Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas tinjauan pustaka, tinjauan teori, kerangka

berpikir, dan hipotesis tindakan. Tinjauan pustaka merupakan uraian sistematis

tentang hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Tinjauan teori akan membahas

tentang variabel-variabel yang akan dibahas beserta indikator-indikatornya.

Kerangka berpikir akan membahas atau mengulas tentang landasan teori dan

hipotesis akan hubungan antar semua variabel dalam penelitian. Hipotesis

tindakan akan mengulas tentang jawaban sementara melalui tindakan-tindakan

yang dilakukan dengan hasil yang diharapkan.

A. Tinjauan Pustaka

Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari nol secara murni

akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasari atas penelitian yang

sejenis. Oleh karena itu perlu mengenali penelitian terdahulu dan yang ada

relevansinya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lilik Handoko (2007),

proses pembelajaran matematika melalui pendekatan realistik akan

meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar, hal ini kemudian berdampak

pada peningkatan pemahaman konsep matematika.

Jaka Triyana (2004) melakukan penelitian mengenai Peranan Alat

Peraga Dalam PMRI, menyimpulkan bahwa aktifitas belajar sedapat mungkin

melibatkan seluruh indera pada manusia terutama pendengaran, penglihatan,


dan perabaan. Dalam hal ini alat peraga dapat menjembatani proses abstraksi,

selain itu dapat membantu siswa menemukan strategi memecahkan masalah.

Siswa menyukai materi matematika dengan pendekatan PMRI karena proses

belajar mengajar lebih baik, dimana siswa lebih aktif dan kreatif , peran guru

berubah dari pusat belajar mengajar menjadi pembimbing dan nara sumber

( Fauzan : 2003).

Penelitian Reni Indrasari ( 2006 ) menyimpulkan bahwa pendekatan

PAKEM dapat meningkatkan respon siswa terhadap pelajaran matematika.

Dengan adanya respon siswa, dapat meningkatkan keaktifan dan

kreativitasnya.

Ika Lusi Septiana (2004) melalui penelitiannya, menyimpulkan bahwa

pemberian tindakan pembelajaran dengan pendekatan realistik yang efektif

dapat meningkatkan kemampuan kelas siswa dalam memahami konsep

dimensi tiga. Perubahan tingkah laku setelah tindakan tersebut adalah (1)

perhatian siswa mempelajari matematika meningkat, (2) motivasi dan

kemampuan siswa dalam mempelajari matematika meningkat, (3) keikut

sertaan aktif siswa dalam mempelajari matematika meningkat, (4) gangguan

kelas dapat dikendalikan dan proses pembelajaran matematika menjadi lancar,

(5) kemandirian siswa belajar matematika menjadi lebih baik.

Rias Ernawati (2005) melakukan penelitian mengenai Upaya

Peningkatan Hasil Belajar Matematika dengan Metode Discovery melalui

Media Gambar. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa melalui salah

satu Metode Improving Learning yaitu Discovery / Inquiry, hasil belajar


matematika dapat meningkat. Peningkatan ini ditunjukkan berdasarkan

refleksi dan evaluasi pada analisis data yang diperoleh, yaitu : 1) Motivasi dan

perhatian siswa pada saat pembelajaran meningkat sebesar 25,75 %. 2)

Partisipasi dan keaktifan siswa meningkat sebesar 22,66 %. 3) Kreatifitas

dalam percobaan meningkat sebesar 23,63 %. 4) Kemampuan matematika

siswa meningkat sebesar 36,05 %.

Selain hasil penelitian yang mendukung teori dan konsep

permasalahan ini juga dapat dilihat dari variabel yang diteliti. Dalam hal ini

peneliti akan menyajikan tabel perbedaan variabel yang diteliti yang

ditunjukkan pada tabel berikut ini :

Tabel 2.1

Perbedaan Variabel – variabel yang diteliti

No Peneliti/ X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13


Variabel
1. Lilik v v v
Handoko
2. Jaka v v v v
Triyana
3. Reni v v v v
Indrasari
4. Ika Lusi v v v v v v
Septiana
5. Rias v v v v v v v
Ernawati
6. Peneliti v v v

Keterangan :
X1 = PMR X9 = Perhatian Siswa
X2 = Alat Peraga dalam PMRI X10 = Motivasi
X3 = PAKEM X11 = Kemandirian
X4 = Discovery X12 = Kemampuan Siswa
X5 = PMR Berbasis Media & Berkonteks Lokal X13 = Prestasi Belajar
X6 = Pemahaman Kosep
X7 = Keaktifan
X8 = Kreativitas

Sedangkan peneliti sendiri akan melakukan penelitian yang


menekankan pada keaktifan siswa melalui model pembelajaran PMR berbasis

media dan berkonteks lokal. Dengan harapan selain dapat meningkatkan

keaktifan siswa, juga dapat menjadikan pembelajaran lebih bermakna

sehingga prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika akan

meningkat.

B. Pembahasan Teori

1. Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik

a. Pengertian

Pendekatan adalah suatu jalan, cara atau kebijakan. Sedangkan

pendekatan belajar akan dapat membangun suatu hubungan baik

sehingga siswa dapat menjalin rasa simpati dan saling pengertian.

Hubungan baik akan membuat jembatan menuju kesuksesan puncak

siswa dalam pencapaian tujuan pengajaran dilihat dari bagaimana

materi itu disajikan (Ruseffendi,1991:240).

Realistic Mathematics Education adalah suatu teori dalam

pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa matematika

adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara

nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu

sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses

matematisasi baik horizontal maupun vertikal. Dalam matematisasi

horizontal berangkat dari dunia nyata masuk ke dunia symbol

sedangkan matematisasi vertikal berarti proses/pelaksanaan dalam


dunia symbol (www.geocities.com/ratuilma/rme).

Menurut Freudenthal (Ahmad Fauzan, 2001), aktivitas pokok

yang dilakukan dalam Realistic Mathematics Education meliputi :

menemukan masalah-masalah/ soal-soal kontekstual (looking for

problems), memecahkan masalah (solving problems), dan

mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter). Hal ini dapat

berupa realitas-realitas yang perlu diorganisir secara matematis dan

juga ide-ide matematika yang perlu diorganisir dalam konteks yang

lebih luas. Kegiatan pengorganisasian seperti ini disebut matematisasi.

Dalam Realistic Mathematics Education, siswa belajar

mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa

mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal

bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut, melalui

penskemaan, perumusan dan pemvisualisasian. Hal tersebut

merupakan proses matematisasi horizontal. Sedangkan matematisasi

vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual

dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang

berlaku dan dipahami siswa.(Dian Armanto, 2001).

Menurut I Gusti Putu Suharta ( 2001 : 1 ), pada artikelnya yang

berjudul ” Matematika Realistik : Apa dan Bagaimana ” mengatakan

bahwa PMR merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan

dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal

pembelajaran. Pembelajaran Matematika Realistik menggunakan


masalah realitik sebagai pangkal suatu pembelajaran dan diharapkan

selanjutnya siswa diberi kesempatan menerapkan konsep – konsep

matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau masalah

dalam bidang lain.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa Pembelajaran Matematika Realistik ( PMR )

adalah suatu model pembelajaran matematika dimana pembelajarannya

menggunakan kejadian-kejadian sehari-hari sebagai dasar

pembelajaran. Pada model pembelajaran ini ditekankan pada proses

pemahaman konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah

sehari-hari atau masalah pada bidang yang lain, sehingga keaktifan

siswa akan terus meningkat.

b. Karakteristik PMR

Pembelajaran Matematika Realistik ( PMR ) mempunyai lima

karakteristik : (1) menggunakan konteks yang real terhadap siswa

sebagai titik awal untuk belajar; (2) menggunakan model sebagai suatu

jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar

matematika pada level abstraksi yang berbeda; (3) menggunakan

produksi siswa sendiri atau strategi sebagai sebagai hasil dari mereka

”doing mathematics”; (4) terdapat interaksi yang terus menerus antara

siswa yang satu dengan siswa yang lain juga antara siswa dengan guru;

(5) keterkaitan antara unit-unit matematika dan masalah-masalah yang

ada dalam dunia ini.


c. Prinsip PMR

Terdapat tiga prinsip utama dalam PMR yaitu : (1) penemuan

terbimbing dan matematisasi progresif yaitu dalam mempelajari

matematika, dan lain-lain; (2) fenomenologi didaktif yang berarti

bahwa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan

materi-materi lain dalam matematika, para siswa perlu bertolak dari

masalah-masalah kontekstual; (3) self-developed models, yaitu dalam

mempelajari konsep-konsep dan materi-materi matematika yang lain,

dengan melalui masalah-masalah kontekstual, siswa perlu

mengembangkan sendiri model-model atau cara-cara menyelesaikan

masalah-masalah tersebut.

d. Kelebihan PMR

1) Karena siswa membangun sendiri

pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa

dengan pengetahuannya.

2) Suasana dalam proses pembelajaran

menyenangkan karena menggunakan realitas

kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan

untuk belajar matematika.

3) Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka

karena setiap jawaban siswa ada nilainya.

4) Memupuk kerjasama dalam kelompok.

5) Melatih keberanian siswa karena harus


menjelaskan jawabannya.

6) Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan

mengemukakan pendapat.

7) Pendidikan budi pekerti, misalnya : saling kerja

sama dan menghormati teman yang sedang

berbicara.

2. PMRI Berbasis Media

a. Pengertian Media

Media diartikan sebagai suatu alat perantara antara pemberi dan

penerima pesan. Dalam proses pembelajaran pemberi pesan adalah

sumber belajar, seperti guru sedangkan sebagai penerimanya yaitu

siswa yang sedang belajar. Di lain pihak media juga dapat diartikan

sebagai perantara yang menjembatani antara tujuan belajar dan yang

belajar ( Marpaung, 1991 : 1 ).

Menurut Djamarah dan Aswan ( 2002 : 14 ), kata media berasal

dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang

dapat diartikan dengan perantara atau pengantar. Dengan kata lain,

media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke

penerima pesan.

Dari pengertian – pengertian di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa media adalah suatu perantara atau pengantar antara pemberi

pesan (guru) dengan penerima pesan (siswa) dengan tujuan agar dapat

membantu merangsang perhatian, perasaan, pikiran, dan minat siswa


pada saat proses belajar terjadi.

b. Prinsip – prinsip pemilihan dan penggunaan

Berdasarkan pendapat Sudirman, dikutip olehDjamarah dan

Aswan (2002 : 14) menyatakan bahwa terdapat tiga kategori dalam

pemilihan media pengajaran, yaitu :

1) Tujuan pemilihan

Dalam memilih media yang digunakan harus berdasarkan maksud

dan tujuan pemilihan yang jelas. Apakah pemilihan media itu untuk

pembelajaran, untuk informasi yang bersifat umum, untuk sekedar

hiburan, untuk pengajaran kelompok atau individu, untuk

masyarakat perkotaan atau pedesaan. Tujuan pemilihan ini

berkaitan dengan kemampuan media yang akan digunakan.

2) Karakteristik media pengajaran

Setiap media mempunyai karakteristik tertentu baik dilihat dari

cara pembuatan dan cara penggunaan. Memahami karakteristik

berbagai pengajaran merupakan kemampuan dasar yang harus

dimiliki oleh guru dalam kaitannya dengan ketrampilan pemilihan

media. Apabila kurang memahami karakteristik media, guru akan

menghadapi kesulitan saat menggunakannya.

3) Alternatif pilihan

Memilih pada hakikatnya adalah proses membuat keputusan dari

berbagai alternatif pilihan. Guru bisa menentukan pilihan media

mana yang akan digunakan apabila terdapat beberapa media yang


diperbandingkan.

Menurut Nana, dalam Djamarah dan Aswan (2002 :16) prinsip-

prinsip penggunaan media adalah

1) Menentukan jenis media yang tepat; artinya, sebaiknya guru

memilih terlebih dahulu media manakah yang sesuai dengan tujuan

dan bahan pelajaran yang akan digunakan.

2) Menetapkan atau memperhitungkan subyek dengan tepat; artinya,

perlu diperhitungkan apakah penggunaan media itu sesuai dengan

tingkat kaematangan dan kemampuan anak didik.

3) Menyajikan media dengan tepat; artinya, teknik dan metode

penggunaan media dalam penyajian haruslah disesuaikan dengan

tujuan, bahan metode, waktu dan sarana yang ada.

4) Menempatkan atau memperlihatkan media pada waktu, tempat dan

situasi yang tepat.

3. Media Berkonteks Lokal

Media yang berkonteks lokal adalah media yang disesuaikan

dengan kondisi lingkungan sekitar sekolah. Misalkan ada salah satu

sekolah yang lokasinya berada pada kawasan home industri seperti

pembuatan pernak-pernik, penjahit, dan lain sebagainya. Kita dapat

membuat suatu media untuk alat peraga dengan memanfaatkan sisa-sisa

pernak-pernik atau kain yang sudah tidak dapat terpakai lagi.

Estiningsih, dalam Sukayati (2003:3) menyebutkan bahwa media

sebagai alat peraga adalah media pembelajaran yang mengandung atau


membawa ciri-ciri dari konsep yang akan dipelajari. Fungsi utama dari alat

peraga adalah untuk menurunkan sifat keabstrakan dari konsep agar siswa

mampu menangkap arti sebenarnya dari konsep yang sedang dipelajari.

Dengan melihat, meraba dan memanipulasi alat peraga, siswa dapat

memperoleh pengalaman-pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian dalam pembelajaran matematika, media sebagai

alat peraga dapat diartikan sebagai media yang dapat mewakili suatu

konsep dari matematika. Dalam hal ini media berfungsi sebagai alat untuk

menurunkan sifat abstrak dari konsep matematika, agar siswa mampu

menangkap arti sebenarnya dari konsep yang sedang dipelajari.

4. Keaktifan

Aktivitas belajar dilakukan dalam bentuk interaksi antara guru

dengan siswa. Interaksi di sini maksudnya dalam proses belajar mengajar

ada beberapa kegiatan antara lain : a. aktivitas tes awal (pretest), yang

dalam hal ini guru menstimulasi siswa untuk aktif mengingat kembali dan

mengemukakan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan guru ; b. Guru

menyajikan materi pelajaran dengan metode tertentu, sehingga terjadi

interaksi antara guru dengan siswa; c. guru mengadakan evaluasi baik

dipertengahan atau pada akhir penyampaian materi; d. memberikan

kesempatan siswa untuk mengevaluasi; dan sebagainya (Abdul, 2002:

132).

Sriyono (1992: 15), menyatakan bahwa ada beberapa prinsip belajar

yang dapat menunjang tumbuhnya cara belajar siswa aktif yakni stimulasi,
perhatian dan motivasi, respon yang dipelajari, penguatan dan umpan

balik, serta pemakaian dan pemindahan. Menurut Sriyono (1992: 75) yang

dimaksud keaktifan disini adalah usaha yang dilakukan oleh guru pada

waktu mengajar sehingga murid – muridnya dapat terlibat aktif jasmani

maupun rohani dalam mengikuti pelajaran. Keaktifan jasmani atau rohani

itu meliputi, antara lain :

a. Keaktifan indera, pendengaran, penglihatan, peraba, dan lain-lain.

Siswa harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik

mungkin.

b. Keaktifan akal, akal-akal siswa harus aktif atau diaktifkan untuk

memecahkan masalah, menimbang-nimbang menyusun pendapat dan

mengambil keputusan.

c. Keaktifan ingatan : pada menerima bahan pengajaran yang

disampaikan guru dan menyimpannya dalam otak, kemudian pada

suatu saat ia siap dan mampu mengutarakan kembali.

d. Keaktifan emosi : dalam hal ini siswa hendaknya senantiasa berusaha

mencintai pelajarannya karena akan berdampak positif pada hasil

studinya.

Melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran matematika sangat

penting, karena dalam matematika banyak kegiatan pemecahan masalah

yang menuntut kreativitas siswa aktif. Siswa sebagai subyek didik adalah

yang merencanakan dan ia sendiri yang melaksanakan belajar. Dalam

proses belajar mengajar guru harus dapat membangkitkan aktivitas siswa


dalam berpikir maupun bertindak. Dengan aktivitas siswa, kemungkinan

pelajaran akan berkesan dan dipikirkan, diolah kemudian dikeluarkan lagi

dalam bentuk yang berbeda, misalnya : keaktifan dalam bekerjasama

dengan anggotanya, mengerjakan soal di depan kelas, mengajukan

ide/tanggapan pada guru, membuat kesimpulan materi baik secara

kelompok atau mandiri.

Menurut Nana Sudjana (2000:72) mengemukakan keaktifan siswa

dalam mengikuti proses belajar mengajar dapat dilihat dari:

a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.

b. Terlibat dalam pemecahan masalah.

c. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami

persoalan yang dihadapinya.

d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk

memecahkan masalah.

e. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru.

f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya.

g. Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.

h. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah

diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang

dihadapinya.

Untuk dapat menarik keterlibatan siswa dalam pembelajaran, guru

harus berbicara dengan bahasa hati siswa. Membina hubungan baik bisa

memudahkan guru melibatkan siswa, memudahkan pengelolaan kelas dan


memperpanjang waktu fokus.

Setelah mencermati pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

keaktifan adalah aktivitas siswa dalam proses belajar baik fisik,

intelektual, dan emosional. Keaktifan dalam pembelajaran meliputi

keaktifan dalam bertanya, mengemukakan ide dan mengerjakan soal.

Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah

dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi baik horizontal

maupun vertikal yang memuat kegiatan refleksi dan interpretasi.

C. Kerangka Berpikir

Keberhasilan dalam belajar tidak hanya ditentukan oleh hasil akhir

yang ditentukan oleh suatu angka atau nilai, akan tetapi efek lain yang dilihat

dari segi tingkah laku atau sikap siswa, diantaranya adalah keaktifan siswa.

Siswa perlu diberikan suatu motivasi dan perhatian agar mereka aktif dalam

proses pembelajaran.

Siswa perlu membiasakan aktif dalam proses pembelajaran di kelas,

karena dengan kebiasaan mereka yang selalu aktif khususnya dalam

menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup sehari-hari yang berkaitan

matematika, mereka akan mudah dalam menghadapi berbagai tantangan yang

ada dalam lingkungan sekitar mereka. Dengan kebiasaan siswa aktif sejak dini

akan memberikan dampak atau manfaat yang besar kelak untuk kehidupan

masa depannya.

Untuk melatih siswa bersikap aktif dalam belajar diperlukan usaha


guru yang maksimal. Karena keaktifan siswa muncul secara perlahan dan

bertahap-tahap, maka seorang guru harus memberikan suatu perhatian dan

motivasi agar siswa mempunyai semangat dalam melakukan aktivitas yang

berhubungan dengan situasi belajar. Untuk membuat siswa lebih aktif maka

sangat diperlukan suatu metode atau pendekatan pembelajaran yang tepat,

salah satu diantaranya adalah melalui pembelajaran realistik berbasis media

dan berkonteks lokal.

Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk lebih aktif dalam

kegiatan pembelajaran karena dalam model pembelajaran ini menggunakan

media yang ada di sekitar tempat tinggal siswa sebagai alat peraga, sehingga

siswa akan lebih tertarik dan termotivasi untuk belajar matematika. Dengan

demikian, siswa secara perlahan-lahan akan lebih aktif dalam belajar

matematika.

Dari pemikiran tersebut dapat digambarkan pola pemikiran dalam

penelitian ini sebagai berikut :

D. Hipotesis Tindakan

Dari refleksi hasil tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas

dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : ” Penerapan model


Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media dan Berkonteks Lokal

dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran

matematika.”

Anda mungkin juga menyukai