Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ANTONIO GRAMSCI
Ringkasan dari Buku DALAM BAYANG-BAYANG LENIN
PENGANTAR Antonio Gramsci adalah teoritisi Marxis Italia. Seperti halnya Georg Lukacs dan Karl Korsch, usaha Gramsci untuk memperbarui pengertian Marxisme bertolak dari pengertiannya sebagai filsafat praxis. Berbeda dari mereka, Gramsci adalah juga seorang pemimpin buruh dan pernah memimpin Partai Komunis Italia (PCI). Gramsci rajin menulis di pelbagai media sosialis. Akan tetapi pemikirannya yang paling menarik termuat tersebar dalam ribuan catatan di penjara yang ditulis diatas carik-carik kertas lepas selama ia dipenjara. Baru sejak tahun 50-an catatan-catatan itu mulai diedit dan sejak itu Gramsci semakin diakui sebagai pemikir Marxis yang sekaligus menantang pengertian Marxisme yang biasa.
PEMIKIRAN GRAMSCI 1. Kritik terhadap paham Saintistik Materialisme Sejarah Kritik ini diarahkannya terhadap buku karangan Nikolai Bukharin, seorang anggota politburo Uni Soviet, dengan judul Teori Materialisme Historis: Buku Pegangan Sosiologi Populer. Selain menjelaskan ajaran Marxisme dan Leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, Bukharin juga banyak memakai paham-paham sosiologi kontemporer untuk menunjukkan bahwa materialisme historis merupakan sebuah sosiologi tentang proletariat dengan kepastian ilmiah. Ada lima unsur dalam kritik Gramsci yang cukup menarik: a) Gramsci sudah berkeberatan dengan maksud dasar buku itu, yaitu untuk membuat proletariat memahami pokok-pokok ajaran komunisme. Buku itu mau membentuk kesadaran komunis yang betul dalam proletariat, tetapi menurut Gramsci tugas kaum intelektual bukanlah menyampaikan ide-ide mereka yang sudah jadi, seakan-akan dari atas, kepada masyarakat, melainkan ia seharusnya bertolak dari apa yang sedang dipercayai dan diyakini oleh masyarakat itu sendiri, di sini oleh proletariat.
b) Gramsci tidak hanya menolak penyampaian sebuah teori dari atas kepada massa. Lebih radikal lagi, ia menolak bahwa ada teori objektif yang benar pada dirinya sendiri. Sebuah teori selalu hanya benar sejauh mengungkapkan apa yang sedang dialami oleh kelas sosial yang bersangkutan. Dengan kata lain, teori tidak dapat dilepaskan dari praxis. Teori dan praxis merupakan suatu kesatuan dimana teori merumuskan dalam konsep-konsep apa yang dirasakan sebagai kebutuhan dan dorongan oleh masyarakat. Menurut Gramsci tidak ada kebenaran objektif, lepas dari perjuangan kelas yang sedang berlangsung. Sebuah teori adalah benar sejauh mengungkapkan
perkembangan nyata pada zamannya. c) Gramsci juga menolak materialisme yang menurut Engels dan Lenin merupakan pandangan dasar Marxisme. Dalam pandangan Gramsci materialisme sama saja dengan sebuah kepercayaan seperti agama. Agama menyatakan bahwa yang ada permulaan adalah Allah. Materialisme hanya menggantikan Allah dengan materi. d) Gramsci juga menyangkal manfaat kerangka pikiran Basis-Bangunan Atas. Pernyataan dasar materialisme historis bahwa proses sejarah mengungkapkan diri secara primer dalam dimensi ekonomis tidak mempunyai arti. Secara konsekuen Gramsci menyangkal bahwa jalan sejarah sudah pasti, sudah terdeterminasi. Ia juga menolak bahwa kebudayaan ditentukan oleh hubungan-hubungan produksi. Pandangan seperti itu baginya fatalistic, deterministic. Dan karena itu Gramsci juga menolak anggapan bahwa alam pemikiran sekadar berupa bangunan atas dari struktur kekuasaan ekonomis. Bahkan membedakan antara bangunan atas dan basis tidak mempunyai arti. e) Gramsci juga berbeda pendapat dengan Bukharin tentang makna dan manfaat filsafat. Bagi Bukharin filsafat adalah analisis teoritis atas dasar ilmu-ilmu alam. Bagi Gramsci filsafat muncul dalam dua bentuk: dalam pemikiran kaum intelektual dan dalam bentuk akal sehat masyarakat. Dalam dua bentuk itu filsafat mengangkat kondisi-kondisi kultural objektif sosialisme ke dalam dimensi cita-cita dan pemikiran, sehingga menjadi potensial untuk dinyatakan dalam tindakan praktis. Filsafat membuka cakrawala tindakan yang akan mengubah masyarakat. Karena itu, dalam memperjuangkan impian sosialisme, yang menentukan adalah kehendak, yaitu tekad dan kegiatan praktis politis untuk mewujud nyatakan impian itu. Filsafat itu dapat kita sebut organik, sejauh tidak berupa pelbagai pikiran seenaknya, melainkan mengungkapkan apa yang secara historis merupakan kemungkinan nyata.
2.
Hegemoni dan Blok Historis Dimana letak kekuatan Borjuasi? Borjuasi merebut kekuasaan nyata dalam
masyarakat Barat yang majemuk karena semua dimensi kehidupan dan kecenderungan historis masyarakat seakan-akan ditanggapi dan dipenuhi olehnya. Gramsci menyebut konstelasi itu blok historis. Blok historis adalah kesatuan dialektis antara semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial sebuah masyarakat sedemikian rupa, sehingga saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, disini kelas borjuasi. Tanda blok historis adalah keselarasan antara tiga unsur: unsur ekonomis, unsur politis, dan unsur militer. Kekuasaan borjuasi tidak hanya berdasarkan pemilikan modal, melainkan penguasaan negara yang memiliki alat-alat represif untuk perlawanan. Karena itu, apabila kelas buruh mau melakukan revolusi, faktor-faktor seperti kemampuan untuk mengancam, untuk memaksakan dan lain sebagainya harus diperhatikan juga. Kelas yang memimpin blok historis harus mengembangkan sebuah pandangan dunia dan sistem nilai yang menjadi milik seluruh masyarakat, atau sekurang-kurangnya milik semua kelas penting. Dengan kata lain, kelas itu harus mencapai hegemoni intelektual, moral dan politik. Di satu pihak, hegemoni borjuasi bagi akal sehat masyarakat kelihatan masuk akal, biasa, mudah dimengerti, barang tentu. Di lain pihak setiap kelas yang mencapai hegemoni melahirkan juga sebuah golongan intelektual kaum intelektual organik dalam pengertian Gramsci- yang mendukung kedudukan hegemonial kelas itu melalui refleksi intelektual filosofis.
3.
Mematahkan Hegemoni Borjuasi Dengan demikian menjadi jelas bahwa kelas buruh tidak dapat mengharapkan
merebut kekuasaan begitu saja melalui sebuah revolusi politik. Kelas buruh hanya dapat merebut kekuasaan, apabila ia sebelumnya sudah merebut hegemoni kultural. Jadi,
sebelum kelas buruh dapat mengambil alih kekuasaan politik, kelas-kelas lain harus telah mengambil alih pandangan dunia dan sistem-sistem nilai kelas buruh. Dengan kata lain, untuk mencapai hegemoni, pandangan dunia, nilai-nilai, dan harapan-harapan kelas buruh harus menjadi milik seluruh masyarakat, dengan menyingkirkan pandangan dunia, nilai-nilai dan harapan-harapan borjuasi. Dengan
memperoleh hegemoni sebelum revolusi, blok historis pasca revolusi telah terbentuk 3
sebelum kapitalisme runtuh dan transisi ke sosialisme kemudian dapat berjalan dengan lancar. Hegemoni proletariat lantas betul-betul universal, bukan hanya universal semu seperti hegemoni borjuasi. Dengan demikian kesatuan umat manusia tercapai. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Gramsci dengan memakai gambaran perang. Ada dua macam perang, yaitu perang gerak dan perang posisi. Marxisme klasik seakan-akan hanya melihat yang pertama, yaitu revolusi. Tetapi, perang gerak yang terdiri atas gerak menyerang hanya akan berhasil apabila posisi pasukan sudah mantap. Karena itu memantapkan posisi pasukan tidak kalah penting dengan perang gerak. Perebutan hegemoni kultural adalah mirip perang posisi. Perang posisi bisa terasa membosankan; orang bisa mendapat kesan bahwa tidak terjadi apa-apa, tetapi sebenarnya kekuatan lawan sedang digerogoti dari dalam. Dalam hubungan ini Gramsci menyerang teori revolusi permanen Trotsky. Revolusi permanen bagaikan perang gerak terus-menerus tanpa memperhatikan posisi. Daripada revolusi permanen perlu diusahakan hegemoni sipil. Apakah hegemoni borjuasi dapat dipatahkan? Jawaban Gramsci adalah mengiyakan. Alasannya adalah bahwa konsensus antara kelas-kelas sosial yang memberikan kemantapan kepada masyarakat borjuis adalah semu. Tatanan sosial dengan hegemoni borjuasi hanya pura-pura bernilai universal. Sebenarnya apa yang nampak sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat, yaitu agar tatanan kapitalistik berlangsung terus, hanyalah kedok kepentingan khusus borjuasi. Dalam kenyataan eksploitasi kelas-kelas bawah berjalan terus. Karena itu, apabila hal itu mulai disadari, jadi apabila hegemoni moral borjuasi dipatahkan, kekuasaannya dapat dipatahkan juga. Oleh karena itu kelas buruh memerlukan kaum intelektual. Untuk mengalahkan borjuasi, kelas buruh harus melahirkan kaum intelektualnya sendiri. Sebenarnya menurut Gramsci setiap orang adalah intelektual sejauh memiliki pelbagai tingkat kegiatan intelektual spesifik. Maksudnya, setiap orang, dengan berpartisipasi dalam masyarakat sipil, dengan sendirinya telah membawa sebuah konsepsi dunia yang termuat dalam bahasa masyarakat sendiri, dalam akal sehat dan dalam agama rakyat. Sebetulnya setiap kelas sosial melahirkan lapisan kaum intelektualnya sendiri. Namun pada umumnya, karena kekhasan kegiatan intelektual, mereka cenderung mengisolasikan diri dari masyarakat dan membentuk sebuah lapisan tersendiri yang mengambang di atas masyarakat. Itu lah kaum intelektual tradisional. Dari mereka Gramsci membedakan kaum intelektual organik. Mereka itu tidak terpisah dari massa, melainkan sadar bahwa secara
organik
dihubungkan
dengan
massa.
Kaum
intelektual
organik
mengungkapkan
kecenderungan-kecenderungan objektif dalam masyarakat; mereka berpihak pada kelas buruh seperti halnya karl Marx; mereka ikut merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat. Mereka mampu mengungkapkan apa yang dialami oleh rakyat, entah dalam bahasa filsafat, atau melalui wahana sastra. Karena itu ada dua tahap dalam merebut hegemoni. Tahap persiapan jangka panjang berupa perang posisi. Untuk semakin memastikan hegemoni ideologinya, partai harus bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan lain dan memperhatikan tuntutan mereka. Dalam proses itu peran kaum intelektual sangat menentukan, karena hegemoni untuk sebagian besar diperoleh dan dimantapkan melalui pendidikan. Perlu dibentu sebuah kemauan nasional kolektif, sebuah blok rakyat nasional. Karena itu kaum intelektual tidak boleh kehilangan kontak dengan massa. Gagasan-gagasan mereka harus diuji pada akal sehat mssa rakyat. Karena hegemoni itu semakin koknsensual, hubungan antara golongan yang memimpin dan yang dipimpin menurut Gramsci bersifat demokratis. Sebaliknya, apabila partai menguasai kelas buruh, hegemoni kelas buruh tidak akan tercapai. Fokus pada kekuasaan menunjukkan bahwa pembentukan masyarakat sosialis semata-mata dipahami sebagai masalah kekuatan ekonomis dan fisik. Peran kunci unsur kultural tidak dilihat. Revolusi hanya dapat memantapkan blok historis baru dengan kelas buruh dipusatnya, apabila massa buruh sudah dibebaskan secara rohani, apabila mereka secara spiritual dewasa agar mampu mengambil alih aparat produksi ekonomi. Organ tepat kelas buruh adalah dewan-dewan buruh yang dibentuk oleh semua karyawan masing-masing perusahaan. Lenin semula juga menganggap dewan buruh (soviet) sebagai organ kekuasaan kaum buruh, akan tetapi sesudah revolusi Oktober ia membuang gagasan itu dan seluruhnya memfokuskan diri pada perebutan dan pengamatan kekuasaan dalam tangan partai. Bagi Gramsci dewan buruh tidak berarti bahwa partai tidak perlu. Partai perlu untuk pendidikan buruh dan untuk mengorganisasikan perjuangan mereka, tetapi baik partai maupun serikat buruh tidak dapat menggantikan fungsi dewan buruh. Melalui dewan-dewan itu buruh sendiri aktif dan terlibat, jadi mereka bukan objek pasif strategi sebuah partai maupun birokrasi serikat buruh. Melalui dewan-dewan itu kaum buruh mampu untuk langsung sesudah revolusi menangani pengorganisasian proses produksi dalam pabrik-pabrik yang diambil alih.
ARTI GRAMSCI Apakah Gramsci masih seorang Marxis ortodoks? Gramsci menolak anggapan Engels, Kautsky, dan Lenin bahwa Marxisme merupakan teori ilmiah tentang hukum-hukum masyarakat. Ia menolak bahwa kehancuran kapitalisme dan kemenangan sosialisme merupakan perkembangan niscaya. Ia menolak kerangka basis-bangunan atas, khususnya bahwa perkembangan alat-alat produksi merupakan faktor penentu dalam perubahan masyarakat. Ia menyangkal bahwa alam pikiran dan budaya sekadar bangunan di atas bidang ekonomi. Baginya, perubahan dalam pandangan dunia, nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat menentukan arah perubahan masyarakat dan bukan perkembangan dalam bidang ekonomi. Namun jelas sekali bahwa Gramsci seorang sosialis tulen. Ia betul-betul percaya bahwa sosialisme merupakan pola masyarakat masa depan. Ia sedikitpun tidak meragukan bahwa sosialisme adalah bentuk pengorganisasian perekonomian yang paling sesuai dengan harkat dan potensi-potensi manusia, jadi yang menjamin sebuah eksistensi yang betul-betul manusiawi. Dan meskipun ia menolak ramalan, dalam kenyataannya ia terikat pada sebuah filsafat sejarah yang memandang sosialisme sebagai tujuan akhir perjalan umat manusia. Gramsci juga yakin akan peran kunci kelas buruh dalam menciptakan masyarakat baru. Buruhlah yang akan menjatuhkan kapitalisme danmembangun sosialisme. Buruh adalah kelas masa depan. Disitu terletak keterbatasan Gramsci yang sebenarnya juga tidak mengherankan, mengingat situasi di mana ia menulis, yaitu di penjara dan sebelum tinggal landas masyarakat industri maju sesudah Perang Dunia II. Yang tidak dapat dibayangkannya ialah bahwa kelas buruh sendiri pernah tidak akan ada lagi. Sekarang di negara-negara industri maju, kelas buruh dalam arti tradisional semakin menguap, bersamaan dengan dominasi bidang pelayanan. Begitu pula globalisasi dan kesadaran akan keterbatasan daya tampung bumi, ditambah dengan kesenjangan internasional yang semakin tajam, menciptakan masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan sebuah hegemoni kelas buruh. Bahkan kita tidak dapat membayangkan apa arti hegemoni kelas buruh dalam dunia hampir 80 tahun sesudah Gramsci. Keterbatasan itu tidak mengurangi arti Gramsci sebagai pemikir yang mengembalikan pengakuan terhadap faktor budaya ke dalam khazanah Marxisme, yang tegas-tegas menolak model kepemimpinan sebuah partai di atas masyarakat berdasarkan klaim atas monopoli
pemilikan sebuah ideologi yang merupakan kebenaran akhir tentang umat manusia. Dalam arti ini Gramsci mengembalikan sikap hormat terhadap harkat kemanusiaan masyarakat ke dalam Marxisme.