Anda di halaman 1dari 10

A.

PENDAHULUAN Masyarakat dunia telah mengalami pergeseran dari masa industri ke masa pasca industri ke masa informasi dan telekomunikasi. Hal ini ditandai oleh adanya kemajuan yang sangat pesat dalam bidang teknologi dan komunikasi. Kemajuan tersebut membawa pengaruh terhadap keluasan hubungan antar individu, tak lagi berskala lokal, melainkan sudah melampaui batas-batas nasional. Hubungan tersebut menjadi hubungan global yang bersifat penetratif, kompetitif, rasional, dan pragmatis. Kompetisi menjadi sangat tajam. Inovasi baru dan keterampilan baru dituntut dari setiap individu. Buchori (2001:9) menegaskan bahwa globalisasi menuntut daya saing yang tinggi dan tanpa itu, kita akan kalah. Tanda lain dari era baru adalah adanya respiritualisasi masyarakat. Persaingan tidak lagi diwarnai dengan upaya membunuh lawan, melainkan dilakukan dengan cara bekerja sama (cooperation). Misalnya, dalam bidang ekonomi, pada tahun 2003 Indonesia memasuki era perdagangan bebas di lingkup ASEAN dalam AFTA. Tahun 2020, memasuki era perdagangan bebas dalam lingkup Asia Pasifik dalam APEC. Dalam masa itu, persaingan yang fair dan kerja sama amat diperlukan (Sudarminto, 2000:4). Di Indonesia, iklim kerja sama telah dihidupi sejak era agraris yang mewujud dalam cara hidup gotong royong (Martaniah,1984:8). Sifat kompetitif tercakup dalam motif berprestasi (Martaniah, 1984:7). Mc Clelland menyatakan bahwa motif afiliasi dan motif berprestasi merupakan hal yang mendasar dalam diri manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu merasa kekurangan, tidak sempurna, ketiadaan dan sebagainya, sehingga merusak kesejahteraannya.

Keadaan yang dirasakan tersebut merupakan suatu bentuk kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Perasaan kekurangan yang dirasakan bisa bersifat fisiologis, seperti kebutuhan akan makanan, atau yang bersifat psikologis seperti harga diri dan yang bersifat sosiologis, seperti aktualisasi diri dan afiliasi. Manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berada dalam keadaan sepenuhnya puas. Bagi manusia kepuasan itu sifatnya sementara, jika suatu kebutuhan telah terpuaskan yang lain akan muncul menuntut kepuasan, begitu seterusnya. Berdasarkan ciri yang demikian, kebutuhan pada manusia adalah bawaan, tersusun menurut tingkatan atau bertingkat, dengan kebutuhan dasar fisiologis sebagai kebutuhan pertama, lalu seterusnya diikuti oleh kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan memiliki, kebutuhan akan rasa harga diri dan yang terakhir adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman jika relatif sudah terpuaskan, maka kebutuhan sosial untuk jadi bagian dari kelompok sosial dan cinta muncul menjadi kebutuhan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesedihan, pengasingan, ditolak lingkungan dan kehilangan sahabat atau cinta. Kebutuhan sosial ini terus penting

sepanjang kehidupan manusia, mulai dari dalam kandungan sampai akhir hayat. Kebutuhan untuk melakukan interaksi dengan orang lain dikenal dengan konsep kebutuhan afiliasi. Kebutuhan affiliasi adalah suatu istilah yang dipopulerkan oleh David Mc Clelland, ia menguraikan bahwa kebutuhan afiliasi adalah suatu kebutuhan dari seseorang untuk merasakan suatu perasaan terlibat dan ikut serta di dalam suatu kelompok sosial. Orang-orang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi mendambakan suatu hubungan antar pribadi

yang hangat. Kebutuhan afiliasi adalah hasrat untuk disukai dan diterima baik oleh orang-orang lain. Afiliasi merupakan keinginan untuk bersatu dengan orang lain tanpa memperdulikan apapun kecuali kebersamaan yang jelas dapat diperoleh. Mc Clelland mengatakan bahwa kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. Mc Clelland juga menyatakan bahwa kebutuhan bekerja sama adalah sebagai kebutuhan untuk mengembangkan afeksi yang positif..Afiliasi adalah suatu bentuk kebutuhan akan pertalian dengan orang lain, pembentukan persahabatan, ikut serta dalam kelompokkelompok tertentu, kerja sama dan kooperasi. Afiliasi adalah penggabungan, perkaitan, kerja sama, penerimaan sebagai anggota (suatu golongan

masyarakat atau perkumpulan). Kebutuhan afiliasi adalah mendekatkan diri, bekerja sama atau membalas ajakan orang lain yang bersekutu (orang lain yang menyerupai atau menyukai subjek), membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan setia kepada seorang kawan. Kebutuhan akan kehangatan dan dukungan dalam hubungannya dengan orang lain, dimana kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain merupakan bentuk dari kebutuhan berafiliasi (Lindgren, 1980). Kebutuhan afiliasi ialah sebagai formasi hubungan sosial, keinginan untuk bergabung, beramah-tamah dan membentuk persahabatan. Orang-orang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berafiliasi biasanya memiliki kesenangan dari kasih sayang dan cenderung menghindari

kekecewaan karena ditolak oleh suatu kelompok sosial. Secara individu,

mereka cenderung berusaha membina hubungan sosial yang menyenangkan, rasa intim dan pengertian, siap untuk menghibur dan menyukai interaksi dan bersahabat dengan orang lain. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan berafiliasi adalah suatu kebutuhan untuk membentuk hubungan sosial secara hangat, memelihara, mengembangkan hubungan afeksi yang positif dan memperbaiki hubungan sosial dengan orang lain, sehingga individu memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi akan cenderung untuk menghindari kekecewaan karena ditolak dalam kelompok sosial, serta berusaha membina hubungan sosial yang menyenangkan dan positif. 1. Motif Afiliasi Di Indonesia dan juga di tempat-tempat lain, individu tidak akan dapat menjalani kehidupannya tanpa kehadiran orang lain, karena pada hakikatnya, individu mempunyai kebutuhan untuk hidup bersama dengan orang lain yang tentu saja kebutuhan tersebut tidaklah sama antara individu yang satu dengan individu yang lain (Martaniah, 1984:29). Kebutuhan ini merupakan bagian dari motif afiliasi. Motif afiliasi merupakan dorongan untuk ramah, berhubungan secara hangat dengan orang lain, dan menjaga hubungan itu sebaik-baiknya (Mc Clelland, 1962:160). Swenson (2000) menambahkan bahwa motif afiliasi terefleksikan dalam perilaku yang ditujukan kepada orang lain. Mc Clelland (1985:348) menyatakan bahwa ada lima karakteristik individu dengan motif afiliasi yang tinggi, yaitu: 1. Menunjukkan performa yang lebih baik ketika insentif afiliatif tersedia. 2. Memelihara hubungan interpersonal. 3. Kooperasi, konformitas, dan konflik.

4. Perilaku managerial. 5. Takut untuk ditolak. Martaniah mengemukakan bahwa faktor-faktor kebutuhan berafiliasi adalah sebagai berikut : a. Kebudayaan Kebutuhan afiliasi sebagai kebutuhan sosial juga tidak luput dari pengaruh kebudayaan, nilai-nilai yang berlaku pada suatu tempat ataupun kebiasaankebiasaan. Dalam masyarakat yang menilai tinggi kebutuhan berafiliasi, akan mengakibatkan pengembangan dan pelestarian kebutuhan tersebut,

sebaliknya jika kebutuhan tersebut tidak dinilai tinggi, itu akan menipis dan tidak akan tumbuh subur. Kebudayaan Timur menganggap afiliasi sebagai hal yang sangat penting, misalnya di Indonesia gotong-royong sangat dianjurkan, gotong-royong adalah suatu bentuk afiliasi. b. Situasi yang Bersifat Psikologik Seseorang yang tidak yakin akan kemampuannya atau tidak yakin pendapatnya, akan merasa tertekan, rasa tertekan ini akan berkurang jika dilakukan pembandingan sosial. Kesempatan untuk meningkatkan diri melalui pembandingan dengan orang akan meningkatkan afiliasi, dan bila orang tersebut dalam pembandingan ini merasa lebih baik, ini akan lebih menguatkan sehingga menghasilkan afiliasi yang lebih besar. Keinginan untuk berafiliasi akan meningkat kalau orang dalam keadaan bimbang yang bertingkat sedang dan yang bertingkat tinggi.

c. Perasaan dan Kesamaan Remaja yang mempunyai kebutuhan akan afiliasi yang tinggi lebih suka menyeragamkan diri, daripada mempunyai kebutuhan berafiliasi yang rendah. Pengaruh faktor-faktor persamaan dan kesamaan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh dapat dilihat bahwa orang yang memiliki kesamaan pendidikan, kesamaan status, kesamaan kelompok etnik lebih tertarik satu sama lain dan saling membentuk kelompok, misalnya kelompok perguruan tinggi tertentu,kelompok profesi tertentu, kelompok suku tertentu dan lain sebagainya. Orang yang kesepian akan lebih terdorong membuat afiliasi daripada orang yang tidak kesepian, juga orang yang kurang mempunyai perasaan aman akan terdorong untuk membuat afiliasi daripada orang yang mempunyai perasaan aman tinggi. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan berafiliasi ialah kebudayaan atau nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, situasional yang bersifat psikologik serta perasaan dan kesamaan. 2. Prestasi Akademik Prestasi akademik merupakan kesuksesan individu yang diperoleh dalam kegiatan pendidikan di sekolah untuk semua mata pelajaran yang dinyatakan dalam nilai-nilai kuantitatif berupa angka yang tertulis di dalam rapor dengan rentang nilai dari satu hingga sepuluh. Dalam hal ini nilai yang digunakan adalah jumlah nilai semua mata pelajaran subjek dalam kurun waktu tertentu, yaitu kurun waktu semester atau tiap enam bulan. Rentang nilai kumulatif tersebut tergantung pada jumlah mata pelajaran.

B. PEMBAHASAN Motif afiliasi dan prestasi akademik belum tentu mempunyai hubungan. Ini berarti subjek dengan motif afiliasi rendah, tidak diikuti oleh rendahnya prestasi akademik, melainkan justru prestasi akademiknya tinggi. Pada dasarnya, motif afiliasi tidak mendorong adanya prestasi yang tinggi. Motif afiliasi mendorong adanya hubungan individu yang satu dengan yang lain dalam kerjasama dan loyalitas (Lindgren, 1980:40). McClelland (1962:160) menyatakan bahwa motif afiliasi mendorong adanya keramahan pada orang lain, upaya penjagaan hubungan baik dengan orang lain dan usaha untuk menyenangkan orang lain. Motif afiliasi dapat membantu individu untuk meningkatkan prestasi akademik. Orang lain menjadi pendukung, pemberitahu, dan pengarah, individu dalam mencapai prestasi. (McCown, R.R, Peter Roop, 1992:62) Menurut saya diperlukan motif afiliasi yang besar untuk menuju kesuksesan seorang peserta didik karena dari hubungan baik antar individu selama berada di jenjang pendidikan dapat membentuk jaringan yang tidak akan hilang setelah subjek masuk dalam jenjang mencari pekerjaan. Contoh konkret seorang peserta didik melakukan afiliasi ialah dengan mengikuti sebuah kegiatan ekstrakurikuler, dari tempat ekstrakurikuler tersebut dapat tercapai interaksi yang baik antar anggota yang terdiri dari berbagai kalangan sehingga seorang peserta didik tidak hanya terjebak pada hubungan antara guru dan murid saja. Meskipun dari kegiatan esktrakurikuler dapat dijumpai seorang peserta didik yang menurun prestasi akademiknya karena kurang dapat mengatur porsi antara kegiatan akademik dengan kegiatan non-akademik.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pencapaian prestasi yang tinggi akan mendorong terjadinya persaingan antar individu yang akan merusak hubungan antar individu sehingga hubungan antara motif afiliasi dan prestasi akademik menunjukkan bahwa prestasi akademik dapat mengganggu

hubungan dengan orang lain sehingga kembali kepada peserta didik masingmasing dalam menjaga hubungan antar individu atau dengan orang lain. Contoh konkret yang lebih kecil yaitu hubungan peserta didik dengan guru dan staf sekolah yang meliputi jajaran paling atas seperti kepala sekolah beserta wakilnya dan jajaran paling bawah seperti penjual di kantin hingga tukang kebun. Hubungan-hubungan kecil seperti yang disebutkan diatas, diakui atau tidak dapat membantu peserta didik pada nantinya saat lepas dari jenjang pendidikan.

C. KESIMPULAN Dari tulisan yang sudah dibahas dapat ditarik dua kesimpulan antara lain bahwa ada kemungkinan seorang peserta didik dengan motif afiliasi tinggi pada akhirnya mendapatkan prestasi akademik yang rendah. Sebaliknya adapun kemungkinan seorang peserta didik dengan prestasi akademik tinggi akan mengalami kesulitan dalam berafiliasi karena persaingan antar individu dalam mendapatkan prestasi yang tinggi. Sehingga belum tentu ada hubungan antara motif afiliasi dengan prestasi akademik peserta didik karena semua kembali kepada individu masing-masing yang menjalani kehidupannya sebagai peserta didik meskipun lepas dari jenjang pendidikan, afiliasi diperlukan untuk kelanjutan menghadapi jenjang pekerjaan dalam membuat jaringan.

DAFTAR PUSTAKA Buchori, Mochtar. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta:Kanisius Lindgren, H. C. 1980. Educational Psychology in the Classroom (6th.ed.). New York : Oxford University Press Martaniah, Sri Mulyati. 1984. Motif Sosial Remaja Suku Jawa dan Keturunan Cina di Beberapa SMA Yogyakarta Suatu Studi Perbandingan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press McCown, R. R., Peter Roop. 1962. Educational Psychology and Classroom Practice A Partnership. Boston : Allyn & Bacon McClelland, D. C. 1985. Human Motivation. Illinois : Scott, Foresman & Company. McClelland, D. C. 1962. Measuring Motivation in Phantasy : The Achievement Motive dalam Birney, Robert C. dan Richard C Teevan (edt). Measuring And Enduring Problem in Psychology. New Jersey : D. Van Nonstrand Company, Inc Sudarminto, J. 2000. Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga, dalam Atmadi, A., Y. Setiyaningsih (edt.). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta : Kanisius Penerbitan Universitas Sanata Dharma Swenson, David X. 2000. David McClellands 3-Need Theory Achievement, Affiliation, Power dalam www.ccs.edu/users/dswenson/web/LEAD/McClelland.html

10

Anda mungkin juga menyukai