Anda di halaman 1dari 10

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PENDAHULUAN Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk meningkatkan kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun pada kenyataannya, pemerintah daerah umumnya belum menjalankan fungsi dan peranan secara efisien, terutama dalam pengelolaan keuangan daerah. Kondisi seperti ini muncul karena pendekatan umum yang digunakan dalam penentuan besar alokasi dana untuk setiap kegiatan adalah pendekatan inkremental, yang didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Selain itu, pendekatan yang lain juga digunakan adalah line-item budget yaitu perencanaan anggaran yang didasarkan atas pos anggaran yang telah ada sebelumnya. Pendekatan ini tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk menghilangkan satu atau lebih pos pengeluaran yang telah ada, meskipun pos pengeluaran tersebut sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan oleh unit kerja yang bersangkutan. Sementara itu, analisis mendalam untuk mengetahui struktur, komponen dan tingat biaya dari setiap kegiatan belum pernah dilakukan. Lemahnya perencanaan pengeluaran tersebut akhirnya memunculkan kemungkinan underfinancing atau overfinanciing, yang semuanya mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintah daerah. Pada umumnya, masalah utama yang dihadapi unit kerja yang mengalami underfinancing adalah rendahnya kapabilitas program kerja untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan public. Sedangkan unit kerja yang menikmati overfinancing masalah yang dihadapi adalah efisiensi yang rendah. Dalam situasi seperti ini menyebabkan banyak layanan public dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan kebutuhan tuntutan publik, sementara dana yang ada dalam anggaran daerah merupakan dana public. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut cenderung akan memperlemah peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur dalam proses pembangunan daerah. Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 1 ayat 5, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Berdasarkan UU 33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good government governance). Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu system anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan. Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan public dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. Devas, dkk (1989) mengemukakan bahwa pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut. 1. Tanggung jawab (accountability). Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah pemerintah pusat, DPRD, kepala daerah dan masyarakat umum. 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan. 3. Kejujuran. Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. 4. Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency). Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. 5. Pengendalian. Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai. Hal tersebut dipertegas oleh mardiasmo (2000) bahwa salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah

1. Anggaran Berbasis Kinerja Sebelum berlakunya sistem Anggaran Berbasis Kinerja, metode penganggaran yang digunakan adalah metoda tradisional atau item line budget. Cara penyusunan anggaran ini tidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan, namun lebih dititikberatkan pada kebutuhan untuk belanja/pengeluaran dan sistem pertanggung jawabannya tidak diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara efektif dan efisien atau tidak. Tolak ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja namun jika anggaran tersebut defisit atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut gagal. Dalam perkembangannya, muncullah sistematika anggaran kinerja yang diartikan sebagai suatu bentuk anggaran yang sumbersumbernya dihubungkan dengan hasil dari pelayanan. Anggaran kinerja mencerminkan beberapa hal. Pertama, maksud dan tujuan permintaan dana. Kedua, biaya dari program-program yang diusulkan dalam mencapai tujuan ini. Dan yang ketiga, data kuantitatif yang dapat mengukur pencapaian serta pekerjaan yang dilaksanakan untuk tiaptiap program. Penganggaran dengan pendekatan kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktivitas. Anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem anggaran tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan penggunaan biaya tersebut harus efisien dan efektif. Berbeda penganggaran dengan pendekatan tradisional, penganggaran dengan pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada "apa yang ingin dicapai". Kalau fokus ke "output", berarti pemikiran tentang "tujuan" kegiatan harus sudah tercakup di setiap langkah ketika menyusun anggaran. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Jadi, tolak ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Sistem penganggaran seperti ini disebut juga dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Siklus anggaran adalah masa atau jangka waktu mulai saat anggaran disusun sampai dengan saat perhitungan anggaran disahkan dengan undang-undang. Siklus anggaran berbeda dengan tahun anggaran. Tahun anggaran adalah masa satu tahun untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggaran atau waktu di mana anggaran tersebut dipertanggungjawabkan. Jelaslah, bahwa siklus anggaran bisa mencakup tahun anggaran atau melebihi tahun anggaran karena pada dasarnya, berakhirnya suatu siklus anggaran diakhiri dengan perhitungan anggaran yang disahkan oleh undang-undang. Siklus anggaran terdiri dari beberapa tahap (fase) yaitu :

1. 2. 3. 4. 5.

Tahap penyusunan anggaran Tahap pengesahan anggaran Tahap pelaksanaan anggaran Tahap pegawasan pelaksanaan anggaran Tahap pengesahan perhitungan anggaran

Untuk dapat menyusun Anggaran Berbasis Kinerja terlebih dahulu harus disusun perencanaan strategik (Renstra). Penyusunan Renstra dilakukan secara obyektif dan melibatkan seluruh komponen yang ada di dalam pemerintahan dan masyarakat. Agar sistem dapat berjalan dengan baik perlu ditetapkan beberapa hal yang sangat menentukan yaitu standar harga, tolok ukur kinerja dan Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengukuran kinerja (tolak ukur) digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah. Salah satu aspek yang diukur dalam penilaian kinerja pemerintah daerah adalah aspek keuangan berupa ABK. Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu antara lain indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia dan metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Dalam menilai kewajaran input dengan keluaran (output) yang dihasilkan, peran Analisa Standar Biaya (ASB) sangat diperlukan. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Ruang lingkup ABK 1) Menentukan Visi dan misi (yang mencerminkan strategi organisasi), tujuan, sasaran, dan target. Penentuan visi, misi, tujuan, sasaran, dan target merupakan tahap pertama yang harus ditetapkan suatu organisasi dan menjadi tujuan tertinggi yang hendak dicapai sehingga setiap indikator kinerja harus dikaitkan dengan komponen tersebut. Oleh karena itu, penentuan komponenkomponen tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tetapi juga mengikutsertakan masyarakat sehingga dapat diperoleh informasi mengenai kebutuhan publik.

2) Menentukan Indikator Kinerja. Indikator Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan suatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan bermanfaat (berfungsi). Indikator kinerja meliputi :

a. Masukan (Input) adalah sumber daya yang digunakan dalam suatu proses untuk menghasilkan keluaran yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya. Indikator masukan meliputi dana, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, data dan informasi lainnya yang diperlukan. b. Keluaran (Output) adalah sesuatu yang terjadi akibat proses tertentu dengan menggunakan masukan yang telah ditetapkan. Indikator keluaran dijadikan landasan untuk menilai kemajuan suatu aktivitas atau tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan baik dan terukur. c. Hasil (Outcome) adalah suatu keluaran yang dapat langsung digunakan atau hasil nyata dari suatu keluaran. Indikator hasil adalah sasaran program yang telah ditetapkan. d. Manfaat (Benefit) adalah nilai tambah dari suatu hasil yang manfaatnya akan nampak setelah beberapa waktu kemudian. Indikator manfaat menunjukkan hal-hal yang diharapkan dicapai bila keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi secara optimal. e. Dampak (Impact) pengaruh atau akibat yang ditimbulkan oleh manfaat dari suatu kegiatan. Indikator dampak merupakan akumulasi dari beberapa manfaat yang terjadi, dampaknya baru terlihat setelah beberapa waktu kemudian. 3) Evaluasi dan pengambilan keputusan terhadap pemilihan dan prioritas program. Kegiatan ini meliputi penyusunan peringkat-peringkat alternatif dan selanjutnya mengambil keputusan atas program/kegiatan yang dianggap menjadi prioritas. Dilakukannya pemilihan dan prioritas program/kegiatan mengingat sumber daya yang terbatas. 4) Analisa Standar Biaya (ASB) ASB merupakan standar biaya suatu program/kegiatan sehingga alokasi anggaran menjadi lebih rasional. Dilakukannya ASB dapat meminimalisir kesepakatan antara eksekutif dan legislatif untuk melonggarkan alokasi anggaran pada tiap-tiap unit kerja sehingga anggaran tersebut tidak efisien. Dalam menyusun ABK perlu memperhatikan prinsip-prinsip penganggaran, perolehan data dalam membuat keputusan anggaran, siklus perencanaan anggaran daerah, struktur APBN/D, dan penggunaan ASB. Dalam menyusun ABK yang perlu mendapat perhatian adalah memperoleh data kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya. Perolehan data kuantitatif bertujuan untuk :
o o

Memperoleh informasi dan pemahaman berbagai program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan. Menjelaskan bagaimana manfaat setiap program bagi rencana strategis. Berdasarkan data kuantitatif tersebut dilakukan pemilihan dan prioritas program yang melibatkan tiap level dari manajemen pemerintahan.

Manfaat Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Paradigma baru dalam pengelolaan keuangan negara/daerah mencakup antara lain penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja. Dalam dokumen penyusunan anggaran berbasis kinerja yang disampaikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta keterkaitan antara besaran anggaran dan manfaat yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu, penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap penyelenggara pemerintahan (pusat/daerah) wajib bertanggung jawab atas hasil proses dan penggunaan semua sumberdaya. Selain itu Anggaran Berbasis Kinerja juga merupakan suatu metode penganggaran yang mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam target kinerja dari setiap SKPD di lingkungan pemerintahan kabupaten/ kota terkait. ABK yang efektif akan dapat mengidentifikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil yang dicapai, serta dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi. 2. Standar Pelayanan Minimal Undang-Undang 32 tahun 2004 pasal 11 (4), menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Di lain pihak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2003 pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan pencapaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah. Selain itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ditegaskan bahwa SPM berisi ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh masyarakat secara minimal. Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) oleh pemerintah pusat adalah cara untuk menjamin dan mendukung pelaksanaan urusan wajib oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan sekaligus merupakan akuntabilitas daerah kepada pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, SPM juga dapat dipakai sebagai alat pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pengertian SPM dapat dijumpai pada beberapa sumber, antara lain: a. Undang-Undang 32 Tahun 2004 penjelasan pasal 167 (3), menyatakan bahwa SPM adalah standar suatu pelayanan yang memenuhi persyaratan minimal kelayakan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 20 (1) menyatakan bahwa APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; Ayat (2) menyatakan

bahwa untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dikembangkan Standar Analisa Belanja (ASB), Tolok Ukur Kinerja dan Standar Biaya. c. Lampiran Surat Edaran Dirjen OTDA Nomor 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002 menyatakan Standar Pelayanan Minimal adalah tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dari berbagai pengertian tersebut, secara umum dapat diikhtisarkan bahwa SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SPM akan menjamin minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat dari pemerintah. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kuantitas dan atau kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa pelaksanaan urusan wajib merupakan pelayanan minimal sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa, SPM ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini departemen teknis, sedangkan pedoman penyusunan SPM ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 167 (3). Manfaat Penerapan Standar Pelayanan Minimal Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, tentang Penyusunan dan Penerapan SPM disebutkan bahwa SPM mempunyai beberapa manfaat, antara lain: a. Memberikan jaminan bahwa masyarakat akan menerima suatu pelayanan public dari pemerintah daerah sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan terjaminnya hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari pemerintah daerah setempat dengan mutu tertentu; b. Dengan ditetapkannya SPM akan dapat ditentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik, sehingga SPM dapat dijadikan dasar untuk penentuan kebutuhan pembiayaan daerah; c. SPM dapat dipakai sebagai landasan dalam menentukan perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan transparan; d. Menjadi dasar dalam menentukan anggaran berbasis kinerja. Dalam hal ini SPM dapat dijadikan dasar dalam menentukan alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. Disamping itu SPM dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah terhadap masyarakat, sebaliknya masyarakat dapat mengukur sejauh mana pemerintah daerah memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik;

e. Sebagai alat ukur bagi kepala daerah dalam melakukan penilaian kinerja yang telah dilaksanakan oleh unit kerja penyedia suatu pelayanan; f. Sebagai benchmark untuk mengukur tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pelayanan publik; g. Menjadi dasar bagi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh institusi pengawasan; h. SPM akan dapat memperjelas tugas pokok Pemerintah Daerah dan mendorong terwujudnya check and balances yang lebih efektif; i. Mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal Beragamnya kondisi daerah, baik kondisi ekonomi, sosial, budaya, maupun kondisi geografis akan berdampak pada kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain setiap daerah mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengimplementasikan SPM. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dalam penerapan SPM perlu dipahami. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 menyebutkan bahwa prinsip-prinsip penerapan standar pelayanan minimal sebagai berikut: a. SPM disusun sebagai alat pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib; b. SPM ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (provinsi, kabupaten/kota); c. Penerapan Standar Pelayanan Minimal oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional; d. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian; e. SPM harus dijadikan acuan dalam perencanaan daerah, penganggaran, pengawasan, pelaporan dan sebagai alat untuk menilai pencapaian kinerja; f. SPM harus fleksibel dan mudah disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan kelembagaan serta personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. 3. Keterkaitan Antara Anggaran Berbasis Kinerja dan Standar Pelayanan Minimal Pelaksanaan desentralisasi pemerintahan membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk menjalankan roda pemerintahannya dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 pasal 10 (2), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan-urusan wajib yang menjadi tanggung

jawab dan harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah juga telah ditetapkan dalam UndangUndang tersebut khususnya pasal 13 dan 14. Pelaksanaan urusan wajib oleh pemerintah daerah harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya, untuk itulah pemerintah pusat sebagai fasilitator penyelenggaraan otonomi daerah, menetapkan suatu standar pelayanan yang harus dilaksanakan oleh setiap pemerintah daerah, agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat terjamin jumlah dan kualitas minimalnya dan tepat guna, yaitu SPM. Dengan adanya SPM akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan terhindar dari kesenjangan pelayanan antar daerah. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, SPM ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, yang mengatur jenis-jenis pelayanan apa saja yang harus disediakan oleh pemda termasuk target kinerja minimal yang harus dicapai. Penetapan SPM ditujukan untuk merangsang tumbuhnya akuntabilitas pemerintah daerah. SPM ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan penetapan program dan perencanaan kerja/kegiatan pelayanan publik yang menjadi urusan wajib pemda, terutama dalam kinerja anggarannya. Dalam hal yang berkaitan dengan kinerja anggaran, pemda harus menyusun anggaran berdasarkan kinerja yang jelas dan terarah yang biasa disebut dengan ABK. Dalam penyusunan ABK, pemerintah daerah harus menyusunnya berdasarkan SPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kinerja yang dimaksud dalam SPM ini adalah target-target yang merupakan tolok ukur yang ditetapkan sebagai indikator keberhasilan suatu kegiatan. Indikator keberhasilan dan target-target (indicator output, outcome, benefit, impact) yang ada dalam SPM akan digunakan untuk menetapkan target-target kegiatan dan menghitung ASB serta menghitung rencana anggaran kegiatan. Program dan rencana kegiatan, termasuk tolok ukur kinerjanya yang merupakan pelaksanaan dari urusan wajib, selanjutnya dituangkan dalam rencana kinerja instansi terkait.

TUGAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

OLEH : MADE AYU LISNA DEWANTI 0915251059

PROGRAM EKSTENSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR-BALI

Anda mungkin juga menyukai