Anda di halaman 1dari 25

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK Defenisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit atau gangguan

paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas.atau penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif nonreversibel dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas yang beracun/berbahaya. Ada 2 penyebab penyumbatan aliran udara pada penyakit paru obstruksi kronis ini yaitu bronkitis kronis dimana terjadi sekresi berlebih mukus kronik atau berulang ke dalam cabang bronkus dan enfisema yaitu suatu kelainan anatomis paru yang ditandai dengan terjadinya pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya. Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakit penderita. Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama atau lebih dikenal dengan nama COPD (Chronic Obtructive Pulmonary Disease). Epidemiologi Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) di anggap sebagai penyakit yang berhubungan antara genetik dengan lingkungan. Dimana bila seseorang bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang berbahaya, maka bisa meningkatkan resiko terjadinya penyakit paru obstruksi kronis. Tetapi kebiasaan merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang, dimana sekitar 10-15 % perokok menderita Penyakit paru obstruksi kronis. Sehingga bisa dikatakan penyebab utama PPOK sampai saat ini adalah merokok.

Menurut data Sukernas tahun 2001, penyakit pernafasan (termasuk PPOK) merupakan penyebab kematian ke 2 di Indonesia. WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan prevalensi 5,6 persen, dimana kejadian meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok atau 90 % persen penderita PPOK adalah smoker atau ex-smoker. Prevalensi ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan juga prevalensi ini lebih tinggi pada pria daripada wanita karena pada umumnya pria lebih banyak menjadi perokok. Survey tahun 2001 di Amerika Serikat, kira-kira 12,1 juta pasien menderita PPOK, 9 juta menderita bronkitis kronik dan sisanya menderita emfisema, atau kombinasi keduanya. PPOK merupakan penyebab kematian keempat di AS dan menyebabkan 5% kematian. PPOK berkembang 20-30 tahun setelah seseorang mulai merokok, tetapi tidak semua perokok akan menderita PPOK. Etiologi Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya PPOK, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan factor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah : 1. Merokok Merokok adalah faktor risiko utama penyebab PPOK dan merupakan penyebab dari 85-90 % kasus PPOK. Komponen dari asap rokok dapat mengaktifkan sel-sel inflamasi yang memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi, jika hal ini terus berlangsung maka dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan jaringan sehingga timbul PPOK. Namun demikian, hilangnya fungsi paru-paru terutama ditentukan oleh status merokok dan sejarahnya. Perokok 12 sampai 13 kali lebih mungkin untuk meninggal akibat PPOK dibanding yang bukan perokok. Kematian akibat PPOK terkait dengan

banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK. Menurut buku Report of the WHO Expert Committe on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis kronik dan emfisema paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (Volume Ekspirasi Paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan broncokontriksi akut. 2. Pekerjaan Pekerjaan juga faktor risiko penting untuk. Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas. 3. Polusi udara Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun poluso dari dalam rumah misalnya asap dapur. 4. Infeksi Koloisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK. Sedangkan faktor risiko yang berasa dari host/pasiennya antara lain adalah : 1. Usia

Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOKA sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi 1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien PPOK. 2. Jenis kelamin Laki-laki lebih berisiko terkean PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok. 3. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yan pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK. 4. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1 antitripsin (AAT) Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Makrofag dan neotrofil melepaskan enzim lisosomal yaitu elastase yang dapat merusak jaringan di paru. Pada keadaan normal faktor protektif AAT , menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusak. Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap kerusakan paru. AAT diproduksi oleh gen inhibitor protease (M). Satu dari 2500 orang adalah homozigot untuk gen resesif (Z) yang menyebabkan kadar AAT dalam darah rendah dan berakibat emfisema yang timbul lebih cepat. Orang

yang heterozigot (mempunyai gen MZ) juga berisiko menderita emfisema, yang makin meningkat kemungkinannya dengan merokok karena asap rokok juga menginaktifasi AAT. Wanita yang mempunyai kemungkinan perlindungan oleh estrogen yang akan menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti AAT karenanya, faktor resiko pada wanita lebih rendah daripada pria. Patofisiologi PPOK ditandai dengan perubahan inflamasi kronis yang mengarah pada keterbatasan aliran udara. Sel inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan dekstruktif meluas pada jalan udara, pembuluh pulmonar, dan parenkim paru-paru. Menghirup partikel asing dan gas menstimulasi aktivasi neutrofil,makrofag, dan limfosit CD 8+, yang membebaskan sejumlah mediator kimia, termasuk tumor nekrosis faktor (TNF), alfa interleukin-8 (IL-8, dan Leukotrien B4 (LTB4). Proses patofisiologik lainnya termasuk stress oksidatif dan ketidakseimbangan antara pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (protease dan antiprotease). Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dan merusak berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan memperparah ketidakseimbangan antiprotease Partikel Berbahaya dan Gas protease-antiprotease dengan menginhibisi aktivitas

Antioksidan

Radang Paruparu

Antiproteinases

Stres Oksidatif

Proteinase

Perbaikan Mekanisme

Patologi PPOK

Patogenesis penyakit paru obstruktif kronik(PPOK) Kondisi paling umum yang menyebabkan PPOK adalah bronkitis Kronik dan enfisema. 1. Bronkitis kronis Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar penghasil mukus menyebabkan hiper sekresi mukus di saluran nafas. Iritasi asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan alveoli (alveolitis). Akibatnya makrofag dan neotrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan banyaknya mukus yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar menyebabkan meningkatnya risiko. Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan penyempitan lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran

pernafasan yang kecil, yang makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang kurang dari 0,4 mm. Bronkitis kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia mengakibatkan hipertensi pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan (cor pulmonale). Pasien denga hipertensi pulmonari mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada arteri pulmonari. Hipoksemia persisten menstimulasi eritropoiesis dengan akibat polisitemia dan meningkatnya viskositas darah, yang akan mendorong terjadinya mental confusion dan thrombotic stroke. Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza. Tanda-tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya volume mukus, mengental, dan perubahan warna. Demam dapat terjadi atau pun tidak. Infeksi yang berulang dapat menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi menginduksi fibrosis pada bronkus dan bronkiolus. 2. Emfisema Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus, duktus alveolus dan kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisema berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris dan

kantung alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukanpada orang yang merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang tidak merokok. Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hal ini menyebabkan tertekannya jalan udara selama penghembusan nafas yang berkontribusi secara singnifikan pada alur obstruksi yang terlihat pada tes fungsi pulmonal. Hilangnya dinding alveolar berakibat pada hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik daripada bronkitis kronik. Oleh karena itu, pada pasien emfisema lebih banyak mengalami dyspnea (sesak nafas) daripada pasien bronkitis.

Merokok Polusi udara Inflamasi paru

leukosit Enzim proteolitik elastase, collagenase

Makrofag, neutrofil Mediator inflamasin lainnya

EMFISEMA
Pertukaran gas Destruksi jaringan baru Melemahnya saluran nafas Elastisitas saluran nafas Daya kembang paru

Jika kadar alfa antitripsin rendah

Alfa-antitripsin Secara normal menghambat enzim proteolitik

Mekanisme Terjadinya emfisema Keterangan: Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini akan dihambat oleh 1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi 1-antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada alveous menyebabkan emfisema. Pemeriksaan Gejala Predominan bronchitis kronik Batuk kronis,produksi Gejala Berat badan Riwayat merokok Gas darah Infeksi bronkhial Kegagalan respirasi Car pulmonale sputum banyak Umumnya gemuk Sering PaO2 rendah PaO2 naik Asidosis Lebih sering Berulang Banyak,diawal Predominan emphysema Dyspenia, batuk jarang, produksi sputum sedikit Umumnya BB menurun Sering PaO2 normal/agak tinggi PaCO2 normal/agak tinggi pH normal, sedikit asidosis Kurang sering Jarang sampain end-stage Jarang,di akhir

FEV1 dan FVC turun Uji fungsi paru Volume residu naik

FEV 1 dan FVC turun Volume residu naik signifikan

Diagnosa 1. Anamnesis; riwayat penyakit yang ditandai 3 gejala klinis diatas dan faktorfaktor penyebab. 2. Pemeriksaan fisik a) Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapedchest (diameter anteroposterior dada meningkat). Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada. b) Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang. c) Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang. 3. Pemeriksaan radiologi a. Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah. b. Pada emfisema paru, foto toraks menunjukkan adanya overininflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan ke distal. 4. Pemeriksaan fungsi paru a. Terdapat penurunan FEV1, FVC, FEV1 /FVC b. Kapasitas difusi pada emphysema berkurang karena banyak alveolus yang rusak, sedangkan pada bronchitis relative lebih normal. 5. Pemeriksaan gas darah a. Pada bronchitis kronis : PaO2 arteri rendah, PaCO2 tinggi b. Pada emphysema : PaO2 dan PaCO2 relatif normal 6. Pemeriksaan EKG 7. Pemeriksan laboratorium darah: hitung sel darah putih et al., 2001). (Mansjoer

Tingkat Keparahan PPOK Tingkat 0 Beresiko I Ringan II Sedang III Berat IV Sangat berat Tujuan Terapi 1. Terapi untuk pemeliharaan pada PPOK yang stabil : a. Memperbaiki keadaan obstruksi kronik. b. Mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut. c. Menurunkan kecepatan peningkatan penyakit. d. Meningkatkan keadaan fisik dan psikologi sehingga pasien dapat melakukan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah hari-hari tak bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah sakit dan menurunkan jumlah kematian. 2. Terapi untuk pemeliharaan eksaserbasi akut : a. Memelihara fungsi pernafasan. b. Memperpanjang survival (Ikawati, 2006). Tatalaksana Terapi Penatalaksanaan PPOK terdiri dari : (Ikawati, 2006) 1. Terapi Non Farmakologi, meliputi : a. Pemantauan dan assesmen penyakit. b. Mengurangi faktor resiko : merokok, infeksi, dan polusi udara. 2. Terapi Farmakologi : Nilai FEV1 Mempunyai 1/lbh gejala bentuk kronis produksi sputum dispnea. Ada paparan factor resiko. Spirometer normal FEV1/ FVC < 70 %, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pasien belum merasakan ada masalah di paru-paru FEV1/ FVC < 70 %, FEV1 50-80%, gejala mulai progrosif, dengan nafas pendek-pendek FEV1/ FVC < 70 %, FEV1 30-50%, terjadi eksaserbasi berulang, kualitas hidup turun, pasien mulai sesak nafas & mencari obat FEV1/ FVC < 70 %, FEV1 30% + kegagalan respirasi kronis atau kegagalan jantung. Kualitas hidup terganggu & mengancam jiwa

a. Penatalaksanaan PPOK stabil. b. Penatalaksanaan eksaserbasi akut. Terapi Non Farmakologis Penatalaksanaan terapi PPOK secara non farmakologi terdiri dari : 1. Komponen satu : Penatalaksanaan terapi non-farmakologi PPOK diawali dengan pemantauan penyakit pasien dan assesmen, antara lain: a. Bagaimana paparan terhadap faktor resiko, termasuk intensitas dan durasinya. b. Seperti apa riwayat kesehatannya, meliputi penyakit terkait seperti asma, alergi, sinusitis, polip hidung, infeksi saluran nafas, atau penyakit paru lanilla. c. Apakah ada riwayat keluarga PPOK dan penyakit paru kronis lanilla. d. Seperti apa pola perkembangan gejala. e. Seperti apa riwayat eksaserbasi atau perawatan rumah sakit sebelumnya. f. Apakah ada penyakit penyerta seperti penyakit jantung atau rematik, yang mungkin mempengaruhi aktifitasnya (Ikawati, 2006). 2. Komponen kedua adalah mengurangi faktor resiko. Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting yang dapat memperlambat memburuknya fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan meningkatkan gejala kualitas hidup pasien (Ikawati, 2006). 3. Komponen tiga adalah dengan rehabilitasi paru-paru secara komprehensif termasuk fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase postural, mengoptimalkan perawatan medis, mendukung secara psikososial dan memberikan edukasi kesehatan (Ikawati, 2006). Jika 2003) Obat Dosis lazim Durasi Efek diperlukan, terdapat beberapa pengobatan untuk mengatasi

ketergantungan terhadap merokok, seperti terlihat pada Tabel berikut: (Dipiro,

Bupropion SR

150

mg

/hari,

p.o, 12 bulan

minggu-

samping 6 Insomia, mulut kering

selama 3 hari, dilanjutkan 2x sehari 2-4 mg gum, bila perlu

sampai dengan 24 mg 12 minggu Nikotin gum gum perhari Nikotin inhaler 6-16 cartridges perhari Nikotin spray 8-40 dosis perhari hidung Nikotin patches hingga 6 bulan

Dispepsi Laringitis, Iritasi Insomia, terdapat reaksi radang kulit

3-6 bulan bervariasi, 7-21 mg /24 hingga 8 minggu jam

Terapi Farmakologis Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan terapi untuk eksaserbasi akut. Untuk PPOK yang stabil, penggunaan obat ditujukan untuk mengurangi gejala dan komplikasi. Sampai saat ini tidak ada satu obatpun yang dapat memodifikasi penurunan fungsi paru yang merupakan tanda khas PPOK. Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana gejala PPOK, bisa diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada kondisi pasien. Algoritma penatalaksanaan PPOK stabil dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2. Algoritma Penatalaksanaan PPOK Stabil Derajat Keparahan PPOK KarakteRistik Gejala kronis Paparan faktor resiko Spirometri normal Terapi FEV1/FVC<70% Dengan atau tanpa gejala FEV1/FVC<70% 50%FEV1<80% Dengan atau tanpa gejala FEV1/FVC<70% 30%FEV1<50% Dengan atau tanpa gejala FEV1/FVC<70% FEV1<30%30% atau ada kegagalan pernapasan kronis atau gagal jantung kanan 0:beresiko I:Ringan II:Sedang III:Berat IV:Sangat Berat

terhadap FEV180%

Penghindaran faktor resiko : vaksinasi influenza, vaksinasi pneumococcal Ditambahkan bronkodilator aksi pendek jika diperlukan Tambahkan pengobatan regular dengan satu atau lebih bronkodilator aksi panjang, tambahkan terapi rehabilitasi Tambahkan inhalasi kortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang Tambahkan oksigen jangka panjang jika terjadi kegagalan pernafasan kronis, pertimbangkan pembedahan jika perlu

Keterangan : FEV = Forced Expiratory Volume atau Volume Ekspiratori Paksa, yaitu volume maksimum udara yang suatu rentang waktu tertentu. FEV1 = Forced Expired Volume in 1 second, yaitu volume udara pada 1 detik pertama ekspirasi paksa. FVC = Forced Vital Capacity, yaitu vulume udara maksimum yang dapat dihembuskan secara paksa, umumnya dapat dicapai dalam 3 detik, Normal : 4L. Penatalaksanaan terapi untuk eksaserbasi akut umumnya memerlukan intervensi medis dan obat-obatan. Bronkodilator inhalasi, teofilin dan kortikosteroid sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi eksaserbasi akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya diberikan antibiotik (Ikawati, 2006). Algoritma penatalaksanaan untuk PPOK eksaserbasi akut dapat dilihat pada Tabel 3. dapat diekspirasikan seseorang dalam

Tabel 3. Algoritma Penatalaksanaan Untuk PPOK Eksaserbasi Akut

Obat-Obat Yang Digunakan Terapi Antibiotik Rekomendasi Jika terdapat 2 atau lebih gejala seperti dibawah ini : Peningkatan dispnea Peningkatan produksi sputum Peningkatan purunlensi sputum Terapi oral atau i.v bisa digunakan. Jika menggunakan i.v, harus diganti terapi oral setelah terjadi peningkatan fungsi paru-paru Jika penggunaan lebih dari 14 hari, dosis harus disesuaikan untuk menhindari supresi HPA MDIs dan DPIs memiliki efikasi sama untuk penggunaan aerosol -agonis dapat meningkatkan pengeluaran mukus -agonis kerja panjang tidak dianjurkan untuk mengobati gejala pada serangan akut Terapi kontrol oksigen Ventilasi mekanik noninvasive Penyesuaian oksigen untuk oksigen saturasi (>90%) Dipertimbangkan untuk pasien dengan kegagalan saluran pernafasan akut Tidak dianjurkan untuk pasien dengan gangguan mental, asidosis sedang, Respiratory arrest, atau ketidakstabilan jantung 1. Bronkodilator Yang termasuk bronkodilator dalam terapi PPOK adalah 2 agonis, antikolinergik, dan metilksantin. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan irama otot polos saluran pernafasan, sehingga meminimalisasi keterbatasan aliran udara. Pada pasien PPOK, manfaat penggunaan bronkodilator meliputi peningkatan kemampuan beraktivitas, menurunkan air trapping pada paru-paru, dan memperbaiki simptom, seperti dispnea. Namun demikian, penggunaan bronkodilator tidak signifikan terhadap perbaikan fungsi paru, sepereti FEV1. Secara umum, efek samping penggunaan bronkodilator adalah terkait dengan efek farmakologinya, serta ketergantungan dosis. Karena PPOK biasa diderita oleh pasien usia tua dan biasanya dalam kondisi abnormal, resiko terhadap efek samping dan interaksi obat lebih tinggi dibandingkan asma (Dipiro, 2005). a. Simpatomimetik (2 agonis) Tabel 4. Macam-macam Obat Golongan 2 Agonis ONSET

Kortikosteroid

Bronkodilator

DURASI Cepat Singkat Fenoterol Pirbuterol Procaterol Salbutamol (Albuterol) Terbutaline Lambat Salmeterol Panjang Formoterol

2 agonis menyebabkan bronkodilatasi, dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosine 3,5 monophosphate (3,5-cAMP). cAMP memediasi relaksasi otot polos bronkial sehingga menyebabkan efek bronkodilatasi. Golongan ini juga menyebabkan pembersihan mukosiliar. Albuterol, tersedia dalam sediaan oral dan inhalasi, merupakan golongan 2 agonis yang paling sering digunakan (Dipiro, 2005). Pada pasien PPOK yang stabil, 2 agonis direkomendasikan sebagai terapi lini kedua, sebagai tambahan atau menggantikan Ipratropium untuk pasien yang tidak menunjukkan keuntungan klinik yang memuaskan dengan menggunakan Ipratropium saja (Ikawati, 2006). Penggunaan 2 agonis pada eksaserbasi akut merupakan pilihan pertama karena onset kerjanya yang cepat (Ikawati, 2006). Kondisi lain dimana 2 agonis sangat berguna meliputi : a) Digunakan sebagai monoterapi untuk episode PPOK yang ringan. b) Digunakan untuk gejala PPOK yang stabil secara kronik dalam kombinasi dengan antikolinergik. c) Digunakan dalam gejala PPOK yang stabil secara kronik sebagai obat yang tetap (Ikawati, 2006). b. Antikolinergik

Apabila diberikan dalam sediaan inhalasi, aantikolinergik (seperti Ipratropium atau atropin) menyebabkan efek bronkodilatasi. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat reseptor kolinergik pada otot polos bronkial. Kolinergik menstimulasi peningkatan aktivitas guanil siklase, yaitu enzim yang mengkatalisis pembentukan cyclic guanosine 3, 5-monophosphate (cGMP), dimana dalam keadaan normal bekerja menstimulasi bronkokonstriksi. Aktivitas antikolinergik ini memblok kerja asetilkholin sehingga menurunkan pembentukan cGMP, dan hasilnya adalah menginhibisi bronkokonstriksi (Dipiro, 2005). Antikolinergik digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Antikolinergik menghasilkan perbaikan yang lebih besar daripada 2 agonis saat dites fungsi paru-parunya. Antikolinergik dapat mempertahankan keefektifannya selama bertahuntahun dalam penggunaan yang teratur terus-menerus (Ikawati, 2006). Ipratropium Bromida lebih disukai daripada atropin sulfat karena mempunyai efek samping sistemik yang lebih sedikit. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk Metered Dose Inhaler (MDI) dan larutan untuk inhalasi yang menunjukkan puncak efek pada 1,5- 2 jam dan durasi kerja 4-6 jam. Efek sampingnya adalah mulut kering dan rasa logam. c. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi sering digunakan jika perkembangan penyakitnya memburuk. Kombinasi dua golongan bronkodilator ini akan lebih efektif jika dibandingkan digunakan sendiri-sendiri selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga menurunkan potensi efek sampingnya kombinasi antara suatu - agonis aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi paru (Ikawati, 2006). d. Metilksantin

Golongan metilksantin, sepeti teofilin dan aminofilin, cukup lama digunakan pada terapi PPOK lini pertama. Namun dengan makin banyaknya golongan 2 agonis dan antikolinergik inhalasi, serta banyaknya potensi interaksi obat antara teofilin/aminofilin serta variabilitas respon antar dan inter pasien, golongan metilksantin ini bergeser menjadi terapi lini ketiga. Teofilin/aminofilin umumnya digunakan jika pasien intoleran terhadap bronkodilator lainnya (Dipiro, 2005). Mekanisme bronkodilatasi adalah: a) Penghambatan phospodiesterase, dengan demikian meningkatkan cAMP. b) Penghambatan influk ion kalsium ke otot polos. c) Antagonis prostaglandin. d) Stimulasi katekolamin endogen. e) Antagonis reseptor adenosin. f) Penghambatan pelepasan mediator mast sel dan leukosit (Dipiro, 2005). Bentuk sediaan lepas lambat merupakan bentuk yang paling tepat untuk terapi pemeliharaan PPOK, karena menghasilkan kadar serum yang lebih konsisten. Penggunaan golongan metilksantin sendiri tidak banyak memberikan perbaikan atau pemburukan pada perkembangan penyakit PPOK. Namun jika diberikan sebagai terapi tambahan bagi bronkodilator lain yang mendukung hipotesis bahwa terdapat efek sinergistik paa bronkodilatasi. Penggunaan kombinasi teofilin dan salmeterol misalnya, dilaporkan dapat meningkatkan fungsi paru dan mengurangi dispnea dibandingkan jika digunakan secara tunggal (Ikawati, 2006). Untuk terapi pemeliharaan, teofilin digunakan dengan dosis awal 200 mg 2x sehari, dan dititrasi meningkat dalam 3-5 hari, sampai dicapai dosis lazimnya antara 400-900 mg sehari. Penyesuaian selanjutnya seharusnya dilakukan berdasarkan kadar serumnya. Dan selanjutnya, perlu kerja metilksantin dalam menyebabkan

dipantau efek samping maupun toksisitasnya, serta interaksinya dengan obat lain (Ikawati, 2006). 2. Kortikosteroid Penggunaan kortikosteroid untuk PPOK memiliki mekanisme kerja sebagai anti inflamasi dan mempunyai keuntungan pada penggunaan PPOK, yaitu: a. Mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mucus. b. Menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit. c. Menghambat pelepasan prostaglandin. Kortikosteroid digunakan untuk pasien PPOK pada tingkat keparahan (stage) II atau IV (FEV1 < 50%) yang mengalami eksaserbasi berulang (Dipiro, 2005). Terapi untuk pasien eksaserbasi akut dimulai dengan metilprednisolon 0,5-1 mg/kg IV setiap 6 jam. Bila gejala pasien telah membaik dapat diganti dengan prednison 40-60 mg sehari. Steroid sebaiknya dihentikan secara tapering untuk meminimalisasi penekanan hypothalamic-pitutiary-adrenal (HPA). Bila diperlukan terapi lebih lama, digunakan dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan pada pagi hari atau selang hari (Ikawati, 2006). 3. Terapi pengganti AAT (1 antitripsin) Pada pasien dengan denfisiensi secara regiter, selain dapat mengurangi faktor resiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan terapi penggantian AAT. Terapi ini terdiri dari infus AAT secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma diatas 10 mikromolar. Sebuah studi menunjukkan bahwa terapi AAT dapat memperlambat progresivitas penyakit dan mengurangi mortalitas dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan terapi tersebut. Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0,08 ml/kg permenit,

disesuaikan dangan toleransi pasien. Namun terapi ini masih banyak menimbulkan masalah, kaitannya dengan harga yang mahal dan ketersediaan produk yang memenuhi syarat. Contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira (Ikawati, 2006). 4. Antibiotik Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Karena itu, antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam penatalaksanaan PPOK sebuah studi metanalisis dari 9 studi klinik menunjukkan bahwa pasien yang menerima antibiotik mendapatkan perbaikan fungsi paru lebih besar daripada yang tidak menerima. Studi tersebut menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan harus mulai diawali jika pasien memperlihatkan sedikitnya 2 dari 3 tanda berikut ini : a.Peningkatan dyspnea (sesak nafas). b.Peningkatan volume sputum. c.Peningkatan purulensi sputum. Tabel 5. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK (William dan Bourdeis, 2005) Karakteristik pasien Eksaserbasi tanpa komplikasi, < 4 eksaserbasi setahun, tidak ada penyakit penyerta, FEV1 > 50% Eksaserbasi kompleks, umur > 65 th, > 4 eksaserbasi per tahun, `FEV1 < 50 % tapi > 35 Patogen penyebab yang mungkin S. pneumoniae, H. influenza, H. parainfluenza, dan M. catarrhalis umumnya tidak resisten seperti diatas ditambah H. influenza dan M. catarrhalis penghasil -laktamase Terapi yang direkomendasikan makrolid (azitromisin, klaritomisin) sefalosporin generasi 2 atau 3 doksisiklin Amoksisilin/klavulanat, Fluorokuinolon (levofloksasin, gatiflokasin, moksifloksasin)

% Eksaserbasi kmpleks dengan resiko P. Aeruginosa

seperti diatas, ditambah P. Aeruginosa

Fluorokuinolon (levoflokasin, gatifloksasin, moksifloksasin) terapi I.V. jika diperlukan : sefalosporin generasi 3 atau 4

Terapi antibiotik dimulai dalam 24 jam setelah gejala terlihat untuk mencegah percepatan penurunan fungsi paru-paru karena iritasi dan sumbatan mukus karena adanya proses infeksi. Pemilihan antibiotik empirik harus berdasarkan pada bakteri yang paling umum menginfeksi. Pada tabel 5 disajikan terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK. 5. Long-term Oksigen Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental. Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan IV (sangat berat) jika : a. PaO2 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 88 %, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau b. PaO2 antara 55 mmHg-60 mmHg, atau SaO2 89 %, tetapi ada tanda hipertensi pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau polisitemia. Cara pemberiannya dalah dengan kanula hidung yang menyalurkan 24-28 % oksigen (1-2 liter/menit). Tujuannya adalah mencapai PaO2 diatas 60 mmHg. Pada pasien yang diketahui menahan CO2 harus hati-hati dalam menaikkan PaO2 terlalu tinggi karena akan menekan pernafasan (Ikawati, 2006).

6. Imunisasi Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dari vaksinasi influenza pertahun. Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan amantadin dan rimantadin (Ikawati, 2006).

Monitoring dan Evaluasi Terapi Pada PPOK stabil kronis, tes fungsi paru-paru harus dinilai dengan adanya penambahan terapi, perubahan dosis, atau penghapusan terapi. Hasil lainnya termasuk dyspnea, kualitas hidup, dan eksaserbasi (termasuk kunjungan gawat darurat dan rawat inap). Pada PPOK eksaserbasi akut, jumlah sel darah putih, tanda-tanda vital, rontgen dada, dan perubahan frekuensi dari dyspnea, dan volume dahak, harus dinilai di awal dan di seluruh eksaserbasi tersebut. Dalam eksaserbasi yang lebih berat, gas darah arteri dan oksigen jenuh juga harus dipantau. Kepatuhan pasien terhadap terapi, efek samping, interaksi obat yang potensial, dan ukuran subjektif kualitas hidup juga harus dievaluasi.

Anda mungkin juga menyukai