Anda di halaman 1dari 6

Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933 Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang

sehat ke dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak, ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan. Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan peternakan. Putusan Mahkamah Agung Belanda: Pasal 82 Undang-undang ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain : tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara letterlijk memenuhi rumusan delik. Menurut pendapat van Hattum, Hoge Raad telah menganut paham melawan hukum materiil. Perhatian Hoge Raad, dalam arrestnya tanggal 20 Pebruari 1933, N.J. 1933 halaman 918, A.8 yang juga dikenal sebagai Huizenae Veeartsarrest atau arrest dokter hewan dari desa Huizen. 1[52] Mahkamah Agung Republik Indonesia menganut cara pandang sifat melawan hukum formil maupun sifat melawan hukum materil. Berdasarkan pengertian melawan hukum yang materil itu, ditarik menjadi alasan pembenar yang tidak tertulis (buiten wettelijke strafuitsluitingsgrond).2[53] Arrest menyangkut tindakan seorang dokter hewan di desa Huizen, yang telah memasukkan beberapa ekor sapi yang sehat ke dalam sebuah kandang hewan, yang di dalamnya terdapat sejumlah sapi yang 1 2

terkena penyakit mulut dan kuku (mond-en klauwzeer). Dengan tindakannya itu telah diperbesar kemungkinan bahwa sapi-sapi yang sehat itu akan terkena penyakit mulut dan kuku, yang pada hakekatnya merupakan suatu perbuatan yang terlarang menurut Veewet atau Undangundang Peternakan. Menurut undang-undang tersebut, tindakan dari dokter hewan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai suatu kesengajaan membawa hewan yang sehat ke dalam keadaan sakit. Pada waktu dokter hewan tersebut diajukan ke depan hakim, ia telah mengemukakan pembelaannya, bahwa pada umumnya memang perbuatan seperti yang telah ia lakukan itu merupakan suatu perbuatan yang terlarang. Akan tetapi di dalam kasus yang ia hadapi keadaannya adalah lain. Sebagai seorang dokter yang baik ia tidak dapat berbuat lain kecuali memasukkan sapi-sapi yang sehat itu ke dalam kandang di mana terdapat sapi-sapi yang sakit, oleh karena keadaan penyakit mulut dan kuku yang melanda desa Huizen dan sekitarnya itu, hingga terdapat suatu perkiraan yang kuat bahwa sapisapi yang sehat itu tidak akan dapat terhindar dari kejangkitan penyakit mulut dan kuku tersebut. Mengingat bahwa sapi-sapi tersebut pada waktu itu sedang tidak memberikan susu, dan penyakit mulut dan kuku itu pengaruhnya adalah tidak separah dibandingkan apabila penyakit itu menyerang sapi-sapi tersebut pada waktu mereka memberikan susu. Maka ia menganggap sangat perlu sapi-sapi tersebut telah kejangkitan penyakit sebelum sapi-sapi itu mulai memberikan susu lagi. Hal tersebut bukan hanya penting bagi pemilik dari sapi-sapi tersebut, melainkan juga bagi dunia hewan pada umumnya oleh karena kemungkinan meluasnya penyakit itu adalah lebih besar pada sapi-sapi yang sedang memberikan susu.3[54] Di dalam kasus tersebut, dokter hewan itu tidak dapat membela dirinya dengan mengatakan ia berada dalam keadaan overmacht, atau karena melakukan perintah jabatan ataupun berada di dalam keadaan noodweer. Secara nyata di dalam pembelaannya itu terdapat suatu dalih, bahwa di dalam kasus tersebut tindakannya itu tidaklah bersifat melawan hukum dan karenanya ia tidak dapat dihukum karena tindakannya itu. 4[55] Ternyata Hoge Raad telah menyatakan, bahwa perbuatan dari dokter hewan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan yang 3 4

menyebabkan pelakunya dapat dihukum pertimbangan, sebagai berikut :5 [56] a. Bahwa seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman itu pada dasarnya dapat dihukum, kecuali jika undang-undang sendiri telah menunjukkan tentang adanya sesuatu dasar yang meniadakan hukuman; b. Bahwa dapat terjadi unsur melawan hukum di dalam rumusan tindak pidana itu ternyata tidak tebukti hingga perbuatan seseorang itu tidak dapat dihukum karena tidak adanya unsur melawan hukum tersebut dan rumusan tindak pidana menurut sesuatu pasal undangundang tidak dapat diberlakukan terhadap sesuatu perbuatan tertentu. Para penulis Belanda pada umumnya hanya menduga-duga bahwa Hoge Raad tersebut telah menganut paham melawan hukum materil, akan tetapi di Indonesia dengan melihat berbagai putusan kasasi dari Mahkamah Agung, dipastikan bahwa Mahkamah Agung RI secara tegas memang menganut paham melawan hukum materil, misalnya pada putusan kasasinya tanggal 8 Januari 1966 nomor 42 K/Kr/1965 di dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung antara lain telah mengatakan: bahwa pada umumnya suatu tindak pidana itu dapat hilang sifatnya sebagai perbuatan yang melawan hukum, kecuali berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, juga berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum; misalnya bahwa di dalam hal ini; faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum tetap dapat dilayani dan bahwa terdakwa sendiri tidak memperoleh keuntungan.6[57] Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan took sudah jam tutup took, sehingga pemilik took dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap 5 6

putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesame (Arrest ini disebut Arrest optician). A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D, pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam dengan pidana Barang siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal dicampur dengan sesuatu (tidak murni). Ini merupakan tindak pidana berupa pelanggaran. A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana. A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih kurang demikian: a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil (ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu. b. Tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D) dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya. c. Lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak. Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever susu dengan sebutan susu murni padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D. b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan (enige schuld), akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang

tidak mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada. c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk Undang-undang menyetujui sistem, orang yang berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang-undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama sekali (asas : afwezigheid van alle schuld). d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata dalam rumusan delik. Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka: a. ajaran fait materiel pada pelanggaran ditinggalkan. b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan yang tertinggi (Belanda) berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Hal tersebut telah diputuskan oleh HOGE RAAD di dalam arrest-nya tanggal 10 Juni 1912, W. 9355 yang telah mengatakan antara lain : menyuruh melakukan itu sifatnya tidaklah terbatas, ditinjau dari cara bagaimana suatu perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang disuruh melakuakan. Ia dapat berupa suatu perbuatan, yang oleh orang yang telah disuruh melakukannya itu tidak diketahui, bahwa perbuatan tersebut sebenarnya merupakan suatu tindak pidna. Dalam hal ini isteri seorang penjual susu telah menambah sejumlah air kedalam susu yang telah siap diantarkan kerumah-rumah para langganan suaminya, yang tidak mengetahui bahwa susu tersebut telah dipalsukan . PENERAPAN DAN PENEMUAN ALASAN PENGHAPUS PIDANA MELALUI YURISPRUDENSI Penerapan alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP dapat dilihat dalam yurisprudensi. Yang diatur di luat KUHP dapat dilihat mulai dari Arrest Hoge Raad tentang tukang susu tanggal 14

februari 1916 yang pada saat itu Hoge Raad sudah mulai mengikuti asas tidak ada pidana tanpa kesalahan. Kemudian Arrest Hoge Raad tentang dokter hewan tanggal 20 februari 1933, mulai menganut ajaran sifat melawan hukum materiil. Di Indonesia perkembangan alasan penghapus pidana lebih banyak melalui sifat melawan hukum materiil. Putusan - putusan mahkamah agung yang sangat baik berkaitan dengan sifat melawan hukum materiil banyak dijadikan pedoman oleh hakim hakim lain baik dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun dari mahkamah agung sendiri. Secara tegas diakui bahwa sifat melawan hukum materiil merupakan alasan penghapus pidana diluar undang - undang . kesimpulan gua mengenai avas ini adalah sebuah alasan pemaaf dikarenakan seseorang tersebut bukanlah orang yang seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya, sebuah contoh klasik jika di baca pada buku utreht jilid II maka dikatakan disana ada seorang pengantar susu keliling yang mengantarkan susu yang telah dicampur dengan air, kemudian dengan alsan avas si penjual susu dinyatakan tidak ada kesalahan sama sekali, karena apa? karena dia tidak mengetahui sama sekali mengenai susu yang diantarkan tersebut ternyata telah dicampur dengan air...

Anda mungkin juga menyukai