Menurut Amble (2005), rancangan tempat kerja yang baik dapat memberi perbedaan yang besar pada kepuasan kerja, daya tarik, motivasi dan retensi. Sedangkan rancangan tempat kerja yang buruk berpengaruh pada kinerja bisnis yang rendah dan tingkat stress yang lebih tinggi dialami oleh para pekerja. Disamping itu tempat kerja dengan perangkat kerja, alat bantu, meja kerja, dan kursi yang tidak memenuhi kriteria ergonomi dapat menambah ketidaknyamanan yang dialami oleh para pekerja (Kelloway, 2008). Waters (2008) menambahkan bahwa tempat kerja yang baik menguatkan kreativitas pekerja, pekerja bekerja secara efektif dan efisien. Sehingga perbaikan tempat kerja operator mesin gesek diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja pekerja di usaha kecil-menengah baju hangat. Peningkatan produktivitas kerja dapat dilakukan dengan pendekatan ergonomi yakni mengidentifikasi masalah-masalah ergonomi di tempat kerja guna mendapatkan bentuk intervensi ergonomi yang tepat sehingga perusahaan dan pekerja keduanya diuntungkan dengan solusi yang diberikan. B. Metodologi Penelitian dilakukan di PT SJK Denpasar yang memiliki jumlah mesin gesek 12 unit dan mesin sambung 2 unit. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan pengukuran. Wawancara dilakukan untuk mengetahui penilaian keluhan muskuloskeletal secara subyektif didata dengan menggunakan Nordic Body Map yang dimodifikasi dengan skala Likert. Sedangkan kelelahan adalah persepsi subyektif pekerja yang dirasakan setelah melakukan aktivitas yang didata dengan 30 items of rating scales. Beban kerja dinilai berdasarkan rerata frekuensi denyut nadi kerja yang diukur setiap jam dengan metode palpasi 15 detik. Data antropometri subjek yang diukur dengan kursi antropometri dan meteran besi merk MC. Intensitas pencahayaan diukur dengan luxmeter merk Luxtron LM 800, suhu diukur dengan termometer ruangan merk Luxtron LM 800, kelembaban relatif diukur dengan higrometer merk Luxtron LM 800, kecepatan angin diukur dengan anemometer merk Luxtron LM 800 dan intensits bunyi diukur Sound level meter merk Luxtron S1 4012 C. Tinjauan Pustaka Tempat kerja merupakan ruang kerja fisik yang menyediakan fasilitas kerja bagi seorang pekerja atau sekelompok pekerja melakukan aktivitas untuk menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan (Thompson dan Jonas, 2008). Tempat kerja telah mengalami perubahan konsep secara terus menerus yang memungkinkan pekerja melakukan pekerjaan dengan nyaman, aman, sehat, efektif dan efisien. Tempat kerja yang tidak nyaman mengakibatkan tuntutan energi meningkat, cepat menimbulkan kelelahan, menurunkan kinerja pekerja dan meningkatkan cedera kerja (Konz dan Jhonson, 2007). Ketika bekerja para pekerja sering mengalami beberapa pergantian sikap kerja sesuai dengan tuntutan tugas. Jika pekerjaan dilakukan dalam sikap tubuh paksa atau dengan usaha yang berlebihan akan mengakibatkan kelelehan dan ketidaknyamanan. Pada kondisi tersebut otot, tendon, ligamen, saraf dan pembuluh darah dapat menjadi rusak. Cedera jenis ini dikenal dengan gangguan muskuloskeletal atau biasanya dikenal dengan istilah musculoskeletal disorder (MSD) (WHS, 2004). MSD dapat meningkatkan biaya baik langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung termasuk di antaranya adalah biaya pengobatan dan kompensasi yang diberikan kepada pekerja menjadi lebih tinggi. Sedangkan biaya tak langsung berasal dari peningkatan biaya akibat keluar masuknya tenaga kerja, ketidakhadiran kerja, maupun pelatihan ulang bagi pekerja baru. Hal ini berakibat dengan penurunan produktivitas , kualitas produk dan moral kerja para pekerja. Guna mengurangi atau mencegah dampak yang ditimbulkan oleh MSD maka perlu intervensi ergonomi di tempat kerja. Melalui intervensi ergonomi dilakukan perbaikan akan kesesuaian antara tuntutan fisik dari tempat kerja dengan para pekerja yang melakukan pekerjaan tersebut. Intervensi ergonomi di tempat kerja berusaha memecahkan masalah beraspek psikologis dan sosial yang dimiliki pekerja dan pekerjaannya, seperti beban kerja yang terlalu berat atau rendah, tugas kerja yang tidak jelas, tekanan waktu, latihan yang tidak memadai dan pendukung sosial yang lemah yang semuanya bisa memberikan akibat yang tidak baik bagi pekerja dan pekerjaannya (Manuaba, 2003a; 2003b). Hal ini
berarti bahwa perlu mempertimbangkan keragaman dalam kemampuan manusia ketika melakukan pemilihan, perancangan atau perbaikan perangkat kerja, alat bantu, tugas-tugas dalam pekerjaan serta lingkungan kerja. Agar tempat kerja menjadi tempat yang nyaman maka tempat kerja perlu dirancang dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah ergonomi. Tujuan dan sasaran perancangan tempat kerja adalah memaksimalkan kinerja dan meminimalkan potensi bahaya yakni : (a) meminimalkan ketegangan dan kelelahan sikap kerja ( misalkan akibat pembebanan statis) yang menjadi faktor risiko dari cedera kerja, (b) memberikan kapabilitas jangkauan dengan memanfaatkan informasi antroprometri pekerja, (d) meminimalkan waktu gerakan dan laju kesalahan melalui pengukuran kerja dan (e) memberikan kapabilitas kekuatan gaya dari sebuah gerakan atau sikap kerja berdasarka data dan model kekuatan (Konz dan Jhonson, 2007). Dalam perancangan tempat kerja, menurut (Manuaba, 2003a; 2003b) ada 8 aspek ergonomi yang perlu diperhatikan yaitu gizi dan nutrisi, pemanfaatan tenaga otot, sikap kerja, kondisi, kondisi sosial, kondisi informasi dan interaksi manusia-mesin. Dari tempat kerja yang lama dilakukan identifikasi masalah yang muncul di tempat kerja. Identifikasi masalah tersebut dilakukan dengan melakukan pengamatan lingkungan kerja, alat bantu, perangkat kerja dan wawancara langsung terhadap pekerja, mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi yang dialami, dampak yang dirasakan akibat melaksanakan tugas / pekerjaan, gagasan yang dimiliki pekerja untuk memperbaiki produk dan efektifitas serta efisiensi tugas sehingga tuntutan kerja fisik dapat dikurangi. Selanjutnya dilakukan identifikasi pekerjaan yang perlu diintervensi ergonomi dan membuat daftar tugas-tugas kerja yang dilakukan oleh pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kemudian daftar pekerjaan yang berhasil diidentifikasi tersebut ditunjukkan kepada pekerja dan pemilik perusahaan untuk meminta masukan atau perbaikan. Dari beberapa permasalahan pada tempat kerja dipilih beberapa masalah yang layak untuk dipecahkan dengan menggunakan analisis SWOT dan masukan dari para pekerja dan pemilik perusahaan. Analisis SWOT ini digunakan mengidentifikasi kekuatan (strength), kelemahan (opportunities), kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) dari beberapa permasalahan ergonomi di tempat kerja (Zoller dan Bruynis, 2007 ; Manuaba, 2005a). Dari masalah yang diprioritaskan untuk dipecahkan selanjutnya didekati dengan SHIP untuk mendapatkan solusi / perlakuan yang akan diberikan. Mengingat ilmu ergonomi merupakan ilmu multidisiplin, maka dalam pemecahan masalah dimungkinkan untuk didukung dengan berbagai macam disiplin ilmu (Manuaba, 2004), sehingga cara tersebut akan memberi perspektif tentang kerja ergonomis dengan apresiasi yang lebih luas. Selain itu, implementasi ergonomi dalam konteks memperbaiki tempat kerja adalah bertujuan untuk menjadikan tempat kerja menjadi lebih manusiawi, kompetitif dan berkelanjutan (Manuaba, 2005b; 2006) Berdasarkan hasil dari identifikasi faktor-faktor risiko tersebut kemudian disusun beberapa alternatif perbaikan tempat kerja. Alternatif perbaikan harus memenuhi kajian teknologi tepat guna yakni merupakan penerapan teknologi yang efektif dan berorientasi pada situasi dan kondisi masyarakat pekerja setempat, seperti menyangkut kondisi fisik para pekerja, lingkungan, kondisi finansial dan sebagainya, sehingga dapat tercapai solusi yang optimal. Menurut Manuaba (2003c; 2003d) kriteria teknologi tepat guna harus memenuhi aspek teknis, ekonomis, ergonomis, sosial-budaya, hemat energi, dan ramah lingkungan. D. Hasil dan Pembahasan Pendekatan ergonomi dimulai dengan mengidentifikasi masalah yang dihadapi dengan melakukan wawancara, observasi dan pengukuran langsung terhadap pekerja, mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi yang dialami, dampak yang dirasakan akibat melaksanakan tugas / pekerjaan, gagasan yang dimiliki pekerja untuk memperbaiki produk dan efektifitas serta efisiensi tugas sehingga tuntutan kerja fisik dapat dikurangi pada operator mesin gesek. Identifikasi masalah didasarkan atas 8 aspek ergonomi di tempat kerja seperti yang dikemukakan oleh Manuaba (2003a, 2003b) yakni (a) gizi; (b) sikap kerja; (c) penggunaan otot; (d) kondisi lingkungan; (e) kondisi waktu; (f) kondisi informasi; (g) kondisi sosial budaya; dan (h) interaksi manusia mesin. Melalui analisis SWOT terhadap 8 aspek
ergonomi di tempat kerja operator mesin gesek dapat diidentifikasi kelemahan aspek ergonomi tempat kerja antara lain : (a) sikap kerja; (b) lingkungan kerja; (c) kondisi waktu dan (d) interaksi manusia-mesin. Dari aspek sikap kerja kelemahan yang dapat diamati adalah adanya sikap kerja paksa pada tugas memeriksa hasil rajutan dengan membungkuk, menjangkau benang di pengumpan, dan jongkok ketika membuat pola di lantai. Di samping itu operator mesin gesek harus berdiri selama bekerja. Sikap kerja paksa ini dikarenakan ketinggian permukaan bidang kerja (105 cm) yang tidak sesuai dengan tinggi siku berdiri dari sebagian pekerja (persentil 5 tinggi siku berdiri 91,75 cm). Kondisi ini membentuk sikap kerja yang tidak alamiah karena memaksa badan melakukan penyesuaian seperti pada ketinggian bidang kerja atau pada saat jongkok di lantai. Sikap kerja yang demikian kurang nyaman, beban kerja cukup berat dan sering ada keluhan muskuloskeletal bahkan jika dilakukan secara berulang-ulang dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan trauma kumulatif (Grandjean, 1993; Chavalitsakulchai dan Shahnavaz, 1991; Manuaba, 2003a; 2003b). Kelemahan berikutnya yakni pekerja yang mengoperasikan mesin gesek harus mengerahkan tenaga ototnya yang cukup besar ketika menggeser horizontal ke kanan dan kiri pegangan pada kepala mesin secara berulang. Menurut Grandjean (1993), pemanfaatan tenaga otot dan proses angkat-angkut yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya keluhan otot bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal. Kondisi lingkungan kerja di tempat kerja operator mesin gesek menurut hasil pengukuran awal antara lain kecepatan angin 0,55 meter/detik dengan kelembaban relatif sebesar 74,23 % dan temperatur udara 30,77 oC. Sedangkan suhu nyaman untuk orang Indonesia berada pada kisaran 22-28 oC. Temperatur efektif terjadi oleh kombinasi dari kecepatan angin 0,5 m/det, temperatur udara 21 oC dan kelembaban relatif sebesar 21,3 %. Sehingga dapat disimpulkan klimat kerja kurang nyaman bagi pekerja. Sedangkan untuk tingkat kebisingan 71,3 db masih berada di bawah batas toleransi 80 dB sehingga tidak menyebabkan gangguan pendengaran. Hasil pengukuran untuk tingkat pencahayaan didapatkan sebesar 386,3 lux yang masih lebih besar dari batas toleransi untuk ketelitian sedang yakni 250-300 lux. Ini berarti tingkat pencahayaan sudah mencukupi bagi pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Menurut Sanders dan McCormick (1987), bekerja di lingkungan kerja dengan suhu yang cukup tinggi akan mengakibatkan berkurangnya energi secara cepat dan menimbulkan kelelahan serta dapat menimbulkan efek-efek psikologis seperti tekanan pekerjaan (stress). Di samping itu para pekerja juga terpapar oleh debu yang dihasilkan oleh bahan baku seperti benang bukley atau altea. Kondisi lain di tempat kerja menunjukkan tidak tersedianya jendela / ventilasi yang cukup serta belum tersedia alat untuk mengalirkan udara panas keluar ruangan. Pada aspek kondisi waktu, karena tuntutan produksi yang melebihi kapasitas produksi yang dihasilkan dalam jam kerja normal maka perusahaan harus memberlakukan kerja lembur untuk memenuhi target produksi. Jumlah jam lembur pada masa puncak pesanan cukup besar untuk memenuhi kekurangan produksi pada jam kerja normal sebesar sebesar 37,4%. Disamping itu hasil pengukuran nadi kerja para pekerja didapatkan rata-rata sebesar 115,2 denyut per menit dan pekerjaan ini termasuk kategori sedang sehingga perlu dirancang waktu istirahat untuk pemulihan atau relaksasi otot. Dari kondisi interaksi manusia-mesin menunjukkan bahwa pekerja melakukan kontrol atas pekerjaannya dengan menggunakan otot tangan, mata dan ingatan yang memerlukan konsentrasi terus menerus. Pada mesin gesek tidak tersedia display control untuk memonitor seberapa banyak gesekan yang telah dilakukan sehingga setiap saat operator mesin gesek harus mengingat berapa kali telah melakukan gesekan atau memeriksa hasil pekerjaannya yang berada di bawah meja kerja. Dalam kondisi lelah kewaspadaan pekerja cenderung menurun sehingga jumlah gesekan dapat terlewatkan atau gerakan menggesek terhenti ketika memeriksa hasil rajutan. Hal ini menambah waktu kerja sehingga mengurangi produktivitas kerja dari pekerja. Sedangkan peluang yang bisa dikembangkan dari kondisi tempat kerja yang tidak nyaman adalah dengan meningkatkan jalinan komunikasi antara pemilik dan karyawan, karyawan lain di tempat kerja untuk menyerap aspirasi dalam menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan tempat kerja. Dengan melibatkan para karyawan lebih sering pada permasalahan yang dihadapi maka diharapkan keberlangsungan dari intervensi ergonomi yang akan diambil akan terus dijaga dan dipelihara oleh para
pekerja. Hal ini disebabkan para pekerja merasa dihargai dan ikut memiliki perusahaan dimana tempat mereka bekerja (Laing et al, 2005). Berdasarkan pendataan awal di PT SJK di bagian produksi, sebagian pekerja mempunyai keluhan muskuloskeletal yakni pegal-pegal pada pinggang (20%), lengan bawah kiri (80%), lengan bawah kanan (60%), pergelangan tangan kiri (40%), tangan kiri (40%), tangan kanan (30%), betis kiri (40%), betis kanan (40% ), pergelangan kaki kiri (30%), pergelangan kaki kanan ( 30%), dan sakit pada kaki kiri (90%) serta pada kaki kanan (90%). Secara keseluruhan keluhan muskuloskeletal memiliki skor 56,5 atau sebesar 50,4% yang berarti pekerja cenderung merasakan pegal atau sakit pada anggota badannya terutama pada anggota badan yang tersebut di atas. Menurut Siegried (2002), keluhan muskuloskeletal dalam jangka waktu tertentu jika tidak mendapatkan penanganan dapat meningkat menjadi cummulative trauma disorders (CTD). Sedangkan beban kerja pada pekerja mesin gesek termasuk kategori pekerjaan sedang yang diindikasikan dengan denyut nadi kerja rata-rata sebesar 115,2 denyut per menit. Beban kerja sedang dapat mengakibatkan beban kerja pada otot jantung bertambah yang pada akhirnya akan meningkatkan pengaruh metabolisme khususnya akumulasi produk buangan metabolisme, misalnya asam laktat. Pekerjaan merajut dengan mesin gesek termasuk beban kerja sedang yang mengakibatkan pekerja lebih cepat mengalami kelelahan. Kelelahan secara umum merupakan suatu keadaan yang tercermin dari gejala perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motorik dan pernafasan, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, motivasi menurun, aktivitas melemah yang akan mempengaruhi aktivitas fisik dan mental (Grandjean, 1993). Berdasarkan pendataan awal, pekerja merasakan aktivitas yang menurun (69%), motivasi yang melemah (67%) dan pelemahan fisik (40%) yang berarti pekerja mengalami cukup kelelahan selama bekerja yang secara keseluruhan dinyatakan dalam skor kelelahan sebesar 51,3 dari total skor 120 (Dewantara, 2008). Keluhan lain adalah mata terasa kering dan sepat, pada hidung banyak debu menempel dan banyak mengeluarkan keringat. Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan perbaikan tempat kerja melalui pendekatan ergonomi SHIP dan pemecahan masalah berdasarkan kajian teknologi tepat guna (TTG) (Manuaba, 2003c; 2004; 2005b). Perbaikan tempat kerja yang dilakukan di bagian rajutan antara lain memperbaiki sikap kerja dengan mendesain meja kerja untuk menghilangkan sikap jongkok, mendesain alat display control berupa pencacah gesekan untuk mengurangi tugas mengingat jumlah gesekan, menyediakan permadani (matting) yang nyaman guna mengurangi pegal di kedua kaki karena menahan beban tubuh; menyesuaikan ketinggian meja kerja dengan pemakainya untuk mengurangi sikap paksa dengan meninggikan alas kaki, mendesain pegangan kepala mesin untuk memperbaiki kekuatan genggaman dan mengurangi tenaga yang harus dikeluarkan untuk menggeser kepala mesin;mendesain pelindung pernafasan untuk mengurangi debu tekstil terhirup pekerja, dan menambahkan ventilasi udara dan kipas angin untuk mengalirkan udara di dalam ruangan. E. Kesimpulan Berdasakan hasil ergonomic assesment tempat kerja operator mesin gesek baju hangat dapat disimpulkan antara lain : a. Adanya masalah ergonomi di tempat kerja antara lain adanya sikap kerja paksa pada tugas memeriksa hasil rajutan dengan membungkuk, menjangkau benang di pengumpan, dan jongkok ketika membuat pola di lantai; pengerahan tenaga otot, kondisi lingkungan kerja kurang nyaman, tidak tersedianya display control untuk memonitor banyaknya gesekan yang telah dilakukan, dan perlunya pengaturan waktu istirahat. . b. Dampak dari masalah ergonomi di tempat kerja operator mesin gesek dapat dilihat pada respon fisiologis pekerja yang ditunjukkan dengan adanya beban kerja sedang, keluhan muskuloskeletal, kelelahan yang dialami oleh pekerja.
c. Respon fisiologis yang kurang baik akan berdampak pada produktivitas kerja operator mesin gesek baju hangat. . d. Perlu adanya intervensi ergonomi pada tempat kerja operator mesin gesek untuk memperbaiki respon fisiologis para pekerja dan meningkatkan produktivitas kerja operator mesin gesek.
DAFTAR PUSTAKA
Amble, B., 2005. Poor workplace damages productivity. [Cited 2008 May 12] Avalaible at URL : http://www.management-issues.com/poor-workplace-design-damages-productivity.asp. htm Chavalitsakulchai, P. and Shahnavaz, H., 1991. Musculoskeletal Discomfort and Feeling of Fatigue among Female Profesional Workers : The Need for Ergonomics Consideration. Journal of Human Ergology. 20 : 257-264. Dewantara, M.Y., 2008. Makalah : Penilaian Aspek Ergonomi Tempat Kerja Proses Produksi pada Usaha Kecil-Menengah Baju Hangat di Bali. Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar. Grandjean, E., 1993. Fitting the Task to The Man . 4th edition. London : Taylor & Francis Kelloway, R., 2008. Workplace Design : Better workplace design increases productivity. [Cited 2008, December 16] Avalaible from http://www.davislangdon.-com/ANZ/ OurBusiness/News-and-Media-Centre/Media-Releases/worplace design.htm Konz, S; Jhonson, S.L., 2007. Workplace design : Occupational Ergonomics. Holcomb Hathway, Phoenix, AZ. 7th Edition. Laing, A.C., Frazer, M. B., Cole, D.C. , Kerr, M. S., Wells, R. P., Norman, R.W., 2005. Study Of The Effectiveness Of A Participatory Ergonomics Intervention In Reducing Worker Pain Severity Through Physical Exposure Pathways Ergonomics, Vol. 48, No. 2, 10 February 2005, 150 170 Manuaba, A. 2006. Teknologi Yang Manusiawi, Kompetitif dan Berkelanjutan Me-rupakan Ragam Teknologi yang Paling Relevan dan Andal untuk Diaplikasikan di Sektor Industri Masa Kini dan Selanjutnya, Porceeding Seminar on Aplica-tion Research in Industral Technology. Yogyakarta: Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada 6.1. Manuaba, A., 2005a. Pengembangan Sdm Dalam Menghadapi Tantangan Global. Makalah. Denpasar : Lokakarya Pengkajian Kebutuhan Pelatihan Tenaga Kesehatan Propinsi Bali Tahun 2005 Di Uptd Bpkkik Dinas Kesehatan Propinsi Bali. 12 Juli 2005. Manuaba, A., 2005b. Pendekatan Ergonomi Total untuk Adanya Produksi dan Produk Manusiawi, Kompetitif dan Lestari. Jurnal Sosial dan Humaniora Surabaya. 1:131-140. Manuaba, A., 2004. Pendekatan Total Perlu untuk adanya proses Produksi dan produk yang Manusiawi, Kompetitif dan Lestari. Disampaikan pada: Seminar teknik Industri Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004
Manuaba, A., 2003a. Aplikasi Ergonomi Dengan Pendekatan Holistik Perlu, Demi Hasil Yang Lebih Lestari Dan Mampu Bersaing. Temu Ilmiah Dan Musyawarah Nasional Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Ergonomi. Hotel Sahid Jakarta, 17-19 Juli 2003. Manuaba, A., 2003b. Aplikasi Ergonomi Dalam Dunia Industri. Makalah. Yogyakarta : Aplikasi Ergonomi Dalam Dunia Industri Di Universitas Islam Indonesia. 5 April 2003. Manuaba, A. 2003c. Aplikasi Ergonomi dengan Pendekatan Holistik perlu, demi Hasil yang lebih Lestari dan Mampu bersaing. Disampaikan pada: temu Ilmiah dan Musyawarah Nasional keselamatan dan Kesehatan kerja, ergonomi: Hotel sahid, Jakarta, 17-19 Juli 2003. Manuaba, A. 2003d. Holistic Design is Must to attain Sustainable Product. Bandung: The National Seminar on Product Design and Development. Industrial Engi-neering UK Maranatha. Sanders, M.S. and McCormick, E.J., 1987. Human Factors in Engineering and Design. USA : McGraw-Hill Book Company. Siegfried, K.V., 2002. Ergonomics And Prevention Of Upper Extremity Cumulative Trauma Disorders. Maine Employers Mutual Insurance Company (MEMIC). Portland. Thompson, B., Jonas, D., 2008. Workplace Design And Productivity: Are They Inextricably Linked? Property In The Economy. July 2008 Waters,W., 2008. Design Dan Productivity : Surveys. Http://Www.Creative-Class.Com /Workplace-Design.Htm WHS-Workplace Health And Safety , 2004. Musculoskeletal Injuries Part 4 : Workplace Risk Factors. Ergonomics. August 2000 Zoller, C. , Bruynis, C., 2007. Conducting A Swot Analysis Of Your Agricultural Business. Makalah. Ohio: The Ohio State University.