Anda di halaman 1dari 34

MATA KULIAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT BAHAN AJAR ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Infeksi nosokomial di ICU dan pencegahannya

Kelompok 4 Aghnesyia Deby Kristiani Dini Hafiza Elvira N. Joan Xaveria Luky Winanti Nessy Haryati Nurhidayah Rina Setiana Riri Sanda Taurusia Marilyn Wilda Hajar R 0706270000 0706270333 0706270000 0706270661 0706270775 0706270000 0606102796 0706270000 0706271115 0706270000 0706271235 0706271292

Erlanda Yunita0706270000

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2011

Infeksi nosokomial di ICU dan pencegahannya


A. Infeksi nosokomial 1. Pengertian Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita selama/ oleh karena ia dirawat di rumah sakit. Suatu infeksi penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial jika memenuhi beberapa kriteria/ batasan tertentu, yaitu: Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam Tanda tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang - kurangnya Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, tanda-tanda klinis dari infeksi tersebut. masa inkubasi dari infeksi tersebut. setelah 3 x 24 jam sejak masa perawatan.

dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita saat dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

Sumber: http://www.scribd.com/doc/8307362/Cdk-082-InfeksiNosokomial-i

Infeksi nosokomial menjadi salah satu perhatian bagi para petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan keperawatan. Menyadari pentingnya mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial, Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan nasional dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI nomor 270/2007 tentang pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain serta Kepmenkes Nomor 82/2007 tentang pedoman pencegahan infeksi di rumah sakit. 2. Epidemiologi Menurut Dewan Penasehat Aliansi Dunia untuk Keselamatan Pasien, Prof Didier Pitet, infeksi nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Studi yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara di seluruh dunia juga menunjukkan bahwa 8,7 persen pasien rumah sakit menderita infeksi selama menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara di negara berkembang, diperkirakan lebih dari 40 persen pasien di rumah sakit terserang infeksi nosokomial. Di Indonesia, yaitu di 10 RSU pendidikan, infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu 6-16 % dengan rata-rata 9,8 %. Infeksi nosokomial paling umum terjadi adalah infeksi luka operasi (ILO). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa angka kejadian ILO pada rumah sakit di Indonesia bervariasi antara 2-18 % dari keseluruhan prosedur pembedahan.
3. Faktor risiko infeksi nosokomial di ICU

Pasien yang berada di lingkungan unit gawat darurat ataupun perawatan intensif sangatlah rentan terhadap penurunan sistem imun. Hal ini mungkin diakibatkan oleh kondisi umum klien, ketidakadekuatan nutrisi, atau puasa sebelum pembedahan. Kondisi-kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya infeksi nosokomial dari lingkungan ke tubuh klien. Pada umumnya, infeksi nosokomial terjadi di ruang rawat dimana klien tinggal pada waktu yang cukup lama. Akan tetapi, infeksi nosokomial tidak hanya dapat terjadi di ruang rawat tetapi juga di ICU. Beberapa contoh kasus infeksi nosokomial di ICU meliputi, proses pembedahan, konsumsi antibiotik, pemasangan alat bantu nafas, pemasangan alat bantu makan, infeksi dari petugas kesehatan,

infeksi dari klien lain atau keluarga klien, waktu rawat inap yang lama, pemasangan infus, kateterisasi urin, kemoterapi, serta proses desinfeksi dan sterilisasi alat yang tidak sempurna.
4. Cara pencegahan infeksi nosokomial di ICU

Pada tahun (1995) Centre Of Disease Control and Prevention menetapkan dua bentuk pencegahan yaitu tindakan pencegahan standart, didesain untuk semua perawatan pasien di rumah sakit tanpa memperhatikan diagnosis mereka atau status infeksi sebelumnya. Tindakan pencegahan transmisi, yang dibagi dalam kategori udara, droplet dan kontak dan digunakan pada pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi atau terkolonisasi pathogen secara epidemiologis dapat ditularkan melalui udara dan kontak. Tindakan pencegahan standart diterapkan untuk darah, sekresi, ekskresi cairan tubuh tanpa memperhatikan apakah mengandung darah yang terlihat dan membrane mukosa. Tindakan pencegahan berdasarkan transmisi dirancang untuk pasien yang telah didokumentasikan mengalami atau dicurigai terinfeksi yang dapat ditransmisikan melaui udara atau droplet, organisme yang penting secara epidemiologis termasuk isolasi penyakit menular (Swearing, 2001). Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi harus disesuaikan dengan rantai terjadinya nosokomial sebagai berikut menurut (Patricia, 2005) yaitu: 1) Kontrol atau eliminasi agen infeksius Pembersihan desinfeksi dan sterilisasi terhadap objak yang terkontaminasi secara signifikan mengurangi dan seringkali memusnahkan mikroorganisme. Pembersihan adalah membuang sampah material asing seperti kotoran atau meteri organik dari suatu objek. Desinfeksi menggambarkan proses yang memusnahkan banyak atau semua mikroorganisme, dengan pengecualian spora bekteri dari objak yang mati. Biasanya menggunakan desinfeksai kimia atau pasteurisasi basah. Sterilisasi adalah pemusnahan seluruh mikroorganisme termasuk spora. 2) Kontrol atau eliminasi reservoir Untuk mengeliminasi reservoir perawat harus membersihkan cairan tubuh, drainase, atau larutan yang dapat merupakan tempat mikrooraganisme. Perawat juga membuang sampah dengan hati-hati alat yang terkontaminasi

material infeksius. Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk membuang materi sampah infeksius menurut kebijakan lokal negara. 3) Kontrol terhadap portal keluar Perawat mengikuti praktik pencegahan dan control untuk meminimalkan atau mencegah organisme yang keluar melalui saluran pernapasan, perawat harus selalu menghindari menghindari berbicara langsung menghadap pasien. Perawat harus selalu menggunakan sarung tangan sekalai pakai bila menangani eksudat. Masker, gown dan kacamata jika terdapat kemungkinan adanya percikan dan kontak cairan. Perawat yang demam ringan namun tetap bekerja harus memakai masker, khususnya bila mengganti balutan atau melakukan prosedur steril. Perawat juga bertanggung jawab mengajarkan klien untuk melindungi orang lain pada saat bersin atau batuk. Cara lain mengontrol keluarnya mikroorganisme adalah penanganan yang hati-hati terhadap eksudat. Cairan yang terkontaminasi dapat dengan mudah terpercik saat dibuang di toilet atau bak sampah. 4) Pengendalian penularan Pengendalian yang efektif terhadap infeksi mengaharuskan perawat harus tetap waspada tentang jenis penularan dan cara mengontrolnya. Bersihkan dan sterilkan semua peralatan yang reversible. Tehnik yang paling penting adalah mencuci tangan dan aseptik. Untuk mencegah penularan mikroorganisme melalui kontak tidak langsung, peralatan dan bahan kotor harus dijaga suapya tidak bersentuhan dengan baju perawat. Tindakan yang salah sering dilakukan adalah mengangkat linen yang kotor langsung dengan tangan mengenai seragam. Asepsis adalah membasmi kuman atau patogen. Teknik aseptik merupakan upaya melindungi pasien terbebas dari mikrooganisme yang berasal dari rumah sakit. Terdapat dua tipe teknik septik yaitu medical asepsis dan surgical asepsis. a) Medical asepsis atau teknik bersih merupakan suatu prosedur untuk mengurangi jumlah mikroorganisme dan mencegah penyebarannya. Contohnya: penggantian sprai tempat tidur setiap hari dan mencuci tangan. Prinsip dasar medical asepsis dalam perawatan klien yaitu:

Mencuci tangan khususnya sebelum menyentuh makanan, sebelum makan, setelah penggunaan sapu tangan, setelah ke toilet, sebelum dan sesudah kontak dengna klien, dan setelah melepas sarung tangan. Menjaga item solid dan peralatan dari sentuhan pakaian, dan membuang linen kotor dan barang bekas lainnya sehingga tidak menyentuh seragam. Jangan menempatkan linen tempat tidur dan item lainnya di lantai. Hindari klien yang sedang mengalami batuk dan pilek yang berkontak langsung dengan klien lainnya. instruksikan klien untuk menggunakan tisue sekali pakai atau menutup mulut dan hidung mereka untuk menvegah penyebaran melalui droplet udara. b) Surgical asepsis atau teknik steril merupakan suatu prosedur untuk menghilangkan mikroorganisme dari suatu area. Sterilisasi menghancurkan semua mikroorganisme dan teknik steril ini dilakukan di area operasi dan pengobatan dimana alat-alat steril banyak digunakan di dalam ruangan tersebut. Prinsip dasar surgical asepsis yaitu: Objek steril hanya menyentuh objek steril lainnya. objek unsteril berkontak dengan objek steril dikatakan telah terkontaminasi. Buka kemasan steril dengan lapisan pembungkus diarahkan jauh dari pekerja untuk menghindari kemungkinan terkontaknya antara item steril dan unsteril. Kemasan luar alat steril dianggap terkontaminasi. Hindari menumpahkan larutan apapun pada pakaian atau kertas yang digunakan sebagai alas set steril Hindari berbicara, batuk, atau bersin pada area atau objek steril. 5) Kontrol terhadap portal masuk Dengan mempertahankan integritas kulit dan membrane mukosa menurunkan kemungkinan pejamu. Tenaga kesehatan harus berhati-hati terhadap resiko jarum suntik. Perawat harus menjaga kesterilan alat dan tindakan invasive. Klien, tenaga kesehatan dan tenaga kebersihan beresiko mendapat infeksi dari tusukan jarum secara tidak sengaja. Pada saat pembersihan luka perawat menyeka begian dalam dulu kemudian bagian luar. 6) Perlindungan terhadap pejamu yang rentan

Tindakan isolasi atau barier termasuk penggunaan gown, sarung tangan, kacamata, dan masker serta alat pelindung lainnya. Perawatan semua klien, kewaspadaan berdasarkan penularan perlukaan untuk mengurangi resiko infeksi untuk klien. Tanpa memandang jenis sistem isolasi, perawat harus mengikuti prinsip dasar yaitu harus mencuci tangan sebelum masuk dan meninggalkan ruang isolasi, benda yang terkontaminasi harus dibuang untuk mencegah penyebaran mikroorganisme, pengetahuan tentang proses penyakit dan jenis penularan infeksi harus diaplikasikan pada saat menggunakan barier pelindung, semua orang yang kemungkinan terpapar selama perpindahan klien di luar kamar isolasi harus dilindungi. Lingkungan yang protektif yang digunakan untuk isolasi dapat memiliki tekanan udara yang negatif untuk mencegah partikel infeksius mengalir keluar dari ruangan. Ada juga kamar khusus dengan tekanan aliran positif digunakan pada pasien yang rentan seperti resipien transplanstasi. 7) Perlindungan bagi perawat Perlindungan barier harus sudah tersedia bagi pekerja yang memasuki kamar isolasi, penggunaan gown, sarung tangan, masker dan kacamata pelindung. Perawat mengenakan sarung tangan biala resiko terpapar materi infeksius,, khusunya sarung tangan direkomendasikan pada saat perawat ada goresan atau luka pada kulit, saat melakukan fungsi vena, karena mereka beresiko terkena tumpahan darah atau cairan tubuh lainnya pada tangan, dan bila mereka kurang pengalaman. CDC lebih lanjut merekomendasikan bahwa sarung tangan digunakan hanya sekali pakai.
B. Infeksi nosokomial yang mengakibatkan ARDS (pneumonia nosokomial)

1. Pengertian Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Infeksi ini terjadi pada pasien yang sebelum masuk rumah sakit tidak mengalami: 1). Aspirasi cairan gaster atau orofaring yang mengandung koloni kuman patogen, 2). Penyebaran kuman secara hematogen ke paru, misalnya pada penderita pneumonia candidiasis, 3). Penyebaran melalui udara oleh aerosol atau droplet yang mengandung mikroba.

Sumber: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09TinjauanUlangPneumonia121.pdf/09Tinjau anUlangPneumonia121.html 2. Epidemiologi Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 23x dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari. Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 10 per 1000 kasus yang dirawat. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan

berkembang menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil. Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Data dari RS Persahabatan dan RS Dr. Soetomo (lihat Lampiran I) hanya menunjukkan pola kuman yang ditemukan di ruang rawat intensif. Data ini belum dapat dikatakan sebagai infeksi nosokomial karena waktu diagnosis dibuat tidak dilakukan foto toraks pada saat pasien masuk ruang rawat intensif. Pneumonia nosokomial lebih sering dijumpai di ICU (Intensive Care Unit) dibandingkan dengan di ruangan umum dengan rasio perbandingan 42% : 13%. Sebagian besar kasus ini (47%) terjadi pada pasien dengan ventilator mekanik. Kelompok pasien ini merupakan bagian terbesar dari pasien di ICU yang meninggal dunia akibat pneumonia nosokomial. 3. Etiologi Penyebab terjadinya pneumonia nosokomial umumnya dikarenakan oleh bakteri. Beberapa jenis bakteri tersebut adalah S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp, dan Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial ini terjadi tidak disebabkan oleh jamur, kuman, ataupun virus.

Sumber: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09TinjauanUlangPneumonia121.pdf/09Tinjau anUlangPneumonia121.html 4. Faktor predisposisi Berdasarkan klasifikasi Perhimpunan Dokter Paru Indoneesia (2003), faktor risiko pada pneumonia dibagi menjadi 2 bagian: a. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh 1) Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme, azotemia), 2) Perawatan di rumah sakit yang lama Lamanya waktu rawat di rumah sakit mampu menurunkan system pertahanan tubuh klien. Klien banyak terpapar dengan bakteri ataupun mikroorganisme lain yang mungkin berbahaya bagi tubuhnya. 3) Koma Klien dengan kondisi koma tidak mampu bereaksi terhadap invasi mikroorgnasime. Saat koma, klien mengalami penurunan kerja system tubuh dan hal ini mengakibatkan minimnya usaha perlawanan terhadap invasi mikroorganisme yang masuk ke tubuh klien selama masa perawatan. 4) Perokok

Perokok memiliki kerentanan terhadap kejadian pneumonia. Hal ini sudah banyak diketahui bahwa pada perokok, saluran pernafasan telah mengalami degenerasi. Proses ini mengakibatkan pengeluaran secret yang kental dan banyak. Bila kondisi ini terus-menerus terjadi, kemungkinan terjadinya pneumonia akan lebih besar. 5) Intubasi endotrakeal Ketidaksterilan alat pada proses intubasi mampu mengakibatkan munculnya respons imun pada saluran pernafasan klien. Mikroorganisme yang berasal dari alat intubasi yang tidak steril masuk ke dalam saluran pernafasan kemudian menimbulkan respon imun. Kondisi ini memungkinkan terjadinya peningkatan kerja sel untuk menghasilkan secret dalam jumlah yang banyak yang kemudian meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia. 6) Malnutrisi Kekurangan nutrisi akan mengakibatkan penurunan metabolisme. Hal ini tentu akan mengakibatkan penurunan asupan nutrisi serta imun klien. Klien akan rentan terhadap penyakit. Kondisi tersebut memungkinkan juga terjadinya infeksi nosokomial pada klien. 7) Usia lanjut Pada orang dengan lanjut usia terjadi penurunan fungsi tubuh. Hal ini juga berlaku pada system imunnya. Lansia mulai mengalami penurunan system imun dan peningkatan risiko infeksi. Kondisi ini memungkinkan terjadinya pneumonia nosokomial pada klien lansia. 8) Pengobatan steroid Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang mampu menekan respons imun. Kondisi ini akan berakibat pada peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi dan gangguan pada proses penyembuhan (Galbraith, 2007 dalam Edwards, 2009). 9) Pengobatan antibiotik Pemberian antibiotik spectrum luas tidak hanya menginvasi bakteri tetapi jga flora normal yang ada di membrane mukosa. Kejadian ini memungkinkan masuknya pathogen dan menurunkan imun klien. 10) 11) 12) Waktu operasi yang lama, Sepsis, Syok hemoragik,

13) 14) 15)

Infeksi berat di luar paru, Cidera paru akut (acute lung injury), dan Bronkiektasis .

b. Faktor eksogen (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) 1) Pembedahan Pembedahan merupakan factor risiko terbesar terjadinya infeksi nosokomial. Risiko terjadinya infeksi ini bergantung pada jenis pembedahan yang dilakukan. Beberapa contoh pembedahan yang menunjukkan kerentanan terjadinya infeksi nosomial adalah torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%). 2) Penggunaan antibiotik Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring. 3) Pemasangan alat bantu pernapasan Penggunaan peralatan bantu pernafasan dapat menjadi factor risiko terjadinya infeksi nosokomial ke organ pernafasan. Contoh penggunaan alat bantu pernafasan ini salah satunya adalah penggunaan ventilator. Infeksi yang terjadi melalui alat bantu pernafasan ini disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lain. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dartini pada tahun 2004 mengenai Gambaran kesehatan lingkungan dan faktor risiko kejadian Infeksi Nosokomial Pneumonia di Ruang ICU RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2003 2004, didapatkan hasil bahwa klien yang memakai ventilator dalam perawatannya mempunyai risiko 5,6 kali lebih tinggi terkena infeksi nosokomial pneumonia dibandingkan dengan klien tanpa pemasangan ventilator.

4) enteral

Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung

Pneumonia yang terjadi seteah 48 Faktor Risiko karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri jam dirawat di rumah sakit. yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 Faktor Endogen Klien dengan imunmenyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung, yang rendah (penyakit kronik, perokok, koma, Agen Infeksi tergantung: penggunaan streroid) sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0. Aspirasi Faktor Eksogen Karakteristik 5) Lingkungan rumah sakit Inhalasi Pembedahan mikroorganisme Penggunaan Antibiotik dosis a) Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur Resistensi terhadap zattinggi zat antibiotika b) Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, Peralatan terapi pernapasan Tingkat virulensi Pemasangan NGT Mikro organisme seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll Penggunaan antacid Jumlah materi infeksius Lingkungan RS c) Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi

5. Pathogenesis Gram Negatif (Klebsiella & Pseudomonas) Imun Legionella & Aspergillus Resistan Antibiotika Staphylococcus dan Candida.

Kolonisasi bakteri di orofaring dan lambung

Flora normal

Paru Makrofag Alveolar

Interleukin 1

Proliferasi sel B Sekresi Antibodi

Sianosis Aliran ke perifer Hipoksia Seluler Perfusi jaringan

Kesadaran Aliran ke otak

Penimbunan cairan peradangan di dalam atau di sekitar alveolus Ketebalan sawar (udara dan darah)
9

Mengolah dan menyajikan antigen bakteri

Lomfosit T dan B yang spesifik

Gas harus melewati menempuh lintasan yang lebih jauh u/ difusi

Pertukaran gas

Difusi O2

6. Prognosis

PN (Pneumonia Nosokomial) merupakan penyebab kematian utama oleh infeksi pada pasien yang berusia tua, pasca operatif, dan yang menjalani ventilasi mekanik.
7. Pemeriksaan diagnostik

Diagnosis pneumonia umumnya ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi oleh hasil kultur cairan pleura. punksi paru atau kultur darah. Namun, hasil baru bisa diketahui setelah 2 hari. Disamping itu, diagnosis pneumonia juga dapat ditegakkan menurut kriteria diagnosis PNO (Penderita Pneumonia Nosokomial) dan CDC. a. Gambaran Klinik Gambaran klinik dapat berupa gambaran pneumonia bakteril akut yang ditandai oleh demam tinggi, batuk produktif, dahak purulen yang produktif, dan sesak nafas. Tetapi pada pasien rawat inap, hal ini tidak selalu dapat dikaitkan secara langsung karena banyak tanda dan gejala penyakit lainnya yang mirip dengan tanda dann gejala pneumonia. Berbagai keadaan yang mengaburkan diagnosis PNO adalah proses yang berhubungan dengan toksik dan alergi obat atau inspirasi O2, atelektasis, emboli dan infark paru, ARDS gagal jantung kongestif, dan trakheobronkitis. Pneumonia aspirasi bahan kimia bisa mirip dengan pneumonia bakteril. b. Kriteria Diagnosis Terdapat berbagai kriteria diagnosis PNO antara lain yang diajukan oleh Center forDisease Control and Prevention/CDC) (Tabel 1). Acuan ini mengandalkan diagnosis kepada hasil kultur, gambaran radiologi dan gambaran klinik yang melihat kepada perubahan sputum dan auskultasi. - Diagnosis Empirik Pelaksanaan terapi empirik didasarkan kepada diagnosis yang terarah yang sesuai dengan patogenesis ISNBA dan al-goritma penatalaksanaan PNO. Diagnosis ini mencakup bentuk manifestasi ISNBA, tingkat berat sakit (ringan, sedang atau berat), dan kemungkinan kuman penyebab. Setelah tahapan ini, baru dapat ditentukan jenis terapi yang dapat diaplikasikan.

Kriteria diagnosis pneumonia nosokomial dari CDC Harus memenuhi satu dari 4 kriteria : 1. Ronkhi atau Dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu : a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya b. Isolasi kuman dari darah c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat aspirasi transtrakheal, biopsi atau sapuan bronkhus 2. Gambaran radialogik berupa infiltrat baru atau yang progresif, konsoli- dasi, kavitasi, atau efusi pleura. Dan salah satu dari a, b, atau c di atas. d. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi e. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM), atau peningkatan 4 kali titer IgG dari kuman f. Bukti histopatologik dari pneumonia 3. Pasien 12 tahun dengan 2 dari gejala-gejala berikut: apnea, tachypnea, bradycardia, wheezing, rhonki atau batuk. Dan disertai salah satu dari : g. Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria no 2 di atas 4. Pasien12 tahun yang menunjukkan infiltrat baru atau progresif, kavitasi. konsolidasi atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu dari kriteria No.3 di atas.
Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

8. Penatalaksanaan

Terapi Umum 1. Istirahat 2. Diet


3. Medikamentosa (terapi antbiotik)

Apabila kuman penyebab infeksi nosokomial sudah resisten terdapat antibiotik, faktor tersebut perlu dipertimbangkan. Terapi Antibiotik Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat. 2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada klien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik. 3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada klien dengan kemungkinan terinfeksi

kuman MDR(Multi Drug Resistant). 5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk. 6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.

Tabel 4 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada klien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004)

Tabel 5. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada klien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS/IDSA 2004)

Tabel 6. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada klien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada ATS/IDSA 2004)

Skema terapi empirik untuk HAV dan VAP

Lama Terapi Klien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis klien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari. Respon Terapi Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor klien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain). Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten. Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada klien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis klien perlu diwaspadai. Di samping itu, ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-kasus yang diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik. Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru, pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP.

Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis bakteri, resistensi kuman sebelum dan selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau bakteri yang telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik. Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru dan empiema. Pada beberapa klien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang bersamaan seperti sinusitis, infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat dapat menetap karena berbagai hal seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel. Pada kasus-kasus yang cepat terjadi perburukan atau tidak respons terapi awal perlu dilakukan evaluasi yang agresif mulai dengan mencari diagnosis banding dan melakukan pengulangan pemeriksaan kultur dari bahan saluran napas dengan aspirasi endotatrakeal atau dengan tindakan bronkoskopi. Jika hasil kultur terlihat resisten atau terdapat kuman yang jarang ditemukan maka dilakukan modifikasi terapi. Jika dari kultur tidak terdapat resistensi maka perlu dipikirkan proses noninfeksi. Pemeriksaan lain adalah foto toraks (lateral dekubitus) USG dan CT scan dan pemeriksaan imaging lain bila curiga ada infeksi di luar paru seperti sinusitis. Juga perlu dipikirkan terdapat emboli paru dengan infark.

Skema berbagai kemungkinan penyebab tidak terjadi perbaikan klinis setelah pengobatan antibiotic

Skema Ringkasan Penatalaksanaan Pada Klien dengan Pneumonia Nosokomial (HAP) dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

9. Cara pencegahan

Pencegahan PNO berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan infeksi, penggunaan yang tepat peralatan invasif. Perlu dilakukan terapi agresif terhadap penyakit pasien yang akut atau dasar. Pada pasien dengan gagal organ multipel (multiple organ failure), skor Apache-II yang tinggi dan penyakit dasar yang dapat berakibat fatal perlu diberi terapi pencegahan. Pencegahan PNO dapat dijelaskan secara rinci antara lain: 1. Penilaian status nutrisi yang tepat Penilaian nutrisi yang tepat dan pembatasan can pemberian nutrisi enteral juga dapat mengurangi risiko PNO. Pelaksanaan pemberian nutrisi enteral secara dini dapat membantu pemeliharaan epitel pencernaan dan mencegah terjadinya translokasi kuman yaitu dengan peningkatan risiko distensi gaster, kolonisasi, aspirasi dan PNO. Posisi pasien setengah duduk dapat menurunkan risiko aspirasi. 2. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat menyebabkan berkembangnya koloni abnormal di orofaring, hal ini akan memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR). Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk antibiotik parenteral dan topikal menurut beberapa penelitian sangat efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia nosokomial, tetapi hal ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima donor organ tetapi hal ini masih membutuhkan survailans mikrobiologi Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2 direkomendasikan karena sangat melindungi tukak lambung tanpa mengganggu pH. Penyekat H2 dapat meningkatkan risiko pneumonia nosokomial tetapi hal ini masih merupakan perdebatan.

Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum misalnya metoklopramid dan sisaprid, dapat pula menurunkan bilirubin dan kolonisasi bakteri di lambung. Anjuran untuk berhenti merokok Meningkatkan program vaksinasi S.pneumoniae dan influenza 3. Pencegahan aspirasi saluran napas bawah Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-450 ) tinggi untuk mencegah aspirasi isi lambung Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro esofagal Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam saluran napas bawah Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit melalui selang makanan ke usus halus 4. Pencegahan inokulasi eksogen Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk menghindari infeksi silang Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan dll Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang makanan , jarum infus dll 5. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi

Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya Pencegahan VAP (Ventilator Associated Pneumonia) VAP didefinisikan sebagai nosokomial pneumonia yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto toraks, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen. Pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori yakni strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi. Pencegahan non farmakologi lebih mudah dan lebih murah untuk dilaksanakan bila dibandingkan pencegahan VAP secara farmakologi. Pencegahan non farmakologi meliputi menghindari intubasi trakea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, pembagian kerja penyelia kesehatan subglottic suctioning, intubasi non nasal, menghindari manipulasi yang tidak perlu pada sirkuit ventilator, pemakaian heat and moisture exchangers, posisi setengah duduk, menghindari lambung penuh, pencegahan terbentuknya biofilm, dan mencuci tangan dan pemakaian desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Sedangkan pencegahan VAP secara farmakologi meliputi dekolonisasi traktus aerodigestif, pencegahan pembentukan biofilm kuman, dan menghindari penggunaan profilaksis stress ulcer yang berlebihan. Pencegahan VAP secara farmakologi terbukti mampu menurunkan kejadian VAP bila dibandingkan dengan pencegahan non farmakologi saja. Beberapa penelitian menyatakan bahwa dekolonisasi traktus aerodigestif bisa menurunkan kejadian VAP secara bermakna. Dekolonisasi dapat dilakukan dengan cara selective docontamination of the digestive (SDD) atau oropharyngeal decontamination (OD). Semula dekolonisasi dilakukan dengan menggunakan antibiotika, baik topikal dan/atau antibiotika sistemik. Namun, ternyata

pemakaian antibiotika menimbulkan suatu keadaan resistensi bakteri terhadap antibiotika, sehingga saat ini pemakaian rutin tidak lagi dianjurkan. Dekolonisasi juga dapat dilakukan dengan OD menggunakan antiseptik. Berdasarkan penelitian (Fourrier, 2001) didapatkan data bahwa terdapat pengurangan jumlah kolonisasi bakteri gigi sebesar 37% pada pasien yang mendapatkan OD memakai gel chlorhexidine 0,12%. Pengurangan jumlah kolonisasi ini potensial mengurangi insiden infeksi nosokomial di UPI. Center for Disease Control and Prevention (CDC) mempublikasikan bahwa pemakaian chlorhexidine 0,12% pada perioperatif bedah jantung terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya VAP. Pada penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Chan dan kawan-kawan, dari 11 penelitian diperoleh data bahwa chlorhexidine mampu mengurangi insiden VAP bukan hanya pada pasien pasca bedah jantung tapi juga pada pasien yang dirawat di UPI. Chlorhexidine merupakan antimikroba dengan spektrum luas yang sangat efektif untuk menghambat bateri Gram (-), Gram (+), ragi, jamur, protozoa, algae dan virus. Chlorhexidine berbahan dasar gelatin terhidrolisa, mempunyai muatan positif, setelah berinteraksi denganpermukaan sel akan menghancurkan membran sel untuk masuk ke dalam sel. Kemudian chlorhexidine akan mempresipitasi sitoplasma sehingga terjadi kematian sel. Chlorhexidine akan diserap oleh lapisan hidroksiapatit permukaan gigi kemudian akan dilepaskan perlahan-lahan dalam bentuk aktif sampai dengan 7-10 hari berikutnya. Pada penelitiannya, (Greenfeld 2002) menyatakan bahwa chlorhexidine mempunyai kemampuan untuk menghambat pembentukan biofilm, suatu mekanisme kuman untuk menginvasi tubuh host. Hal ini didukung oleh McGee DC dan (Gould, 2002) yang menyatakan bahwa chlorhexidine lebih efektif mencegah pembentukan biofilm bila dibandingkan dengan povidone iodine. Chlorhexidine kurang bersifat toksik terhadap jaringan bila dibandingkan dengan povidone iodine dan cukup aman digunakan pada ulserasi aptosa, hal yang sering dijumpai pada pasien sakit kritis. Intervensi pencegahan Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu Membatasi propilaksis tukak lambung pada penderita risiko tinggi

Menggunakan sukralfat sebagai propilaksis tukak lambung Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi

Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera mungkin Posisi penderita semirecumbent atau duduk Menghindari distensi lambung berlebihan Intubasi oral atau nonnasal Penyaliran subglotik Penyaliran sirkuit ventilator Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan
10. Asuhan keperawatan

Diagnosa 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas Tujuan: Jalan napas menjadi paten. Kriteria hasil: Klien akan menunjukkan kepatenan jalan napas dengan suara napas yang bersih; tidak ada dyspneu dan sianosis. Intervensi
1. Kaji kecepatan/kedalaman dari respirasi

Rasional 1. Takipneu, pernapasan dangkal, dan pergerakan dada yang asimetris seringkali ditunjukkan karena ketidaknyamanan pergerakan dinding dada dan atau cairan di dada. 2. Penurunan aliran udara terjadi pada area yang terisi oleh cairan. Crackles, ronchi, dan

dan pergerakan dada. Monitor tanda-tanda kegagalan napas (ex: sianosis dan takipneu akut). 2. Auskultasi lapang paru, catat area yang mengalami penurunan atau ketiadaan aliran

udara dan perubahan suara napas seperti crackels dan wheezing.

wheezing terdengar saat inspirasi dan atau ekspirasi sebagai respon terhadap akumulasi cairan, sekresi yang tebal, dan spasme atau obstruksi jalan napas. 3. Menjaga kepala lebih tinggi dapat membuat diafragma lebih rendah sehingga dapat meningkatkan ekspansi dada, pengisian udara di segmen paru, dan dapat memobilisasi serta mengeluarkan sekret untuk menjaga jalan napas bersih. 4. Batuk efektif atau pembersihan jalan napas secara mekanik sangat tidak efektif pada klien yang tidak dapat melakukan hal apapun seperti pada klien di ICU yang mengalami penurunan kesadaran.
5. Bertujuan untuk mengurangi bronkospasme

3. Naikkan kepala tempat tidur, ubah posisi sesering mungkin.

4. Berikan suction kepada klien jika

diindikasikan, seperti suara napas yang sangat mengalami perubahan serta terjadinya desaturasi karena adanya sekret pada jalan napas.
5. Berikan obat-obatan yang diindikasikan

seperti mukolitik, ekspektoran, dan bronkodilator.


6. Berikan tambahan cairan seperti IV serta

dan memobilisasi sekret. 6. Cairan sangat dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan dan untuk

humidified oxygen.

memobilisasi sekret. 7. Monitor x-ray dada, analisa gas darah, dan 7. Untuk melihat kemajuan dan efek dari denyut oksimetri. proses penyakit serta regimen terapeutik.

Diagnosa Keperawatan 2: Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan demam dan dispnea Tujuan: Mencapai keseimbangan yang adekuat. Intervensi 1. Berikan pasien 2 sampai 3 liter per hari ( kecuali pasien mendapat pembatasan cairan) Rasional Demam dan takipnea menyebabkanr peningkatan kehilangan air tidak kasat mata. Pasien dapat mengalami dehidrasi. Napsu makan buruk selama pneumonia. Bakterialis
2. Pantau masukan dan keluararan, kulit

meningkatkan kebutuhan akan masukan cairan Membantu dalam pengkajian keseimbangan cairan.

dan tanda-tanda vital.

Kriteria Keberhasilan: 1) Mengungkapkan pentingnya minum 2-3 liter per hari. 2) Terhidrasi secara adekuat.

DIAGNOSA KEPERAWATAN Pola pernapasan tidak efektif berhubungan dengan perubahan membrane kapiler alveoli/perubahan kapasitas darah dalam membawa oksigen/hipoventil asi

TUJUAN

KRITERIA EVALUASI

INTERVENSI

RASIONAL

Pola pernafasan efektif

- Klien menunjukkan pola pernafasan yang efektif dengan GDA dalam rentang normal - Klien bebas sianosis dan tanda atau gejala hipoxia

- Mengidentifikasi etiologi/ factor pencetus, contoh kolaps spontan, trauma, keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi meknik.(Pada kasus karena infeksi).

- Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lain.

- Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan/ pernapasan serak, dispnea, keluhan lapar udara, terjadinya sianosis, perubahan tanda vital

-Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia

-Auskultasi bunyi napas

-Bunyi napas dapat mnurun atau tak ada pada lobus, segmen paru, , atau seluruh area paru unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas, dan sebagian area olaps menurun bunyinya. Evaluasi juga dilakukan untuk area yang baik pertukaran gasnya dan memberikandata evaluasi perbaikan pneumotoraks

-Pengembangan dada sama dengan ekspansi paru. Deviasi trakea dari area sisi yang sakit pada tegangan

Daftar Pustaka: Basavanthappa, Bt. 2002. Fundamentals of nursing. New Delhi: Jaypee Btothers Medical Publishers http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14259/1/09E01052.pdf Diunduh pada tanggal 21 April 2011 pukul 10.29 WIB Dahlan, Zul (1998). Cermin dunia kedokteran, Tinjauan ulang masalah pneumonia yang didapat di rumah sakit. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_121_asma_dan_masalah_pernapasan_lain.pdf diunduh tanggal 21 april 2011 pukul 17.40 Dahlan, Zul.Tinjauan Ulang Masalah Pneumonia yang Terjadi di Rumah Sakit. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09TinjauanUlangPneumonia121.pdf/09TinjauanUl angPneumonia121.html (diunduh pada 23 April 2001, Jam 18.00WIB) Dartini. (2004). Gambaran kesehatan lingkungan dan faktor risiko kejadian Infeksi Nosokomial Pneumonia di Ruang ICU RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2003 - 2004. http://eprints.ui.ac.id/10417/. (Diunduh pada tanggal 21 April 2011, pukul 11.27 WIB). Doenges, Marilynn E., Mary Frances Moorhouse, & Alice C. Murr. (2006). Nursing Care Plans, Guidelines for Individualizing Clients Care Across The Life Span Ed. 7. Philadephia: F. A. Davis Company. Edwards, Sharon & Sabato, Mimma. (2009). A nurses survival guide to critical care. Philadelphia: Elsevier. Hadi Jusuf, Primal Jusuf, Hadi & Sudjana, Primal. (1997). Cermin dunia kedokteran, Sepsis pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_114_kedaruratan_paru.pdf diunduh tanggal 21 april 2011 pukul 17.50 Hamsafir, Evan. (2010). Diagnosis dan penatalaksanaan pada infeksi nosokomial. http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaksanaan-pada-infeksinosokomial.html diunduh pada tanggal 21 April 2011 pukul 16.02 WIB PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). (2003). Pneumonia nosokomial: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. www.klikpdpi.com/konsensus/pnenosokomial/pnenosokomial.pdf diunduh pada tanggal 21 April 2011 pukul 13.55 WIB

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia nosokomial. http://www.klikpdpi.com/konsensus/pnenosokomial/pnenosokomial.pdf. (Diunduh pada tanggal 22 April 2011, pukul 15.28 WIB). Sedyaningsih, E. R. (2009). Infeksi Nosokomial harus dikendalikan. http://kesehatan.kompas.com/read/2009/11/09/08082762/Menkes.Infeksi.Nosokomial.Ha rus.Dikendalikan (diunduh pada hari Sabtu, 23 April 2010 pkl. 23.48 WIB) Wiryana, Made. Ventilator Associated Pneumonia. http://www.google.co.id/url? sa=t&source=web&cd=11&ved=0CBQQFjAAOAo&url=http%3A%2F %2Fejournal.unud.ac.id%2Fabstrak%2Fventilator%2520associated %2520pneumonia.pdf&rct=j&q=pencegahan%20infeksi%20nosokomial%20di%20ICU %20ARDS&ei=V7OyTbnxLIWyrAedqbXIDQ&usg=AFQjCNFfTSVCWCTpXrtWYN V7-GjmBaL6Vw&cad=rja (diunduh pada 23 April 2011, Jam: 19.00 WIB) http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09TinjauanUlangPneumonia121.pdf/09TinjauanUlangPn eumonia121.html (diunduh pada hari Sabtu, 23 April 2010 pkl. 23.48 WIB)

Anda mungkin juga menyukai