Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TERNAK ACARA V THERMOREGULASI

Disusun oleh: Kelompok XIV Tommy Andjar Ciputra Kasiman PT/05804 Adnan Sakuro Muhammad Matin Ditasari Amalia Satria Budi Kusuma Naily L. Muhammad Qodri Munzir Asisten : MIftakhul Ilmi PT/05808 PT/05810 PT/05812 PT/05814 PT/05816 PT/05818

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK BAGIAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

ACARA V THERMOREGULASI Tinjauan Pustaka Thermoregulasi merupakan proses homeostasis untuk menjaga agar suhu tubuh suatu hewan tetap dalam keadaan stabil dengan cara mengatur dan mengontrol keseimbangan antar banyak energi (panas) yang diproduksi dengan energy yang dilepaskan. Thermogenesis yang terdapat pada hewan diperoleh dari proses metabolism dari hewan sendiri atau dari absorbsi panas lingkunagn (Suripto, 1993). Untuk hewan yang beraktifitas sehari-hari biasanya terjadi temperatur maksimum sedangkan pada malam hari akan terjadi temperature minimum dan hal ini berlangsung sampai pagi hari. Hewan yang beraktifitas pada malam hari yang akan terjadi justru sebaliknya akan menyebabkan temperatur minimum (Giancoli, 2001). Berdasarkan pengaruh suhu dan lingkungan, maka hewan dibedakan menjadi dua golongan, yaitu poikilotherm dan hemoitherm. Hewan poikilotherm suhunya dipengaruhi oleh suhu lingkungan, suhu organ tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu organ luar hewan yang dipengaruhi oleh suhu sekitarnyah. Hewan ini disebut juga sebagai hewan berdarah dingin (Duke, 1995) Sedangkan pada hewan homoitherm suhunya relative lebih stabil, hal ini diakibatkan oleh adanya reseptor dalam otaknya, sehingga dapat mengukur suhu tubuh. Hal ini mengakibatkan hewan hemoithrem dapat melakukan aktifitas pada lingkungan berbeda suhunya. Hal-hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor umur, kelamin, lingkungan, panjang waktu siang dan malam, maknan yang dikonsumsi, aktifitas pencernaan, dan jumlah pencernaan air. Contoh pada sapi dan domba, cara mengatasi kenaikan temperatur adalah dengan mengeluarkan keringat tetapi apabila kekurangan keringat hal yang dilakukan antara lain dengan cara menaikan frekuensi pernafasan.

sedangkan pada unggas dengan melakukan penguapan air dengan jalan terengah-engah dan kantong udara yang berhubungan dengan paru-paru yang dapat membantu pengeluaran suhu tubuh dan akan menaikan jumlah makanan yang dikonsumsi (Wiliamson dan Payne, 1993). Suhu tubuh tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi dengan panas yang hilang. Panas yang dapat berlangsung secara radiasi, konveksi, konduksi, dan evaporasi. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik, tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan langsung tanpa ada transfer panas molekul. Konveksi adalah suatu perambatan panas melalui aliran cairan/gas, yang terghantung pada luas kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi merupakan konveksi dari zat cair menjadi uap air, besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi (Martini, 1998).

Materi dan Metode Materi Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah thermometer, penjepit katak, arloji, katak, kapas, kendi bercat, dan tidak bercat, air panas, air es, beker gelas, dan probandus. Metode Pengukuran suhu tubuh Pengukuran pada mulut. Pertama-tama skala thermometer diturunkan sampai 00C, lalu ujung thermometer dibersihkan. Kemudian dimasukkan ke dalam mulut diletakkan di bawah lidah dan mulut di tutup rapat. Setelah lima menit skala dibaca dan dicatat. Dengan cara yang sma puila dilakukan pada mulut terbuka. Kemudian probandus berkumur dengan air es selama satu menit dan dengan cara yang sama pula dilakukan pengukuran seperti diatas. Pengukuran axillaris. Skala pada thermometer diturunkan sampai 00C, ujung thermometer disisipkan pada fasa axillaris dengan pangkal lengan dihimpitkan. Setelah lima menit skala dibaca dan dicatat. Proses Pelepasan Panas Pelepasan panas pada katak. Pertama katak direntangkan pada papan dan diikat. Suhu tubuh katak diukur melalui oesofagus selama lima menit. Kemudian katak dimasukkan kedalam air es selama lima menit dan diukur suhu tubuhnya melalui oesofagus. Selanjutnya katak dimasukkan kedalam air panas 400C selama lima menit dan diukur suhu tubuhnya. Pelepasan panas pada kendi. Disiapkan dua kendi yang satu dicat dan yang satu tidak. Masing-masing kendi diisi dengan air panas 700C dengan jumlah yang sama lalu diukur suhunya dengan termometer tiap lima menit dicatat suhunya. Dilakukan sebanyak enam kali.

Hasil dan Pembahasan Dari percobaan yang telah dilakukan didapat hasil yang disajikan dalam tabel, sebagai berikut: A. Pengukuran Pada Mulut Tabel 1 : Pengukuran Pada Mulut Perlakuan Mulut tertutup Mulut terbuka Berkumur air es Mulut terbuka Mulut tertutup Axillaris Catatan: 35,4 0C 36,1 0C 37,0 0C 36,5 0C 36,6 0C umur 18 tahun umur 19 tahun Probandus I 36,4 0C 36,2 0C Probandus II 37,8 0C 37,4 0C

36,5 0C Probandus I : Tommy Andjar ProbandusII : Puput Rahayu

B. Proses Pelepasan Panas Tabel 2 : Hasil Pengukuran Suhu Katak Perlakuan Keadaan biasa Dalam air es Dalam air panas Suhu (0C) 24 0C 21 0C 40 0C Suhu Katak (0C) 36 0C 22 0C 34 0C

Tabel 3 : Hasil Pengukuran Suhu Pada Kendi Kendi Bercat Tidak Suhu (0C) Awal 75 0C 70 0C I 70 0C 61 0C II 66 0C 59 0C III 62 0C 55 0C IV 60 0C 53 0C V 57 0C 50 0C VI 55 0C 49 0C

bercat Pengukuran suhu tubuh

Pengukuran suhu (0C) pada mulut dan axillaries. Dari kedua probandus dapat kita ketahui bahwa suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang cukup drastis. Suhu tubuh relatif konstan yaitu antara 35,4-37,8 0C. Pada mulut tertutup suhu yang tercatat lebih tinggi dari pada suhu tubuh pada saat mulut terbuka. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sirkulasi udara pada mulut tertutup sehingga suhu yang terukur ialah suhu tubuh secara keseluruhan, sedangkan pada mulut terbuka terdapat sirkulasi udara sehingga terdapat sedikit suhu tubuh yang hilang. Pada saat mulut terbuka, udara didalam tubuh suhunya menjadi tinggi karena metabolisme dalam tubuh akan bercampur dengan udara yang bersuhu rendah, sehingga akan mencapai keseimbangan dalam dan luar mulut, mengakibatkan suhu udara dalam mulut menjadi turun (Duke, 1995). Setelah probandus berkumur dengan air es kedua probandus mengalami sedikit penurunan suhu (tapi tidak terlalu signifikan) perbedaannya masih sama dimana mulut terbuka suhunya masih rendah dibandingkan dengan mulut tertutup berkisar. Penurunan suhu ini disebabkan karena sebagian suhu dalam tubuh (panas tubuh) mengalami pelepasan panas dan juga ada perbedaan suhu tubuh dari kedua probandus. Hal yang seperti ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor misalnya faktor umur, faktor kelamin, lingkungan, panjang waktu siang dan malam, makanan yang dikonsumsi, aktivitas pencernaan dan jumlah pencernaan air (Swenson, 1997). Suhu tubuh kedua probandus pada saat tidak berkumur air es dan berkumur dengan air es menunjukan tidak ada perbedaan yang mencolok, hal ini membuktikan bahwa manusia termasuk homoitherm atau berdarah panas yang sistem pengaturan suhu tubuhnya berkembang sehingga mampu memelihara dirinya dibawah kondisi yang diproduksi oleh tubuh atau panas yang didapat dari lingkungan dengan panas yang hilang ke lingkungan. Oleh karena itu suhu tubuh manusia relativ konstan (Williamson & Payne, 1993).

Proses pelepasan panas Proses pelepasan panas pada tubuh katak. Hasil pengamatan pada katak menunjukan perbedaan suhu tubuh yang sangat mencolok. Ketika katak dimasukkan kepada air biasa suhunya adalah (360C), kemudian pada air es (220C) dan suhu tubuh katak pada saat katak dimasukkan kedalam air panas adalah (340C). Hal ini membuktikan bahwa katak ialah salah satu hewan poikilotherm atau hewan berdarah dingin dimana suhu lingkungan sedikit banyak mempengaruhi suhu tubuhnya. Pada lingkungan yang dingin katak akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yaitu dengan menurunkan suhu tubuhnya. Demikian pula pada keadaan panas maka katak meningkatkan suhu tubuhnya (Suripto, 1998). Hal ini dapat terjadi karena katak atau hewan poikilotherm belum memiliki sistem yang mampu menjaga suhu tubuhnya seperti homoitherm. Oleh karena itu hewan berdarah dingin seperti katak temperatur suhu tubuhnya tergantung pada lingkungannya (Williamson & Payne, 1993). Pada kendi. Pada kendi yang dicat proses pelepasan panasnya sangat lambat dibandingkan dengan kendi yang tidak dicat. Hal ini dikarenakan pada kendi yang bercat pori-pori kendinya tertutup oleh cat. Hal ini yang menyebabkan pelepasan panasnya lambat sekali. Sedangkan pada kendi yang tidak bercat, proses pelepasan panasnya agak cepat, hal ini dikarenakan pori-pori pada kendi yang tidak bercat tidak tertutup oleh cat. Cat pada percoabaan ini berfungsi sebagai isolator untuk menghambat pelepasan panas. Pelepasan panas tersebut terjadi secara konveksi dan evaporasi (penguapan). Semakin banyak poro-pori dalam kendi (luas kontak permukaan) dan semakin tinggi perbedaan suhu antara sistem dengan lingkungan, maka proses konveksi dan evaporasi semakin cepat (Martini, 1998). Kesimpulan

Percobaan yang telah kami lakukan dapat disimpulkan bahwa makhluk hidup dapat dibedakan menjadi dua yaitu homoitherm dan poikilotherm. Manusia dikelompokkan sebagai golongan homoitherm, sedangkan katak dikelompokkan kedalam golongan poikilotherm. Suhu mahluk hidup dapat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain umur, kelamin, lingkungan, panjang waktu siang dan malam, makanan yang dikonsumsi, aktivitas pencernaan dan jumlah pencernaan air. Pelepasan panas dipengaruhi oleh luas kontak panas dengan luas kontak permukaan. Semakin luas kontak permukaan dan semakin tinggi perbedaan suhu antara sistem dengan lingkungan, maka proses konveksi dan evaporasi (penguapan) panas semakin cepat.

Daftar Pustaka Dukes, N.H. 1995. The physiologis of Domestic Animal. Comstock Publishing, New York Giancoli, Dauglas C. 2001. Fisika Edisi Kelima Jilid I. Erlangga. Jakarta Johnson, K.D, H.L. Wedberg. 1984. Biology on Introduction. The Benjamin Cummings Publishing Company Inc., California Martini. 1998. Fundamental of Anatomy and Physiology 4 th ed.. Prentice Hall International Inc., New Jersey Suripto, Melvin J and William a. Reece. 1993. Duke`s Physiology of domestic animals. Cornell University Press, Ithaca and London Swenson, M.J. 1997. Dukes Phisiology of Domestik Animal. Cornell USA University Press, USA Willamson. G. W. J. A Payne.1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai