Anda di halaman 1dari 24

Ablasi Radiofrekuensi (Radiofrequency Ablation; RFA) pada Hepatocellular Carcinoma: Hasil 10 Tahun Terapi dan Faktor Prognosis

Shuichiro Shiina, MD, PhD1, Ryosuke Tateishi, MD, PhD1, Toru Arano, MD1, Koji Uchino, MD1, Kenichiro Enooku, MD, PhD1, Hayato Nakagawa, MD, PhD1, Yoshinari Asaoka, MD, PhD1, Takahisa Sato, MD, PhD1, Ryota Masuzaki, MD, PhD1, Yuji Kondo, MD, PhD, Tadashi Goto, MD, PhD1, Haruhiko Yoshida, MD, PhD1, Masao Omata, MD, PhD1 dan Kazuhiko Koike, MD, PhD1
1

Bagian Gastroenterologi, Lulusan Fakultas Kedokteran, Universitas Tokyo , Tokyo, Jepang.

Tujuan: Ablasi radiofrekuensi (Radiofrequency Ablation; RFA) secara luas telah diterapkan dalam pengobatan karsinoma hepatoseluler (Hepatocellular Carcinoma; HCC). Namun, belum dijumpai adanya laporan terkait hasil penerapan metode RFA ini dalam kurun waktu 10 tahun penggunaannya dalam pengobatan HCC. Untuk itu studi ini bertujuan untuk melaporkan serangkaian kasus dalam 10 tahun secara berturutan pada sebuah pusat rujukan tersier. Metode: Kami mengambil data dari 2.982 pengobatan dengan metode RFA pada 1.170 pasien kanker hati primer (HCC) dan menganalisis rekaman databasenya. Hasil: Hasil pencitraan terakhir dengan Computed Tomography menunjukkan terjadinya ablasi tumor lengkap pada sejumlah 2964 (99,4%) dari total 2.982 pengobatan dengan metode RFA yang dilakukan pada 1.170 pasien kanker hati primer (HCC). Dengan nilai median dari follow up yang dilakukan sebesar 38,2 bulan, angka survival rate baik 5 dan 10 tahun masing-masing sebesar 60,2% (95% confidence interval (CI): 56,7-63,9%) dan 27,3% (95% CI: 21,5-34,7%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa usia, antibodi terhadap virus hepatitis C (anti-HCV), skor kelas Child-Pugh, ukuran tumor, jumlah tumor, kadar tingkat serum des-carboxyprothrombin (DCP), dan kadar serum lektin-reaktif -fetoprotein (AFP-L3) secara signifikan memiliki hubungan terhadap besarnya angka survival rate. Tingkat progresifitas lokal tumor, baik 5 dan 10 tahun ternyata memiliki besar yang sama,

yakni 3,2% (95% CI: 2,1-4,3%). Kadar serum DCP secara tunggal ternyata sudah cukup signifikan berhubungan terhadap progresifitas lokal dari tumor. Besarnya angka kekambuhan jauh dalam rentang 5 dan 10 tahun masing-masing adalah 74,8% (95% CI: 71,8-77,8%) dan 80,8% (95% CI: 77,4-84,3%). Anti-HCV, kelas ChildPugh, jumlah trombosit, ukuran tumor, jumlah tumor, kadar serum AFP, dan kadar serum DCP secara signifkan berhubungan dengan besarnya angka kekambuhan jauh. Terdapat 67 komplikasi (2,2%) dan 1 kematian (0,03%) dalam studi ini. Kesimpulan: RFA secara lokal dapat digunakan sebagai terapi kuratif untuk HCC, sehingga selama kurun waktu 10 tahun dapat menjaga kelangsungan hidup pasien, dan merupakan suatu prosedur yang aman digunakan dalam terapi. RFA dapat menjadi pilihan pengobatan lini pertama, terutama untuk pasien-pasien dengan HCC yang masih stadium awal. PENDAHULUAN Hepatocellular carcinoma (HCC) adalah neoplasma maligna urutan ke-5 dunia yang paling umum dijumpai (1). Hanya sebanyak 20% pasien HCC yang dapat diaplikasikan untuk dilakukan terapi reseksi (2). Selanjutnya, kekambuhan sering dijumpai, bahkan setelah dilakukan terapi reseksi kuratif. Metode transplantasi hati sangat terbatas, mengingat kurangnya organ donor. Oleh karena itu, berbagai terapi non-bedah telah banyak dijumpai (3 - 5). Diantara terapi-terapi ini, ablasi dengan panduan pencitraan perkutan dianggap sebagai terapi terbaik untuk HCC dalam stadium awal. Injeksi etanol dahulu merupakan prosedur standar di antara berbagai teknik ablasi perkutan. Namun, studi randomized controlled trial, telah menunjukkan bahwa ablasi frekuensiradio (RFA) memiliki efek lokal antitumor yang lebih dapat diandalkan, yang mengarah pada lebih rendahnya resiko progresi tumor lokal dan tingkat kelangsungan hidup pasien yang lebih tinggi (6 - 9). RFA kemudian menggantikan metode injeksi etanol (10).

Gambar 1. Alur pasien pada studi ini. HCC; Hepatocellular carcinoma

Beberapa laporan 5 tahunan terkait hasil terapi RFA dijumpai (11 - 17), namun demikian, tidak ada penelitian yang melaporkan cakupan 10 tahun hasil terapi RFA. Kami dalam penelitian ini melaporkan serial kasus berturutan dalam 10-tahunan terapi RFA di sebuah pusat rujukan tersier. Kami menganalisis efek antitumor, angka kelangsungan hidup pasien, progresifitas lokal tumor, tingkat kekambuhan, variablevariabel yang relevan terhadap hasil pengobatan, dan komplikasi yang mungkin terjadi. Sebagai tambahan pengetahuan kita, penelitian ini merupakan penelitian terbesar yang mendokumentasikan pengobatan RFA dalam suatu institusi tunggal.

METODE Indikasi RFA RFA adalah terapi pilihan pada pasien HCC yang mencakup kriteria berikut ini: (i) tidak memenuhi syarat untuk dilakukan reseksi bedah / transplantasi hati atau pasien menolak untuk dilakukan tindakan operasi, (ii) tidak dijumpai adanya metastasis ekstrahepatik / invasi vaskuler, dan (iii) tidak ada penyakit berbahaya lainnya yang dapat mempengaruhi prognosis pengobatan pasien. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: (i) tumor tidak tervisualisasikan dengan ultrasonografi / tidak dapat diakses secara perkutan, (ii) tingkat bilirubin total 3,0 mg / dl, (iii) angka hitung trombosit <50 109 / L atau aktivitas protrombin <50%, (iv) asites kambuhan, (v) reflux enterobiliar, dan (vi) adhesi antara tumor dan saluran pencernaan. Secara umum, kami melakukan RFA pada pasien dengan skor Child-Pugh kelas A atau kelas B, tumor tunggal dengan diameter 5 cm, atau tiga atau kurang dari 3 multiple tumor dengan diameter 3 cm. Dalam kasus di luar kondisi ini, kami melakukan RFA pada pasien yang kemungkinan dapat memperoleh manfaat dari prosedur ini ditinjau dari probabilitas kesembuhan maupun perpanjangan kehidupannya. Tidak ada pasien yang tak diikutsertakan semata-mata karena jumlah dari lokasi tumor (18). Informed consent telah diberikan kepada setiap pasien. Studi ini telah dilakukan sesuai dengan pedoman etika Deklarasi Helsinki tahun 1975 dan disetujui oleh Institutional Review Board (ID Registrasi: P98C05-11Y).

Tabel 1. Karakteristik dasar dari 1170 pasien yang menjalani ablasi radiofrekuensi untuk HCC
Variabel Usia (tahun) Laki-laki, n (%) Infeksi Virus HBs-Ag-Positif, n (%) Anti-HCV-positif, n (%) Keduanya positif, n (%) Keduanya negative, n (%) Konsumsi alcohol > 80% Ascites, n (%) Enchepalopathy, n (%) Albumin (g/dL) Total bilirubin (mg/ dL) Waktu Protrombin (%) Hitung Platelet (x104/mm3) AST ALT Kelas Child Pugh, n (%) A B C Ukuran Tumor (cm) Jumlah tumor Serum AFP 100 101-400 >400 Serum DCP 100 101-400 >400 Serum AFP-L3 15 15,1-40 >40

Pasien
68.3 8.6 751 (64.1) 127 (10.9) 870 (74.4) 13 (1.1) 159 (13.6) 170 (14.5) 117 (10.0) 24 (2.1) 3.65 0.47 0.95 0.49 79.6 14.1 11.9 5.6 61.5 35.9 57.3 40.8 868 (74.2) 291 (24.9) 11 (0.9) 2.54 1.04 1.8 1.2 928 (793) 146 (12.5) 96 (8.2) 964 (83.1) 126 (10.9) 70 (6.0) 1,015 (86.8) 74 (6.3) 81 (6.9)

Dalam studi kohort ini, kami menganalisis terkomputerisasi prospektif terkumpul yang dalam data-data secara telah database.

Antara bulan Februari 1999 dan Desember 2009, sejumlah 2.825 pasien dengan HCC telah dirawat sekali atau lebih oleh bagian gastroenterologi, Universitas Tokyo (Gambar 1). Diagnosis awal rawat inap diketahui bahwa sejumlah

1.485 pasien menderita HCC primer dan sisanya, 1.340 menderita HCC yang

berulang. Pada pasien dengan HCC berulang, HCC primer sebelumnya telah diobati

dengan menggunakan terapi selain metode RFA. Dari sebanyak 1.485 pasien dengan HCC primer, 1.294 (87,1%) menjalani ablasi

perkutan sebagai terapi awal,

termasuk di sini RFA. Sedang sejumlah 191 pasien sisanya menjalani terapi lain: reseksi hepatik, 29 pasien dengan kondisi fungsi hati yang masih baik dan setuju untuk dilakukan operasi; transarterial chemoembolization, 149 pasien dengan multinodular atau tumor besar yang tidak dapat diobati dengan terapi ablasi; sistemik kemoterapi, tiga pasien dengan metastasis extrahepatik; dan hanya dilakukan terapi suportif, 10 pasien dengan sirosis dekompensata atau kondisi umum yang buruk.

Gambar 2. Survival secara keseluruhan pada 1170 pasien dengan HCC primer yang sedang menjalani terapi RAF Dari sejumlah 1.294 pasien yang diterapi dengan menggunakan metode ablasi perkutan, 1.170 menjalani RFA dan 124 pasien lainnya menjalani injeksi etanol. Pilihan terapi dibuat sebagai berikut: antara April 1999 dan Januari 2001, sebanyak 232 pasien dengan tiga atau lebih sedikit tumor, masing-masing 3 cm diameter, dan skor fungsi hati Child-Pugh kelas A atau B dimasukkan dalam uji randomized controlled trial untuk dapat membandingkan metode RFA dengan metode injeksi etanol (6). Pasien di luar kriteria inklusi sebagian besar diterapi dengan menggunakan metode RFA. Setelah percobaan ini, RFA pada umumnya digunakan sebagai pengobatan pilihan, dan injeksi etanol hanya diberikan kepada mereka yang dianggap

tidak memungkinkan untuk dilakukan terapi dengan metode RFA; injeksi etanol diberikan kepada mereka yang mengalami baik reflux enterobiliar maupun adhesi tumor pada saluran pencernaan.

Tabel 2. Survival dari pasien yang sedang menjalani terapi ablasi RAF, berdasar atas jumlah tumor, ukuran tumor, dan kelas Child-Pugh

HCC dapat didiagnosis berdasarkan temuan khas pada pencitraan; yakni, terdapat gambaran enhancement pada fase awal dan keterlambatan washout fase kontras pada computed tomography (CT) dinamis (19). Diagnosis HCC juga terkonfirmasi dengan hasil biopsi pada sebanyak 1.078 (92,1%) dari 1.170 pasien dengan terapi RFA terkait HCC primer yang diderita. Total sebanyak 998 pasien (85,3%) terdiagnosis memiliki sirosis hati. Secara umum, transarterial chemoembolization dikombinasikan dengan RFA pada pasien-pasien baik dengan kondisi tumor 4 maupun pada pasien-pasien yang bahkan hanya menderita satu tumor saja dengan diameter > 3,0 cm, meskipun kriteria

indikasi kombinasi ini telah berubah dari waktu ke waktu. Terapi kombinasi transarterial chemoembolization dengan RFA ini dilakukan pada 324 pasien dengan HCC primer. Metode Pengobatan RFA dilakukan pada pasien inap. dengan rawat

perencanaan

praoperasi termasuk di dalamnya evaluasi dari semua studi pencitraan, dan pemeriksaan USG hati dilakukan untuk

mengidentifikasi tumor dan menentukan rute akses yang paling

memungkinkan. Prosedur ini dilakukan berdasarkan protokol suatu institusional

dan dilakukan oleh tiga orang dokter. Seorang dokter elektroda memasukkan sesuai

petunjuk pencitraan dari USG, sementara dokter yang lain membantu

prosedur setidaknya

tersebut, salah satu

memiliki pengalaman 8 tahun atau lebih dalam terapi ablasi perkutan.

Seorang dokter terakhir bertanggung jawab

terhadap oprasional mesin USG dan merekam

datanya. Video rekaman dilakukan sesekali untuk meningkatkan membakukan yang dilakukan. dan prosedur

Tabel 3. Analisis Multifariate

Teknik prosedur RFA secara terperinci dijelaskan di tempat lain (6). Namun secara umum, semua prosedur RFA dilakukan secara percutan di bawah pantauan citra USG (Power Vision 8000, Aplio XV atau Aplio XG; Toshiba, Tokyo, Jepang). Kami menggunakan efusi pleura buatan (20) atau asites buatan (21) untuk tumor, yang berada di parenkim hati atau berdekatan dengan saluran pencernaan. Setelah pemberian sedatif dan agen anestesi lokal, 17-gauge cooled-tip elektroda (Cool- Tip; RF Ablation System, Covidien, Boulder, Kolombia, CO) dimasukkan pada pasien.

Energi radiofrekuensi disalurkan selama 6 - 12 menit pada setiap pemberian pada pasien. Untuk tumor dengan ukuran besar, elektroda itu berulang kali dimasukkan ke dalam beberapa tempat yang berbeda, sehingga seluruh tumor dapat terselimuti oleh volume nekrotik yang telah diasumsikan sebelumnya. Selama mengikuti prosedur ini, pasien tetap berada di tempat tidurnya sampai dengan pagi hari berikutnya. CT scan dengan ketebalan pencitraan sebesar 5-mm dilakukan 1 3 hari setelah perlakuan RFA untuk menilai dan mengevaluasi keefektifan terapi yang diberikan (22). Ablasi komplit didefinisikan sebagai hipoatenuasi dari seluruh lapang tumor. Harapan kami adalah untuk mengikis tidak hanya pada parenkim tumor, tetapi juga sedikit dari parenkim hati di sekitarnya. Ketika kami menduga bahwa terdapat bagian tumor yang tetap dan belum terablasi, maka prosedur diulang. Kami tidak menentukan seberapa banyak jumlah prosedur pengobatan: pengobatan pada umumnya dilanjutkan sampai hasil pencitraan CT menunjukkan nekrosis pada seluruh parenkim tumor.

Gambar 3. Progresi tumor lokal dan kekambuhan jauh pada pasien yang menerima ablasi RAF

Follow Up Untuk mendeteksi adanya kekambuhan pada stadium awal, kadar serum -fetoprotein (AFP), lektin-reaktif AFP (AFP-L3), dan des--karboksi-protrombin (DCP) diukur dalam tempo bulanan, dan pemeriksaan dengan pencitraan CT maupun ultrasonografi dilakukan setiap 4 bulan. Progresifitas lokal tumor didefinisikan sebagai adanya penampakan dari jaringan kanker yang telah menyentuh batasan awal untuk dapat dilakukan inisial terapi tumor (22) dan angka kekambuhan jauh dinilai sebagai munculnya satu atau beberapa tumor yang terpisah dari tempat kemunculan primer utamanya. CT scan dada atau skintigrafi tulang dilakukan jika dicurigai adanya kekambuhan ekstrahepatik. RFA digunakan pada kasus kekambuhan jika pasien masih memenuhi kriteria indikasi. Jika kekambuhan di beberapa titik tidak dapat diobati dengan RFA, maka prosedur transarterial chemoembolization pada umumnya dilakukan.

Tabel 4. Komplikasi pada 2982 pengobatan dengan Ablasi RAF pada HCC

Analisis Statistik Studi ini adalah laporan dari serangkaian kasus yang berturutan: Semua terapi pengobatan RFA yang dilakukan pada pasien kanker hati primer (HCC) di Departemen Gastroenterology, Universitas Tokyo antara bulan Februari 1999 sampai dengan Desember 2009 semuanya masuk ke dalam kriteria inklusi dan tidak ada yang terkecualikan. Data disajikan sebagai mean s.d. untuk variabel kuantitatif, dan sebagai frekuensi mutlak untuk variabel kualitatif. Sebuah "prosedur" didefinisikan sebagai episode intervensi tunggal yang terdiri dari satu atau lebih ablasi yang dilakukan pada satu atau lebih tumor dan suatu "pengobatan" sebagai tujuan akhir untuk mengablasi satu atau lebih tumor. Suatu pengobatan terdiri dari satu atau lebih prosedur (22). Tingkat "efektivitas teknik" didefinisikan sebagai bentuk persentase keberhasilan dalam pemberantasan tumor secara makroskopik, sebagaimana dibuktikan oleh CT Scan 1 - 3 hari berikutnya setelah prosedur terakhir (22). Kelangsungan hidup secara keseluruhan dihitung pada seluruh 1.170 pasien dengan HCC primer. Kurva survival yang dihasilkan oleh metode Kaplan Meier. Selain kelangsungan hidup secara keseluruhan, beberapa analisis sub-kelompok dilakukan sesuai dengan karakteristik klinis yang dijumpai, termasuk ukuran tumor, jumlah tumor, dan kondisi fungsi hati. Adanya kekambuhan dievaluasi pada 1.138 dari 1.170 pasien kanker hati (HCC) primer, sedangkan 32 pasien sisanya dikeluarkan dari analisis kekambuhan karena beberapa tumor kecil telah dibiarkan tak terobati dengan metode RFA oleh karena gagalnya deteksi tumor dengan pencitraan ultrasonografi. Tingkat kekambuhan dihitung dengan metode Gaynor 's (23). Semua perkiraan waktu diestimasi semenjak tanggal saat pemberian terapi RFA pertama kali. Pelaksanaan follow-up diselesaikan jika terjadi kematian atau kunjungan terakhir ke klinik rawat jalan sebelum tanggal 31 Desember 2009. Pasien transplantasi disensor dari studi ini pada tanggal saat transplantasi dilakukan.

Relevansi prognosis dari 19 variabel awal/ baseline (Tabel 1), kombinasi chemoembolization transkateter arteri (Transcatheter Arterial Chemo-Embolization TACE) dengan RFA, kekambuhan kanker hati, dan jumlah sesi RFA untuk dapat memperpanjang kelangsungan hidup dianalisis dengan Cox univariat dan multivariat model regresi proporsional hazard. Relevansi prognosis dari 19 variabel awal/ baseline (Tabel 1), kombinasi dari TACE dengan RFA, dan jumlah sesi RFA untuk mengatasi perkembangan lokal tumor dan adanya kekambuhan juga dianalisis dengan model univariat dan multivariate. Semua variabel dengan nilai P <0,05 setelah dibandingkan dengan metode univariat, dijadikan subjek analisis multivariat. Beberapa variabel kontinyu yang mana log-linearitas-nya tidak dapat diasumsikan, diubah ke dalam variabel kategori. Dalam analisis multivariat, kami mengevaluasi dua model yang memuat baik kelas Child-Pugh maupun komponen-komponennya untuk menghindari terjadinya multikolinearitas. Pemilihan variabel stepwise dilakukan dengan kriteria Akaike Information di dalam analisis multivariate. Hasil analisis multivariat tersebut dicatat sebagai rasio bahaya yang sesuai dengan 95% confidence interval (CI), dengan nilai P dari uji Wald. Semua tes yang signifikan merupakan suatu double blinded, dan perbedaan dengan nilai P <0,05 dianggap signifikan secara statistik. Definisi komplikasi merujuk pada pedoman dari Society of Interventional Radiology (24). HASIL Efek Antitumor Secara keseluruhan, kami memantau sebanyak 2.982 pengobatan RFA termasuk 1.170 pasien dengan HCC primer, yang mana terdiri dari 4.514 prosedur. Maka, besarnya jumlah prosedur per perlakuan adalah 1,52 0,78. Banyak pasien yang menjalani RFA untuk pengobatan HCC primer yang dideritanya menerima pengobatan RFA iterative untuk mengatasi kekambuhan. Sebanyak 485 pasien menjalani pengobatan RFA baru sekali, sedang yang menerima dua kali sebanyak

247 pasien, tiga kali pengobatan 177 pasien, empat kali 94 pasien, lima kali 70 pasien, enam kali 35 pasien, tujuh kali 23 pasien, delapan kali 14 pasien, sembilan kali 7 pasien, sepuluh kali 7 pasien, sebelas kali 6 pasien, dua belas kali 2 pasien, tiga belas kali 2 pasien, dan empat belas kali 1 pasien. Tingkat efektifitas teknik besarnya adalah 99,4% (2964/2982 pengobatan). Besar perhitungan ini ternyata serupa, antara inisial pengobatan RFA dan pengobatan RFA lain oleh karena kekambuhan (P = 0,98). Ablation lengkap terhadap tumor dicapai sebesar 1.163 (99,4%) dari total 1.170 inisial pengobatan dan 1.801 (99,4%) dari 1.812 pengobatan RFA lain. Namun, tingkat signifikansi keefektifan tekniknya berbeda pada ukuran tumor (P = 0,023). Tidak ada sisa bagian viabel yang menyentuh batasan untuk dilakukan pengobatan setelah dilakukannya pengobatan pada 1,642 (99,6%) dari 1.648 pengobatan untuk diameter tumor 2,0 cm, pada 923 (99,2%) dari 930 pengobatan untuk diameter tumor 2,1-3,0 cm, pada 356 (98,9%) dari 360 pengobatan untuk diameter tumor 3,1-5,0 cm, dan pada 43 (97,7%) dari 44 pengobatan untuk diameter tumor > 5,0 cm. Pencitraan akhir CT menunjukkan adanya sisa jaringan kanker dalam 18 pengobatan. Kami memutuskan untuk mencegah dilakukannya prosedur tambahan, karena nampaknya kegagalan fungsi hati lebih menentukan prognosis dalam 10 pengobatan daripada HCC yang diderita, dan karena RFA tambahan dapat menyebabkan komplikasi karena visualisasi pencitraan yang buruk atau tidak dapat diakses dalam delapan perlakuan berikutnya. Kelangsungan Hidup 19 data klinis karakteristik awal/ baseline dari sebanyak 1.170 pasien yang menjalani pengobatan RFA untuk kanker hati primer (HCC) ditunjukkan pada Tabel 1. Sebanyak 269 pasien (23,0%) berusia > 75 tahun. Secara keseluruhan, 422 pasien menderita tumor dengan diameter 2,0 cm, 467 memiliki tumor dengan diameter 2,1 - 3,0 cm, 246 memiliki tumor dengan diameter 3,1-5,0 cm, dan 35 memiliki tumor dengan diameter > 5,0 cm; 685 pasien memiliki 1 tumor, 395 memiliki 2 atau 3 tumor, dan 90 memiliki 4 tumor.

Pada Desember 2009 (dengan median follow up 38,2 bulan), sebanyak 692 pasien (59,1%) didapati masih hidup, 39 (3,3%) pasien menghilang untuk dilakukan followup, dan 439 pasien (37,5%) dijumpai telah meninggal. Dari 1.170 pasien, dua ditransplantasikan. Jumlah dari survival rate selama 5, 7, dan 10 tahun yang masih selamat masing-masing adalah sejumlah 325, 131, dan 16 pasien. Penyebab kematiannya adalah HCC pada 245 pasien (55,8%), kegagalan hati pada 89 (20,3%) pasien, perdarahan saluran cerna bagian atas pada 11 (2,5%) pasien, komplikasi yang terkait dengan pelaksanaan prosedur pengobatan pada 3 (0,7%) pasien, penyakit hati yang tidak terkait sebanyak 81 (18,5%) pasien, dan belum dapat diketahui pada 10 (2,3%) pasien. Tingkat survival rate 1, 3, 5, 7, dan 10 tahun dari total 1.170 pasien dengan HCC primer masing-masing adalah 96,6% (95% CI: 95,5-97,7%), 80,5% (95% CI: 78,083,1%), 60,2% (95% CI: 56,7-63,9%), 45,1% (95% CI: 40,9- 49,6%), dan 27,3% (95% CI: 21,5-34,7%) (Gambar 2; Tabel 2). Tingkat kelangsungan hidup secara signifikan berbeda pada ukuran tumor (P <0,0001), jumlah tumor (P = 0,0003), dan kelas Child-Pugh (P <0,0001). Pasien dengan skor kelas Child-Pugh A atau B dengan diameter tumor tunggal 5 cm, atau tiga atau lebih sedikit tumor dengan diameter 3 cm, tingkat kelangsungan hidup 5-tahunnya adalah 63,8% (95% CI: 59,9-67,9%), sedangkan pada mereka yang berada di luar kriteria ini, besarnya adalah 46,4% (95% CI: 39,4-54,8%). Analisis univariat menunjukkan bahwa 19 dari 22 variabel memiliki relevansi terhadap angka kelangsungan hidup. Dalam analisis multivariat yang berisi kelas Child-Pugh tapi tidak meliputi komponen-komponennya, sebuah model terpilih, yang meliputi usia, antibodi terhadap virus hepatitis C (anti-HCV), kelas Child-Pugh, ukuran tumor, jumlah tumor, kadar serum DCP, dan kadar serum AFP-L3 (Tabel 3). Sedang model lain yang meliputi komponen Kelas Child-Pugh ditampilkan secara online pada Tabel Tambahan.

Kekambuhan Kekambuhan dijumpai pada 741 pasien. Progresi lokal tumor semata ditemukan pada 25 pasien, progresi tumor lokal dengan kekambuhan jauh ditemukan pada 9 pasien, dan kekambuh jauh semata ditemukan pada 707 pasien lainnya. Dari total 707 pasien tersebut, 13 diantaranya memiliki kekambuhan pertama kali di lokasi extrahepatic: 7 pasien mengalami metastasis pada kelenjar getah beningnya, 3 pasien telah mengalami penyebaran pada peritoneal, 1 mengalami metastasis pada paru-parunya, 1 pasien mengalami metastase tulang, dan sisanya mengalami baik persebaran pada peritoneal dan metastasis paru-paru. Tidak ada kekambuhan dijumpai pada 397 pasien lainnya. Dari 741 pasien, kasus kekambuhan pertama kali ditangani dengan metode iterative RFA pada 659 (88,9%) pasien, transarterial chemoembolization pada 69 (9,3%) pasien, kemoterapi sistemik pada 4 (0,5%) pasien, reseksi bedah pada 3 (0,4%) pasien, terapi radiasi pada 2 (0,3%) pasien, dan perawatan suportif pada 4 (0,5%) pasien. Tingkat progresifitas lokal tumor selama 1, 3, 5, 7, dan 10 tahun dengan atau tanpa kekambuhan jauh besarnya masing-masing adalah 1,4% (95% CI: 0,7-2,1%), 3,2% (95% CI: 2,1-4,3%), 3,2% (95% CI: 2,1-4,3%), 3,2% (95% CI: 2,1-4,3%), dan 3,2% (95% CI: 2,1-4,3%) (Gambar 3). Analisis univariat menunjukkan bahwa waktu protrombin dan kadar serum AFP, DCP, dan AFP-L3 yang berhubungan dengan progresifitas lokal tumor, sedangkan analisis multivariat menunjukkan bahwa kadar serum DCP semata sudah memiliki korelasi yang signifikan. Ukuran tumor tidak memiliki korelasi terhadap perkembangan lokal tumor. Tingkat kekambuhan jauh selama 1, 3, 5, 7, dan 10 tahun tanpa adanya progresi lokal tumor masing-masing besarnya adalah 25,6% (95% CI: 23,0-28,2%), 63,3% (95% CI: 60,2-66,4%), 74,8% (95% CI: 71,8-77,8%), 78,1% (95% CI: 75,1-81,2%), dan 80,8% (95% CI: 77,4-84,3%). Analisis univariat telah menunjukkan bahwa 14 variabel memiliki relevansi terkait angka kekambuhan jauh, sedangkan analisis

multivariat menunjukkan bahwa anti-HCV, kelas Child-Pugh, jumlah trombosit, ukuran tumor, jumlah tumor, kadar serum AFP, dan kadar serum DCP secara signifikan memiliki hubungan terhadap angka kekambuhan jauh (Tabel 3). Komplikasi Secara keseluruhan, sebanyak 67 komplikasi telah dijumpai (Tabel 4). Tingkat insidensi komplikasi perpengobatan dan prosedur yang dilakukan masing-masing besarnya adalah 2,2% (67/2982) dan 1,5% (67/4514). Satu pasien dijumpai meninggal karena gagal hati yang diderita dikarenakan infark hati masif yang terjadi 7 hari setelah dilakukannya prosedur RFA terakhir. Pasien ini telah menjalani 12 pengobatan RFA dalam kurun waktu 8 tahun. Tingkat mortalitas pengobatan besarnya adalah 0,03%. DISKUSI Studi ini menjelaskan 10-tahun pengalaman klinis kami dengan pengobatan RFA pada sentra pengobatan pusat. Kami melakukan pengamatan pada 2.982 pasien dengan terapi RFA dimana sebanyak 1.170 pasien menderita kanker hati primer (HCC). Hal ini menunjukkan bahwa metode RFA memberikan suatu efek antitumor yang cukup tinggi. Tumor dinilai telah sepenuhnya mengalami ablasi oleh pencitraan CT scan terakhir dengan kisaran 99,4% dari total pengobatan yang diberikan. Respon lengkap dicapai tidak hanya pada pemberian terapi RFA pertama kali, tetapi juga pada terapi iteratif RFA yang diberikan untuk mengatasi kekambuhan. Meskipun tingkat respon lengkap berbeda terkait dengan ukuran tumor, tetapi ternyata tidak ada penurunan efektifitas yang cukup bermakna yang dijumpai pada terapi yang diberikan. Hasil tingkat respons lengkap dalam penelitian ini mungkin lebih tinggi daripada studi lain, hal ini dapat terjadi karena kami biasanya mengulang prosedur terapi sampai pencitraan CT menunjukkan nekrosis tumor yang lengkap, sedangkan banyak studi lain membatasi jumlah prosedur RFA dalam kisaran 2 3 kali (11,13,15). Ablasi lengkap tumor telah dilaporkan memiliki keterkaitan dengan angka kelangsungan hidup yang lebih baik (25). Terdapat sejumlah 18 pengobatan di mana

kami tidak melakukan tambahan prosedur RFA untuk residu kanker yang tersisa pada jaringan. Pada pengobatan dalam kasus tersebut, kegunaan RFA belum dapat diketahui jelas manfaatnya dalam sesi awal terapi, karena adanya disfungsi hati atau adanya tumor burden. Studi ini menunjukkan bahwa terapi RFA dapat mencapai tingkatan kelangsungan hidup jangka panjang, yakni selama 10 tahun. Enam belas pasien yang diobati dengan metode RFA dijumpai masih hidup selama lebih dari 10 tahun. Variabel-variabel yang relevan terhadap kelangsungan hidup ternyata serupa dengan apa yang ditemukan dalam studi sebelumnya, yakni pada penggunaan metode injeksi etanol (26,27), RFA, reseksi hati (28), dan transarterial chemoembolization (29). Kedua hal yakni fungsi hati dan faktor terkait tumor dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup. Selain itu, usia dan anti-HCV memiliki relevansi terhadap kelangsungan hidup dalam penelitian ini. Usia merupakan salah satu faktor prognosis, mungkin karena 23,0% dari pasien memiliki usia > 75 tahun, yang mengakibatkan persentase yang lebih tinggi (18,5%) pada kematian karena penyakit tak terkait hati dibandingkan dengan studi lainnya. Anti-HCV merupakan salah satu dari faktor prognosis, mungkin karena anti-HCV pasien yang positif dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan jauh yang lebih sering. HCC sering kembali terulang setelah dilakukannya terapi RFA; kekambuhan sebagian besar, bagaimanapun juga, tidak berupa progresifitas lokal tumor, melainkan berupa kekambuhan jauh. Seringnya kekambuhan tidak spesifik terhadap terapi RFA. Setelah dilakukannya reseksi hepatik, tingkat kekambuhan tumor melebihi 70% dalam 5 tahun (30,31). Dalam studi ini, follow-up periodik mendeteksi kekambuhan pada tahapan yang terbatas. RFA dilakukan lagi pada pasien-pasien yang mengalami kekambuhan pertama pada hampir 90% kasus, meskipun pengobatan multimodal digunakan dalam follow-up terapi jangka panjang. Di sisi lain, tingkat pengulangan reseksi pada kekambuhan pertama telah dilaporkan besarnya berkisar antara 10,430,6% (31,32). Karena metode RFA lebih kurang invasif dibandingkan dengan

reseksi hati, maka iterative RFA dapat dilakukan untuk mengatasi kekambuhan dengan lebih mudah. Progresifitas lokal tumor ditemukan lebih jarang dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lain, yang mana telah dilaporkan kisarannya sekitar 10% pada 3 tahun setelah dilakukannya RFA (13,14). Lebih jauh, temuan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan laporan sebelumnya (33,34), ukuran tumor tidak memiliki keterkaitan terhadap progresifitas lokal tumor di dalam penelitian ini. Perbedaan ini sangat mungkin dikarenakan kami mengulangi prosedur RFA sampai kami menganggap ablasi tidak hanya pada tumor itu sendiri tetapi juga sedikit pada beberapa jaringan hati di sekitarnya. Selanjutnya, untuk menghindari adanya progresifitas lokal tumor, kami lebih waspada dalam pengobatan tumor dengan ukuran yang lebih besar, terutama dalam hal memutuskan apakah ablasi telah cukup dilakukan ataukah belum. Hanya kadar serum DCP yang memiliki signifikansi hubungan terhadap perkembangan lokal tumor dalam penelitian ini. Tingginya kadar serum DCP sangat mungkin berkaitan dengan adanya potensi malignansi dari HCC seperti munculnya invasi pada vena porta (35). Frekuensi kekambuhan jauh dalam penelitian ini serupa dengan apa yang telah dilaporkan dalam penelitian lain (13). Di antara variabel signifikan yang berhubungan dengan kekambuhan jauh, ukuran tumor, jumlah tumor, kadar serum AFP, dan kadar serum DCP sangat mungkin memiliki keterkaitan dengan micrometastasis, yang belum terdeteksi oleh modalitas pencitraan yang dilakukan sebelum pengobatan, sementara anti-HCV, kelas Child-Pugh, dan hitung trombosit memiliki keterkaitan dengan multicentric metachronous karsinogenesis, yang kemunculannya

dilatarbelakangi oleh adanya penyakit hati kronis. Dari sudut pandang kelangsungan hidup dan kekambuhan jauh, pasien dengan diameter tumor 2,1-5,0 cm memiliki hasil yang secara signifikan lebih buruk daripada pasien-pasien yang memiliki tumor dengan diameter 2,0 cm, sementara pasienpasien dengan diameter tumor > 5,0 cm tidak memiliki tingkat yang lebih buruk

daripada pasien-pasien dengan tumor berdiameter 2 cm. Hal ini mungkin dikarenakan jumlah pasien dengan tumor berdiameter > 5,0 cm (n = 35) tidak cukup besar untuk dapat secara signifikan dihitung secara statistik. Kemungkinan lain adalah adanya bias seleksi. Terdapat kemungkinan bahwa pasien dengan diameter tumor > 5,0 cm yang menjalani terapi RFA memiliki kondisi yang lebih baik untuk dapat mencapai tingkat kelangsungan hidup dan angka kekambuhan jauh yang lebih baik terkecuali ukuran tumor yang mereka derita memiliki diameter sebesar 2,1-5,0 cm. Dalam studi ini, sebanyak 324 dari 1.170 pasien diobati dengan kombinasi dari TACE dan RFA pada pengobatan awalnya. Untuk itu, kami mengevaluasi kombinasi sebagai variabel yang mungkin dapat mempengaruhi pada kelangsungan hidup atau adanya kekambuhan. Analisis univariat menunjukkan bahwa gabungan terapi secara signifikan berhubungan dengan angka kelangsungan hidup secara keseluruhan, sedangkan analisis multivariate ternyata tidak menunjukkan hubungan ini. TACE pada umumnya dikombinasikan dengan terapi RFA pada pasien dengan kondisi baik jumlah tumor 4 maupun pada pasien-pasien yang bahkan hanya menderita satu tumor dengan diameter > 3,0 cm. Inilah mengapa mengapa korelasi tersebut signifikan dalam analisis univariat, namun tidak signifikan dalam analisis dengan model multivariate di mana efek dari faktor risiko lain, seperti jumlah tumor dan ukuran tumor telah disesuaikan. Terapi kombinasi dari TACE dan RFA tidak memiliki hubungan yang signifikan baik terhadap progresifitas lokal tumor maupun adanya kekambuhan jauh dari tumor yang diderita. RFA merupakan prosedur yang aman. Meskipun banyak pasien dirawat dengan metode RFA dalam penelitian ini ternyata beresiko tinggi untuk dilakukan metode pembedahan dikarenakan adanya sirosis lanjut atau penyakit penyerta lainnya, komplikasi terjadi hanya sebesar 2,2% dari total pengobatan yang diberikan. Peneliti lain juga telah melaporkan tingkat komplikasi yang rendah, yakni 0 - 6,1% (11,13 16). Untuk metode reseksi hepatik, kisaran angka morbiditas berkisar antara 38 - 47% telah dilaporkan, bahkan ini juga dijumpai dalam studi-studi terbaru (36 - 38).

Sampai saat ini, injeksi etanol perkutan telah dianggap sebagai prosedur standar dalam melakukan ablasi (5). Namun, uji randomized controlled trial telah menunjukkan keunggulan dari metode RFA (6 - 9), hingga RFA kini sebagian besar telah menggantikan prosedur injeksi etanol. Kami juga telah mengganti prosedur injeksi etanol dengan metode RFA (10). Pada departemen kami, RFA saat ini merupakan pilihan lini pertama dan injeksi etanol dilakukan hanya pada pasienpasien yang tidak dapat dilakukan terapi RFA dengan aman, bisa dikarenakan reflux enterobiliary, adhesi antara tumor dan saluran pencernaan, ataupun alasan lainnya. Reseksi bedah telah dianggap sebagai pengobatan pilihan untuk HCC. Terapi lini pertama pilihan kami untuk HCC yang resectable juga merupakan operasi. Namun bagaimanapun juga, kebanyakan pasien yang datang ke departemen kami mengunjungi kami karena mereka tidak ingin menjalani reseksi bedah. Karena itulah banyak pasien dalam penelitian ini menjalani terapi RFA bukan karena tumor mereka tidak dapat dioperasi, tetapi lebih karena mereka menolak tindakan operasi. Pasienpasien yang lebih suka metode operasi akan langsung mendatangi departemen bedah yang memiliki banyak pengalaman dalam reseksi hati (38). Tidaklah mudah untuk dapat membandingkan hasil terapi antara metode RFA dan reseksi bedah; indikasi antara keduanya berbeda. Lebih jauh, indikasi untuk masingmasing pengobatan tersebut berbeda dari satu institusi dengan institusi lainnya. Untuk itulah, suatu kasus yang diputuskan untuk dapat diobati dengan RFA ataukah reseksi bedah di sebuah institusi tidak dapat diberikan pengobatan yang sama di institusi lainnya. Kriteria indikasi yang paling luas dikenal untuk dapat dilakukan reseksi bedah mungkin merupakan protokol yang diusulkan di Klinik Kanker Hati Barcelona (Barcelona Clinic Liver Cancer; BCLC) (5), yang menyatakan bahwa reseksi bedah harus dibatasi pada pasien dengan status performa 0, kelas Child-Pugh A, HCC tunggal, tekanan vena porta yang normal, dan kadar bilirubin serum yang normal. Pada pasien-pasien yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut, maka survival rate 5 tahunnya diharapkan meningkat menjadi > 70% (30). Dalam studi ini, 237 (20,3%) dari 1.170 pasien memenuhi kriteria tersebut dan dengan demikian dianggap layak

untuk dapat dilakukan reseksi bedah; tingkat 5-tahun survival rate mereka adalah 75,9%, yang semestinya dapat memperoleh hasil yang memuaskan bila dibandingkan dengan hasil setelah dilakukan reseksi bedah. Selanjutnya, pada semua 1.170 pasien dengan HCC primer yang diobati dengan RFA, tingkat survival rate 5 dan 10 tahun mereka masing-masing adalah 60,2% dan 27,3%. Pada pasien yang diterapi dengan menggunakan metode reseksi bedah, tingkat survival rate 5 dan 10 tahun mereka masing-masing adalah 34,4-70,0% dan 10,5 - 52,0% (32,39 - 45). Meskipun studi ini adalah penelitian observasional dengan tanpa adanya kontrol, survival rate setelah terapi RFA nampaknya sebanding dengan pasien-pasien yang telah dilakukan terapi dengan reseksi bedah. Dua uji randomized controlled trial terakhir telah menunjukkan tidak ada signifikansi perbedaan pada survival rate antara metode RFA dan reseksi bedah (46,47). Beberapa percobaan nonrandomized controlled trial telah melaporkan bahwa metode RFA memiliki tingkat survival rate yang sebanding secara keseluruhan terhadap metode reseksi bedah (48 - 50), sementara penelitian lain menemukan bahwa terapi reseksi berkaitan dengan tingginya tingkat survival rate (51 - 53). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk dapat lebih memperjelas perbandingan antara metode RFA dengan terapi reseksi bedah. Kami telah berupaya untuk dapat membakukan prosedur terapi RFA. Meskipun banyak dokter telah berpartisipasi dalam terapi RFA pada lembaga kami, prosedur itu selalu dilakukan secara bervariasi sesuai dengan protokol kelembagaan dan dilakukan bersama dengan dokter-dokter yang telah berpengalaman. Rekaman video juga digunakan untuk memantau prosedur. Selain itu perencanaan, praoperasi dan evaluasi efektifitas teknik pasca operasi juga dilakukan oleh setidaknya tiga orang dokter. Kami juga percaya bahwa tidak hanya praktek RFA yg proficient tetapi juga perencanaan pra operasi yang terperinci, perhatian evaluasi efek terapi pasca operasi, dan follow-up dengan hati-hati sangat penting untuk dapat mencapai hasil yang memuaskan.

Sumber populasi dalam penelitian ini dapat menyebabkan terjadinya bias seleksi, sebagaimana yang kami lakukan dengan terapi RFA pada kebanyakan pasien yang dirawat di departemen kami; namun demikian, banyak pasien dengan keadaan tumor yang tidak menguntungkan untuk dapat dilakukan terapi RFA mungkin tidak datang kepada kami. Untuk itulah, perhatian lebih diperlukan saat melakukan ekstrapolasi hasil temuan kami terhadap populasi umum pasien deangan HCC. Keterbatasan kedua adalah bahwa populasi penelitian kami tidak dapat terdefinisikan dengan jelas. Penelitian ini merupakan studi berdasarkan pada praktek klinis seharihari selama rentang periode 10 tahun. Kriteria indikasi RFA telah berubah dari waktu ke waktu, terutama karena adanya ablasi perkutan lain, yang mana injeksi etanol juga telah dilakukan. Lebih jauh, berbagai perawatan selain ablasi perkutan tersedia untuk HCC, seperti reseksi bedah dan transarterial chemoembolization, dimana indikasi penerapannya sering tumpang tindih. Satu batasan lebih lanjut adalah kenyataan bahwa studi ini adalah suatu penelitian single-center; hasil dari studi ini sangat mungkin tidak dapat dijumpai secara konsisten dalam seting tempat studi lainnya. Untuk melakukan ekstrapolasi dari hasil penelitian ini terhadap pasien di lembaga lainnya, pertimbangan yang cukup cermat harus diberikan untuk dapat membedakan indikasi, metode, ekspertise, kinerja dari USG yang tersedia dan peralatan CT, serta faktor-fakor lainnya. Hasil pengobatan sangat mungkin dipengaruhi oleh keahlian dokter dan seberapa besar perhatian lembaga terhadap tatalaksana terapinya. Kami mulai menggunakan terapi injeksi etanol pada tahun 1985 dan ablasi microwave pada tahun 1995, yaitu sebelum dikenal terapi RFA. Baru-baru ini, kami telah melakukan lebih dari 900 perawatan RFA per tahun, yang mungkin merupakan jumlah yang jauh lebih besar daripada perawatan pada sebagian besar institusi lainnya. Kami tidak merekomendasikan perubahan apapun dalam praktik klinis sehari-hari berdasarkan atas temuan dalam studi penelitian kami ini.

Kesimpulannya, dalam kurun waktu 10 tahun pengalaman klinis kami menunjukkan bahwa metode RFA dapat secara lokal berfungsi kuratif, sehingga menghasilkan tingkat kelangsungan hidup selama 10 tahun, dan metode ini merupakan prosedur yang aman untuk dilakukan. Prosedur RFA dapat menjadi pengobatan lini pertama untuk pasien-pasien dengan stadium awal dari kanker hati (HCC). Poin Penting Penelitian Apa Pengetahuan Terkini Dari Studi Ini? Ablasi frekuensi radio (RFA) telah banyak dilakukan untuk terapi karsinoma hepatoseluler (HCC). Prosedur RFA memiliki efek antitumor lokal lebih handal dan kelangsungan hidup pengobatannya lebih tinggi daripada injeksi etanol. Belum ada review laporan 10 tahun hasil terapi RFA.

Apa yang Baru Dalam Penelitian Ini? Tingkat survival rate dalam 5 dan 10 tahun pada 1.170 pasien dengan karsinoma hepatoseluler primer (HCC) masing-masing besarnya adalah 60,2 dan 27,3%. Umur, antibodi terhadap virus hepatitis C, kelas Child-Pugh, ukuran tumor, jumlah tumor, kadar serum des--karboksi-protrombin, dan kadar serum lektin-reaktif -fetoprotein secara signifikan memiliki hubungan dengan tingkatan survival rate. Tingkat progresifitas lokal tumor dalam 5 dan 10 tahun besarnya sama-sama 3,2%. Sedang tingkat kekambuhan jauh dalam 5 dan 10 tahun masing-masing besarnya adalah 74,8 dan 80,8%.

Anda mungkin juga menyukai