Anda di halaman 1dari 25

200

Ubi Kayu
Dengan budidaya ubi kayu secara monokultur ini,
diharapkan petani akan betul-betui mengerjakan kebunnya
dengan seintensif mungkin.

Tanaman ubi kayu (Manihotutikisima) memiliki berbagai varitas atau


klonyang dapat langsung dikonsumsi sebagai makanan atau menjadi
bahan baku bagi industri tapioka dan gapiek (manihok) ataupun tepung
gapiek, yang selanjutnya dipergunakan untuk berbagai macam industri
seperti makanan, makanan ternak, kertas, kayu lapis dan tainnya..

http://sutrisno.wordpress.com
Sumber : www.bi.go.id
12/13/2007
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Tanaman ubi kayu (Manihotutikisima) memiliki berbagai varitas atau klonyang dapat
langsung dikonsumsi sebagai makanan atau menjadi bahan baku bagi industri tapioka
dan gapiek (manihok) ataupun tepung gapiek, yang selanjutnya dipergunakan untuk
berbagai macam industri seperti makanan, makanan ternak, kertas, kayu lapis dan
tainnya. Berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumberdaya manusia,
dan tingkat adaptasi teknologi, tanaman ubi kayu banyak didapatkan dan bisa
dibudidayakan di banyak tempat/lokasi di Indonesia sehingga memungkinkan untuk
diusahakan oleh para petani secara luas.

Hasil olahan ubi kayu berupa tapioka dan gapiek (manihok) dalam bentuk chips, pellet
ataupun lainnya, telah lama menjadi komoditi ekspor yang sangat penting dalam
menyumbang pendapatan devisa, karenanya merupakan aset yang sangat berharga dan
perlu dijaga kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor
pada masa-masa selanjutnya.

Pengalaman petani menunjukkan bahwa penanaman ubi kayu sering tidak membuahkan
hasil yang cukup baik untuk keluarga, karena keadaan tata niaga kayu yang banyak
dipengaruhi oleh fluktusi harga sehingga merugikan petani. Pada saat menjelang tanam,
harga ubi kayu biasanya terlihat sangat menarik sehingga banyak petani berusaha
menanamnya. Akan tetapi pada saat panen harga kayu kemudian jatuh sehingga banyak
merugikan petani (berdasarkan data yang ada kapasitas pabrik dan potensi ekspor masih
lebih besar dari jumlah produksi). Kondisi ini telah mendorong banyak petani untuk
mengalihkan perhatian dan berusaha menanam komoditi seperti kelapa sawit. Di sisi lain,
apabila hal ini terus dibiarkan, akan bisa berakibat turunnya produksi yang dapat
menekan pasokan ubi kayu baik untuk keperluan ekspor ataupun konsumsi sawit dalam
negeri.

Lemahnya posisi petani ubi kayu dalam menghadapi pengaruh fluktuasi harga, terutama
disebabkan karena ubi kayu memiliki daya simpan yang rendah,dan produktifitasnya juga
rendah akibat modal usaha yang sangat terbatas, disamping kebutuhan keluarga yang
sudah sangat mendesak. Pendapatan petani ubi kayu akan makin rendah lag! karena
pada saat dijual ke pabrik mendapatkan mutu ubi kayunya rendah dan rafaksi yang
ditentukan secara sepihak oleh pabrik.

Berdasarkan keadaan yang ada, maka salah satu alternatif untuk meng antisipasi
masalah tersebut di atas, adalah dengan upaya mengadakan kerjasama antara para
petani produsen ubi kayu di satu pihak dengan pengguna/pemakai ubi kayu (baik dengan
kapasitas pabrik yang cukup besar, maupun dengan kapasitas pabrik yang sedang) di
pihak lain, sehingga dapat diciptakan bentuk kerjasama kemitraan dengan tata niaga
yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Untuk mendukung kelancaran
kemitraan ini, para petani memerlukan dukungan permodalan untuk keperluan
penanaman ubi kayu, di mana bank pelaksana dapat berperan dengan memberikan
kredit dengan skim kredit yang sesuai.

Secara teknis upaya mengembangkan budidaya ubi kayu harus diikuti dengan adanya

Page
2
upaya untuk mengubah/memperbaiki teknik budidaya yang selama ini masih
konvensional menjadi teknik budidaya yang intensif. Hal ini dapat dicapai dengan lebih
memantapkan penataan teknologi produksi mulai dari persiapan lahan, pengolahan
lahan, penggunaan varietas unggul, pemeliharaan tanaman, Panen dan pasca panen
serta distribusi pemasaran hasil. Para petani diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan teknis budidaya ini dengan adanya peran pembinaan yang diberikan oleh
pihak mitra.

Dalam uraian selanjutnya yang akan dibahas dalam Model Kelayakan Kemitraan Terpadu
ini adalah pengembangan ubi kayu secara monokultur dan dilakukan secara intensif, dan
produknya sebagai bahan baku untuk Perusahaan Tepung Tapioka ataupun Perusahaan
eksportir gaplek/chips. Dengan budidaya ubi kayu secara monokultur ini, diharapkan
petani akan betul-betui mengerjakan kebunnya dengan seintensif mungkin, karena hasil
ubi kayu ini akan merupakan satu-satunya komoditas andalannya, walaupun sebenarnya
pada saat vegetatif dapat dilakukan tumpang sari dengan komoditas lain seperti dengan
jagung, kedele, kacang tanah dan tanaman palawija lainnya.

Tujuan

Tujuan pembuatan model kelayakan proyek kemitraan terpadu komoditas ubi kayu ini
adalah untuk : (1). Memberikan gambaran umum bagi perbankan yang berminat untuk
membiayai usaha budidaya ubi kayu, dengan skim kredit yang sesuai dan cukup aman,
karena pasar sudah terjamin, (2). Kredit yang disalurkan dapat mencapai sasaran, dan
(3). Pengembalian kredit diharapkan akan lancar, karena adanya keterlibatan berbagai
pihak terkait. Secara rinci tujuan tersebut adalah sebagai berikut :

a.Menyediakan suatu referensi bagi perbankan tentang kelayakan budidaya tanaman ubi
kayu yang ditinjau dari sisi prospek/kelayakan pasar, kelayakan teknis budidaya yang
dilaksanakan dengan penerapan teknologi yang lebih maju, kelayakan dari sisi keuangan,
terutama bilamana sebagian dari biaya produksi yang diperlukan akan dibiayai dengan
kredit perbankan. Begitu juga pengorganisasian pelaksanaan proyeknya dapat menjamin
kelancaran pelaksanaan dan menjamin keuntungan semua pihak;

b. Dengan referensi kelayakan tersebut diharapkan perbankan dapat mereplikasikan


pelaksanaan proyek serupa di daerah-daerah atau lokasi yang sesuai dengan kajian
kelayakan yang dimaksud;

c. Dengan demikian, tujuan dalam mengembangkan usaha kecil melalui peningkatan


mutu budidaya tanaman ubi kayu tercapai sasarannya yang ditempuh melalui
peningkatan realisasi kredit yang cocok untuk usaha kecil, meningkatkan keamanan
pelaksanaan kreditnya, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani ubi kayu;

d. Mendorong perluasan budidaya ubi kayu serta meningkatkan produksi tepung tapioka
dan gaplek/chips secara nasional untuk keperluan Dalam Negeri dan ekspor karena
bahan baku ubi kayu dapat diusahakan cukup tersedia secara berkesinambungan.

Page
3
KEMITRAAN TERPADU
Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu yang melibatkan
usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit
dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT
antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan
kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank
dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien.

Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atau
Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara.
Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari
penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.

ORGANISASI

Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usaha
melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) Pengusaha
Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA.

Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan bidang usahanya.
Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan Pengusaha Pengolahan
atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di
dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma dan
Perusahaan Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi
terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi
pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai PKT yang disiapkan
dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan diantara semua pihak yang
bermitra.

1. Petani Plasma

Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang
akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau
usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan
yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal.

Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman atau
penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan dimulai dari telah adanya kebun
atau usaha yang berjalan, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan
perbaikan pada aspek usaha.

Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki oleh
masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk
seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok
adalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para
petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansi
lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib
menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan

Page
4
berdasarkan kesepakatan kelompok.

2. Koperasi

Para petani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi anggota
suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk
membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas
KKPA hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan
KKPA harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup
baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya. Jika
menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer tidak merupakan
keharusan

3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir

Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti
dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan
untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk
selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu
memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi
untuk keperluan petani plasma/usaha kecil.

Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan
teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Inti
memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya
pemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil
dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada
Perusahaan Inti.

Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibingan
harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak Dinas
Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasi
menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan
Dinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.

Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang memiliki


keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing petani/usaha kecil dengan
dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang
bisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut
besarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin
besar pula honor yang diterimanya.

4. Bank

Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma
dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian
melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun.

Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksi


yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi,
juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang

Page
5
diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan
digunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang
sesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatan
bersih petani yang paling besar.

Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan
kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimana
petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk
ini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan
kesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang
hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk
dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana
angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/Kelompok
tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha
kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya
potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian
kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank.

POLA KERJASAMA

Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat


menurut dua pola yaitu :

a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama


langsung kepada Perusahaan Perkebunan/Pengolahan Eksportir.

Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petani
plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan
pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan
harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra.

b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan


perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaan
perkebunan/pengolahan/eksportir.

Page
6
Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma dilakukan
dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya
tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra,
akan menjadi tanggung jawab koperasi.

PENYIAPAN PROYEK KEMITRAAN TERPADU

Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan sebaiknya dan dalam proses
kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan keberhasilan, minimal dapat dilihat dari
bagaimana PKT ini disiapkan. Kalau PKT ini akan mempergunakan KKPA untuk modal usaha
plasma, perintisannya dimulai dari :

a. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi dan lahan
pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau lahan kebun/usahanya sudah ada
tetapi akan ditingkatkan produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun
diri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha. Berdasarkan
persetujuan bersama, yang didapatkan melalui pertemuan anggota kelompok, mereka
bersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama dengan perusahaan
perkebunan/pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit (KKPA)
untuk keperluan peningkatan usaha;
b. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang bersedia menjadi
mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknik
budidaya/produksi serta proses pemasarannya;
c. Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha perkebunan/pengolahan
dan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra.
Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak
yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untuk
mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok tani/usaha kecil yang
potensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas
yang diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil;
d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya oleh pihak
koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelola
administrasi yang berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk
peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra.
Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan dengan formalitas PKT
sesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan
persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana
(executing agent) atau badan penyalur (channeling agent);
e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak instansi
pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Kantor
Badan Pertanahan, dan Pemda);

Page
7
f. Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini, harus jelas
statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa diberikan sertifikat dan buka
merupakan lahan yang masih belum jelas statusnya yang benar ditanami/tempat
usaha. Untuk itu perlu adanya kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan
pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

MEKANISME PROYEK KEMITRAAN TERPADU

Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dapat dilihat pada skema berikut ini :

Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip bank teknis.
Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandum
of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa
koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke
rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana
pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari
perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannya
dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil
tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan
inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank
sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih.

Page
8
PERJANJIAN KERJASAMA

Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu surat perjanjian
kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan
kesepakatan mereka. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang
akan menjadi kewajiban dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama
kemitraan itu. Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak
Mitra Perusahaan (Inti ) dan petani/usaha kecil (plasma) antara lain sebagai berikut :

1. Kewajiban Perusahaan Perkebunan/Pengolahan/Eksportir sebagai mitra (inti)

a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penaganan hasil;


b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi (bibit,
pupuk dan obat-obatan), penanaman serta pemeliharaan kebun/usaha;
c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen untuk
mencapai mutu yang tinggi;
d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan
e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan kredit bank (KKPA)
dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis dalam rangka pemberian kredit bank untuk
petani plasma.

2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma

a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya;;


b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang lahan
usahanya berdekatan dan sama-sama ditanami;
c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca-panen untuk
mencapai mutu hasil yang diharapkan;
d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan dalam
rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit;
e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya oleh pihak Dinas
Perkebunan/instansi terkait setempat yang tidak termasuk di dalam rencana waktu
mengajukan permintaan kredit;
f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan sesuai
petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada
Perusahaan Mitra ; dan
g. Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk sesuai
kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban
petani melunasi angsuran kredit bank dan pembayaran bunganya.

PEMASARAN
Permintaan Luar yang cukup besar. Ubi kayu kering diperlukan untuk bahan pakan ternak
dan banyak lainnya, yang jumlah kebutuhan selama ini makin meningkat sejalan dengan
peningkatan populasi konsumen akhir dari ubi kayu tersebut. Untuk mempertahankan pasar
luar negeri yang telah dikuasai Indonesia dengan jumlah yang semakin besar, maka
kebutuhan terhadap ubi kayu untuk masa-masa mendatang diperkirakan masih akan terus
meningkat.

Page
9
Perkembangan Ekspor

Ekspor ubi kayu Indonesia dilakukan dalam bentuk ubi kayu kering (gapiek atau lainnya)
dan tepung tapioka. Perkembangan ekspor ubi kayu dalam bentuk kering (gapiek, chips
atau tepung) selama tahun 1990 sampai tahun 1998 terlihat pada Tabel 1. dan Tabel 2.
Dalam periode tersebut ekspor terbesar terjadi pada Tahun 1993, selanjutnya
perkembangan ekspor ubi kayu ada kecenderungan makin turun. Berbagai hal menyangkut
masalah tata niaga yang berkaitan dengan peraturan ekspor (diterapkannya pembagian
quota) dan pola penyerapan produksi ubi kayu petani, dirasakan telah mempengaruhi laju
ekspor yang selanjutnya adalah juga produktivitas ubi kayu petani.

Tabel 1. Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998

Total Ekspor (kg)


Tahun
Gaplek Pelet Bentuk Lain
1990 697.329.412 570.456.989 3.315.094
1991 492.507.502 364.264.420 1.850.820
1992

368.868.865 501.304.110 3.235.648


1993 516.585.171 408.446.685 10.852.244
1994 386.024.532 298.829.708 1.184.631
1995 426.894.318 53.281.008 1.307.822
1996 290.039.080 93.610.152 4.941.434
1997 184.154.743 3.530.003
p class=MsoNormal
align=center
style='text-
align:center'>1998 194.616.294 24.770.000 2.017.583

Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS

Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998

Tabel 2. Nilai Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998

Berbeda dengan gapiek dan genusnya, total ekspor dalam bentuk tapioka terlihat pernah
mencapai titik tertinggi sebesar 82.191 ton dengan nilai sebesar US 13,98 juta pada tahun
1993 (Tabel 3). Untuk tahun selanjutnya jumlah ekspor kembali tidak menentu. Penurunan
total ekspor yang drastis pada tahun 1994 diimbangi dengan ekspor yang tinggi pada tahun
1995. Ini terjadi mungkin karena adanya pergeseran masa panen akibat pengaruh iklim dan
adanya masalah penampungan ubi kayu petani dan pengolahannya yang dikaitkan dengan
kebijakan niaga pihak Pengusaha.

Tabel 3. Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1990-1997

Total Ekspor
Tahun
Gaplek Pelet

Page
10
1990 6,702,500 1,426,072
1991 4,506,500 1,320,175
1992 21,598,013 5,217,332
1993 82,191,450 13,982,712
1994 30,870,431 10,548,950
1995 17,923,865 5,575,430
1996 7,336,226 2,668,590

Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negari Indonesia. Ekspor. BPS Dikumpulkan dari
Buku Tahun 1990 - 1998

Jangkauan ekspor ubi kayu Indonesia telah mencapai berbagai Negara di Asia dan Eropa,
dengan ekspor terbesar ke Korea dan China (Tabel 4). Luasnya negara tujuan ekspor di
beberapa Negara Asia dan Eropa, menunjukkan bahwa ekspor komoditi ini sebenarnya
cukup potensial dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor produksi ubi kayu
pada masa yang akan datang.

Tabel 4. Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1997

Total Ekspor
Nilai Ekspor (FOB)
Negara Tujuan
(Dari Berbagai Bentuk) (US$)
(kg)
Korea 120.797.083 12.125.792
China 67.502.292 5.473.891
Philppine 558.000 107.884
Malaysia 2.342.962 436.884
Vietnam 697.920 41.875
Netherlands 20.400.000 1.371.550
Switzerlands 3.000.000 165.000
Taiwan 570.000 85.500
Germany 4.500.000 328.000
Japan 762.000 154.570
Singapore 247.000 53.106
United Kingdom 26.600 57.399

Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. Biro Pusat Statistik 1997

PERMINTAAN DALAM NEGERI

Konsumsi Dalam Negeri ubi kayu dalam bentuk gapiek ataupun tapioka di Indonesia,
terutama diperlukan untuk kebutuhan pakan ternak, tekstil, kerupuk dan berbagai bahan
campuran bagi produk makanan lainnya yang dibuat dari tepung. Bisa dibayangkan bahwa
kebutuhan tepung ubi kayu ataupun tapioka akan terus meningkat di Indonesia, sesuai
dengan peningkatan populasi konsumen.

PEMASARAN HASIL PRODUKSI PETANI

Banyak masalah yang selama ini sering dihadapi para petani ubi kayu dalam memasarkan
produksinya, terutama sekali menyangkut harga, peran dan tingkah para pengumpul, dan

Page
11
kebijakan yang dilakukan sendiri oleh para Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu dan
Eksportir.

a. Harga Jual Ubi Kayu

Harga jual ubi kayu ditingkat petani p@ Ubi Kayu/Eksportir yang mungkin juga dipengaruhi
oleh adanya kebijakan Pemerintah tentang kuota ekspor, serta naik turunnya nilai dolar
terhadap rupiah. Disamping itu bisa dipahami pula bahwa bagi daerah-daerah penghasil ubi
kayu untuk industri, para petani di dalam mengadakan penanaman tidak mampu
mengantisipasi daya serap pihak pabrik pengolahan.

Melalui kemitraan antara Petani Ubi Kayu dengan Pengusaha Pabrik Pengolahan dan
Eksportir, para Pengusaha akan bisa menentukan kepastian jumlah produksi yang mungkin
ditampung dan luas tanam ubi kayu yang akan dilaksanakan bersama mitra petaninya.
Keadaan ini akan dapat mencegah terjadinya produksi yang melimpah, dan apabila harga
pasar yang terjadi lebih tinggi dari tingkat harga itu disepakati untuk penentuan harga
dasar bisa dibuatkan kesepakatan yang tidak merugikan petani, dan apabila harga pasar
lebih tinggi dari kesepakatan harga itu akan dipergunakan sama dengan harga pasar
setempat.

b. Pedagang Pengumpul Perantara

Karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari Pabrik Pengolahan Ubi Kayu, maka
banyak petani yang terpaksa menjual hasil panen ubi kayu kepada para Pengumpul atau
para Perantara yang datang ke tempat itu. Para Pengumpul ini dengan kendaraan truk
mengambil hasil panen petani untuk dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan
beratnya. Banyak masalah dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak
memuaskan dan dapat merugikan petani. Sementara pihak Pengumpul atau Perantara itu
sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu.

Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba tidak
kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta uang terlebih dahulu
sebelum panen dari para Pengumpul atau para Perantara ini. Dalam keadaan seperti ini,
pada saat panen petani bisa jatuh berada pada posisi yang lemah dalam hal penentuan
harga dan berat timbangan hasil panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi
kayu, ditambah juga dengan penentuan rafraksinya yang tidak transparan.

Untuk memastikan tingkat pendapatan petani ubi kayu dalam mempertimbangkan


pemberian fasilitas kredit, jaminan mengenai kepastian harga dan tingkat produksi tanaman
petani diharapkan akan dapat diperoleh melalui kemitraan yang didukung dengan perjanjian
kerjasama dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan produksi,
penanganan hasil panen dan harga jual ubi kayu petani yang mantap.

c. Kebijakan Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu Tentang Harga Beli


UbiKayu Petani

Sering kali dialami bahwa kebijakan harga beli ubi kayu pada saat panen raya sangat
merugikan petani. Beberapa yang sering dikemukakan oleh pihak Pengusaha adalah
terbatasnya daya tampung fasilitas pabrik, dan kuota ekspor yang diterapkan oleh
Pemerintah.

Page
12
Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi produksi yang melimpah, melalui kemitraan
dalam rangka budidaya ubi kayu ini oleh Petani/Kelompok Tani/Koperasi/KUD diharapkan
bisa dipertimbangkan besarnya luas cakupan kemitraan yang menyangkut luas tanam,
jumlah petani peserta dan produktivitas lahan, sehingga masalah harga bisa dijaga dan
ditentukan harga dasarnya sesuai kemampuan daya tampung produksi dan fasilitas ekspor
yang ada secara lokal dan nasional.

d. Pemasaran Ubi Kayu Petani Dalam Rangka Kemitraan

Dengan kemitraan terpadu antara para Petani dengan Pengusaha Pengolahan/Ekspotir Ubi
Kayu, para Petani menggunakan modal untuk bercocok tanam ubi kayu dari fasilitas kredit.
Kredit ini diberikan oleh Badan pemberi kredit atas adanya peran serta pihak mitra
Pengusaha yang ikut menjamin keberhasilan usaha dan pelunasan kredit.

Untuk memastikan arus pelunasan kredit dan pembayaran bunganya, para petani
diharuskan melalui kesepakatan bersama menjual produksi ubi kayunya kepada Pabrik
Pengolahan milik mitra dengan harga yang ditetapkan dengan mempertimbangkan
terciptanya keuntungan bagi kedua belah pihak secara wajar. Dari penjualan ini, Petani
melalui Pengusaha mitra menyisihkan sejumlah hasil penjualan ubi kayu yang harus
dipergunakan untuk melunasi kredit dan bunganya. Mekanisme ini diatur dalam Perjanjian
Kerjasama seperti contoh tertampir.

PRODUKSI
Walaupun dalam budidaya tanaman ubi kayu ini pada umumnya dapat dilakukan dengan
menggunakan pola tumpang sari, dimana jagung, kacang kedelai ataukacang-kacangan
lainnya dmal. Ubi kayu merupakan tanaman yang relatif lebih mudah ditanam dan tahan
kekeringan dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, sehingga apabila tujuannya
untuk memaksimalkan produksi ubi kayu, kesulitan mendapatkan waktu tanam yang cocok
untuk semua komoditi dalam pola tumpang sari dapat dihindarkan.

KESESUAIAN LAHAN

Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di berbagai lingkungan
agroklimat tropis, walaupun tentunya tingkat produksinya akan bervariasi menurut tingkat
kesuburan dan ketersediaan air tanah. Ubi kayu merupakan tanaman yang tahan di lahan
kering, sedangkan pada lahan-lahan dengan tingkat kesuburan tinggi, akan menyerap
unsur hara yang banyak.

Produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar matahari yang
cukup, berada pada ketinggian sampai dengan 800 m dpi, tanah gembur, dan curah hujan
di antara 750 - 2.500 mm/tahun dengan bulan kering sekitar 6 bulan.

Mengierupa umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan kandungan
unsur hara tanah, karena akar/umbi tanaman dicabut. Dengan demikian kelestarian
perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk menjaga kelestarian lahan dengan
memberikan kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di samping pupuk buatan.
Sisa tanaman sebaiknya dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah.

Page
13
Mengingat nilai produksl dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi kayu sering
tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi jika ditan bukan
merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki modal usaha yang cukup, dengan
hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah tanah, petani sudah dapat menanam ubi kayu
karena bibitnya mudah didapat dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan
tanah tertentu.

PENGOLAHAN TANAH

Dalam pengolahan tanah diusahakan agar tanah tersebut menjadi cukup gembur, karena
pada tanah yang gembur, perakaran/umbi akan tumbuh dengan optimal, akar akan mudah
menembus tanah. Secara garis besar persiapan lahan untuk tanaman ubi kayu dilakukan
sebagai berikut :

Pembabatan tanaman perdu dan semak-semak serta rumput-rumputan/alangalang dan


gulma lainnya. Hal ini dikerjakan terutama pada lahan yang baru dibuka, sedangkan pada
lahan yang sudah biasa ditanami dengan palawija, tanah dapat langsung dicangkul/dibajak.

Pengumpulan dan penyisihan batang tebangan, sedangkan bekas rerumputan dicacah dan
dimasukkan kedalam tanah.

Pembajakan/pencangkulan atau pentraktoran pertama

Pembajakan/pencangkulan atau pentraktoran kedua dan penggemburan

Pembuatan saluran pemasukan dan saluran pembuangan

Pembuatan guludan

Bibit dan Kegiatan produksi ubi kayu hendaknya tidak terlepas dari Panca Usaha Pertanian,
yaitu berupa penggunaan varitas unggul, bercocok tanam yang baik, pemakaian pupuk,
pemeliharaan tanaman, pengendaliahama dan penyakit, serta penanganan panen dan pasca
panen yang tepat.

Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan pellet/gapiek
pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit dan kandungan patinya
tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak dikembangkan adalah varitas nasional
Aldira II, Aldira IV dan varitas dari Thailand Kasetsart 50. Sifat beberapa varitas ubi
kayu Indonesia seperti pada Tabel5. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung,
mampu memberikan hasil sampai 38,9 ton/ha. Sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada
pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 ton/ha dan 36,9 ton/ha. Varitas-
varitas unggul lainnya dapat dipilih dari varitas-varitas yang telah dilepas oleh pihak
Departemen Pertanian/Ditjen Tanaman Pangan, sesuai anjuran Dinas Pertanian Tanaman
Pangan setempat.

Seteiah lahan diolah dengan sempurna, bibit berupa stek batang dengan panjang kurang
lebih 30 cm, ditanam dengan jarak tanam sekitar 100 x 80 cm, sehingga populasi tanaman
untuk luasan 1 Ha mencapai sekitar 12.500 tanaman. Waktu penanaman dilakukan pada
saat kelembaban tanah dalam keadaan mencapai kapasitas lapang, yaitu biasanya pada

Page
14
saat musim hujan, karena selama masa fase pertumbuhan tersebut ubi kayu memerlukan
air yang cukup.

Tabel 5.Sifat Beberapa Varitas Ubi Kayu.


Rata2 Tinggi Warna Daging
Umur Hasil Batang Kadang Umbi<
Varietas
(Bulan) (Ton/Ha) Tepung (%)
Basah (m) Rasa

Adira 1 7 - 10 22 1-2 45 Enak


Adira 2 8 - 12 22 2-3 41 Putih Agak Pahit
20
10,5 -
Adira 4 11,5 35 1,5 - 2 Putih Agak Pahit
ft:none;border-
bottom:solid
windowtext .
5pt;border-
right:solid
windowtext .5pt;
mso-border-top-
alt:solid windowtext .
5pt;mso-border-left-
alt:solid windowtext .
5pt; padding:0cm
0cm 0cm
0cm;height:12.75pt'
>

Putih
Malang 1 9 - 10 36,5 1,5 - 3 kekuningan Enak
Malang 2 8 - 10 31,5 1,5 - 3 34 Kuning Muda Enak
Darul Kenyal spt
Hidayah 8 - 12 102 28 Putih ketan

Sumber : J. Wargiono. Ahli Peneliti Utama pada Puslitbang Tanaman Pangan

PEMELIHARAAN TANAMAN

Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman adatah menyulam, menyiang, memupuk,


membumbun, mengairi dan mengendalikan hama serta penyakit. Secara rinci kegiatan
pemeliharaan adalah sebagai berikut :

Penyulaman segera dilakukan pada umur 2 minggu setelah tanam. Apabila bibit yang digunakan cukup baik, tanaman
yang perlu disulam relatif sedikit, kurang dari 5%. Adanya penyulaman yang tepat, akan memberikan pertumbuhan
tanaman yang lebih serempak/seragam.
Penyiangan paling banyak dilakukan cukup 2 kali, terutama pada saat tajuk dari tanaman belum saling menutup.
Penyiangan pertama dilakukan pada umur kurang lebih sebulan setelah tanam, dan penyiangan kedua dilakukan dua bulan
kemudian.
Kegiatan lainnya yang cukup penting adalah pemupukan yang diberikan setelah tanam. Pemupukan pertama dilakukan
setelah penyiangan pertama bersama dengan mengadakan pembumbunan. Pemupukan kedua dilakukan pada waktu
setelah penyiangan kedua, yang juga terus diikuti dengan pembumbunan. Dosis pemupukan adalah sebagai berikut :

 TSP/SP36 : 100 kg

         

Page
15
 Pengairan, mengingat ubi kayu ditanam di lahan kering, pada umumnya pengairan
hanya mengandalkan dari curah hujan, hanya kadang-kadang apabila setelah
terjadi hujan yang cukup deras, perlu memperhatikan drainasinya.

 Kegiatan pemeliharaan yang lain yaitu pengendalian hama dan penyakit, namun
sampai dengan saat ini khusus pada tanaman ubi kayu belum terjadi adanya
serangan hama dan penyakit yang serius, sehingga dapat dikatakan tidak
diperlukan pemberantasan hama dan penyakit.

Panen Dan Pasca Panen

Jika dalam mencabut tersebut dirasakan susah, maka sebelumnya tanah disekitar batang
ubi kayu sebagian terlebih dahulu digali dengan cangkul, baru setelah itu batang dicabut
sampai umbinya terangkat semuanya. Kalau masiada umbi yang tertinggal, karena
patah/putus pada waktu pencabutan, maka sisa umbi tadi diambil dengan digali dengan
cangkul. Cara lain yaitu dengan menggunakan tali/tambang yang dililitkan pada batang, lalu
diungkit.

Umbi yang telah dicabut, lalu dipotong dari batangnya dengan parang/golok, serta bagian
tanah yang menempel dibuang akhirnya umbi tersebut ditumpuk disatukan dengan umbi
lainnya, dan siap diangkut ke tempat penyimpanan atau langsung dipasarkan. Umur ubi
kayu yang cocok dipanen berkisar antara 10 - 14 bulan setelah tanam. Kurang dari 10 bulan
rendemen kadar patinya rendah, begitu juga bila lebih dari 14 bulan akan mengayu dan
juga kadar patinya menurun pula. Hasil rata-rata per ha, dengan asumsi tiap batang
menghasilkan antara 2,5 - 4,0 kg, maka akan diperoleh hasil bersih antara 30 ton - 40 ton
per ha umbi basah.

Batang umbi kayu setelah panen sebagian disiapkan sebagai bibit untuk penanaman
selanjutnya, sedangkan batang ubi kayu yang tidak dijadikan bibit, hendaknya dipotong-
potong/dicincang untuk dikembalikan lagi ke dalam tanah/ dibenam agar lapuk dan terurai
menjadi hara tanah dan memperbaiki struktur tanah, sehingga kesuburan tanah relatif
dapat dipertahankan. Karena ubi kayu diambil hasilnya yang berupa umbi, maka praktis
dengan dicabutnya umbi tidak ada bagian tanaman yang berupa bahan organik tertinggal di
dalam tanah. Keadaan ini ditambah dengan sifat ubi kayu yang banyak menyerap hara,
maka apabila tidak ada upaya untuk mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah,
maka pengurasan hara tanah akan berjalan terus menerus dan bisa mengakibatkan
pengurusan tanah. Oleh karena itu sangat dianjurkan diadakannya upaya mengembalikan
sisa-sisa tanaman yang ada ke dalam tanah dengan terlebih dahulu dicacah. Upaya lain
dengan menghentikan kegiatan tanam setelah lahan dipergunakan untuk tanaman ubi kayu
lebih dari 2 kali, lahan bisa ditanami dengan tanaman kacang-kacangan atau diberakan
untuk memulihkan kesuburannya.

KEUANGAN

Page
16
Aspek keuangan untuk budidaya ubi kayu dihitung dengan asumsi :

Setiap pengusaha kecil memiliki dua hektar lahan yang siap dibudidayakan dan bukan lahan
hutan, sehingga tidak memerlukan biaya untuk land clearing.

Skim kredit yang digunakan dalam analisis ini didasarkan pada skim Kredit Usaha Tani
(KUT) dengan tingkat suku bunga 10,5% per tahun, KKPA dengan tingkat suku bunga 16%
per tahun, dan kredit umum yang dalam hal ini dihitung menggunakan suku bunga 28% per
tahun.

Khusus untuk skim kredit KKPA dan kredit komersil diberikan grace period selama satu
tahun atau tiga bulan, sebagai masa konstruksi.

Varietas ubi kayu yang digunakan adalah varietas unggul dengan produksi rata-rata per
hektar per tahun sekitar 35 ton.

KEBUTUHAN MODAL USAHA

Dalam analisis ini dibedakan atas biaya investasi untuk kegiatan pra-operasi untuk
keperluan sertifikasi lahan (yang mungkin masih diperlukan) yang biasanya diminta oleh
pihak Bank sebagai jaminan pinjaman, dan modal kerja untuk kegiatan penanaman ubi
kayu (persiapan lahan, pengadaan sarana produksi, tanam dan pemeliharaan tanaman).
Oleh karena proyek yang akan dikembangkan ini akan memanfaatkan pendekatan Proyek
Kemitraan Terpadu (PKT), maka dalam perhitungan biaya dimasukkan management fee
sebesar 3,5% untuk skim KUT dan 5% untuk skim kredit tainnya. Rincian kebutuhan
pembiayaan menjadi sebagai berikut :

a. Biaya Pra-operasi :

- Sertifikasi Tanah Rp 300.000,00

ditambah management fee

b Modal Kerja Untuk Pembiayaan Pertamanan :

- Persiapan Lahan Rp 468.000,00

- Penanaman Rp 245.000,00

- Pemeliharaan Tanaman Rp 2.124.000,00

----------------------- +

Jumlah Modal Kerja (Per Tahun) Rp 2.837.000,00

Ditambah dengan management fee

Page
17
SUMBER DANA

Sumber dana untuk membiayai proyek ini diperhitungkan dari kredit perbankan. Petani
pengusaha kecil dipandang hanya memiliki tanah yang dalam proyek ini tidak
diperhitungkan sebagai salah satu komponen modal dalam analisis finansial. Kredit Bank
yang dipergunakan dianalisa berdasarkan 3 alternatif, masing-masing menggunakan skim
KUT dengan tingkat suku bunga 10,5% pertahun, skim KKPA dengan tingkat suku bunga
16% per tahun dan skim kredit umum yang dalam analisis ini dipergunakan suku bunga
28% per tahun.

Untuk penggunaan KUT, keperluan mendapatkan kredit tidak disertai biaya pra-operasi
untuk pembuatan sertifikat tanah, dan analisis finansial hanya akan mengikutsertakan KUT
sebagai kredit modal kerja. Sedangkan untuk skim KKPA dan Kredit Umum, diperhitungkan
biaya pembuatan sertifikat tanah untuk keperluan penyediaan jaminan bagi Bank.
Pembebanan biaya sertifikasi tanah sebesar Rp. 300.000,- ditambah keperluan manajemen
sebesar 5% akan dipandang sebagai pengeluaran investasi yang pelunasannya akan
diangsur mulai panen tahun ke-1 (grace period 1 tahun). Untuk ini kredit perlu ditambah
dengan IDC (bunga dalam masa pembangunan). Bunga selama masa tenggang (IDC)
dikapitalisasikan sebagai pokok pinjaman dengan tingkat sub bunga yang sama dengan
pokok pinjaman, kecuali skim KKPA yakni 16% per tahun. Rincian kebutuhan modal per
hektar tanaman ubi kayu berdasarkan sumber dana menjadi sebagai berikut :

a. Penggunaan KUT

- Jumlah Biaya Efektif :

Modal Kerja Pertanaman Rp 2.837.000

Management Fee (3,5%) Rp 32.393

------------------- +

Total Modal Kerja Rp 2.869.393

- Sumber Dana

Modal Sendiri Rp 1.943.893

Kredit Bank (KUT) Rp 925.500

Jumlah kredit bank sebesar Rp 925.500 per hektar merupakan jumlah yang sementara ini
ditapkan oleh Departemen Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan c.q. Sekretariat Bimas, Badan
Pengendali Bimas. Ini berarti bahwa apabila Petani menggunakan KUT, kekurangan biaya
yang diperlukan untuk budidaya sebesar Rp. 1.943.893 harus bisa disediakan sendiri oleh
Petani. Di antara kebutuhan biaya tersebut termasuk Rp. 1.554.000 untuk 259 HOK tenaga

Page
18
kerja, yang pada umumnya bisa dipenuhi sendiri oleh keluarga tani. KUT biasanya
dipergunakan terutama untuk sarana produksi seperti pupuk, bibit, obat-obatan dan
lainnya. Sedangkan kekurangannya yang berupa tenaga kerja, diusahakan untuk bisa
dipenuhi sendiri oleh Petani terutama dalam kegiatan penyiapan lahan dan pemeliharaan
tanaman.

b. Penggunaan Kredit Bank :

- Pra-operasi

Biaya Sertifikasi Tanah Rp 300.000

Management Fee (5%) Rp 15.000

------------------- +

Total Investasi Rp 315.000

- Modal Kerja Efektif

Persiapan Lahan Rp 2.837.000

Management Fee (5%) Rp 141.850

------------------- +

Total Modal Kerja Efektif Rp 2.978.850

-------------------- +

- Jumlah kredit yang diperlukan Rp 3.293.850

Kredit Bank Menjadi :

Apabila Menggunakan KKPA

Pokok Pinjaman Rp 3.293.850

IDC Rp 306.137

Page
19
-------------------- +

Total Kredit (KKPA) Rp 3.599.987

Apabila menggunakan kredit lain dengan Perhitungan Tk. Bunga 28%

Pokok Pinjaman Rp 3.293.850

IDC Rp 637.282

-------------------- +

Total Rp 3.931.132

IDC diperhitungkan berdasarkan tahapan penarikan per-triwulan, dengan tingkat


Bunga 14% per tahun bagi KKPA.
Uraian secara rinci kebutuhan modal per hektar tanaman ubi kayu berdasarkan sumber
dana disajikan dalam Tabel Biaya Budidaya (Tabel la, lb, dan lc). Sedangkan perincian
kebutuhan tenaga dan sarana untuk masing-masing kegiatan dapat dilihat pada Tabel
Biaya Pemeliharaan (2, 3 dan 4). Management fee diperlukan untuk keperluan
kegiatan pembinaan yang dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra. Sedangkan dengan
penggunaan KUT, pembinaan dilaksanakan oleh pihak Bimas dan para PPL (Penyuluh
Pertanian Lapangan).

KELAYAKAN FINANSIAL

Pendekatan yang umum digunakan untuk melihat kelayakan proyek dari segi finansial
adalah dengan menggunakan kriteria investasi yang meliputi proyeksi arus kas, proyeksi
rugi laba, Net Present Value (NPV), dan Benefit Cost Ratio (B/C). Nilai IRR tidak
dihitung untuk usaha budidaya tanaman semusim yang hanya memerlukan modal kerja dan
hasil panennya pada tahun itu langsung memberikan pendapatan pada tahun itu juga,
kecuali apabila ada pengeluaran yang berupa investasi untuk dimulainya proyek itu (Tabel
Arus Kas)

Kelayakan Finansial Apabila Menggunakan KUT

Khusus untuk budidaya ubi kayu dengan menggunakan KUT sebagai modal kerja,
perhitungan kelayakan finansial dibuat dengan sistem pengembalian kredit pada tahun yang
sama, akhir masa turn over project (1 tahun). Untuk analisis kegiatan usaha selama 5
tahun menunjukkan dicapainya nilai NPV Rp. 3.583.022 (tingkat bunga 10,5%) dengan B/C
= 2,25. Dari hasil panen, setelah dipergunakan untuk pelunasan pokok pinjaman,
pembayaran bunga, dan pajak, petani pada akhir tahun diharapkan masih akan dapat
menerima pendapatan bersih sebesar Rp. 1.699.200 per 1 ha lahan budidaya.

a. Kelayakan Finansial Menggunakan KKPA

Page
20
Apabila menggunakan KKPA dengan pembiayaan sertifikasi lahan sebagai investasi, analisis
usaha untuk waktu 5 tahun sebelum pembayaran pajak menghasilkan nilai NPV Rp.
4.119.850 / ha dengan B/C (gross) = 1,46. IRR dihitung dengan memandang investasi
berupa pembiayaan Rp. 300.000/ha untuk pembuatan sertifikat tanah dalam rangka
mendapatkan kredit Bank, menunjukkan nilai IRR 43,5% sampai akhir tahun ke-5.

Kredit investasi dan modal kerja tahun pertama direncanakan agar dapat dilunasi pada
akhir tahun ke-5. Pendapatan bersih petani (di luar upah kerja apabila pekerjaan lapangan
dilakukan sendiri), akan berkisar Rp. 333.140/ha/th pada tahun pertama, yang akan naik
pada tahun ke-2, ke-3, ke-4, sampai pada tahun ke-5 mencapai sekitar Rp. 747.858/ha/th.
Pendapatan bersih ini setelah pembayaran pajak dan keperluan tanam berikutnya, akan
menjadi lebih dari Rp. 1.571.535ha/th setelah kredit lunas pada akhir tahun ke-5.

b. Kelayakan Finansial Apabila Menggunakan Kredit Umum (Dengan tingkat suku


bunga 28%)

Dengan menggunakan kredit umum, yang apabil tingkat suku bunga dipergunakan 28%,
analisis usaha budidaya ubi kayu ini untuk waktu 10 tahun memberikan pendapatan
(setelah pembayaran pajak) dengan nilai NPV = Rp. 1.434.259 dengan B/C (gross) 1,36.
Nilai ini lebih kecil sedikit apabila menggunakan KKPA, akibat dipergunakannya kredit
dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Nilai IRR = 40,5% (setelah diperhitungkan pajak)
sampai akhir tahun ke-10.

Tabel arus dana (cash flow) yang mempertimbangkan penggunaan dana pinjaman bank,
apabila menggunakan tingkat bunga 28% akan dapat diperhitungkan lunas selama 7 tahun.
Setelah angsuran pelunasan dan pembayaran pajak serta penyediaan modal kerja tahun
berikutnya, petani dari setiap ha lahan usaha akan menerima pendapatan bersih rata-rata
Rp. 302.341/th. Selama 5 tahun pertama, yang akan naik menjadi Rp. 726.903/th dan Rp.
868.424/th pada tahun ke-6 dan ke-7. Di samping pendapatan ini, petani masih akan
menerima pendapatan upah kerja apabila melakukan sendiri pekerjaan lapangan. Setelah
kredit lunas pada akhir tahun ke-7, pendapatan petani akan menjad lebih dari Rp.
1.571.535/ha/th. Penyediaan modal kerja untuk tahun berikutnya, diambil terlebih dahulu
dari hasil setiap panen untuk memungkinkan kontinuitas kegiatan usaha.

SOSIAL EKONOMI
MANFAAT SOSIAL EKONOMI

Proyek Kemitraan Terpadu budidaya ubi kayu ini akan membutuhkan tenaga kerja
setidaknya 78 HOK untuk pekerjaan persiapan lahan, 20 HOK untuk pekerjaan
penanaman, dan masing-masing 76 HOK untuk pekerjaan pemeliharaan tanaman serta
85 HOK pada waktu panen per hektar budidaya tanaman.

b.Keberadaan Proyek Kemitraan Terpadu budidaya ubi kayu diharapkan akan


merangsang masyarakat untuk penciptaan bidang usaha lainnya sebagai pengaruh ganda
(multiplier effect).

Page
21
MANFAAT REGIONAL

Dari sudut pengembangan wilayah, keberadaan proyek akan menjadi salah satu pusat
kegiatan perekonomian subsektor tanaman pangan yang tentunya akan memberikan
dampak positif bagi perkembangan kegiatan pembangunan wilayah.

Keberhasilan usaha budidaya ubi kayu akan meningkatkan pendapatan daerah. Pajak
yang diperoleh dari hasil usaha setiap tahunnya merupakan kontribusi yang cukup besar
bagi usaha menunjang pembangunan daerah pada umumnya.

Ubi kayu merupakan bahan baku utama untuk industri tapioka dan manihok yang
diandalkan sebagai komoditas ekspor, sehingga dengan demikian akan memberikan
kontribusi bagi pendapatan devisa negara.

Ubi kayu juga dapat merupakan bahan baku bagi home industri seperti industri kerupuk
dan makanan lainnya.

Karena ubi kayu relatif mudah dibudidayakan pada lahan-lahan kering dan memiliki
ketahanan yang baik terhadap kekeringan, maka usaha ini merupakan alternatif yang
bisa ditempuh bagi para petani untuk meningkatkan pendapatannya di daerah yang tidak
ada pengairan.

DAMPAK LINGKUNGAN
Pembahasan dampak kegiatan proyek terhadap komponen lingkungan dalam laporan ini
hanya menyajikan dampak negatif secara umum yang diprakirakan akan terjadi. Analisis
yang ditampilkan hanya secara deskriptif, karena data kuantitatif tidak tersedia.

DAMPAK TERHADAP KOMPONEN LINGKUNGAN FISIK

Dampak kegiatan budidaya ubi kayu terhadap lingkungan fisik disebabkan oleh kegiatan
budidaya tanaman yang bersifat mono kultur. Dampak budidaya tanaman yang berskala
besar terhadap lingkungan fisik diantaranya adalah meningkatnya laju erosi tanah
(terutama pada tahap konstruksi/persiapan lahan) dan menurunnya tingkat kesuburan
tanah pada tahap pasca konstruksi sebagai akibat dari pembudidayaan yang kurang
intensif. Penurunan kesuburan tanah terutama disebabkan oleh rakusnya tanaman ini
terhadap unsur hara tanah jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Besarnya dampak
penurunan kesuburan tanah ini masih digolongkan tidak penting, karena skala usaha
proyek ini hanya 25 ha untuk satu kelompok tani. Penggunaan pupuk organik dan setiap
habis panen mengembalikan kembali cacahan sisa tanaman, merupakan upaya untuk
mempertahankan struktur tanah yang baik, disamping pemberian pupuk buatan untuk
menjaga kesuburan lahan.

Kendati pun dampak kegiatan budidaya ini berdampak tidak penting terhadap komponen
lingkungan fisik, namun untuk menghindari terjadi akumulasi dampak (bahkan jika
dikembangkan dalam skala besar) perlu diupayakan pengelolaan lingkungannya seperti
sistem persiapan lahan yang baik, pemupukan yang tepat, dan pengelolaan sistem

Page
22
tanam yang cenderung mono kultur sepanjang tahun, namun dilakukan secara tumpang
gilir.

Diadakan rotasi tanaman, atau dipergunakannya pola tanam tumpang sari dengan
tanaman kacang-kacangan sangat dianjurkan dalam upaya menjaga kesuburan lahan.

DAMPAK TERHADAP KOMPONEN FLORA

Dampak kegiatan budidaya terhadap komponen flora hanya terjadi sebagai akibat dari
kegiatan persiapan lahan. Hilangnya ekosistem flora, terutama pada lahan hutan
primer/sekunder bisa terjadi sebagai akibat pembukaan lahan berskala besar. Oleh
karena proyek ini berskala kecil maka dampak terhadap komponen flora tergolong tidak
penting. Berdasarkan skala usaha yang akan dikembangkan dan prakiraan dampak yang
mungkin terjadi, sebagaimana diuraikan di atas, pengembangan budidaya ubi kayu pola
PKT untuk usaha kecil dan menengah tidak perlu mempersyaratkan analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL)

KESIMPULAN

a. Peluang pasar komoditas yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan bakunya,
seperti tepung tapioka dan gapiek, baik untuk ekspor ataupun untuk keperluan
dalam negeri masih terus terbuka, sehingga secara tidak langsung memberikan
peluang bagi diadakannya pengembangan dan peningkatan produksi ubi kayu
pada umumnya di Indonesia.
b. Secars teknis, sumber daya lahan dan sumber daya manusia untuk
pengembangan produksi ubi kayu di Indonesia masih banyak tersedia di berbagai
wilayah, terutama di daerah-daerah lahan kering Luar Jawa.
c. Beberapa kendala yang dihadapi oleh para petani dalam pengembangan budidaya
ubi kayu adalah masalah penyertaan modal, penyediaan saprodi, pemasaran hasil
dan keadaan harga jual umbi pada waktu panen yang sering tidak menguntungkan
petani. Hal ini menjadi perhatian dalam mempertimbangkan pengamanan
pemberian kredit dari pihak Bank kepada petani, yang hasilnya dilaporkan dalam
bentuk Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu (MK-PKT) Usaha Budidaya Ubi
Kayu.

d. Kebutuhan biaya dan besarnya kredit yang diperlukan petani untuk setiap ha
lahan usaha adalah sebagai berikut :

 Penggunaan KUT

Modal kerja/tahun Rp. 2.869.393

Page
23
Dana sendiri/tahun Rp. 1.943.893

KUT/tahun Rp. 925.500

NPV Rp. 3.583.022

(untuk selama 5 tahun)

Bross B/C 2,25

 Penggunaan KKPA

Pokok pinjaman Rp. 3.293.850

IDC Rp. 306.137

NPV Rp. 4.119.850

(untuk selama 5 tahun)

Gross B/C 2,14

Kredit lunas pada akhir tahun ke-5

 Penggunaan Kredit Lain (Apabila Dengan Tk. Bunga 28/o/Tahun)

Pokok pinjaman Rp. 3.293.850

IDC Rp. 637.282

NPV Rp. 1.434.259

(untuk selama 5 tahun)

Gross B/C 1,36

Kredit lunas pada akhir tahun ke-7.

Page
24
Berdasarkan analisis finansial, pemberian KUT, KKPA ataupun skim kredit lainnya
(sampai dengan tingkat bunga 28%), terlihat masih memiliki landasan kelayakan
finansial apabila pelaksanaan usahanya menggunakan Pola Kemitraan Terpadu seperti
dibahas dalam Model Kelayakan ini.

SARAN-SARAN

a. Untuk penggunaan Pola Kemitraan Terpadu ini, antara Petani Plasma dengan Mitra
Usaha Besar sebagai Perusahaan Inti yang akan membeli hasil ubi kayu para Petani
Plasma, hendaknya dibuat Nota Kesepakatan tertulis yang isinya mengatur
kerjasama antara keduanya dengan berdasarkan kedudukan hukum dan
kepentingan serta dapat memberikan saling keuntungan yang sama antara kedua
belah pihak.
b. Untuk menjaga kelestarian lahan dan keberlanjutan usaha, aspek teknis budidaya
ubi kayu ini agar mendapatkan perhatian dengan menyertakan pemberian pupuk
organik di samping pupuk anorganik (seperti urea) dan mengembalikan sisa-sisa
tanaman ke dalam tanah. Diadakannya tumpangsari dengan tanaman kacang-
kacangan atau diadakannya rotasi bergilir dengan tanaman lain, akan dapat
membantu mencegah terkurasnya unsur hara tanah.
c. Guna mencegah biaya angkut yang tinggi, proyek pengembangan budidaya ubi
kayu sebaiknya dilaksanakan pada lokasi yang tidak jauh di sekitar Pabrik
Pengolahan ubi kayu atau gudang pengumpulan gapiek milik mitra Pengusaha
Besar yang bersangkutan.
d. Untuk mengantisipasi fluktuasi harga jual ubi kayu hasil panen petani, jadual dan
luas tanam sebaiknya disesuaikan dengan permintaan dari Perusahaan mitra
pengguna ubi kayu tersebut.

Sumber : www.bi.go.id

Page
25

Anda mungkin juga menyukai