Anda di halaman 1dari 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1.

Jalannya Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu tepatnya di ruang rawat inap (Murai A, Murai B, Murai C, Anggrek). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, motivasi, lama kerja dan pelatihan komunikasi terapeutik dengan penerapan komunikasi terapeutik di RSJ Soeprapto Daerah Bengkulu tahun 2012. Sampel penelitian sebanyak 67 orang yang dambil dengan teknik total sampling. Setalah mendapatkan izin penelitian, peneliti langsung melakukan penelitian yang dilakukan dari tanggal 28 Februari sampai tanggal 28 Maret 2012. Peneliti melaksanakan penelitian dengan menggunakan instrument penelitian berisikan pertanyaan dan pernyataan yang disusun dalam bentuk lembar kuesioner yang diberikan kepada responden yang berisi tentang umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, lama kerja, pelatihan komunikasi terapeutik dan motivasi kerja. Sedangkan untuk lembar observasi berisi tentang penerapan komunikasi terapeutik dilakukan oleh peneliti dengan melihat langsung responden dalam berinteraksi dengan klien. Setelah data terkumpul, hasilnya diperiksa kembali apakah sudah sesuai dengan sampel yaitu 67 responden. Kemudian dilakukan pengkodean dengan memberi kode angka pada hasil penelitian. Setelah itu, ditabulasi dan di
38

analisis secara univariat dari setiap variabel independen dan variabel dependen serta secara bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan komputerisasi. 2. Hasil Penelitian a. Analisa Univariat Analisa ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang distribusi frekuensi umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, motivasi, lama kerja dan pelatihan komunikasi terapeutik serta penerapan komunikasi terapeutik di RSJ Soeprapto Daerah Bengkulu tahun 2012. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Tingkat Pendidikan, Motivasi, Lama Kerja Dan Pelatihan Komunikasi Terapeutik Serta Penerapan Komunikasi Terapeutik Di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu Tahun 2012 Variabel Penelitian Kategori Frekuensi Persentase Muda 29 43,3% Umur Tua 38 56,7% Jenis Kelamin Laki-laki 20 29,9% Perempuan 47 70,1% Status Perkawinan Kawim 53 79,1% Belum kawin 14 20,9% Pendidikan Tinggi 24 35,8% Rendah 43 64,2% Pelatihan Komunikasi Pernah 11 16,4% Terapeutik Tidak pernah 56 83,6% Lama Kerja Baru 19 28,4% Lama 48 71,6% Motivasi Kerja Tinggi 9 13,4% Rendah 58 86,6% Penerapan Komunikasi Baik 25 37,3% Terapeutik Kurang baik 42 62,7% Total 67 100%

39

Dari tabel 4.1 di depan menunjukkan bahwa dari 67 orang responden terdapat lebih dari separuh (56,7%) responden berusia tua, sebagian besar (70,1%) responden berjenis kelamin perempuan, sebagian besar (79,1%) responden berstatus telah kawin, sebagian besar (64,2%) responden berpendidikan rendah, sebagian besar (83,6%) responden tidak pernah mengikuti pelatihan komunikasi terapeutik, sebagian besar (71,6%) responden telah lama bekerja di rumah sakit, sebagian besar (86,6%) responden memiliki motivasi kerja yang rendah, dan sebagian besar (62,7 %) responden yang kurang baik dalam menerapkan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu tahun 2012. b. Analisa Bivariat Analisa ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, motivasi, lama kerja dan pelatihan komunikasi terapeutik dengan penerapan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu tahun 2012. Uji statistik yang digunakan yaitu chi-square (X2) dengan 5 %, yang di olah dengan sistem komputerisasi. Adapun analisanya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

40

Tabel 4.2 Hubungan Antara Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Pendidikan, Pelatihan Komunikasi Terapeutik, Lama Kerja, dan Motivasi Kerja dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Variabel independent Penerapan Komunikais Terapeutik Kurang Baik baik n % n % Total X2 f % Nilai P OR (95% CI)

Kategori

Muda Umur Tua Laki-Laki Jenis Kelamin Perempuan

12 41,4% 17 58,6% 29 100 13 34,2% 25 65,8% 38 100 9 45,0% 11 55,0% 20 100

1,357 0,120 0,729 (0,501-3,681)

1,585 0,328 0,567 (0,545-4.611)

16 34,0% 31 66,0% 47 100

Kawin 19 35,8% 34 64,2% 53 100 0,745 Status 0,029 0.864 (0,225-2,469) Perkawinan Belum Kawin 6 42,9% 8 57,1% 14 100 Pendidikan Tinggi Rendah Lama Kerja Baru Lama 14 58,3% 10 41,7% 24 100 11 25,6% 32 74,4% 43 100 5 26,3% 14 73,7% 19 100 0,500 0,794 0,373 (0,155-1,613) 4,073 5,733 0,017 (1,408-11,779)

20 41,7% 28 58,3% 48 100

Pelatihan Tidak Pernah 19 33,9% 37 66,1% 56 100 0,428 Komunikasi 0,906 0,341 (0,116-1,585) Terapeutik Pernah 6 54,5% 5 45,5% 11 100 Motivasi Kerja Tinggi Rendah 3 33,3% 6 66,7% 9 100 0.818 0,000 1,000 (0,186-3,608)

22 37,9% 36 62,1% 58 100

Berdasarakan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa dari 29 responden yang berusia muda terdapat sebagian kecil 41,4% responden yang

41

menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Sedangkan dari 38 responden yang berusia tua sebagian kecil (34,2%) responden yang menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil uji statistik di dapatkan p= 0,729 > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan penerapan komunikasi terapeutik. Dari 20 responden berjenis kelamin laki-laki sebagian kecil (45,0%) responden yang menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Sedangkan dari 47 responden berjenis kelamin perempuan sebagian kecil (34,0%) reponden menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil uji statistik di dapatkan P=0,567>0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan penerapan komunikasi terapeutik. Dari 53 responden berstatus kawin sebagian kecil (35,8%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Sedangkan dari 14 responden yang belum kawin sebagian kecil (42,9%) responden menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,864>0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Dari 24 responden berpendidikan tinggi sebagian besar (58,3%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Sedangkan dari 43 responden berpendidikan rendah sebagian kecil (25,6%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,017 artinya ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Analisis hubungan didapatkan nilai
42

OR=4,073 (1,408-11,779) artinya responden yang berpendidikan rendah mempunyai risiko sebesar 4,073 kali untuk menerapkan komunikasi terapeutik kurang baik dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi. Dari 19 responden dengan lama kerja masih baru sebagian kecil (26,3%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Sedangkan dari 48 respenden dengan lama kerja sudah lama sebagian kecil (41,7%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,373>0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik. Dari 56 responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan komunikasi terapeutik sebagian kecil (33,9%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Sedangkan dari responden yang pernah mengikuti pelatihan komunikasi terapeutik (54,5%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,341>0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara lama erja dengan penerapan komunikasi terapeutik. Dari 9 responden dengan motivasi kerja tinggi sebagian kecil (33,3%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Sedangkan dari 58 responden dengan motivasi kerja rendah (37,9%) menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=1,000>0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik.

43

B. Pembahasan 1. Hubungan Pendidikan dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Dari 67 perawat yang menjadi sampel penelitian ini terdapat sebagian kecil 35,8% perawat yang berpendidikan tinggi, menerapan komunikasi terapeutik dengan baik mencapai (58,3%) .dan sebagian besar 64,2% perawat yang berpendidikan rendah menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik mencapai (25,6%). Ini artinya perawat yang berpendidikan tinggi lebih baik dalam menerapkan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto daerah Bengkulu. Hasil uji statistik hubungan antara pendidikan dengan penerapan komunikasi terapeutik didaptkan nilai p=0,017 artinya ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan penerapan komunikasi terapeutik dengan nilai OR=4,073 (1,408-11,779) artinya perawat yang berpendidikan rendah mempunyai risiko sebesar 4,073 kali untuk menerapkan komunikasi terapeutik kurang baik dibandingkan dengan perawat yang berpendidikan tinggi. Hasil ini berbanding lurus dengan hasil penelitian Rochmaini (2003) yang hasil penelitiannya menjelaskan bahwa ada hubungan pendidikan perawat dengan kemampuan hubungan terapeutik perawat klien. Pendapat serupa dinyatakan Bhakti (2002) bahwa perawat dengan lulusan DIII keperawatan mempunyai skor rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan perawat lulusan SPK/SPR dalam pelaksanaan fase-fase hubungan terapeutik.

44

Hasil ini diperkuat oleh Musliha (2011) Seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai kemampuan kerja yang tinggi pula, begitu juga dengan perawat yang berpendidikan tinggi juga memiliki kemampuan kerja yang tinggi. Makin tingginnya tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki demikian pula keterampilan intelektualnya. Dengan begitu mudah untuk merespon pertanyaan dari klien dan akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien. Pendidikan merupakan salah satu predisposisi terhadap perilaku seseorang. Melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan intelktualnya, sehingga ia dapat membuat keputusan dalam bertindak, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin mudah baginya untuk menerima serta mengembangkan pengetahuannya. Hasil penelitian tim psikologi UI (2000) juga menunjukan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap kemampuan daya nalar dan daya kritik dalam menyelesaikan masalah dan pengambilan keputusan. 2. Hubungan antara Umur dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Dari hasil distribusi umur terlihat bahwa nilai median adalah 28 tahun, sedangkan umur perawat terbanyak 56,7% pada kelompok lebih dari sama dengan 28 tahun. Penerapan komunikasi terapeutik dengan baik pada kelompok lebih dari sama dengan 28 tahun sebesar (41,4%). Sedangkan perawat yang berumur dibawah 28 tahun menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik sebesar (34,2%). Artinya perawat yang berusia kurang dari 28
45

tahun atau perawat yang berusia lebih dari 28 tahun tidak ada perbedaan dalam menerapkan komunikasi terapeutik di RSJ Soeprapto Bengkulu tahun 2012. Hasil analisa hubungan antara umur dengan penerapan komunikasi terapeutik didapatkan nilai p=0,729 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan penerapan komunikasi terapeutik di RSJ Soeprapto Daerah Bengkulu tahun 2012. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil Susanti (2001)yang hasil penelitiannya menjelaskan adanya hubungan umur dengan kemampuan komunikasi efektif perawat, dimana perawat yang berusia lebih dari 26 tahun berkomunikasi efektif dengan klien. Dan penelitian Manurung (2001) yang hasil penelitianya menyebutkan perawat yang telah berusia 40 tahun keatas menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil penelitian ini bertentangan dengan teori Siagin dalam Manurung (2001) semakin lama seseorang bekerja maka makin banyak pengalaman dan mahir dalam pekerjaannya serta pekerja yang lebih tua dianggap lebih cakap secara teknis.oleh sebab itu perawat yang lebih tua mampu berkomunikasi dengan baik, khusunya dalam melaksanakan komunikasi terapeutik dalam asuhan keperawatan. 3. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Dari 67 sampel penelitian ini lebih dari separuh 70,1% perawat berjenis kelamin perempuan menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik hanya sebesar 34,0% sedangkan perawat berjenis kelamin laki-laki sebanyak
46

20,9% menrapkan komunikasi terapeutik dengan baik sebesar 45,0%. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam menerapkan komunikasi terapeutik di RSJ Soeprapto

Daerah Bengkulu tahun 2012. Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan penerapan komunikasi terapeutik didapatkan nilai p=0,567 artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penerapaan komunikasi terapeutik. Hasil ini berbanding lurus dengan penelitian Rhoatib (2010) yang hasil penelitiannya tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dalam menerapkan komunikasi terapeutik pada fase kerja di Rumah Sakit Sultan Agung Semarang. Tanned dalam Musliha (2011) menyebutkan bahwa wanita dan lakilaki mempunyai perbedaan berkomunikasi. Wanita dalam berkomunikasi dominan menggunakan perasaanya sedangkan laki-laki dalam berkomunikasi lebih cenderung menggunakan akal dan sedikit pertimbangan perasaan. 4. Hubungan Antara Status Perkawinan Dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa hampir seluruh responden telah berstatus kawin. Hasil analisis status perkawinan didapatkan nilai p=0.864 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian Manurung (2003) yang hasilnya menyatakan ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan penerapan komunikasi

47

terapeutik. Dimana responden yang telah menikah menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Status perkawinan berpengaruh terhadap perilaku karyawan dalam kehidupan organisasinnya, baik secara positif maupun negative, dengan demikian status perkawinan mempengaruhi perilaku. Kearah positif yaitu memiliki motivasi dan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi, sehingga karyawan yang telah menikah memiliki pencapaian kerja yang lebih baik daripada yang belum menikah (Manurung, S. 2003). 5. Hubungan Antara Pelatihan Komunikasi Terapeutik Dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hampir seluruh responden tidak pernah mengikuti pelatihan komunikasi terapeutik. Hasil analisis pelatihan komunikasi terapeutik didapatkan nilai p=0,341 artinya tidak ada hubungan antara pelatihan komunikasi terapeutik dengan penerapan komunikasi terapeutik. Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian Manurung, S (2003) yang hasilnya ada hubungan yang bermakna antara pelatihan komunikasi terapeutik dengan penerapan komunikasi terapeutik. Dimana respon yang telah mengikuti pelatihan lebih baik dalam menerapkan komunikasi terapeutik. Pelatihan merupakan bagian dari proses pendidikan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Seseorang yang mengikuti pelatihan akan lebih luas wawasannya dan lebih terampil dalam melakukan pekerjaannya.

48

perawat yang pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan komunikasi akan lebih terampil dalam penerapan komunikasi terapeutik kepada klien.

6. Hubungan Antara Lama Kerja Dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hampir seluruh responden sudah lama bekerja di RSJ Soeprapto Daerah Bengkulu. Hasil analis didapatkan nilai p=0,373 artinya tidak ada hubungan antara lama kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik. Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian Manurung, S (2003) bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik. Dimana responden yang telah bekerja >10 tahun menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik. Hasil ini juga bertentangan dengan teori Mitcheal (1982) dan Graito (1988) dalam Manurung (2003) mengemukakkan bahwa pengalaman kerja turut menetukan bagaimana perawat menjalankan fungsinya sehari-hari, karena semakin lama perawat bekerja, maka ia semakin terampil dan berpengalaman menghadapi masalah dalam pekerjaannya. Lama bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di tempat kerja. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak pengalaman yang dimilikinya sehingga semakin baik cara komunikasinya. Masa kerja seseorang dapat diketahui dari mulai awal perawat bekerja sampai saat berhenti atau masa sekarang saat masih bekerja di rumah sakit (Ismani, 2001).

49

7. Hubungan Motivasi Kerja Dengan Penerapan Komunikasi Terapeutik Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memiliki motivasi kerja yang rendah. Hasil analsis motivasi kerja didapatkan nilai p=1,000 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori dimana motivasi merupakan kondisi yang mengarah kepada suatu proses yang mendorong kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja dengan segala kecakapan, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya guna mencapai suatu tujuan itu dapat berupa tujuan organisasi maupun tujuan individual. Orang yang memiliki motivasi kerja yang tinggi akan mempengaruhi kinerja dalam melakukan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, begitupula dengan seorang perawat yang memiliki motivasi kerja yang tinggi akan bekerja dengan baik didalam segi kegiatannya termasuk dalam berkomunikasinya.

50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sebagian besar perawat berusia tua, sebagian besar perawat berjenis kelamin perempuan, sebagian besar perawat berstatus telah kawin, sebagian besar perawat berpendidikan rendah sebagian besar perawat tidak pernah mengikuti pelatihan komunikasi terapeutik, sebagian besar perawat telah lama bekerja di rumah sakit, sebagian besar perawat memiliki motivasi kerja yang rendah, dan sebagian besar perawat yang kurang baik dalam menerapkan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu. 2. Ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan penerapan komunikasi terapeutik di di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu. 3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur, jenis kelamin, status perkawinan, pelatihan komnikasi terapeutik, lama kerja, dan motivasi kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Soeprapto. 4. Pendidikan merupakan faktor yang paling dominan dalam penerapan komunikasi terapeutik di di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu.
51

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti ingin memberikan saran kepada beberapa pihak yang terkait antara lain kepada: 1. Bagi Rumah Sakit Untuk memberikan penyuluhan atau pelatihan komunikasi terapeutik dan memberikan motivasi baik berupa material atau nonmaterial. 2. Bagi Akademik Sebagai salah satu intitusi dibidang kesehatan diharapkan dapat ikut serta dalam memajukkan penerapan komunikasi terapeutik dengan

meningkatkan pengetahuan dan skill mahasiswa dalam berkomunikasi untuk bekal berhadapan dengan klien di waktu dinas di rumah sakit. 3. Bagi peneliti Memeberikan wawasan dan pengetahuan yang baru mengenai proses penerapan komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan bekal untuk melakukan terapi dalam berhadapan dengan klien. 4. Peneliti lain Diharapkan kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai factor lain (supervise, penghargaan dll). Penelitiannya dapat dilakukan dengan memperbanyak sampel yang diteliti dan dengan teknik pengambilan sampel dan design penelitian yang berbeda.

52

53

Anda mungkin juga menyukai