Anda di halaman 1dari 18

Efek iklan politik dalam media massa terhadap prilaku memilih dalam pemilu oleh Gati Gayatri A.

Latar Belakang Perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilihan umum (Pemilu) yang ditunjukkan masyarakat merupakan salah satu hal yang selalu diperhatikan oleh para pelaku politik. Perilaku tersebut sangat menentukan partai politik (Parpol) mana dan siapa calon yang akan terpilih menjadi wakil-wakil rakyat dan pemimpin politik dalam suatu sistem politik. Demikian pentingnya hal itu bagi keberhasilan pencapaian tujuan politik mereka maka banyak Parpol dan calon pemimpin politik melakukan berbagai upaya untuk dapat mempengaruhi perilaku memilih masyarakat konstituen. Salah satu upaya yang dilakukan Parpol dan calon pemimpin politik untuk mempengaruhi perilaku memilih masyarakat konstituen adalah kampanye. Dengan menggunakan strategi tertentu melalui upaya kampanye tersebut Parpol dan calon-calon pemimpin politik dapat menyampaikan berbagai informasi dan pesan-pesan politik untuk tujuan membentuk dan mempengaruhi opini, sikap dan perilaku masyarakat sehingga mereka mau memberikan dukungan dan suara kepada wakil-wakil dan pemimpin politik dari Parpol yang bersangkutan. Iklan politik melalui media massa merupakan salah satu alternatif yang sering dipilih Parpol dan calon-calon pemimpin politik dalam pelaksanaan kampanye Pemilu. Meskipun harus mengeluarkan dana yang besar, Parpol dan calon-calon pemimpin politik sering menggunakan iklan dalam media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan mereka memutuskan menggunakan media komunikasi politik itu biasanya adalah faktor keunggulan media massa dalam menjangkau khalayak yang sangat luas dan faktor peluang menyampaikan pesan-pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi. Kampanye melalui iklan dalam media massa tampaknya memang menimbulkan efek tertentu pada perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam Pemilu. Efek komunikasi politik tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap atau perilaku, bersifat mikro terjadi secara individual atau makro terjadi secara menyeluruh pada suatu sistem sosial, bersifat langsung atau kondisional, karena isu media tertentu saja atau secara umum, dan bersifat alterasi atau stabilisasi. Apa dan bagaimana pun bentuk dan sifatnya, komunikasi politik tersebut dapat menimbulkan efek tertentu pada masyarakat. Sejak awal perkembangannya sampai saat ini efek kampanye melalui media massa mendapat perhatian para ahli dan peneliti dari berbagai bidang studi. Dalam studi komunikasi misalnya, para ahli dan peneliti telah memberikan perhatian mereka terhadap efek media massa terhadap perilaku memilih sejak tahun 1950-an, diawali dengan studi Paul Lazarsfeld di Erie County, Ohio (1954) sebelum adanya TV yang menunjukkan adanya keterkaitan antara perilaku memilih dengan penggunaan media. Studi yang merupakan studi pertama tentang efek media massa terhadap perilaku memilih itu menghasilkan kesimpulan efek yang sifatnya terbatas, yakni karena adanya pengaruh faktor terpaan selektif atau selective exposure, yakni bahwa masyarakat hanya memperhatikan gagasan-gagasan dalam media massa yang

sebelumnya sudah menjadi keyakinan mereka. Dengan kata lain, efek media massa terhadap perilaku memilih ternyata hanya memperkuat (reinforce) keyakinan yang sebelumnya memang sudah dimiliki masyarakat. Para ahli dan peneliti pada masa selanjutnya mengembangkan penelitian tersebut sehingga menghasilkan teori-teori efek media massa dalam Pemilu dan dukungan terhadap Parpol yang sangat terkenal sampai sekarang, seperti Agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972), dan Spiral of Silence (Noelle-Neumann, 1973). Meskipun demikian, hasil-hasil penelitian tersebut sampai saat ini belum mampu sepenuhnya menjawab pertanyaan dan menghasilkan kesepakatan diantara para ahli dan peneliti bidang komunikasi massa mengenai ukuran, bentuk, dan sifat efek media terhadap khalayaknya. Sebagian penelitian hasilnya menunjukkan bahwa media massa menimbulkan efek yang sangat besar, tetapi sebagian penelitiam lain hasilnya menunjukkan bukti-bukti efek media sangat kecil terhadap khalayak. Sejumlah penelitian berhasil menunjukkan bukti bahwa media mampu menimbulkan perubahan-perubahan sikap dan perilaku, tetapi sejumlah penelitian lain hanya mampu menunjukkan perubahan-perubahan opini dan persepsi pada khalayak. Dalam penelitian-penelitian tertentu terbukti bahwa media menimbulkan dampak positif, tetapi dalam penelitian-penelitian lain justru diperoleh bukti-bukti sebaliknya. Variasi dan inkonsistensi temuan-temuan penelitian tersebut terus terjadi sejak awal perkembangan penelitian komunikasi massa sampai sekarang sehingga mendorong para ahli dan peneliti untuk terus melakukan berbagai studi dalam upaya menjawab pertanyaan penting tersebut. Tulisan ini mengajak pembaca untuk meninjau beberapa aspek penting yang berkaitan dengan penelitian tentang efek iklan politik dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu. Pembahasan dalam tinjauan ini dilakukan dengan menunjukkan contoh penelitian di Indonesia dan negara-negara lain dengan topik-topik pembahasan mencakup iklan politik dalam media massa, efek iklan politik, dan penelitian tentang efek politik melalui media massa, termasuk kesulitan-kesulitan yang dialami para peneliti dalam membuat kesimpulan umum mengenai efek media massa. Selain memberi tambahan informasi bagi pihak berkepentingan, tulisan ini diharapkan dapat mengundang perhatian para peneliti Indonesia untuk mengembangkan penelitian tentang efek iklan politik khususnya dan penelitian media massa umumnya. B. Iklan Politik dalam Media Massa Iklan politik sejak lama telah digunakan para politisi sebagai alat kegiatan komunikasi politik yang mereka lakukan untuk mencari dukungan masyarakat terhadap tujuan politiknya. Dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, selain cara-cara lainnya wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif dan kepala daerah iklan politik merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup sering dimanfaatkan oleh para calon. Sebagaimana iklan-iklan yang menawarkan produk barang dan jasa, iklan politik juga menawarkan sesuatu kepada khalayak media massa, termasuk calon itu sendiri, program-program, dan janji-janji yang akan dipenuhi sicalon. Iklan politik dapat berupa komunikasi yang mendukung atau yang menentang seorang calon sebagai nominasi atau pilihan. Di Indonesia Pemilu yang sering disebut sebagai pesta demokrasi sepanjang sejarahnya telah dilaksanakan sebanyak sembilan kali. Dalam Pemilu terakhir yakni tahun 2004 yang lalu, rakyat telah memilih wakil-wakilnya di lembaga legislatif DPR dan DPRD (5 Juli 2004) dan memilih presiden dan wakil presiden (20 September 2004). Namun, tidak seperti Pemilu pada masa-masa sebelumnya, pelaksanaan Pemilu kali ini dilakukan secara langsung, seperti yang biasa dilakukan oleh rakyat Amerika Serikat setiap lima tahun sekali. Oleh karena baru

pertama kali dilaksanakan, Pemilu secara langsung itu tampaknya telah mendorong banyak Parpol melakukan upaya komunikasi politik yang lebih intensif dibanding Pemilu pada masamasa sebelumnya. Upaya tersebut tampaknya memang perlu dilakukan oleh Parpol karena bagian besar rakyat Indonesia mulai menunjukkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan mereka terhadap lembaga legislatif DPR dan DPRD. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian kerjasama antara CESDA dan LP3ES yang dilaksanakan selama 12 hari (1-12 Mei 2003) di 13 provinsi dengan sampel yang dipilih secara acak sebanyak 3.000 orang, masyarakat yang menyatakan tertarik terhadap pemilihan wakil rakyat di DPR-RI hanya 54% dan yang menyatakan tertarik terhadap pemilihan wakil rakyat di DPRD jumlahnya lebih kecil yakni 53%. Selain itu, dari jumlah keseluruhan responden yang menyatakan tidak yakin bahwa Papol peserta Pemilu 2004 dapat menjamin tersalurkannya kepentingan rakyat mencapai 64%. Hasil penelitian itu jelas menunjukkan kecenderungan sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap Parpol[1]. Hasil penelitian survai dengan teknik pengumpulan data wawancara tatapmuka tersebut juga didukung oleh hasil jajak pendapat yang dilakukan IFES bekerjasama dengan Polling Center sejak 1 Juni sampai dengan 5 Juli 2003. Penelitian yang diikuti 3.000 responden yang dipilih secara acak dari 32 provinsi di Indonesia itu menghasilkan kesimpulan bahwa kepuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga perwakilan rakyat seperti DPR, DPRD I dan DPRD II relatif rendah[2]. Barangkali kurangnya kepercayaan dan keyakinan terhadap Parpol yang wakil-wakilnya menjadi Anggota DPR-RI atau Anggota DPRD menyebabkan masyarakat khususnya masyarakat daerah mengalihkan harapan mereka kepada lembaga politik baru DPD. Keberadaan lembaga politik baru DPD yang dimaksudkan sebagai penyeimbang kekuasaan DPR dengan segera menimbulkan harapan baru rakyat Indonesia akan perubahan dan perbaikan nasib mereka. Bukti empirik hasil penelitian jajak pendapat yang dilakukan IFES bekerjasama dengan Polling Center tersebut juga menemukan bahwa 79% dari jumlah responden menyatakan setuju/sangat setuju terhadap pernyataan bahwa DPD merupakan sarana efektif menyampaikan aspirasi daerah. Bagian terbesar responden, yakni sebanyak 73% juga menyatakan setuju/sangat setuju terhadap pernyataan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan dan perimbangan terhadap DPR dan Pemerintah, dan 67% menyatakan setuju/sangat setuju terhadap pernyataan bahwa Anggota DPD lebih bertanggungjawab dibanding Anggota DPR dan Anggota DPRD[3]. Kampanye merupakan salah satu upaya komunikasi politik yang biasa dilakukan oleh peserta Pemilu. Kampanye biasanya berkaitan dengan pembentukan perilaku yang sejalan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Selain itu, kampanye juga memberi perhatian pada upaya mengarahkan, memperkuat, dan mengaktifkan kecenderungan perilaku yang ada ke arah tujuan yang telah diterima secara sosial. Menurut Riswandha Imawan kampanye merupakan upaya persuasif mengajak orang lain yang belum sefaham atau belum yakin pada ide-ide ditawarkan pihak yang berkampanye agar mereka bersedia bergabung dan mendukung pihak tersebut[4]. Dalam Pemilu 2004 pelaksanaan kampanye sebenarnya telah diatur secara formal dalam Undang-Undang. Dalam Pasal 72 Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dinyatakan bahwa kampanye Pemilu dilakukan melalui pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Selain itu, dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-

Undang tersebut dinyatakan bahwa media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk memasang iklan Pemilu dalam rangka kampanye. Pengaturan lebih lanjut mengenai tatacara kampanye melalui media massa itu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam hal ini KPU dapat melakukan pembatasan atau kontrol terhadap pemasangan iklan Pemilu dalam media massa. Selain itu, anggota Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) juga membuat pedoman umum sendiri dalam mengatur siaran kampanye Pemilu 2004[5]. Khususnya mengenai pemasangan iklan atau promosi Parpol dalam media massa kode etiknya mengacu pada Kode Etik Periklanan. Meskipun demikian, karena biaya pembuatan dan pemasangannya yang cukup besar, yakni rata-rata mencapai Rp. 70 miliar, maka Parpol kecil yang baru dibentuk menjelang Pemilu 2004 umumnya tidak mampu memasang iklan dalam media massa selama masa kampanye. Kenyataan menunjukkan, meskipun masa kampanye dimulai 11 Maret hingga 1 April 2004, jauh sebelum itu Parpol serta calon presiden dan calon wakil presiden telah melakukan berbagai kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan kampanye. Kegiatan tersebut sering melibatkan massa yang jumlahnya sangat banyak sehingga menimbulkan rasa was-was dan kuatir di kalangan masyarakat. Kekhawatiran masyarakat terhadap hal itu terlihat dari hasil jajak pendapat harian Kompas yang antara lain menunjukkan bahwa responden yang setuju dengan kegiatan kampanye yang melibatkan massa atau banyak orang hanya 36%, sedangkan selebihnya yakni sebanyak 58.8% tidak setuju, dan 5.2% menyatakan tidak tahu. Dari jumlah keseluruhan responden, 80.3% menyatakan kuatir bahwa kegiatan kampanye Parpol bakal rawan bentrok/tindakan kekerasan, dan yang menyatakan tidak kuatir hanya 15.7%, dan mengaku tidak tahu 4%. Hasil jajak pendapat itu juga menunjukkan bahwa bagian besar responden yakni sebanyak 36.5% menyatakan lebih menyukai bentuk kampanye Parpol berupa pidato di TV/radio, 31% menyatakan menyukai bentuk kampanye berupa debat publik, 14.1% menyukai orasi/pidato di lapangan, 5.9% menyukai pawai massa/kendaraan, 1% menyukai bentuk kampanye lainnya, dan 11.5% menyatakan tidak tahu[6]. Selama masa kampanye Pemilu 2004 media massa cetak dan elektronik sering dimanfaatkan Parpol serta calon presiden dan calon wakil presiden sebagai alat penyampaian pesan-pesan politik. Salah satu media penyampaian pesan-pesan politik itu adalah iklan yang sering disebut iklan politik. Pada putaran pertama Pemilu iklan-iklan tersebut dipasang oleh sejumlah Parpol, dan pada putaran ke dua dipasang oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Iklan-iklan politik tersebut umumnya berisi pesan-pesan persuasif kepada masyarakat yang disusun sedemikian rupa untuk menarik perhatian dan simpati khalayak. Pesan-pesan dalam iklan-iklan tersebut dimaksudkan agar pada saatnya nanti masyarakat mau memberikan suara mereka dengan memilih calon-calon dari Parpol tersebut sebagai wakilwakil mereka di DPR-RI dan DPRD. Namun, menurut pengamatan Ibnu Hamad, Direktur Institute for Democracy and Communication Research, iklan-iklan tersebut banyak yang tidak mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat karena hanya berisi ajakan memilih Parpol yang bersangkutan tanpa memberikan informasi dan argumentasi obyektif mengenai alasan-alasannya[7]. Selain kurang mengandung unsur pendidikan politik, iklan-iklan politik dalam media massa yang disajikan selama masa kampanye Pemilu 2004 juga ada beberapa yang dianggap melanggar norma-norma hukum dan Etika Periklanan. Akibatnya, iklan-iklan tersebut mendapatkan protes dari sejumlah lembaga dan kelompok masyarakat. Sebagai contoh, Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil telah mengajukan somasi etik kepada sejumlah pihak yang dianggap bertanggungjawab atas penayangan iklan politik selama masa kampanye 11 Maret sampai dengan 1 April 2004. Alasannya, iklan-iklan tersebut dinilai telah

membodohi dan menyesatkan calon-calon pemilih. Somasi yang didukung delapan LSM dan dibacakan oleh perwakilan koalisi, yaitu Direktur Eksekutif Indonesia Media Law and Policy Centre (IMLPC) Hinca Panjaitan di Jakarta, 2 April 2004, menyatakan bahwa pembodohan dan penyesatan yang dimaksud adalah fakta bahwa materi iklan yang disampaikan hanya memuat pendiktean kepada calon pemilih agar mencoblos tanda gambar Parpol tertentu, tanpa memberikan informasi apapun tentang Parpol yang bersangkutan. Pengajuan somasi tersebut menurut koalisi didasarkan pada semangat untuk mentaati UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman[8]. Selain itu, kelompok yang menamakan diri Masyarakat Profesional Madani juga melaporkan kepada pihak Panwaslu atas tindak pelanggaran yang dilakukan Metro TV karena menayangkan iklan politik Moncong Putih pada hari tenang menjelang Pemilu 2004, yakni tanggal 1 April 4 April 2004. Menurut penjelasan Ketua kelompok tersebut, Ismed Hasan Putro, pihak Metro TV menayangkan iklan tersebut pada tanggal 3 April 2004 sampai tiga kali dalam dua acara yang berbeda, yaitu pada pk. 00.1000.30 ditayangkan di sela-sela acara Tangkal Gosip, pk. 00.30-01.00 ditayangkan diantara acara Selebriti Profil. Tindak pelanggaran itu tidak bisa ditolerir karena dianggap dapat menciderai Pemilu yang jujur dan adil, dan oleh karenanya akan segera dilaporkan kepada pihak KPU dan kepolisian[9]. Fakta juga menunjukkan, penyampaian pesan-pesan dalam iklan-iklan politik tersebut kurang memperhatikan fungsinya dalam setiap tahapan kampanye. Parpol serta calon presiden dan calon wakil presiden yang mampu membiayai pembuatan dan pemasangan iklan politik dalam media massa bagian besar memasang iklan yang sama yang disajikan dalam media yang sama sejak awal sampai akhir masa kampanye. Padahal, menurut Valentino dan kawankawan (2002), iklan politik memiliki beberapa fungsi, tergantung pada tahap-tahap kampanye dan karakteristik calon yang bersangkutan. Pada tahap awal kampanye iklan tersebut dapat difokuskan pada kualitas pribadi si-calon dalam upaya memperkenalkan nama calon dan menumbuhkan kesadaran mengenai posisi-posisi isu penting. Iklan yang bertentangan dengan posisi-posisi tersebut, kualifikasi, dan perbedaan-perbedaan relevan lainnya diantara para calon biasanya disajikan pada tahap kampanye selanjutnya. Sedangkan pada tahap akhir kampanye materi iklan bisanya difokuskan pada berbagai isu lain yang berkaitan dengan isu penting tersebut dalam upaya mendorong para pemilih untuk memilih calon tersebut dan menolak calon-calon lainnya. Aktivasi dan penguatan kembali basis dukungan bagi si-calon selalu menjadi hal yang penting diperhatikan dalam kampanye. Keberhasilan pelaksanaan tanggungjawab pekerja kampanye pada tingkat grassroots, dan mobilisasi dukungan yang belum terlihat sangat tergantung pada efektif tidaknya strategi iklan politik[10]. C. Efek Iklan Politik dalam Media Massa Efek iklan politik dalam media massa yang dapat terjadi pada masyarakat memiliki banyak sekali kemungkinan. Sebagian dari efek tersebut dapat sengaja diciptakan dan sebagian lainnya tidak. Sebagian dari efek tersebut dapat bersifat sementara, tetapi sebagian lainnya bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, penelitian mengukur efek iklan politik dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu 2004 perlu dilakukan secara cermat dan hatihati. Dalam menganalisis efek tersebut para peneliti biasanya menggunakan teknik pengujian hipotesa secara statistik untuk mengukur perubahan-perubahan yang terjadi dengan membandingkan kondisi subyek sebelum dan sesudah penerimaan pesan-pesan (pre-and-post test), membandingkan kondisi subyek pada titik-titik waktu yang berbeda, membandingkan kondisi kelompok yang menerima dengan kelompok yang tidak menerima pesan-pesan

(control groups), atau membandingkan efek dengan memasukkan varibel-variabel pengganggu (control variables), atau kombinasi diantara teknik-teknik tersebut. Persyaratan utama bagi terjadinya efek iklan politik dalam media massa terhadap perilaku khalayak adalah terpaan (exposure) informasi dari iklan tersebut. Dalam hal ini penerimaan informasi oleh masyarakat dari iklan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hasilhasil penelitian terdahulu umumnya menunjukkan bahwa dalam kampanye terdapat beberapa kondisi yang dapat memperlambat arus pesan-pesan kepada seluruh atau sebagian dari publik, diantaranya adalah perhatian, persepsi, pengaruh kelompok, dan motivasi[11]. Selain faktor terpaan informasi yang menjadi persyaratan utama terjadinya efek, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku politik sebagai bentuk efek iklan politik dalam Pemilu 2004 adalah sikap masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan, hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan sebelum kampanye Pemilu 2004 umumnya menunjukkan bahwa bagian besar masyarakat mengaku kurang tertarik dengan pemilihan wakil rakyat di DPR-RI dan DPRD. Masyarakat yang menyatakan tertarik dengan kegiatan politik tersebut proporsinya hanya sekitar 50%. Fakta yang menunjukkan kecenderungan sikap politik masyarakat yang demikian merupakan hal penting yang perlu diperhatikan para peneliti dalam mengukur efek iklan politik terhadap perilaku memilih dalam Pemilu. Di negara-negara lain kecenderungan sikap politik masyarakat merupakan salah satu aspek yang sering mendapatkan perhatian serius para peneliti dalam upaya mengukur efek iklaniklan politik. Salah satu dari penelitian-penelitian yang memperhatikan hal itu adalah survei tentang efektivitas iklan politik negatif yang dilaksanakan Won Ho Chang, Jae-Jin Park dan Sung Wook Shim (1996). Dengan melibatkan 297 orang responden yang dipilih secara acak diantara penduduk Colombia Missouri, AS penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa iklan politik negatif dianggap tidak menunjukkan kebenaran, dan hal yang benar dianggap berkaitan dengan sikap mendukung sponsor dan berhubungan secara negatif dengan sikap terhadap target. Meskipun demikian, terdapat sebagian kecil responden yang menganggap iklan tersebut sebagai suatu hal yang benar. Secara menyeluruh, iklan politik negatif menghasilkan evaluasi negatif baik terhadap sponsor maupun target. Efek tersebut konsisten dengan temuan penelitian-penelitian sebelumnya. Efek semacam itu bisa jadi berkaitan dengan sikap reponden secara keseluruhan terhadap iklan politik negatif, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa lebih dari separoh responden menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap iklan semacam itu[12]. Di Indonesia, meskipun tidak dikaitkan dengan iklan politik, para peneliti juga memberikan perhatian khusus pada kecenderungan sikap politik masyarakat sebelum pelaksanaan Pemilu. Lama sebelum Pemilu Legislatif 2004 dilaksanakan, upaya penjajagan terhadap sikap politik masyarakat terhadap Parpol telah dilakukan CESDA bekerjasama dengan LP3ES. Pada pertengahan tahun 2003 dengan menggunakan kerangka sampling yang disusun menurut daftar Kartu Keluarga (KK) di 13 provinsi dan jumlah responden sebanyak 3.000 orang yang terbagi sama proporsinya dalam kelompok laki-laki dan perempuan yang dipilih dengan teknik multi-stage random sampling, dan margin of error lebih-kurang sebesar 2% pada tingkat kepercayaan 95% penelitian dengan teknik wawancara tatap-muka itu antara lain menghasilkan temuan yang secara tidak langsung menjelaskan makna penting Pemilu dan Parpol peserta Pemilu bagi sebagian besar masyarakat. Temuan penelitian itu antara lain menunjukkan bahwa responden yang menyatakan tertarik pada pemilihan wakil rakyat baik di DPR-RI maupun di DPRD hanya mencapai angka sekitar 50%. Secara rinci, proporsi responden yang menyatakan tertarik pada pemilihan wakil rakyat di DPR-RI hanya 54%,

sedangkan responden selebihnya yang menyatakan tidak tertarik 27%, dan yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 19%. Kecenderungan kecilnya jumlah anggota masyarakat yang berminat pada Pemilu Legislatif 2004 juga ditunjukkan oleh temuan penelitian yang menunjukkan proporsi responden yang menyatakan tertarik pada pemilihan wakil rakyat di DPRD hanya mencapai angka 53%, sedangkan responden selebihnya yang menyatakan tidak tertarik pada pemilihan tersebut 28%, serta yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 20%. Kecenderungan kurangnya minat masyarakat terhadap Pemilu Legislatif 2004 tampaknya berkaitan dengan kurangnya keyakinan masyarakat terhadap fungsi Parpol sebagai pihak yang mampu menjamin penyaluran kepentingan rakyat. Dari jumlah keseluruhan responden, yang menyatakan yakin bahwa Parpol yang ada saat ini mampu menjamin penyaluran kepentingan rakyat hanya sebanyak 18%, sedangkan responden selebihnya yang menyatakan tidak yakin jumlahnya cukup besar, yakni sebanyak 64%, dan yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 21%. Bagian besar responden ternyata juga mengaku tidak percaya bahwa Parpol berperan dalam menyampaikan kepentingan rakyat. Dari jumlah keseluruhan responden, yang menyatakan tidak percaya mencapai angka 49%, sedangkan yang menyatakan percaya hanya 29%, dan responden selebihnya yakni sebanyak 22% menyatakan tidak tahu/tidak menjawab[13]. Selain itu, survai CESDA LP3ES juga menemukan kecenderungan sikap masyarakat terhadap pemilihan presiden dan calon presiden dalam Pemilu 2004 ternyata berbeda dengan kecenderungan sikap mereka terhadap Pemilu legislatif. Temuan penelitian antara lain menunjukkan bahwa masyarakat yang menyatakan tertarik terhadap kegiatan politik tersebut mencapai angka 69% dari jumlah 3.000 responden[14]. Selain itu, kecenderungan sikap politik masyarakat yang cenderung negatif terhadap Pemilu legislatif juga ditemukan dalam dalam jajak pendapat yang dilakukan IFES bekerjasama dengan Polling Center. Sejak 1 Juni sampai dengan 5 Juli 2003 penelitian itu dilaksanakan dengan melibatkan 3.000 responden yang dipilih secara acak dari 32 provinsi. Hasil penelitian itu antara lain menunjukkan bahwa 47% dari jumlah keseluruhan responden mengaku memiliki kemungkinan besar, dan bahkan 23% lainnya mengaku memiliki kemungkinan sangat besar akan memilih dalam Pemilu 2004. Responden yang bersikap raguragu, yang mengaku mungkin akan memilih dalam Pemilu 2004 hanya sebesar 23%, memiliki kemungkinan kecil 2%, memiliki kemungkinan sangat kecil 1%, tidak akan memilih 1%, dan selebihnya sebanyak 3% mengaku tidak tahu/tidak menjawab[15]. Meskipun sebelumnya bagian besar masyarakat memiliki kecenderungan sikap yang kurang mendukung, dalam pelaksanaan Pemilu 2004 ternyata mereka umumnya mau berpartisipasi dan menentukan pilihannya. Kenyataan menunjukkan partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu 2004 putaran pertama untuk memilih anggota lembaga legislatif ternyata mencapai angka lebih dari 50%. Menurut data KPU yang dikutip media massa, jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya hanya 15.03%, dan besarnya persentase suara tidak sah adalah 8.81%[16]. Fenomena yang menunjukkan inkonsistensi antara kecenderungan sikap sebelum Pemilu dan partisipasi politik memberikan suara dalam pelaksanaan Pemilu selain menarik untuk dipelajari secara mendalam juga perlu dipahami secara hati-hati. Meskipun angka partisipasi politik masyarakat dalam pelaksanaan Pemilu 2004 cukup tinggi, hal itu tidak dapat secara serta-merta disimpulkan sebagai efek positif iklan kampanye Parpol dalam media massa. Untuk mengukur seberapa besar efek iklan tersebut terhadap perilaku memilih dalam Pemilu maka para peneliti perlu terlebih dahulu mempelajari pola perilaku politik masyarakat Indonesia.

Pola perilaku politik masyarakat Indonesia dalam Pemilu tampaknya berbeda dengan perilaku masyarakat di negara-negara demokrasi yang lebih maju. Dalam menentukan pilihannya dalam Pemilu masyarakat Indonesia kadang-kadang bersikap dan berperilaku yang cenderung kurang rasional. Di kota besar metropolitan Jakarta misalnya, hasil polling melalui telepon selama dua minggu yang dilakukan harian umum Republika, sejak 15 Desember sampai dengan 24 Desember 2003 dengan responden yang terdiri dari pemilik telepon berusia 17 tahun atau lebih sebanyak 1.032 orang (dipilih dengan teknik cluster and area random sampling, dengan tingkat kepercayaan 95% dan sampling error lebih kurang 3.3%) secara umum menunjukkan bahwa dalam Pemilu 2004 putaran pertama pertimbangan utama yang digunakan bagian besar masyarakat dalam memilih suatu Parpol bukan faktor program, tetapi lebih banyak dilandasi pertimbangan karena faktor tokoh Parpol yang bersangkutan. Dari jumlah keseluruhan responden, yang menyatakan dalam memilih suatu Parpol akan mempertimbangkan faktor tokoh mencapai proporsi 44.47%, sedangkan yang akan mempertimbangkan faktor program Parpol hanya sebesar 21.70%, faktor kebiasaan 28.19%, dan faktor lainnya 5.62%[17]. Kecenderungan perilaku politik masyarakat Indonesia yang demikian jelas berbeda dengan kecenderungan masyarakat di negara-negara demokrasi lainnya. Di negara-negara demokrasi yang lebih maju masyarakat umumnya memiliki pemikiran dan pertimbangan obyektif sebelum memutuskan memberikan suara mereka kepada partai politik yang akan dipilihnya. Sebagai contoh, penelitian survei berupa polling dengan 6.400 responden tentang perilaku pemilih atau voting behaviour yang dilakukan di Rusia oleh lembaga New Russia Barometer tahun 1999 menemukan bahwa sebelum pelaksanaan Pemilu responden menyatakan akan memberikan suara mereka kepada partai tertentu karena mereka menyukai pemimpin partai, mereka ingin mendukung program partai, partai tersebut dapat membela kepentingan mereka, partai tersebut menawarkan kehidupan yang normal, partai tersebut selalu berhasil melaksanakan tugasnya, partai tersebut memiliki masa depan yang jelas, partai tersebut merupakan partai terkuat, partai tersebut memiliki pandangan-pandangan pertemanan / kekeluargaan, partai tersebut memahami mereka, dan alasan-alasan lainnya[18]. Demikian juga penelitian di negara demokrasi lainnya menemukan kecenderungan serupa. Misalnya, penelitian survei tentang persepsi masyarakat dalam Pemilu lokal untuk memilih anggota Dewan Kota di kota kecil Cardiff, Kerajaan Inggris tahun 2002. Survei yang dilakukan oleh Cardiff Research Centre itu menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berusia 16 55 tahun atau lebih yang memberikan suara dalam Pemilu tersebut menyatakan bahwa hal yang mempengaruhi keputusan mereka dalam memilih partai tertentu adalah karena partai tersebut mewakili kepentingan mereka. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa lebih dari 25% responden yang tidak mau memberikan suara meyakini bahwa keikutsertaan atau ketidakikutsertaan mereka dalam Pemilu tersebut tidak akan menimbulkan perbedaan apapun. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa hampir 50% menyatakan bahwa mereka akan memberikan suara dalam Pemilu lokal berikutnya apabila mereka mengetahui bahwa suara mereka akan memberikan arti tertentu bagi perkembangan kota[19]. Disamping kurang rasional, kecenderungan perilaku politik masyarakat Indonesia dalam Pemilu juga berbeda diantara kelompok-kelompok masyarakat dan diantara anggota satu komunitas yang sama. Dalam Pemilu 2004 kecenderungan tersebut terlihat dari adanya perbedaan sikap masyarakat terhadap Parpol sebelum Pemilu diantara kelompok-kelompok masyarakat Muslim. Sebuah survai yang dilakukan Lembaga Survai Indonesia (LSI) yang diketuai Denny J.A. sejak 1 Agustus sampai dengan 20 Agustus 2003 dengan 2.240

responden yang 89.1% atau 1.996 diantaranya Muslim hasilnya antara lain menunjukkan kaum Muslim di Indonesia cenderung mendukung partai-partai moderat, pluralis dan demokratis dibanding partai-partai yang memperjuangkan hukum Islam atau negara Islam. Lebih dari 51% Muslim yang menjadi calon pemilih itu mengaku bahwa dalam Pemilu 2004 akan memberikan suara mereka kepada partai-partai yang berorientasi sekular dan nasionalis, sebagaimana direpresentasikan oleh Golkar (34.6%), dan PDI-P (14%), sedangkan kaum Muslim selebihnya sebanyak 21.4% menyatakan akan memberikan suara kepada partai-partai yang terus memperjuangkan syariah Islam, seperti PPP, PBB, dan PKS. Diantara 1.002 responden Muslim sekular, 38.9% cenderung akan mendukung Golkar dan 30.5% memilih PDP-P, sedangkan sebanyak 11.2% lainnya mendukung PPP, dan 7.8% mendukung PKB, partai politik yang menyatakan diri mewakili kelompok Muslim tradisionalis Nahdlatul Ulama[20]. Fakta juga menunjukkan, masyarakat Indonesia umumnya menggunakan media massa lebih sering untuk tujuan mencari hiburan. Dalam menggunakan media radio dan TV masyarakat cenderung memilih menikmati acara-acara hiburan dibanding mengikuti siaran berita dan informasi. Dalam kondisi yang demikian, maka merupakan sesuatu yang wajar apabila kegiatan kampanye melalui media massa termasuk yang berupa iklan di media cetak serta acara-acara talk-show, pidato, dan iklan politik di radio dan TV kurang mendapat perhatian masyarakat yang masih dapat dikategorikan lebih haus hiburan dibanding haus informasi. Selain itu, baik sebelum maupun setelah Pemilu 2004 beberapa kalangan masyarakat mencurigai adanya politik uang yang tidak saja dilakukan oleh Parpol tertentu, tetapi juga oleh calon presiden dan calon wakil presiden[21]. Kondisi bagian besar masyarakat Indonesia yang belum memiliki budaya politik dan rasionalitas politik yang memadai dalam Pemilu 2004 tampaknya telah dimanfaatkan Parpol tertentu sebagai peluang untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Masyarakat kelas bawah yang miskin umumnya mau menerima ajakan Parpol untuk mengikuti kampanye dan memilih calon-calon yang diajukannya setelah mendapatkan iming-iming berupa sejumlah uang dari Parpol tersebut. Upaya Parpol memberikan iming-iming semacam itu tampaknya lebih berhasil dalam menjaring suara masyarakat untuk memilih calon-calon yang diajukannya sebagai wakil rakyat di DPR-RI dan DPRD dibanding upaya-upaya lainnya. Oleh karena masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan perilaku politik yang demikian khas, maka penelitian untuk menyimpulkan tentang efek iklan politik dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu 2004 perlu memperhatian berbagai faktor kondisional yang mungkin secara tidak langsung mempengaruhi perilaku masyarakat. Selain faktor-faktor budaya politik dan rasionalitas politik, upaya menyimpulkan efek iklan tersebut juga perlu mempertimbangkan kemungkinan pengaruh faktor-faktor pola penggunaan media massa dan pengaruh politik uang yang dilaksanakan Parpol. D. Penelitian Efek Iklan Politik melalui Media Massa Efek media massa dalam Pemilu sejak lama telah menjadi obyek penelitian para peneliti di berbagai negara. Penelitian-penelitian tersebut umumnya diarahkan pada efek media massa yang berupa perubahan opini, sikap, dan perilaku yang terjadi segera atau tidak lama setelah khalayak terekspos media massa. Metoda yang digunakan para peneliti dalam penelitianpenelitian tersebut biasanya adalah eksperimen dan survei dengan sampel berjumlah besar. Meskipun demikian, hasil penelitian-penelitian tersebut ternyata sangat bervariasi dari waktuke-waktu, diantara satu penelitian dengan penelitian lainnya, dalam menunjukkan besarnya

efek media massa terhadap khalayak. Pada suatu saat hasil penelitian menunjukkan efek tersebut sangat besar (powerful effect), tetapi pada saat-saat selanjutnya hasil penelitian lain menunjukkan efek sedang (medium effect), dan efek terbatas atau sangat kecil (limited effect). Inkonsistensi dan bervariasinya hasil penelitian tentang efek media massa kadang-kadang menimbulkan frustrasi para ahli dan peneliti dalam membuat kesimpulan umum mengenai hal itu. Di Amerika Serikat para peneliti penganut aliran positivis sejak lama telah melakukan berbagai penelitian untuk menjelaskan efek iklan politik terhadap individu dan masyarakat. Upaya penelitian dilakukan oleh para peneliti secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga menghasilkan akumulasi pengetahuan ilmiah yang semakin lama semakin banyak. Sebagai contoh, Nicholas A. Valentino, dan kawan-kawan (2002) melakukan studi perbandingan di dalam laboratorium dan di lapangan untuk mengukur efek iklan politik dengan variabel kontrol berupa faktor-faktor kelompok dan ideologis. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa masalah-masalah ras terbukti meningkatkan perubahan isu-isu tertentu menjadi isu-isu rasialis, seperti masalah kesejahteraan, tindakan afirmatif, kebijakan penanganan kriminalitas, dan seluruh hal menyangkut pemerintah. Perubahan opini mengenai isu-isu yang kurang relevan dengan ras, seperti masalah aborsi, pendanaan sekolah-sekolah umum, pemeliharaan kesehatan, dan peningkatan upah minimum, tidak meningkat karena terpaan isu-isu rasial. Ideologi global sangat terpengaruh oleh isu-isu rasial yang melekat pada tuntutan-tuntutan politis tertentu. Meskipun perbedaaan-perbedaan demografis diantara sampel memoderasi sebagian dari efek iklan, pola umum yang terlihat sangat konsisten dalam dua kondisi penelitian tersebut[22]. Kemudian, mempelajari hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terpaan iklan politik umumnya bersifat informatif dan dapat mengurangi kesenjangan informasi diantara kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling banyak dan kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling sedikit, Nicholas A. Valentino, dan kawan-kawan (2004) melakukan penelitian untuk mengukur dampak iklan politik terhadap pengetahuan, pencarian informasi dari internet, dan preferensi calon presiden. Penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa dalam bentuk efek informasi yang sifatnya langsung dan sederhana, iklan politik memberi keuntungan bagi warga negara, khususnya ketika ketersediaan informasi sangat kurang. Baik kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling banyak dan kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling sedikit sama-sama dapat belajar secara langsung dari iklan politik Bush, calon yang telah sangat mereka kenal, tetapi tidak memperoleh banyak informasi dari iklan politik Gore. Akurasi kesimpulan mengenai posisi calon mengenai isu-isu yang tidak dikemukakan dalam iklan meningkat terutama diantara mereka yang telah memiliki kesadaran paling tinggi mengenai calon tersebut[23]. Di Indonesia penelitian-penelitian tentang efek iklan politik dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu belum mendapat perhatian serius dari para peneliti. Lembaga-lembaga riset yang ada baik di lingkungan universitas maupun di lingkungan masyarakat sebelum dan setelah Pemilu lebih banyak melakukan penelitian-penelitian yang sifatnya deskriptif, khususnya tentang kecenderungan sikap dan perilaku pemilih. Barangkali karena merupakan hal baru di sini, topik-topik yang secara langsung atau tidak langsung dapat menunjukkan hubungan dan menjelaskan pengaruh media massa terhadap perilaku pemilih baik yang sifatnya terapan maupun murni ilmiah tampaknya belum berhasil menarik perhatian para peneliti. Meskipun Pemilu sudah setahun berlalu, menurut pengamatan

penulis, berbagai jurnal ilmiah bidang politik dan bidang komunikasi yang diterbitkan di Indonesia hampir tidak ada yang memuat laporan penelitian mengenai topik-topik tersebut. Perhatian serius terhadap topik-topik tersebut justru diberikan oleh para peneliti dari negara lain. Salah satu penelitian yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang efek iklan politik dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu di Indonesia adalah yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti Institut Penyelidikan, Pembangunan dan Pengkomersilan, Universiti Teknologi Mara, Malaysia (2005). Penelitian berjudul Impek Kempen Iklan Partiparti Politik melalui Media terhadap Keputusan Pengundi dalam Pilihanraya Presiden Indonesia 2004 itu dilaksanakan dengan teknik survei dan sampel penelitian sebanyak 1.000 orang responden untuk Pemilu putaran pertama (Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, 5 Juli 2004) dan 550 orang responden untuk Pemilu putaran kedua (Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, 20 September 2004)[24]. Meskipun memberikan deskripsi yang cukup banyak mengenai tanggapan masyarakat terhadap iklan politik dalam media massa, khususnya dari aspek cognitive dan affective, sebagai penelitian yang mempertanyakan tentang efek komunikasi penelitian tersebut tampaknya masih perlu dilanjutkan dan mempertajam analisis di dalamnya. Selain cakupannya yang terbatas di Jakarta dan kurang memperhatikan kecenderungan sikap dan perilaku masyarakat sebelum Pemilu 2004, teknik quota sampling dengan 200 responden di setiap wilayah kota (hal. 8), tolok ukur efek yang hanya mengandalkan pengakuan responden apakah mereka merasa terpengaruh oleh iklan tersebut atau tidak (misalnya: pada hal. 61, 76 dan 78), dan teknik analisis statistik descriptive (berupa persentase dan mean) yang diterapkan menyebabkan hasil penelitian ini dipertanyakan validitas dan reliabilitasnya dalam mengukur dan menghasilkan kesimpulan umum mengenai efek iklan dalam media massa. Dengan kondisi laporan penelitian yang demikian, tampaknya akan sulit bagi Tim Peneliti untuk menyimpulkan bahwa Pemilu 2004 di Indonesia menunjukkan titik-balik hasil penelitian tentang peranan atau pengaruh langsung media massa dan iklan tanpa melalui perantara pemimpin pendapat atau opinion leaders, dan sekaligus tentang efek terbatas media massa, sebagaimana dijelaskan oleh teori enforcement yang dikembangkan Paul Lazarsfeld (1970), sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian model dan teori (hal. 28-40). Penelitian-penelitian survai untuk menjelaskan tentang efek media massa yang dilaksanakan para peneliti terhadap Pemilu di Amerika Serikat tahun 1940 dan 1948 dilakukan dengan menggunakan sampel yang lebih besar ukurannya dengan lingkup penelitian lebih luas. Hasilnya secara umum menunjukkan bahwa media massa tidak menimbulkan dampak tertentu yang cukup besar terhadap khalayaknya. Hasil-hasil penelitian tersebut menjadi landasan bagi Joseph Klapper (1960) untuk menyimpulkan bahwa komunikasi massa tidak menjadi penyebab yang pasti dan memadai atas efek yang muncul pada khalayak, namun komunikasi massa lebih berfungsi diantara dan melalui hubungan dengan faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh yang dimediasinya[25], atau dalam kalimat Bernard Berelson dan kawankawan (1954) mengenai efek media adalah bahwa media lebih mengkristalkan dan meneguhkan ketimbang mengubah[26]. Variasi dan inkosistensi hasil penelitian-penelitian selama ini mengingatkan kembali para peneliti bidang komunikasi massa pada satu pertanyaan penting: Mengapa berdasarkan seluruh hasil penelitian dan pertentangan pendapat dalam masyarakat mengenai efek media massa para peneliti tidak bisa mengatakan lebih jelas dan lebih pasti apakah medium itu berpengaruh atau tidak berpengaruh buruk atau baik terhadap perilaku masyarakat? Jawaban ilmiah yang memuaskan atas pertanyaan ini cukup kompleks. Jack M. McLeod dan Byron

Reeves McLeod (1981) menjawab pertanyaan itu dengan menjelaskan aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan, yang menurut mereka masih belum lengkap, yaitu: jumlah dan tipe efek potensial; kompleksitas stimuli media; masalah tertentu dalam mendokumentasikan efek; startegi yang beragam dalam membuat kesimpulan dari bukti-bukti; dan sejarah serta struktur bidang riset komunikasi saat ini. Menurut McLeod dan Reeves, gagasan yang selama ini telah menjadi kesepakatan umum mengenai efek media massa adalah bahwa beberapa aspek isi media memiliki dampak langsung dan segera terhadap khalayak. Di dalam kosakata falsafah ilmu pengetahuan, hal ini menunujukkan bahwa isi media dipandang sebagai suatu kondisi yang perlu dan cukup bagi terjadinya beberapa efek. Meskipun demikian, model sederhana sebab-akibat semacam itu jarang sekali menunjukkan kesesuaiannya dengan realitas perilaku manusia dalam bidang apa pun, termasuk dalam studi komunikasi. Pengetahuan mengenai efek media dapat diperoleh jika terdapat pemahaman bahwa konsekuensi terpaan terhadap isi media bervariasi dan kompleks. Sebagai contoh, penelitian-penelitian mengenai efek TV yang sampai saat inijumlahnya telah mencapai ratusan telah menunjukkan bukti-bukti yang kuat yang mendukung dugaan tentang efek tersebut. Di dalam daftar panjang penelitian-penelitian tersebut terdapat aspek-aspek yang menunjukkan dimana efek media tersebut bervariasi dan menggambarkan kompleksitas efek. Variasi tersebut dapat dikelompokkan menurut SIAPA yang dipengaruhi, APA yang berubah, BAGAIMANA proses terjadinya, dan KAPAN efek itu terjadi. Salah satu dari enam aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan tentang efek media adalah variasi dan kompleksitas efek. Menurut McLeod dan Reeves, secara umum variasi dan kompleksitas konsekuensi terpaan isi media yang sering dianggap sebagai efek media dapat dikelompokkan menjadi enam dikotomi. Pertama, dari aspek mikro, efek media massa disimpulkan secara konsistensi, tetapi dari aspek makro, khususnya dalam penelitian lapangan noneksperimental, kesulitan terjadi dalam menyimpulkan SIAPA yang terkena efek karena pengukuran pada tingkat individu sering digunakan untuk membuat kesimpulan pada tingkat masyarakat, dan dalam penggunaan pendekatan yang hanya melihat perubahanperubahan perilaku individual sehingga tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi efek tertentu lainnya yang mungkin ada. Ke dua, dari aspek langsung, kelemahan penelitian terletak pada asumsi bahwa efek bisa terjadi pada siapa saja. Model tersebut bisa dianggap naif karena secara tidak langsung menunjukkan bahwa respon terjadi secara seketika tanpa penundaan atau penghapusan oleh keadaan emosional, proses kognitif, atau perilaku sosial penerima isi media. Dari aspek kondisional, sebaliknya, kenyataan memang menunjukkan bahwa hubungan terpaan media dan efeknya sering dipengaruhi oleh variabel kondisional atau variabel ke tiga, yang bisa berperan sebagai kondisi yang mempengaruhi (contingent condition), pendukung (contributory variable), atau perantara (intervening / mediating variable) terjadinya efek. Ke tiga, dari aspek isi spesifik, kelemahan penelitian terletak pada titikberatnya, yakni menghubungkan efek media dengan isi spesifik umumnya tidak melakukan pengamatan terhadap reaksi khalayak dan membuat kesimpulan efek berdasarkan isi media saja. Di lain pihak, dari aspek sebaran umum, sebagaimana dilakukan dalam banyak penelitian, kesulitan menyimpulkan efek media terjadi karena di dalam penelitianpenelitian tersebut kaitan antara efek media dengan isi sepsifik kurang bisa dijelaskan. Ke empat, efek media juga sulit untuk disimpulkan karena kurangnya bukti-bukti yang menunjukkan kaitan antara perolehan pengetahuan atau perubahan kognitif lainnya dengan perubahan sikap, dan antara perubahan sikap dengan perubahan perilaku sebagai hasil bekerjanya fungsi alami media. Ke lima, dalam banyak penelitian sikap khalayak baru bisa

dianggap mengalami perubahan apabila menunjukkan perubahan yang besar, tetapi jika tidak efek media dalam perubahan sikap tersebut hanya dianggap memperkuat saja. Ke enam, efek media juga sering diukur dari aspek-aspek lainnya, seperti dalam bagian terbesar studi eksperimental dari durasi jangka pendek efek yang terjadi setelah terpaan pesan dan tidak diukur dari konsekuensi jangka panjang perubahan secara langsung. McLeod dan Reeves menyimpulkan bahwa tipe efek media yang sering menjadi fokus perhatian para peneliti adalah tipe kombinasi mikro langsung isi spesifik sikap alterasi, sedangkan tipe lainnya sering diabaikan. Faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam menyimpulkan dampak media adalah kompleksitas bukti yang diperlukan. Untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dalam pembuatan kesimpulan efek media diperlukan persyaratan sebagai berikut: pengetahuan mengenai materi stimulus, kontrol terhadap aplikasinya, pengukuran efek, dan pemahaman terhadap mekanisme atau proses yang mendasari terjadinya efek. Bukti yang diperlukan dalam pembuatan kesimpulan efek media antara lain adalah bahwa khalayak bereaksi terhadap sesuatu yang menjadi stimulus si-analis. Untuk itu pengetahuan mengenai materi stimulus diperlukan, dan ini bisa diperoleh melalui analisis isi media dalam kaitannya dengan perkiraan bagaimana media bisa menimbulkan dampak, termasuk dalam analisis eksperimental terhadap pesan-pesan jika manipulasi ditujukan menimbulkan efek atau paling tidak sesuatu yang bisa diinterpretasikan. Bukti lainnya yang diperlukan adalah bahwa khalayak memperhatikan isi media yang bersangkutan. Hal ini sulit diperoleh mengingat kontrol aplikasi isi media dalam kehidupan nyata sulit dilakukan karena penggunaan media biasanya terjadi dengan tingkat perhatian yang rendah dan motivasi yang bervariasi. Ini menyebabkan khalayak mengalami kesulitan dalam mengingat program apa yang ditonton dan pengukuran terhadap frekuensi terpaan dibuat dengan indikator yang relatif lemah dibanding kekuatan stimulus media. Di samping itu, bukti bahwa efek tertentu secara fungsional disebabkan oleh pesan tertentu juga diperlukan sehingga analisis terhadap efek isi media perlu dilakukan. Yang terakhir, bukti yang diperlukan dalam pembuatan kesimpulan tersebut adalah bahwa proses kondisional tertentu mempengaruhi terjadinya suatu efek, dan untuk itu perlu dilakukan elaborasi proses tersebut sehingga membantu kita dalam menginterpretasikan dan menunjukkan kejelasan hubungan. Kesulitan dalam menyimpulkan efek media antara lain juga disebabkan oleh kompleksitas stimuli media. Pengujian efek tergantung pada keberadaan kondisi stimulus yang kuat dimana: (1) Terdapat unit stimulus yang menjelaskan proses pengaruh stimuli itu sejak awal sampai akhir, pengukuran stimulus harus dispesifikasi dengan baik dan tepat atau manipulasinya cukup kuat sehingga kita dapat memperkirakan efek yang akan terjadi; dan (2) Stimulus tersebut harus bebas dari stimuli luar sehingga efek media bisa dijelaskan. Namun demikian, penelitian efek media dalam situasi lapangan atau kehidupan nyata jarang memenuhi kriteria tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi kompleksitas stimuli media adalah unit stimulus. Penelitian-penelitian yang selama ini telah dilaksanakan tampaknya masih memiliki kelemahan dalam hal merumuskan unit stimulus sebenarnya. Sifat dan tingkat abstraksi yang digunakan untuk menggambarkan dan mengukur terpaan media bervariasi dan tidak pasti. Waktu yang dihabiskan untuk menonton TV merupakan ukuran yang paling sering digunakan, dan ini sering diukur secara tidak sah dan tergantung pada kaitan kasar antara waktu menonton dan isi khas media. Di samping waktu, seleksi unit waktu perlu melalui pemilihan dari berbagai media, tipe program, program khusus, karakter, urutan interaksi di dalam program dan sebagainya. Paling tidak, seleksi unit terpaan media merupakan

pertanyaan empiris yang dapat dicarikan jawabannya melalui penelitian. Namun demikian, saat ini standardisasi unit di bidang itu belum ada, sehingga menyebabkan disparitas temuan efek media yang dilaporkan. Di samping itu, kompleksitas stimuli media juga dipengaruhi oleh kekuatan stimulus. Di dalam penelitian eksperimental terdapat keharusan untuk memanipulasi perbedaan-perbedaan antar kondisi, tetapi sebaliknya di dalam penelitian noneksperimental keharusan tersebut terletak pada keberadaan variasi yang cukup banyak dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, penelitian noneksperimental sering dianggap kelemahannya terletak pada ketergantungannya pada variasi alami dalam perilaku media di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu negara. Permasalahan kekuatan stimulus juga terdapat dalam penelitian eksperimen: Pertama, di adanya kemungkinan bahwa efek yang diharapkan terjadi karena manipulasi pesan hanya merupakan tambahan terhadap informasi yang sudah dimiliki sehingga efek media yang diharapkan hanya merupakan serpihan efek. Ke dua, untuk menguji efek pesan sangat tidak mungkin untuk menemukan informasi dan topik yang sama sekali belum pernah diterima khalayak. Ke tiga, hasil manipulasi yang dilakukan bisa jadi tidak menunjukkan hubungan antara dua variabel karena banyaknya ulangan pesan. Pertanyaan yang paling mendasar dalam meneliti efek media adalah apakah efek tersebut disebabkan oleh sesuatu yang ditambahkan media atau dikurangkan dari realitas atau sebaliknya, apakah media tersebut hanya berperan sebagai penghantar dalam menyampaikan apa yang akan diterima khalayak dari sumber lainnya. Jika yang disebut terakhir adalah yang terjadi, apakah kita bisa menyebutnya suatu efek sebagai efek media atau hanya sebagai suatu efek yang ditransmisikan oleh media? Oleh karena itu, ketidaktergantungan atau kebebasan stimuli pada pengaruh sesuatu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kompleksitas stimuli media. Agar dapat menginterpretasi efek media sebenarnya diperlukan kemampuan menentukan secara tepat aspek mana dari isi media yang menimbulkan efek. Oleh karena bagian terbesar penelitian dilakukan pada tingkat umum, antara lain belum meneliti seberapa jauh pengaruh selektivitas dan masih banyak dilakukan di lingkungan perilaku sosial dan perilaku media lainnya, sampai saat ini kejelasan mengenai efek media masih menimbulkan berbagai pertanyaan. Perbedaan bukti juga bisa menyebabkan perbedaan strategi dalam menyimpulkan efek media. Kekuatan dan sifat dasar kesimpulan yang diambil peneliti dipengaruhi oleh jenis resiko yang ingin diambil menyangkut bukti efek. Kesimpulan yang sama bisa diambil berdasarkan hasil tes statistik dimana peneliti harus membuat keputusan berdasarkan bukti penelitian: apakah harus menolak hipotesis nol dari tidak adanya perbedaan atau harus tidak menolak hipotesis tersebut. Keputusan manapun yang diambil peneliti tetap beresiko membuat kesalahan. Yang menjadi pertanyaan adalah jenis kesalahan yang mana yang lebih buruk dan lebih mahal, serta kurang sesuai dengan tujuan penelitian. Kekuatiran membuat kesalahan tipe satu tertuju pada kemungkinan membuat kesimpulan yang terlalu kuat sehingga menyebabkan peneliti menerima hipotesis nol efek media, dan kekuatiran membuat kesalahan tipe dua tertuju pada kebalikan tipe satu, yakni kemungkinan membuat kesimpulan yang terlalu lemah sehingga menyebabkan peneliti menolak hipotesis nol. Dua tipe kekuatiran tersebut menunjukkan bahwa pengukuran variabel-variabel komunikasi cenderung kurang reliable dibanding pengukuran variabel demografik dan variabel lainnya sehingga koefisien korelasi mengaburkan kekuatan prediksi yang sebenarnya. McLeod dan Reeves menyarankan alternatif jalan keluar dari dilema ini yakni menggunakan strategi penelitian yang mengkombinasikan kekuatiran membuat kesalahan tipe satu dengan kekuatiran tipe dua[27].

E. Pengembangan Penelitian tentang Efek Media Massa Meskipun suatu penelitian barangkali berhasil menunjukkan efek iklan politik dalam media terhadap perilaku memilih dalam Pemilu, penelitian tersebut tidak dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa dampak tersebut terjadi. Dalam hal ini beberapa diantara banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban misalnya: Bagaimana Parpol mengkonstruksi realitas dirinya sebelum Pemilu, dan mengapa Parpol mengkonstruksi realitas tersebut dengan cara demikian? Bagaimana praktisi periklanan mengkonstruksi realitas Parpol tersebut? Bagaimana ideologi dan orientasi kekuasaan Parpol dalam konstruksi realitas Parpol tersebut? Bagaimana interaksi yang terjadi diantara Parpol, pembuat iklan, dan institusi media dalam mengkonstruksi realitas Parpol dalam iklan Parpol tersebut? Bagaimana makna Parpol yang ditimbulkan oleh iklan Parpol, dan mengapa makna tersebut terjadi? Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu masih banyak pertanyaan lain yang perlu dijawab untuk dapat menjelaskan proses terjadinya efek iklan Parpol terhadap pemilih. Di Indonesia penelitian media massa yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian khalayak yang dilakukan dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan paradigma kritis tampaknya kurang menarik perhatian para peneliti di Indonesia. Meskipun beberapa orang peneliti telah mencoba melakukan penelitian tersebut, menurut pengamatan Dedy N. Hidayat (1999), khususnya di lingkungan Universitas Indonesia sebagian besar (atau hampir semua) penelitian yang dilakukan masih berpegang pada kriteria paradigma klasik, dan peneliti yang mempergunakan kerangka teori kritis pada umumnya masih menempatkan diri pada posisi value-free researcher (bukan sebagai transformative intellectual, advokat, dan aktivis, pen.). Penelitian-penelitian bidang periklanan umumnya yang selama dasa warsa 1990-an terus meningkat, umumnya bersifat terapan dan sebagian besar (70%) bertujuan untuk meneliti efektivitas iklan dalam mempengaruhi calon konsumen produk yang diiklankan (termasuk sekian banyak penelitian efektivitas iklan rokok). Hanya sebagian kecil yang memperlihatkan concern terhadap isu perlindungan konsumen, pengaruh negatif iklan, dan sebagainya[28]. Padahal, di negara-negara lain topik hubungan media massa dan periklanan sejak lama telah dijadikan obyek studi para peneliti penganut aliran konstruktivis dan aliran kritis. Penelitianpenelitian tentang efek media sejak lama, paling tidak lebih dari 30 tahun lalu, umumnya dilakukan dengan menggunakan konsepsi yang sempit mengenai efek media. Di Inggris misalnya, yang dimaksud efek media dalam penelitian-penelitian tersebut adalah pengaruh media terhadap pemberian suara dalam Pemilu. Model dominan dalam penelitian-penelitian itu adalah model sederhana stimulus-respon, tanpa memperhitungkan kemungkinan adanya pengaruh variabel antara. Di Amerika Serikat penelitian-penelitian terbaru mengenai efek media cenderung mengarah pada aspek-aspek perilaku memilih dan opini publik dan menempatkan komunikasi politik sebagai bagian penting analisis. Meskipun demikian, menurut Pippa Norris (1995), penelitian-penelitian tersebut umumnya kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan bahwa kampanye Pemilu merupakan proses interaksi dinamis diantara tiga agensi: Parpol, pemilih, dan media. Agar dapat diperoleh pemahaman mengenai proses interaksi tersebut maka diperlukan inovasi-inovasi teoritis dan metodologis dalam penelitian tentang efek media, seperti perspektif pendekatan konstruktivis[29]. Demikian juga, topik yang sama juga telah sering diteliti dan dianalisis para peneliti penganut aliran kritis. Menurut pengamatan John Harms dan Douglas Kleiner, sejak munculnya studistudi kritis pada tahun 1970-an, sejumlah literatur telah berkembang yang mengamati dan mempertanyakan peran komunikasi massa dan periklanan dalam struktur kelembagaan

masyarakat kapitalis kontemporer. Berlawanan dengan studi-studi yang sifatnya administratif yang dititikberatkan pada aspek bagaimana menggunakan komunikasi massa dalam ekonomi politik tertentu untuk mempengaruhi khalayak, menjual produk, dan mempromosikan para politisi, penelitian-penelitian kritis terhadap khalayak lebih diarahkan pada efek-efek sosial budaya komunikasi massa dan peran komunikasi massa dalam mempertahankan tatanan sosial. Sebagai contoh, salah satu analisis kritis mengenai periklanan telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti yaitu Goffman (Gender Advertisements), Williamson (Decoding Advertisements), serta Andren dan kawan-kawan (Rethoric and Ideology in Advertising). Analisis para peneliti tersebut diarahkan pada isi dan struktur iklan yang mengakibatkan dampak komunikasi dan ideologis. Dengan menerapkan teknik penelitian semiotika dan / atau analisis isi, berbagai analisis kritis yang dilaksanakan pada tingkatan mikro berhasil mengungkap bagaimana komunikasi massa periklanan membujuk atau memanipulasi konsumen. Sedangkan studi periklanan pada tingkatan makro, seperti yang telah dilakukan oleh Schiller (Mass Communication and American Empire), Ewen (Captains of Consciousness), dan Bagdikian (The Media Monopoly), berhasil menyajikan analisis historis yang lebih luas yang menempatkan periklanan dan komunikasi massa dalam sejarah kapitalisme kontemporer dan membahas dampaknya terhadap struktur sosial politik yang lebih besar. Studi-studi tersebut telah membuktikan bagaimana periklanan dan media massa berperan dalam perkembangan dan reporduksi tatanan sosial yang tidak demokratis dengan memusatkan kekuatan ekonomi dan budaya hanya di tangan beberapa korporasi dan individu[30]. Penggunaan perspektif teori dan paradigma penelitian kritis sebagaimana ditunjukkan oleh dua kelompok studi tersebut telah menghasilkan banyak pandangan baru terhadap fungsi-fungsi sosial konservatif dan efek ideologis komunikasi massa yang biasanya diabaikan oleh riset-riset administratif yang cenderung menitikberatkan pada efek fungsifungsi yang dapat dilaksanakan oleh komunikasi massa (seperti menjangkau khalayak, menjual barang, menyampaikan pesan, dan menghasilkan suara bagi para politisi). Oleh karena hasilnya dapat membantu upaya pengembangan ilmu komunikasi khususnya yang berkaitan dengan proses terjadinya efek iklan politik dan dapat berperan sebagai kritik sosial, mempermudah proses transformasi, meningkatkan emansipasi, dan social empowerment maka studi-studi kritis mengenai hubungan iklan politik dengan media massa sangat perlu dikembangkan, khususnya dalam kaitannya dengan kampanye Pemilu di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif teori dan paradigma penelitian alternatif tersebut penelitian tentang iklan politik dan media massa hasilnya dapat memberikan kontribusi berharga, tidak saja bagi kepentingan praktis penyelenggaraan Pemilu tetapi juga bagi upaya pengembangan ilmu komunikasi di negara ini. F. Kesimpulan dan Saran Tulisan ini telah membahas berbagai aspek yang berkaitan dengan penelitian tentang efek iklan politik dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu 2004 di Indonesia. Hasil pembahasan yang telah dilakukan paling tidak menghasilkan beberapa kesimpulan, sebagai berikut. Pertama, di Indonesia iklan politik dalam media massa umumnya masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Selain tidak banyak mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat dan ada yang melanggar Etika Periklanan, iklan-iklan tersebut penyajiannya dalam media massa juga kurang memperhatikan fungsi iklan dalam setiap tahapan kampanye.

Ke dua, efek iklan politik yang terjadi pada khalayak media massa memiliki berbagai kemungkinan. Efek tersebut dapat bersifat langsung atau tidak langsung, dapat bersifat singkat atau jangka panjang. Selain itu, efek iklan tersebut juga dapat dipengaruhi berbagai faktor, termasuk yang memperlambat penerimaan informasi oleh khalayak, seperti perhatian, persepsi, pengaruh kelompok, dan motivasi yang sebelumnya telah dimiliki masyarakat Indonesia sebelum menerima pesan-pesan dalam iklan politik dalam Pemilu. Ke tiga, di negara ini penelitian tentang efek politik terhadap khalayak relatif jarang dilakukan dan kalau pun dilakukan penelitian tersebut lebih sering dilakukan dengan menggunakan perspektif teori dan paradigma penelitian positivis. Meskipun berhasil memberikan deskripsi mengenai kecenderungan tanggapan masyarakat terhadap iklan politik dalam media massa, penelitian yang dilaksanakan Tim Peneliti Universiti Teknologi MARA, Malaysia hasilnya kurang mampu menjelaskan hubungan dan pengaruh iklan dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu 2004. Penelitian itu juga kurang memperhatikan berbagai kondisi masyarakat Indonesia sebelum Pemilu 2004 (termasuk kecenderungan sikap dan perilaku politik) yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya efek iklan politik tersebut. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, tulisan ini mengemukakan saran sebagai berikut. Untuk meningkatkan efek positif iklan politik kepada praktisi periklanan dan praktisi media disarankan lebih meningkatkan profesionalisme dalam pembuatan dan penyajian iklan politik dalam media massa dengan memperhatikan isi pesan, etika perikalanan, dan fungsi iklan dalam setiap tahapan kampanye. Apabila dipandang perlu, kepada Parpol peserta Pemilu yang akan datang selain melakukan kontrol kualitas juga disarankan menggunakan teknik dan strategi penyajian iklan yang lebih tepat sehingga iklan politik yang dipasangnya dalam media massa dapat berfungsi efektif sebagai alat mencari dukungan masyarakat yang lebih luas. Selain itu, khususnya kepada para peneliti disarankan untuk mengembangkan penelitian tentang iklan politik khususnya dan media massa umumnya dengan menggunakan perspektif teori dan paradigma penelitian alternatif yang sifatnya konstruktivis dan kritis. Dengan cara demikian hasil penelitian diharapkan dapat membantu upaya memecahkan masalah-masalah praktis menyangkut iklan politik dab nedia massa dan upaya pengembangan ilmu komunikasi. Disamping menghasikan pemahaman-pemahaman baru mengenai proses terjadinya efek iklan politik dalam media massa, hasil penelitian-penelitian tersebut juga dapat berperan sebagai kritik sosial, mempermudah proses transformasi, meningkatkan emansipasi, dan social empowerment.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.infodiknas.com/069efek-iklan-politik-dalam-media-massa-terhadap-perilaku-memilihdalam-pemilu/ diakses tgl 16 april 2012

Anda mungkin juga menyukai