Anda di halaman 1dari 17

BAB I LATAR BELAKANG

Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan pun adalah suatu proses yang dapat diamati dalam siklus hidrologi dalam suatu kawasan (DAS). Curah hujan (presipitasi) ini merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Namun, curah hujan di tiap tempat itu pasti berbeda-beda. Sehingga kita harus menghitungnya di setiap tempat tersebut agar mendapatkan rata-rata curah hujan yang akurat. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang ditimbulka oleh adanya sel tekanan (udara) tinggi dan sel tekanan udara rendah di daratan Asia dan Australia secara bergantian. Informasi mengenai curah hujan ini sangat diperlukan sebelum melakukan kegiatan yang berhubungan dengan alam, khususnya dalam hal pertanian. Kita dapat menghitung curah hujan dengan alat pengukur curah hujan. Dalam penempatan alat pengukur curah hujan juga ada persyaratannya, antara lain adalah harus diletakkan di tempat yang bebas halangan atau pada jarak empat kali tinggi obyek penghalang, alat pun harus tegak lurus dan tinggi permukaan penakar antara 120-150 cm di atas permukaan tanah, bebas dari angin balik, alat harus dilindungi dengan baik dari gangguan binatang maupun manusia, alatnya harus standart secara teknis, dan harus dengan dengan pengamat. Alat pengukur curah hujan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu alat pengukur manual dan alat pengukur otomatik. Dalam praktikum kali ini, kita akan melakukan pengukuran curah hujan dengan menggunakan ombrometer. Suatu alat pengukur curah hujan manual. Dengan melakukan percobaan dalam pengukuran curah hujan ini diharapkan dapat membantu para petani dalam menentukan waktu penanaman dan pola jenis tanaman yang disesuaikan dengan kebutuhan air bagi tanaman yang akan ditanam.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Hujan Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi

non-cair seperti salju, batu es dan slit. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Di Bumi, hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu pendinginan udara atau penambahan uap air ke udara. Virga adalah presipitasi yang jatuh ke Bumi namun menguap sebelum mencapai daratan; inilah satu cara penjenuhan udara. Presipitasi terbentuk melalui tabrakan antara butir air atau kristal es dengan awan. Butir hujan memilik ukuran yang beragam mulai dari pepat, mirip panekuk (butir besar), hingga bola kecil (butir kecil). Kelembapan yang bergerak di sepanjang zona perbedaan suhu dan kelembapan tiga dimensi yang disebut front cuaca adalah metode utama dalam pembuatan hujan. Jika pada saat itu ada kelembapan dan gerakan ke atas yang cukup, hujan akan jatuh dari awan konvektif (awan dengan gerakan kuat ke atas) seperti kumulonimbus (badai petir) yang dapat terkumpul menjadi ikatan hujan sempit. Di kawasan pegunungan, hujan deras bisa terjadi jika aliran atas lembah meningkat di sisi atas angin permukaan pada ketinggian yang memaksa udara lembap mengembun dan jatuh sebagai hujan di sepanjang sisi pegunungan. Di sisi bawah angin pegunungan, iklim gurun dapat terjadi karena udara kering yang diakibatkan aliran bawah lembah yang mengakibatkan pemanasan dan pengeringan massa udara. Pergerakan truf monsun, atau zona konvergensi intertropis, membawa musim hujan ke iklim sabana. Hujan adalah sumber utama air tawar di sebagian besar daerah di dunia, menyediakan kondisi cocok untuk keragaman ekosistem, juga air untuk pembangkit listrik hidroelektrik dan irigasi ladang. Curah hujan dihitung

menggunakan pengukur hujan. Jumlah curah hujan dihitung secara aktif oleh radar cuaca dan secara pasif oleh satelit cuaca. Dampak pulau panas perkotaan mendorong peningkatan curah hujan dalam jumlah dan intensitasnya di bawah angin perkotaan. Pemanasan global juga mengakibatkan perubahan pola hujan di seluruh dunia, termasuk suasana hujan di timur Amerika Utara dan suasana kering di wilayah tropis. Hujan adalah komponen utama dalam siklus air dan penyedia utama air tawar di planet ini. Curah hujan ratarata tahunan global adalah 990 millimetre (39 in). Sistem pengelompokan iklim seperti sistem pengelompokan iklim Kppen menggunakan curah hujan rata-rata tahunan untuk membantu membedakan kawasan-kawasan iklim. Antarktika adalah benua terkering di Bumi. Di daerah lain, hujan juga pernah turun dengan kandungan metana, besi, neon, dan asam sulfur.

2.2

Curah Hujan Curah hujan merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting.

Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Pefran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi di dalamnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya presipitasi antara lain : 1. Adanya uap air di atmosfer 2. Faktor-faktor meteorologis 3. Lokasi daerah 4. Adanya rintangan, misalnya gunung

BMG Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan, yaitu : 1. Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat

unimodial (satu puncak musim hujan,DJF musim hujan,JJA musim kemarau). 2. Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. 3. Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun. Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan monsun akan mendapatkan jumlah curah hujan yang berlebih pada saat monsun barat (DJF) dibanding saat monsun timur (JJA). Pengaruh monsun di daerah yang memiliki pola curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi pada saat terjadi ekinoks, demikian juga pada daerah yang memiliki pola curah hujan lokal yang lebih dipengaruhi oleh efek orografi . Pola curah hujan di Indonesia Secara Astronomis Indonesia terletak diatara 6 Lu dan 11 Ls dan sebagian besar berada di sekitar khatulistiwa dan memiliki curah hujan yang cukup besar terutama di Indonesia bagian barat, dengan rata curah hujannya 2.000 3.000.m/tahun dan semakin ke arah timur curah hujannya semakin kecil kecuali Maluku dan Papua. Daerah yang paling banyak mendapatkan curah hujan adalah Batu Raden Jawa Tengah yaitu 7.069 m/ tahun, sedangkan yang paling sedikit mendapatkan curah hujan adalah Palu yaitu hanya 547 m/tahun Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang ditimbulkan oleh adanya sel tekanan (udara) tinggi dan sel tekanan udara rendah di daratan Asia dan Australia secara bergantian. Curah hujan di Indonesia pun tidak terlepas dipengaruhi oleh angin muson barat dan angin muson timur. Angin muson barat pada bulan

Januari tekanan udara tinggi berada di atas Asia sedangkan tekanan rendah berada di atas Australia, angin ini berhembus di atas Lautan Pasifik banyak membawa uap air dan akhirnya menurunkan hujan di wilayah Indonesia bagian barat dan berlangsung antara bulan Oktober April (musim hujan ). Curah hujan di Indonesia tidak terlepas dipengaruhi oleh angin muson barat dan angin muson timur. Angin muson barat pada bulan Januari tekanan udara tinggi berada di atas Asia sedangkan tekanan rendah berada di atas Australia, angin ini berhembus di atas Lautan Pasifik banyak membawa uap air dan akhirnya menurunkan hujan di wilayah Indonesia bagian barat dan berlangsung antara bulan Oktober April (musim hujan )

2.3 Alat Pengukur Curah Hujan Curah hujan dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan otomatis atau yang manual. Alat-alat pengukur tersebut harus diletakkan pada daerah yang alamiah, sehingga curah hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang luas. Salah satu tipe pengukur hujan manual yang paling banyak dipakai adalah tipe observatorium (obs) atau sering disebut Ombrometer. Data yang didapat dari alat ini adalah curah hujan harian. Curah hujan dari pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan dibagi dengan luas mulut penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat baku dengan mulut penakar seluas 100 cm2 dan dipasang dengan ketinggian mulut penakar 1-2 m dari permukaan tanah. Bahan Terbuat dari Galvanis yang dibalut dengan cat anti karat sehingga dapat digunakan bertahun-tahun. Kalibrasi Alat dari BMKG Indonesia sehingga keakuratannya dapat di pertanggungjawabkan. Luas corong sesuai standar pengukur curah hujan. Alat ini sudah dilengkapi gelas ukur. Prinsip kerja Ombrometer : 1. Menggunakan prinsip pembagian antara volume air hujan yang ditampung dibagi luas penampang/mulut penakar 2. Alat yang digunakan yaitu ombrometer diletakkan di atas permukaan tanah dengan ketinggian antara 120-150 cm

3. Hitung luas mulut penakar 4. Hitung volume air hujan yang tertampung 5. Akhirnya didapatkan kedalaman CH = volume / luas mulut penakar, contoh : terukur 200 cc, luas mulut penakar 100 / 100 = 2 cm = 20 mm. maka CH = 200

6. Pengukuran curah hujan harian (mm), dilakukan 1 kali sehari pada pagi hari, sekitar pukul 07.00. Alat penakar curah hujan otomatis adalah alat penakar hujan yang mekanisme pencatatan besarnya curah hujan bersifat otomatis. Dengan cara ini, data hujan yang diperoleh selain besarnya curah hujan selama periode waktu tertentu, juga dapat dicatat lama waktu hujan, dan dengan demikian besarnya intensitas hujan dapat ditentukan.

2.4

Menaksir Data Hujan yang Hilang Ada dua cara yang dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya data yang hilang, yaitu : 1. Metode Rata-rata Metode ini digunakan jika besar perbedaan antara curah hujan rata-rata tahua dari tiga stasiun pengamat dengan curah hujan rata-rata tahunan dari alat yang akan diperkirakan kurang dari 10%. Metode perkiraan yang digunakan sebagai berikut :

Dimana : Px = volume curah hujan harian/ bulanan yang diperkirakan besarnya (mm) = = volume curah hujan harian/bulanan yang digunakan

sebagai masukan (mm)

2. Metode perbandingan normal Metode ini digunakan jika besar perbedaan antara curah hujan rata-rata tahunan dari tiga stasiun pengamat dengan curah hujan rata-rata dari alat yang akan diperkirakan lebih dari 10%. Metode perkiraan yang digunakan sebagai berikut : *( Dimana : = volume curah hujan harian/ bulanan yang diperkirakan besarnya (mm) = = volume curah hujan harian/bulanan yang digunakan ) ( ) ( )+

sebagai masukan (mm) = volume curah hujan normal jangka panjang yang diperkirakan besarnya (mm) = volume curah hujan normal jangka panjang yang

digunakan sebagai masukan (mm)

BAB III METODOLOGI

3.1

Alat dan Bahan 3.1.1 Alat 1. Kalkulator 2. Alat tulis 3.1.2 Bahan 1. Data volume air hujan yang tertampung. 2. Data luas penampang alat (Ombrometer). 3. Data curah hujan bulanan pada tahun 2006 di empat stasiun pengamatan (Cicalengka, Paseh, Ciparay, dan Rancaekek).

3.2

Metode Pelaksanaan 1. Siapkan alat dan bahan yang akan dipakai. 2. Hitung curah hujan dalam satuan millimeter (mm) 3. Catat hasilnya pada lembar tugas yang ada dalam modul. 4. Hitung rata-rata curah hujan pada empat stasiun pengamatan (Cicalengka, Paseh, Ciparay, dan Rancaekek). 5. Hitung data hujan bulanan yang hilang dengan menggunakan metode ratarata dan metode perbandingan normal. 6. Catat hasilnya pada lembar tugas yang ada pada modul.

BAB IV HASIL PRAKTIKUM

4.1

Menghitung Curah Hujan Selama 1 Bulan Volume (mL) Luas Penampang Alat (cm2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 100 480 0 0 0 300 450 120 20 0 0 0 0 0 0 260 230 570 670 870 0 0 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 10 48 0 0 0 30 45 12 20 0 0 0 0 0 0 26 23 57 67 87 0 0 0 Curah Hujan (mm)

Tanggal

24 25 26 27 28 29 30

0 20 10 570 0 0 0

100 100 100 100 100 100 100

0 2 1 57 0 0 0

Cara perhitungan curah hujan, dengan menggunakan data tanggal 1 : CH = volume / luas mulut penakar = 100 mL / 100 = 1 cm = 10 mm

4.2

Data Hujan Bulanan Pada Tahun 2006 dari 4 Stasiun Pengamatan Cicalengka 385 347 339 335 274 | 265,152 126 109 39 69 231 388 249 237,909 Paseh 380 335 368 315 258 148 134 45 57,3 | 64,363 226 368 356 266,636 Ciparay 357 343 362 321 299 134 | 136,530 123 34 54 235 299 303 248,182 Rancaekek 342 362 368 315 265 128 110 26 49 196 351 | 317,974 327 226,273

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata-rata

10

Perhitungan data yang hilang 1. Rata-rata data hujan bulanan di daerah Cicalengka Rata-rata = = 237,909 2. Rata-rata data hujan bulanan di daerah Paseh Rata-rata = = 266,636 3. Rata-rata data hujan bulanan di daerah Ciparay Rata-rata = = 248,182 4. Rata-rata data hujan bulanan di daerah Rancaekek Rata-rata = = 226,273

Perhitungan data yang hilang dengan menggunakan metode rata-rata 1. Data volume curah hujan yang hilang di Cicalengka 3. Data volume curah hujan yang hilang di Ciparay

2. Data volume curah hujan yang hilang di Paseh

4. Data volume curah hujan yang hilang di Rancaekek

11

Perhitungan data yang hilang dengan menggunakan metode perbandingan normal 1. Data volume curah hujan yang hilang di Cicalengka *( ) ( ) ( )+

*(

)+

2. Data volume curah hujan yang hilang di Paseh *( ) ( ) ( )+

*(

)+

3. Data volume curah hujan yang hilang di Ciparay *( ) ( ) ( )+

*(

)+

4. Data volume curah hujan yang hilang di Rancaekek *( ) ( ) ( )+

*(

)+

12

BAB V PEMBAHASAN

Dalam praktikum kali ini, yang dilakukan adalah mengukur curah hujan harian dalam satu bulan dari suatu alat yang disebut ombrometer dan juga menghitung data curah hujan yang hilang pada 4 stasiun pengamatan curah hujan, yaitu di Cicalengka, Paseh, Ciparay, dan juga Rancaekek. Dalam menghitung curah hujan harian dalam satu bulan, cukup dengan menghitung volume air hujan yang tertampung kemudian dibagi dengan luas penampang mulur penakarnya, sehingga dapat diketahui curah hujannya. Dalam pengukuran curah hujan ini, pengukuran volume air hujannya harus dilakukan dalam waktu yang sama setiap harinya, misalnya setiap pukul 07.00 WIB. Hal ini harus dilakukan secara berkala dan teratur agar data yang didapatkan pun lebih akurat. Karena ombrometer ini adalah alat pengukur curah hujan yang tidak otomatis, sehingga kita harus lebih teliti dalam mengamatinya. Namun, menurut literatur yang didapatkan, hasilnya tak berbeda jauh antara alat pengukur otomatis dan tidak otomatis/manual. Sedangkan dalam penaksiran data hujan yang hilang pada setiap stasiun pengamatan itu ada dua metode, yaitu metode rata-rata dan metode perbandingan normal. Dari dua metode tersebut bisa kita lihat bahwa hasilnya lumayan jauh berbeda. Jika dilihat dari selisih dari data pada curah hujan bulan ke-5, di stasiun Cicalengka adalah 8,848, selisih pada curah hujan bulan ke-9 pada stasiun Paseh adalah 7,063, selisih dari data curah hujan pada bulan ke-6 pada stasiun Ciparay adalah 2,53, dan selisih dari data curah hujan bulan ke-11 pada stasiun Rancaekek adalah 33,693. Dilihat dari selisihnya, praktikan melihat bahwa tidak adanya keselarasan antara metode rata-rata dengan metode perbandingan normal. Selisih dari tiap stasiun itu sangatlah berbeda, ada yang selisihnya sedikit, dan ada juga yang selisihnya sangat banyak. Namun, dengan adanya praktikum ini kita pun bisa melihat bahwa perhitungan data curah hujan yang hilang dengan metode perbandingan normal itu

13

bisa dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan metode rata-rata. Karena, dengan menghitung menggunakan metode perbandingan normal ini, banyak data yang digunakan dalam mencari data yang hilang. Sedangkan dalam metode rata-rata itu hanya menggunakan data pada tiap stasiun yang lainnya. Data hujan bulanan yang hilang ini mungkin saja terjadi karena adanya kelalaian petugas dalam mencatat data curah hujan tersebut. sehingga hal ini dapat dimaklumi. Tapi dengan adanya dua metode dalam perhitungan data yang hilang ini cukup membantu dalam melengkapi data tahunan curah hujan yang terjadi di setiap stasiun.

14

BAB VI KESIMPULAN

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah : 1. Kita dapat mengukur curah hujan dengan menggunakan alat yaitu ombrometer 2. Pengukuran curah hujan dengan menggunakan ombrometer rumusnya adalah CH = volume / luas mulut penakar 3. Melakukan penaksiran data yang hilang dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu , dan metode pebandingan normal yang rumusnya adalah *( ) ( ) ( )+ metode rata-rata yang rumusnya adalah

4. Metode perbandingan normal lebih baik digunakan dibandingkan dengan metode rata-rata

15

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Airan Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Dwiratna. Sophia N.P. 2011. Penuntun Praktikum Hidrologi. Jatinangor: Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian Universitas Padjadjaran. Anonim. 2011. Hujan. Terdapat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan (diakses pada 27 September 2011, 16.41 WIB) Anonim. 2011. Pengukur Curah Hujan Manual Observatorium Ombrometer. Terdapat pada http://geo-mining.webnode.com/products/pengukur-curah-hujan-

manual-observatorium-ombrometer-/ (diakses pada 27 September 2011, 16.55 WIB) Kadarsah. 2010. Tiga Pola Curah Hujan Indonesia. Terdapat pada http://kadarsah.wordpress.com/2007/06/29/tiga-daerah-iklim-indonesia/ (diakses pada 27 September 2011, 16.43 WIB) Kosasih, Nanang. 2010. Iklim dan Curah Hujan. Terdapat pada

http://www.edukasi.net/index.php?mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi%20P okok/view&id=76&uniq=all. (diakses pada 27 September 2011, 16.51 WIB)

16

LAMPIRAN

Gambar 1. Ombrometer

17

Anda mungkin juga menyukai