (tentang jual beli siih.., tapi sangat relevan) B. Dasar Hukum yaitu pada UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2: 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Asas atau kaedah yang terdapat dalam UU No 1 Th 1974 dan KHI a. asas sukarela b. asas partisipasi keluarga. c. asas perceraian dipersulit. d. asas monogamy (poligami dipersulit dan diperketat). e. asas kedewasaan calon mempelai. f. asas memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita. g. asas legalitas. i. asas selektifitas 3. a. Pencegahan Perkawinan Berdasarkan Pasal 13 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 suatu perkawinan dapat dicegah berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dapat dijadikan alas an untuk adanya pencegahan perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu: 1) Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat dicegah untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya sampai umur calon mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang. 2) Melanggar pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan. Misalnya saja antara kedua calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah dalam satu garis keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah semenda, satu susuan ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan pelaksanaannya untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang akan dilakukan oleh kakak-adik, bapak dengan anak kandung dan lain-lain. 3) Pelanggaran terhadap pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang suami yang diperbolehkan berpoligami. 4) Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau istri yang telah kawin cerai dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang menurut agamanya (hokum) mengatur lain. 5) Pelanggaran terhadap pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan perkawinan yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan pemberitahuan, penelitian dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).

Sedangkan yang boleh melakukan pencegahan berlangsungnya suatu perkawinan adalah: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah 2. Saudara 3. Wali nikah 4. Wali 5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 pegawai pencatat perkawinan tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila dia mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang ini. Bahkan pegawai pencatat perkawinan berhak dan berkewajiban untuk menolak melangsungkan suatu perkawinan apabila benar-benar adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang ini (Pasal 21 ayat (1)). Jadi pencegahan perkawinan itu dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Akibat hokum dari pencegahan perkawinan ini adalah adanya penangguhan pelaksanaan perkawinan bahkan menolak untuk selama-lamanya suatu perkawinan dilangsungkan. b. Pembatalan Perkawinan seperti halnya pencegahan, pembatalan perkawinan juga terjadi apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UU Perkawinan No. I Tahun 1974) . Syarat-syarat yang tidak dipenuhi dimuat dalam Pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan No. I Tahun 1974 yaitu: 1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang. 2. Dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah. 3. Tidak dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas dapat digugurkan pembatalannya apabila suami/istri yang mengajukan pembatalan tersebut sudah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hokum tersebut supaya perkawinan itu dapat diperbaharui menjadi sah. Berdasarkan Pasl 23, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh: 1. Para keluarga dalam garis keturunan harus ke atas dari suami/istri. 2. Suami atau istri. 3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. 4. Pejabat berdasarkan Pasal 16 ayat (2) 5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan tersebut asal perkawinan itu telah putus. Seorang suami/istri dapat juga mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila: 1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hokum. 2. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri

Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pembatalan perkawinan terjadi setelah perkawinan dilangsungkan sedang akibat hokum dari adanya pembatalan perkawinan adalah: 1. Perkawinan itu dapat dibatalkan 2. Perkawinan dapat batal demi hokum artinya sejak semula dianggap tidak ada perkawinan, misalnya suatu perkawinan yang dilangsungkan di mana antara suami istri itu mempunyai hubungan darah menurut garis keturunan ke atas atau ke bawah ataupun satu susuan. Akibat hokum pembatalan perkawinan terhadap anak, suami atau istri dan pihak ketiga berlaku surut: 1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap merupakan anak yang sah. 2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. 3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam point 1 +2 sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembtalan mempunyai kekuatan hokum tetap. 4. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1) Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri. 2) Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). 3) Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami. 4) Tapi ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5. 5) Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah. 6) Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undangundang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974). 7) Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri. 8) Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut. 9) Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut. 5. UU No 1 Th 1974 Bab VI mengenai HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan. 6. Itsbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. Ada 5 langkah pengajuan isbat nikah yaitu 1) Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat. 2) Membayar Panjar Biaya Perkara 3) Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan 4) Menghadiri Persidangan 5) Putusan/Penetapan Pengadilan Alasan orang Mengajukan Itsbat Nikah 1. Untuk penyelesaian perceraian. 2. Hilangnya Buku Nikah. 3. Jika anda ragu tentang sah atau tidaknya salah satu syarat Pernikahan. 4. Jika Pernikahan anda tidak tercatat dan terjadi sebelum tahun 1974. 5. Pernikahan yang tidak tercatat dan terjadi setelah tahun 1974 dan tidak melanggar ketentuan Undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai