Anda di halaman 1dari 5

Pembayaran Kapitasi Sejarah singkat Cara pembayaran kapitasi sesungguhnya sudah lama digunakan di Eropa, jauh sebelum HMO

(Health Maintenance Organization), yang kita tiru di Indonesia dengan nama JPKM, menggunakan sistem pembayaran kapitasi di Amerika. Sistem asuransi kesehatan sosial di Belanda telah lebih dahulu membayar dokter keluarga dengan cara pembayaran kapitasi untuk sejumlah orang yang menjadi tanggung-jawab dokter keluarga. Di Jerman, asosiasi asuransi kesehatan sosial sesungguhnya membayar kapitasi kepada asosiasi dokter di suatu wilayah dengan cara kapitasi. Dalam sistem pembayaran kapitasi di Jerman, asosiasi dokter (semacam ikatan dokter) mendapat dana dari badan asuransi kesehatan sosial berdasarkan jumlah orang yang akan dilayani di wilayah dimana para dokter bergabung dalam asosiasi. Misalnya, di wilayah X ada 200.000 orang dan disepakati bahwa tiap orang mendapat pembayaran kapitasi, katakanlah, Euro 100 setahun; maka asosiasi dokter akan mendapatkan dana 200.000 x Euro 100 atau Euro 20 juta per tahun. Dana Euro 20 juta ini nantinya dikelola asosiasi dokter kepada para anggotanya dengan cara JPP. Tetapi yang mengendalikan dana bukannya badan asuransi, para dokter itu sendiri yang menjadi pengurus asosiasi yang akan membagikan dana Euro 20 juta kepada anggotanya. Di Eropa, hampir semua upaya asuransi kesehatan dilakukan dalam bentuk asuransi kesehatan sosial yang sejumlah prosentase tertentu dari gaji/upahnya. Penyelenggaranya adalah badan asuransi, yang bukan perusahaan asuransi yang mencari untung. Badan asuransi tersebut tidak mencari untung (nirlaba) dan karenanya lebih transparan dalam manajemen dan memiliki anggota hampir seluruh penduduk. Di Amerika, upaya asuransi kesehatan didominasi dengan sistem asuransi kesehatan komersial yang berupa jual-beli, baik dalam bentuk managed care seperti HMO maupun dalam bentuk asuransi kesehatan tradisional. Di Amerika pembayaran kapitasi lebih dikenal setelah Amerika mengeluarkan UU HMO di tahun 1973 yang mendorong pembayaran kapitasi dari HMO kepada dokter dalam praktek grup dan perorangan (HIAA, MC A; Kongsvedt, 19964 ;Bolan,).5 Namun demikian, pembayaran kapitasi kepada perorangan dokter praktek tidak berjalan di Amerika, karena jumlah orang yang membeli asuransi HMO tidak banyak. Kebanyakan asuransi kesehatan yang dijual di Amerika adalah asuransi kesehatan tradisional yang membayar fasilitas kesehatan dengan JPP. Karena kondisi yang seperti itu, maka pembayaran kapitasi di Amerika tidak berjalan sebaik pembayaran kapitasi di Eropa. Hakikat pembayaran kapitasi Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Di Amerika, ada keharusan bahwa HMO merupakan badan penanggaung risiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi penuh kepada fasilitas kesehatan tidak berarti bahwa fasilitas kesehatan akan menanggung segala risiko katastropik.6 Ada mekanisme stop loss dalam kontrak kapitasi penuh. Artinya, kalau ternyata jumlah orang yang berobat jauh lebih tinggi dari yang diperhitungkan atau disepakati dimuka, maka HMO tetap bertanggung-jawab menambah dana kepada fasilitas kesehatan yang dibayar secara kapitasi. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal ini belum

diatur, mengingat sifat alamiah fasilitas kesehatan bukanlah risk bearer, maka mekanisme stop loss haruslah juga diberlakukan, jika nanti cara pembayaran kapitasi ini diterapkan. Hal ini sangat penting dalam menjaga kesinambungan kontrak kapitasi. Mekanisme pembayaran cara kapitasi ini merupakan cara meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu asuransi, maupun pemerintah. Secara teoritis, pada situasi pasar kompetitif, fasilitas kesehatan akan memasang tarif sama dengan tarif rata-rata di pasar (average market cost). Di semua negara hal ini tidak terjadi karena mekanisme pasar tidak berlaku dalam pelayanan kesehatan. Di banyak negara Eropa, Asia, Amerika, dan Australia pemerintahlah yang menentukan tarif, karena kegagalan mekanisme pasar. Pada pasar monopoli atau oligopoli, fasilitas kesehatan dapat menetapkan harga diatas average cost. Dalam prakteknya, jika tidak ada pengaturan pemerintah fasilitas kesehatan secara virtual selalu berada dalam kondisi pasar monopoli/oligopoli. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, fasilitas kesehatan akan menekan biaya hingga paling tidak biaya per unit pelayanan yang diberikan sama atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian fasilitas kesehatan akan menekan jumlah kunjungan sehingga revenue akan sama dengan atau lebih besar dari revenue jika ia harus melayani pasien dengan cara pembayaran JPP. Cara menghitung biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk Indonesia saat ini barangkali data yang tersedia masih sangat terbatas. Tambahan, banyak fasilitas kesehatan (health care provider) dan badan asuransi yang juga tidak memiliki informasi yang cukup untuk bisa menghitung besar pembayaran kapitasi yang memuaskan kedua belah pihak. Oleh karenanya, perlu dilakukan usaha bersama untuk menghimpun informasi yang akurat, agar baik fasilitas kesehatan maupun badan asuransi sama-sama menanggung risiko dan insentif finansial yang memadai. Jika pembagian risiko dan insentif tidak memadai maka di masa datang akan banyak timbul konflik-konflik yang mengancam kesinambungan pembayaran kapitasi. Langkah-langkah menghitung biaya kapitasi adalah sebagai berikut (Thabrany, 2001): 1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup dalam pembayaran kapitasi 2. Menghitung angka utilisasi dalam satuan jumlah pengguna per 1.000 populasi yang akan dibayar secara kapitasi 3. Mendapatkan rata-rata biaya per jenis pelayanan untuk suatu wilayah 4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap jenis pelayanan 5. Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan.

Tabel : Contoh perhitungan kapitasi sebuah Perusahaan HMO di AS (dikutip dari Steenwyk, 1989)

Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan secara luas, fasilitas kesehatan yang bersifat memaksimalkan laba dapat melakukan hal-hal sebagai berikut (Thabrany, 2001):8 Reaksi positif Kapitasi 1. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini, pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke fasilitas kesehatan untuk konsultasi atau tindakan lebih lanjut yang menambah biaya. Taktik ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang berupaya mendapatkan keuntungan jangka pendek 2. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidens kesakitan. Apabila angka kesakitan baru menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke fasilitas kesehatan yang akan menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih kecil. Strategi ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Strategi ini hanya bisa dilakukan pada situasi ada pembayar pihak ketiga tunggal atau beberapa pembayar (misalnya asuransi kesehatan atau pemerintah). 3. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JK sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik untuk mencari keuntungan jangka pendek maupun jangka panjang dan jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana fasilitas kesehatan sulit mencari pasien/langganan baru. Reaksi negatif

1. Jika kapitasi yang dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan primer, rawat jalan rujukan dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih cepat dan risiko finansial menjadi lebih kecil. Dengan demikian, fasilitas kesehatan primer dan sekunder dapat mengantongi surplus jangka pendek yang dikehendaki. 2. Fasilitas kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan JPP yang "dinilai" membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak pembayar ketiga pada akhirnya dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier menjadi lebih mahal. 3. Fasilitas kesehatan dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan anggota atas pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil menambah surplus kepada fasilitas kesehatan, tetapi untuk jangka panjang hal ini akan merugikan fasilitas kesehatan itu sendiri. Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai reaksi negatif prilaku fasilitas kesehatan yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran JPP adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan pasien. Di Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO di mana keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat tinggi, penelitian eskperimental dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak menunjukkan adanya penurunan mutu pelayanan pada HMO yang membayar kapitasi akan tetapi terdapat efisiensi sampai 30% (Rand, 1993).9 Keseimbangan informasi antara fasilitas kesehatan dan badan asuransi merupakan kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer risiko tidaklah berarti bahwa fasilitas kesehatan harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer risiko dengan pembayaran kapitasi menempatkan fasilitas kesehatan pada risiko fluktuasi utilisasi yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada fasilitas kesehatan untuk menghindari moral hazard. Karena rentang risiko kapitasi bagi fasilitas kesehatan adalah fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada fasilitas kesehatan untuk melakukan usahausaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi haruslah diketahui bersama. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara badan asuransi dan fasilitas kesehatan harus cukup memadai agar besaran pembayaran kapitasi tidak menyebabkan salah satu pihak menderita kerugian sistematis. Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak diperlukan untuk dua hal. Pertama, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan asuransi dan fasilitas kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah pas, pada titik optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan fasilitas kesehatan. Telaah utilisasi dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi

dan fasilitas kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan mana yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang kurang memadai memang terjadi. Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting yang secara periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini, sehingga badan asuransi dan fasilitas kesehatan sama-sama mengetahui besarnya risiko yang ditransfer dari badan asuransi ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, maka besaran kapitasi menjadi fair (adil). Pembayaran kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan menghasilkan status kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan hubungan badan asuransi dan fasilitas kesehatan. Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, badan asuransi dan fasilitas kesehatan harus sama-sama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam fasilitas kesehatan dan di luar fasilitas kesehatan. Di dalam suatu fasilitas kesehatan terjadi variasi utilisasi dari waktu ke waktu dan dari suatu kelompok penduduk ke kelompok penduduk lain. Sementara di antara berbagai fasilitas kesehatan terjadi juga variasi yang sama. Besaran pembayaran kapitasi dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar fasilitas kesehatan, bukan hanya variasi yang terjadi di dalam suatu fasilitas kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan salah pengertian jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Besarnya pembayaran kapitasi dengan penyesuaian terhadap besarnya risiko yang harus ditanggung oleh suatu fasilitas kesehatan atau suatu kelompok fasilitas kesehatan (adjusted capitation rate) dapat dilakukan untuk lebih menjamin keadilan di antara fasilitas kesehatan. Namun hal ini tidak didasarkan atas variasi utilisasi di dalam suatu fasilitas kesehatan, akan tetapi atas dasar variasi risiko kelompok suatu fasilitas kesehatan yang berbeda dengan risiko rata-rata anggota seluruhnya.

Anda mungkin juga menyukai