Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan tahun 2010-2014 yaitu meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat antara lain dengan meningkatkan umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun, menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup (Kemkes RI, 2010).
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator penilaian status kesehatan. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 yang dikutip dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 20102014 Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan menurun dari 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) juga mengalami penurunan dari 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Walaupun sudah mengalami penurunan AKI dan AKB masih jauh dari target MDGs tahun 2015 yaitu untuk AKI 102 per 100.000 kelahiran hidup dan untuk AKB 23 per 1.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk pencapaian target (Kemkes RI, 2010).

Berdasarkan data profil Kesehatan di Provinsi Bengkulu AKB tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 5,2 per 1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 115,2 per 100.000 kelahiran hidup, sedikit mengalami kenaikan dimana tahun 2009 AKI hanya 114,4 per 100.000 kelahiran hidup.( Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2010).

Kematian perinatal yang tinggi (70 %) disebabkan oleh persalinan prematur. Bayi prematur, karena pertumbuhan dan perkembangan organ vitalnya, menyebabkan ia masih belum mampu untuk hidup diluar kandungan, sehingga sering mengalami kegagalan adaptasi yang dapat menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas yang tinggi (Manuaba, 2007). Menurut Rompas (2007), persalinan prematur merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan kematian perinatal sebesar 65- 75%, umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah. Persalinan prematur selain berdampak negatif pada bayi juga berdampak negatif pada ibu dimana setelah persalinan prematur, infeksi endometrium lebih sering mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Menurut Wiknjosastro (2007) persalinan prematur mempunyai dampak negatif tidak saja pada kematian perinatal, tetapi juga terhadap morbiditas, potensi generasi akan datang, kelainan mental dan beban ekonomi bagi keluarga dan bangsa secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh kesulitan utama dalam persalinan prematur adalah perawatan bayi prematur, yang semakin muda usia kehamilannya semakin besar pula morbiditas dan mortalitas. Penyebab pasti persalinan prematur sering tidak di ketahui, tapi ada beberapa faktor yang berperan dalam kejadian persalinan prematur, sekitar 28 % persalinan prematur diindikasikan disebabkan oleh preeklampsia (43 %), gawat janin (27 %), pertumbuhan janin terhambat (10 %), ablasio plasenta (7 %), dan kematian janin (7 %). Sekitar 72 % disebabkan oleh persalinan prematur spontan dengan atau tanpa pecah ketuban. Sedangkan kehamilan ganda atau hidroamnion juga merupakan kausa dari persalinan prematur akibat dari distensi uterus yang berlebihan (Cunningham et al, 2005).

Menurut HTA Indonesia (2009), Dalam sebagian besar kasus, etiologi persalinan prematur tidak terdiagnosis dan umumnya multifaktor. Kurang lebih 30% persalinan

prematur tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan 70% sisanya, disumbang oleh beberapa faktor seperti kehamilan ganda (30% kasus), infeksi genitalia, ketuban pecah dini, perdarahan antepartum, inkompetensia serviks, dan kelainan kongenital uterus (20-25% kasus). Sisanya 15-20% sebagai akibat hipertensi dalam kehamilan, pertumbuhan janin terhambat, kelainan kongenital dan penyakit-penyakit lain selama kehamilan. Seluruh kondisi klinis yang berkaitan dengan persalinan prematur tersebut dapat digolongkan menjadi faktor-faktor antara lain faktor maternal, faktor uterus, dan infeksi. Faktor risiko yang paling dominan adalah sosial ekonomi yang rendah dan riwayat persalinan preterm sebelumnya. Berdasarkan data rekam medik di RSUD Argamakmur thn 2010 jumlah ibu bersalin 614 orang,terdapat 93 dengan kasus persalinan prematur, dimana 21 orang kasus preeklampsi, dan53 orang kasus KPD. Sedangkan tahun 2011 jumlah ibu bersalin sebanyak 637 orang. Dimana, terdapat 113 orang dengan persalinan prematur. Persalinan prematur yang disebabkan oleh preeklampsi sebanyak 29 kasus, dan disebabkan oleh KPD sebanyak 62 kasus. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Ketuban pecah Dini Dan Preeklampsi Dengan Kejadian Persalinan Prematur Di Ruang Kebidanan RSUD Arga Makmur tahun 2011.

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan ketuban pecah dini dan preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur di ruang kebidanan RSUD Arga Makmur tahun 2011?

C.

Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan ketuban pecah dini dan preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur di ruang Kebidanan RSUD Arga Makmur Bengkulu Utara tahun 2011. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya hubungan ketuban pecah dini dengan kejadian persalinan prematur. b. Diketahuinya hubungan preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur.

D. Manfaat Penelitian 1. Rumah Sakit Diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi mengenai hubungan ketuban pecah dini dan preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur terutama bagi peningkatan pelayanan asuhan pada ibu bersalin. 2. Akademik Dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan di Perpustakaan Poltekkes Kemenkes Bengkulu Jurusan Kebidanan.

3. Peneliti lain Dapat dijadikan sebagai data dasar guna penelitian lanjutan tentang persalinan prematur. 4. Penulis Sendiri Dapat menambah wawasan dan kesempatan serta penerapan ilmu yang telah diperoleh, khususnya bidang penelitian . 5. Keaslian Penelitian 1. Sisca Hidayati (2007), hubungan partus dan kehamilan ganda dengan kejadian partus prematurus di ruang C1 Kebidanan tahun 208. Hasil penelitian di dapat ada hubungan kehamilan ganda dengan kejadian partus prematurus di ruang C1 Kebidanan tahun 2008. 2. Indah Widowati (2008) meneliti tentang Gambaran faktor predisposisi Kelahiran prematuritas di ruang C1 Kebidanan RSUD M.Yunus Bengkulu tahun 2008. Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan terdapat perbedaan yaitu variabel penelitian, tempat penelitian, dan tahun penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERSALINAN PREMATUR 1. Pengertian Persalinan prematur adalah persalinan dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat bayi kurang dari 2500 gram (Manuaba, 2007). Sedangkan menurut WHO persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi antara kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir. Selain itu, persalinan prematur yaitu persalinan yang terjadi pada kehamilan 37 minggu atau kurang, istilah yang digunakan untuk menyebut bayi yang dilahirkan terlalu dini (Cunningham, 2005). Menurut Varney (2007), Persalinan prematur adalah persalinan yang dimulai setiap saat setelah awal minggu gestasi ke- 20 sampai akhir minggu gestasi ke- 37. Berdasarkan dari keterangan di atas dapat disimpulkan pengertian persalinan
prematur adalah persalinan yang terjadi pada saat usia kehamilan ibu 20 sampai 37 minggu dengan berat badan bayi kurang dari 2500 gram. 2. Etiologi dan Faktor resiko

Menurut Sarwono Prawirohardjo (2005), etiologi persalinan prematur sering kali tidak diketahui. Ada beberapa kondisi medik yang mendorong untuk dilakukannya tindakan sehingga terjadi persalinan prematur.

Kondisi yang menimbulkan partus prematur. 1. Hipertensi Tekanan darah tinggi menyebabkan penolong cenderung untuk mengakhiri kehamilan, hal ini menimbulkan prevatensi persalinan prematur meningkat. 2. Perkembangan Janin Terhambat. Merupakan kondisi dimana salah satu sebabnya ialah pemasokan oksigen dan makanan mungkin kurang adekuat dan hal ini mendorong untuk terminasi kehamilan lebih dini. 3. Solusio Plasenta. Terlepasnya plasenta akan merangsang untuk terjadi persalinan prematur. Meskipun sebagian besar terjadi pada matur. Pada pasien dengan riwayat solusio plasenta maka kemungkinan terulang menjadi lebih besar. 4. Plasenta Previa. Sering kali berhubungan dengan persalinan prematur akibat harus dilakukan tindakan pada perdarahan yang banyak. Bila terjadi perdarahan banyak maka kemungkinan kondisi janin kurang baik karena hipoksia. 5. Kelainan Rhesus. Sebelum ditemukan anti D imunoglabulin maka kejadian induksi menjadi berkurang, meskipun demikian hal ini masih sering terjadi. 6. Diabetes. Pada kehamilan dengan diabetes yang tidak terkendali maka dapat

dipertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan. Tapi saat ini dengan pemberian insulin dan diet yang terprogram, umunya gula darah dapat dikendalikan.

Kondisi yang menimbulkan kontraksi: Ada beberapa kondisi ibu yang merangsang terjadinya kontraksi spontan, kemungkinan telah terjadi produksi prostaglandin: 1. Kelainan Bawaan Uterus Meskipun jarang terjadi tetapi dapat dipertimbangkan hubungan kejadian partus preterm dengan kelainan uterus yang ada. 2. Ketuban Pecah Dini. Mungkin mengawali terjadinya kontraksi atau sebaliknya. Ada beberapa kondisi yang mungkin menyertai seperti serviks inkompeten, hidramnion, kehamilan ganda, infeksi vagina dan serviks dan lain-lain. Infeksi asenden merupakan teori yang cukup kuat dalam mendukung terjadinya amnionitis dan kemungkinan ketuban pecah. 3. Serviks Inkompeten. Hal ini mungkin menjadi penyebab abortus selain partus preterm. Riwayat tindakan serviks dapat dihubungkan dengan terjadinya inkompeten. Chamberlain dan Gibbings menemukan 60% dari pasien serviks inkompeten pernah mengalami abortus spontan dan 49% mengalami pengakhiran kehamilan pervaginam. 4. Kehamilan Ganda Sebanyak 10% pasien dengan partus preterm ialah kehamilan ganda dan secara umum kehamilan ganda mempunyai masa gestasi yang lebih pendek. 3. Tanda dan Gejala Persalinan Prematur Menurut Varney (2007), tanda dan gejala persalinan prematur adalah sebagai berikut: 1. Kram hebat seperti pada saat menstruasi.

2. Nyeri atau tekanan supra pubis. 3. Nyeri tumpul pada punggung bawah berbeda dari nyeri punggung bawah yang biasa dialami oleh wanita hamil. 4. Sensasi adanya tekanan atau berat pada pelvis. 5. Perubahan karakter atau jumlah rabas vagin (lebih kental, lebih encer, berair, berdarah, berwarna cokelat, tidak berwarna). 6. Diare. 7. Kontraksi uterus tidak dapat dipalpasi (nyeri hebat atau tidak nyeri) yang dirasakan lebih sering dari setiap 10 menit selama 1 jam atau lebih dan tidak mereda dengan tidur berbaring. 8. Ketuban pecah dini. 4. Komplikasi Pada ibu, setelah persalinan prematur, infeksi endometrium lebih sering terjadi mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi prematur memiliki resiko infeksi neonatal lebih tinggi resiko distress pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventrikuler (Joseph, 2010). 5. Pemeriksaan Penunjang a) Laboratorium (1) Pemeriksaan kultur urine (2) Pemeriksaan gas dan pH darah janin (3) Pemeriksaan darah tepi ibu: (a) Jumlah lekosit

10

(b) C-reactive protein CRP ada pada serum penderita yang menderita infeksi akut dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman Pneumococcus yang disebut fraksi C. CRP dibentuk di hepatosit sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF. b) Amniosentesis (1) Hitung lekosit (2) Pewarnaan Gram bakteri (+) pasti amnionitis (3) Kultur (4) Kadar IL-1, IL-6 (5) Kadar glukosa cairan amnion c) Pemeriksaan ultrasonografi (1) Oligohidramnion : Goulk dkk. (1985) mendapati hubungan antara oligohidramnion dengan korioamnionitis klinis antepartum. Vintzileos dkk. (1986) mendapati hubungan antara oligohidramnion dengan koloni bakteri pada amnion. (2) Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan seviks < 3 cm (USG), dapat dipastikan akan terjadi persalinan preterm. Sonografi serviks transperineal lebih disukai karena dapat menghindari manipulasi intravagina terutama pada kasus-kasus KPD dan plasenta previa. (3) Kardiotokografi : kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi (Rompas, 2004)

11

6.

Penatalaksanaan Ibu hamil yang diidentifikasi memiliki risiko persalinan preterm akibat amnionitis dan yang mengalami gejala persalinan preterm membakat harus ditangani seksama untuk meningkatkan keluaran neonatal. Pada kasus-kasus amnionitis yang tidak mungkin ditangani ekspektatif, harus dilakukan intervensi, yaitu dengan: 1) Akselerasi pematangan fungsi paru Terapi glukokortikoid, misalnya dengan betamethasone 12 mg intra muskular (im) 2 x selang 24 jam. Atau dexamethasone 5 mg tiap 12 jam (im) sampai 4 dosis.Thyrotropin releasing hormone 400 ug iv, akan meningkatkan kadar triiodothyronine yang dapat meningkatkan produksi surfaktan. Suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan. 2) Pemberian antibiotika Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan bahwa pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Diberikan 2 gram ampicillin (iv) tiap 6 jam sampai persalinan selesai (ACOG). Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas.Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolitik.

12

3) Pemberian tokolitik a. Nifedipin 10 mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg dan dosis perawatan 3 x 10 mg. b. Golongan beta-mimetik - Salbutamol Per infus: 20-50 g/menit Per oral : 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau : - Terbutalin Per infus: 10-15 g/menit Subkutan: 250 g setiap 6 jam Per oral : 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance) - Efek samping : Hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial,edema paru c. Magnesium sulfat - Parenteral : 4-6 gr/iv pemberian bolus selama 20-30 menit infus 2-4gr/jam (maintenance) - Efek samping : Edema paru, letargi, nyeri dada, depresi pernafasan (pada ibu dan bayi) (Rompas, 2004)

13

B. KETUBAN PECAH DINI (KPD) 1. Pengertian Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten). Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan (Joseph HK dkk, 2010). Sedangkan menurut Manuaba (2007), Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum ada tandatanda awal persalinan. Menurut Sarwono (2008), ketuban pecah dini (KPD) didefenisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. 2. Etiologi Menurut Joseph (2010), Penyebab Ketuban Pecah Dini (KPD) masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisinya adalah: (1) Infeksi: Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. (2) Serviks yang inkompetensia, kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan, curetage). (3) Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gamelli.

14

(4) Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amniosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi. (5) Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah. (6) Keadaan sosial ekonomi (7) Faktor lain: (a) Faktor golongan darah, akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jaringan kulit ketuban. (b) Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. (c) Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. (d) Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C) 3. Tanda dan Gejala Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran, tetapi bila anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak dibawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

15

4. Diagnosa Secara klinis diagnosa KPD tidak sukar dibuat, anamnesa pada klien denga keluarnya air seperti kencing dengan tanda-tanda yang khas sudah dapat menilai itu mengarah ke ketuban pecah dini. Meneegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan seksio sesaria yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akanmembiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat, diagnosa KPD ditegakkan dengan cara: (1) Anamnesa Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna keluarnya cairan tersebut, his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah. (2) Inspeksi Pengamatan dengan mata biasa, akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas. (3) Pemeriksaan dengan spekulum Pemeriksaan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari ostium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, mengejan atau mengadakan manuver valsava, atau bagian terendah

16

digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada forniks anterior. (4) Pemeriksaan dalam (a) Di dalam vagina didapati cairan dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. (b) Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan toucher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam, karena jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. (c) Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin. (Joseph, 2010) 5. Komplikasi Ada tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini adalah peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu resiko resusitasi, dan yang ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban pecah dini yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi (Sarwono, 2008). Sekitar tiga puluh persen kejadian mortalitas pada bayi preterm dengan ibu yang mengalami ketuban pecah dini adalah akibat infeksi, biasanya infeksi saluran pernafasan (asfiksia). Selain itu, akan terjadi prematuritas. Sedangkan, prolaps tali pusat

17

dan malpresentrasi akan lebih memperburuk kondisi bayi preterm dan prematuritas (Depkes RI, 2007). Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada ketuban pecah dini, flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan. Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan korioamnionitis akibat jalan lahir telah terbuka, apalagi bila terlalu sering dilakukan pemeriksaan dalam. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban 50% wanita yang melahirkan prematur, didapatkan korioamnionitis (infeksi saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan klinis. Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi lokal misalnya konjungtivitis (Sualman, 2009). Selain itu juga dapat dijumpai perdarahan postpartum, infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis, atonia uteri dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena berbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi (Manuaba, 2008). Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Resiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD. Resiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm.

18

Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu (Joseph, 2010). 6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia kehamilan, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan. Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2006), diantaranya : A) Konservatif 1. Pengelolaan konservatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu maupun pada janin) dan harus di rawat dirumah sakit. 2. Berikan antibiotika (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisisn bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari. 3. Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi. 4. Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum in partu, tidak ada infeksi, tes buss negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin, terminasi pada kehamilan 37 minggu. 5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. 6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi. 7. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).

19

8. Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali. B) Aktif a) Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50,xg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali b) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan persalinan diakhiri : 1. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea 2. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam 7. Hubungan ketuban pecah dini dengan persalinan prematur Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruang rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas antara dunia luar dan ruang dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim (Manuaba, I.B.G, 2005). Menurut Varney, Helen (2008) insiden ketuban pecah dini lebih tinggi pada wanita dengan serviks inkompeten, polihidramnion, malpresentasi janin (letak sungsang dan lintang), kehamilan ganda, atau infeksi vagina/serviks (vaginosis bacterial, klamidia,

20

gonore, streptokokus grub B). Hubungan yang signifikan juga telah ditemukan antara keletihan karena bekerja dan peningkatan risiko ketuban pecah dini sebelum cukup bulan diantara nulipara. Kemungkinan komplikasi akibat ketuban pecah dini antara lain persalinan dan pelahiran premature, infeksi intrauteri, dan kompresi tali pusat akibat prolaps tali pusat atau oligohidramnion. Penelitian yang dilakukan oleh Ike Kurnia dengan Judul hubungan kejadian ketuban pecah dini dengan persalinan preterm di RSUD DR. M. Soewandhie Surabaya tahun 2011, hasil penelitian yang didapat menunjukkan terdapat 23,1% kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD DR. M.SOEWANDHIE Surabaya Januari - Juni 2011. Sebagian besar responden yang mengalami KPD bersalin secara preterm. Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) berhubungan dengan persalinan preterm. Orang yang bersalin dengan KPD mempunyai risiko 2x lebih besar untuk terjadi persalinan preterm dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami KPD.

21

C. PREEKLAMPSI 1. Pengertian Preeklampsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul sejak kehamilan (Wiknjosastro, 2007). Sedangkan menurut Rachimhadi (2006), preeklampsi adalah hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum kehamilan 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik. 2. Etiologi dan faktor Predisposisi Sampai saat ini, etiologi pasti dari preeklampsi/eklampsi belum diketahui. Namun demikian, perhatian harus ditujukan terutama pada penderita yang mempunyai faktor predisposisi terhadap preeklampsi. Menurut Wiknjosastro (2008) faktor predisposisi/risiko tersebut antara lain: 1) Usia/ umur : primigravida dengan usia dibawah 20 tahun dan semua ibu dengan usia diatas 35 tahun dianggap lebih rentan. Preeklampsi yang meningkat di usia muda dihubungkan belum sempurnanya organ-organ yang ada ditubuh wanita untuk bereproduksi, selain itu faktor psikologis yang cenderung kurang stabil juga meningkatkan kejadian preeklampsia di usia muda. Bertambahnya umur wanita berkaitan dengan perubahan pada system kardiovaskulernya dan secara teoritis preeklampsi dihubungkan dengan adanya patologi pada endotel yang merupakan bagian dari pembuluh darah. Preeklampsia-eklampsia hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada nullipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrim, yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang

22

berumur lebih dari 35 tahun mempunyai resiko 3-4 kali lipat mendapatkan preeklampsi dibandingkan usia lebih muda (Karkata,2006). 2) Paritas : primigravida memiliki insidensi hipertensi hampir dua kali lipat. Menurut penelitian, telah diketahui bahwa umur reproduksi sehat pada seorang wanita berkisar antara 20-30 tahun. Artinya melahirkan setelah umur 20 tahun, jarak persalinan sebaiknya 2-3 tahun dan berhenti melahirkan setelah umur 30 tahun. Berarti jumlah anak cukup 2-3 orang. Telah dibuktikan bahwa kelahiran ke empat dan seterusnya akan meningkatkan kematian ibu dan janin (Roeshadi,2004). Menurut Prawirohardjo (2005) paritas 2 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka maternal lebih tinggi primigravida dan gravida pada usia diatas 35 tahun merupakan kelompok resiko tinggi untuk preeklampsia-eklampsia. 3) Faktor keturunan ( genetic): bukti adanya pewarisan secara genetik paling mungkin disebabkan oleh turunan resesif. Menurut Chapman, 2006) ada hubungan genetik yang telah ditegakkan, riwayat keluarga ibu atau saudara perempuan meningkatkan risiko empat sampai delapan kali. Faktor risiko terjadinya komplikasi hipertensi pada kehamilan dapat diturunkan pada anak perempuannya(Manuaba,2007). Menurut Angsar (2008), Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.

23

4)

Status sosial ekonomi : preeklampsi dan eklampsi lebih umum ditemui pada kelompok sosial ekonomi rendah. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa sosial ekonomi yang baik mengurangi terjadinya preeklampsi.

5)

Komplikasi obstetrik : kehamilan kembar, kehamilan mola atau hidrops fetalis. Preeklampsi lebih besar kemungkinan terjadi pada kehamilan kembar. Selain itu, hipertensi yang diperberat karena kehamilan banyak terjadi pada kehamilan kembar. Dilihat dari segi teori hiperplasentosis, kehamilan kembar mempunyai resiko untuk berkembangnya preeklampsi. Kejadian preeklampsi pada kehamilan kembar meningkat menjadi 4-5 kali dibandingkan kehamilan tunggal. Selain itu, dilaporkan bahwa preeklampsi akan meningkat pada kehamilan kembar tiga dan seterusnya(Karkata, 2006).

6)

Riwayat penyakit yang sudah ada sebelumnya : hipertensi, Diabetes mellitus, penyakit ginjal, system lupus erytematosus (SLE ), sindrom antifosfolipid antibody.

3. Klasifikasi Pre Eklampsi Menurut Manuaba(2007), preeklampsi digolongkan kedalam preeklampsi ringan dan preeklampsi berat dengan gejala dan tanda di bawah: 1) Pre eklampsia ringan a. Tekanan darah sistolik 140 mmHg atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam b. Tekanan darah diastolic 90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam c. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu d. Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1 sampai 2 pada

24

urin kateter atau urin aliran pertengahan. 2) Pre eklampsia berat a. Tekanan darah 160/110 mmHg b. Oliguria yaitu produksi urin < 400 cc/24 jam c. Proteinuria > 3 gr/liter. c. Keluhan subjektif diantaranya nyeri epigastrum atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, gangguan penglihatan, nyeri kepala, gangguan kesadaran, oedem paru dan sianosis d. Pemeriksaan diperoleh kadar enzim hati meningkat disertai ikterus. Diagnosa 1) Diagnosis pre-eklampsia ditegakkan berdasarkan : (a) peningkatan tekanan darah yang lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg (b) peningkatan tekanan sistolik > 30 mmHg atau diastolik > 15 mmHg (c) peningkatan mean arterial pressure >20 mmHg, atau MAP > 105 mmHg (d) proteinuria signifikan, 300 mg/24 jam atau > 1 g/ml (e) diukur pada dua kali pemeriksaan dengan jarak waktu 6 jam (f) edema umum atau peningkatan berat badan berlebihan Tekanan darah diukur setelah pasien istirahat 30 menit (ideal). Tekanan darah sistolik adalah saat terdengar bunyi Korotkoff I, tekanan darah diastolik pada Korotkoff IV. Bila tekanan darah mencapai atau lebih dari 160/110 mmHg, maka pre-eklampsia disebut berat. Meskipun tekanan darah belum mencapai 160/110 mmHg, pre-eklampsia termasuk kriteria berat jika terdapat gejala lain (keperawatan blog, 2009).

25

2) Kriteria Diagnostik Preeklampsia Berat (a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110 mmHg (b) Proteinuria = 5 atau (3+) pada tes celup strip. (c) Oliguria, diuresis < 400 ml dalam 24 jam (d) Sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan (e) Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen atau ada ikterus (f) Edema paru atau sianosis (g) Trombositopenia (h) Pertumbuhan janin yang terhambat Pre-eklampsia dapat terjadi pada usia kehamilan setelah 20 minggu, atau bahkan setelah 24 jam post partum. Bila ditemukan tekanan darah tinggi pada usia kehamilan belum 20 minggu, keadaan ini dianggap sebagai hipertensi kronik. Gejala klinik pre-eklampsia dapat bervariasi sebagai akibat patologi kebocoran kapiler dan vasospasme yang mungkin tidak disertai dengan tekanan darah yang terlalu tinggi. Misalnya, dapat dijumpai ascites, peningkatan enzim hati, koagulasi intravaskular, sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelets), pertumbuhan janin terhambat, dan sebagainya. Bila dalam asuhan antenatal diperoleh tekanan darah diastolik lebih dari 85 mmHg, perlu dipikirkan kemungkinan adanya pre-eklampsia membakat. Apalagi bila ibu hamil merupakan kelompok risiko terhadap pre-eklampsia. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada kecurigaan pre-eklampsia sebaiknya diperiksa juga; pemeriksaan darah rutin serta kimia darah (ureum-kreatinin, SGOT, LD, bilirubin), pemeriksaan urine

26

(protein, reduksi, bilirubin, sedimen kemungkinan adanya pertumbuhan janin terhambat, konfirmasi USG bila ada, nilai kesejahteraan janin

(kardiotokografi) (keperawatan blog, 2009). 4. Komplikasi Ada beberapa komplikasi yang terjadi pada ibu yang mengalami preeklampsi yaitu : (1) Rendahnya aliran darah ke placenta Jika plasenta tidak mendapat oksigen yang cukup, maka janin pun akan kekurangan oksigen dan kekurangan gizi, sehingga pertumbuhan bayi terhambat dan dapat lahir dengan berat badan rendah. (2) Lepasnya plasenta dari rahim (Solusio plasentae) Preeklamsia dapat menyebabkan plasenta lepas dari rahim sehingga terjadi perdarahan hebat yang mengancam nyawa ibu dan janin. (3) Sindroma HELLP HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah . HELLP sindrom dapat secara cepat mengancam kehamilan. Gejalanya antara lain mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas. a) Penatalaksanaan 1) Pengeloalaan Preeklampsia ringan Dapat secara : a) Rawat jalan ( ambulatoir ) (1) Tidak mutlak harus tirah baring, dianjurkan ambulasi sesuai keinginannya. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan.

27

(2) Diet reguler: tidak perlu diet khusus (3) Vitamin prenatal (4) Tidak perlu retriksi konsumsi garam (5) Tidak perlu pemberian diuretic, antihipertensi dan sedativum (6) Kunjungan ke rumah sakit setiap minggu b) Rawat inap ( hospitalisasi ) (1) Tidak mutlak harus tirah baring, dianjurkan ambulasi sesuai keinginannya. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan. (2) Diet regular: tidak perlu diet khusus (3) Vitamin prenatal (4) Tidak perlu retriksi konsumsi garam (5) Tidak perlu pemberian diuretic, antihipertensi dan sedativum (6) Kunjungan ke rumah sakit setiap minggu

Pengelolaan secara rawat inap ( hospitalisasi) (1) Indikasi preeklampsia ringan di rawat ianp (a) Hipertensi yang menetap selama >2 minggu (b) Proteinuria menetap selama >2 minggu (c) Hasil test laborat yang abnormal (d) Adanya gejala atau tanda 1 atau lebih preeklampsia berat. (2) Pemeriksaan dan monitoring pada ibu (a) Pengukuran desakan darah setiap 4 jam kecuali ibu tidur (b) Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen

28

(c) Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk rumah sakit dan penimbangan dilakukan setiap hari (d) Pengamatan dengan cermat gejala preeklampsia dengan impending

eklampsia: nyeri kepala frontal atau occipital, gangguan visus, nyeri kuadran kanan atas perut, nyeri epigastrium. (3) Pemeriksaan laboratorium (a) Proteinuria dengan dipstick pada waktu masuk dan sekurangnya diikuti 2 hari setelahnya (b) Hematokrit dan trombosit : 2x seminggu (c) Test fungsi hepar 2x seminggu (d) Test fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat (e) Pengukuran produksi urine setiap 3 jam (tidak perlu kateter tetap) (4) Pemeriksaan kesejahteraan janin (a) Pengamatan gerakan janin setiap hari (b) Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG setiap 3-4 minggu (5) Terapi medikamentosa (a) Pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoir (b) Bila terdapat perbaikan gejala dan tanda-tanda preeklampsia dan umur kehamilan 37minggu, ibu masih perlu di observasi selama 2-3 hari kemudian dipulangkan. (6) Pengelolaan obstetric Pengelolaan obstetric tergantung umur kehamilan (a) Bila penderita tidak inpartu

29

(b) Umur kehamilan < 37 minggu (c) Bila tanda dan gejala tidak memburuk , kehamilan dapat dipertahankan sampai aterm (d) Umur kehamilam > 37 minggu (e) Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus (f) Bila serviks matang pada tafsiran tanggal persalinan dapat

dipertimbangkan dilakukan induksi (g) Bila penderita sudah inpartu Perjalanan persalinan dapat diikuti dengan grafik Friedman atau partograf WHO 2) Pengelolaan Preeklampsia berat Dasar pengelolaan preeklampsia berat: pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan pengelolaan dasar sebagai berikut: a) Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi

medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya b) Kedua baru rencana sikap terhadap kehamilannya : yang tergantung

pada umur kehamilan. Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2 yaitu: (1) Ekspektatif; konservatif : bila umur kehamilan <37 minggu, artinya: kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa. (2) Aktif, agresif; bila umur kehamilan 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

30

c). Pemberian terapi medikamentosa : (1) Segera masuk rumah sakit (2) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten (3) Infus Ringer laktat atau Ringer dekstrose 5% (4) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang (5) Pemberian MgSO4 dibagi : loading dose : dosis awal dan maintainance dose : dosis lanjutan. b) Menurut Angsar ( 2008), Tujuan utama perawatan preeklampsia adalah mencegah kejang, perdarahan intracranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat. Penatalaksanaan Preeklampsia ( Wiknjasastro, 2008) c) Preeklampsia dapat merupakan suatu penyakit yang fatal. Tidak terdapat program penapisan yang pasti yang tersedia untuk kelainan ini sehingga deteksi dini dan penatalaksanaan yang baik merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki hasil akhir ibu dan janin, penentuan persalinan, pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, penatalaksanaan cairan dan asuhan pendukung untuk berbagai komplikasi organ akhir. d) Preeklampsia berat biasanya memerlukan persalinan segera. Penatalaksanaan harus mencakup terapi berikut ini secara bersamaan yaitu profilaksis kejang, terapi anti hipertensi dan diakhirinya kehamilan ( Wiknjasastro,2008). e) Terapi profilaksis kejang, meliputi : (1) Magnesium Sulfat ( MgSO4 ) intravena harus diberikan selama persalinan dan selama evaluasi awal pasien penderita pre-eklampsia.

31

(2) MgSO4 digunakan untuk menghentikan dan / atau mencegah konvulsi tanpa menyebabkan depresi SSP umum untuk ibu maupun janin. (3) MgSO4 tidak diberikan untuk mengobati hipertensi (4) Dosis awal : 4 g MgSO4 diencerkan dalam 10 ml, larutan cairan IV ( Ringer laktat ) selama 10 menit dengan tetesan IV lambat. (5) Dosis jaga (maintenance) : 1-2 g/jam dengan tetesan IV lambat yang dimulai segera setelah dosis awal dan dilanjutkan selama 24 jam setelah persalinan atau setelah konvulsi terakhir. (6) MgSO4 harus selalu diberikan dengan metode infus terkendali/ pantau untuk mencegah overdosis yang dapat bersifat letal. (7) MgSO4 diberikan secara parenteral dibersihkan hampir secara total

oleh ekskresi ginjal : keracunan magnesium dihindari dengan memastikan bahwa sebelum memberikan setiap dosis pasien memiliki :output urine tidak kurang dari 30 ml, refleks patella yang terjaga, kecepatan pernafasan diatas 12 x/menit. (8) Kalsium glukonat ( 1 g IV yang disuntikkan selama beberapa menit ) mungkin diberikan untuk antidote toksisitas MgSO4 jika toksisitas terjadi dan harus tersedia. (9) Konvulsi eklampsia hampir selalau dicegah oleh kadar magnesium plasma yang dipertahankan pada 4-7mEq/L. Hilangnya refleka patellar dimulai dengan kadar plasma 10mEq/L ; henti nafas terjadi pada kadar MgSO4 secara periodic selama masa pemakaian obat ( Wiknjasastro,2008). Terapi anti hipertensi meliputi :

32

(1) Obat-obatan anti hipertensi menjaga agar perdarahan intracranial pada ibu tidak terjadi. (2) Terapi kronis hipertensi sedang tidak akan menunda laju penyakit, memperpanjang kehamilan atau menurunkan risiko kejang. (3) Tekanan darah ibu tidak boleh diturunkan hingga lebih rendah dari 140/90 mmHg karena tekanan yang lebih rendah akan menurunkan perfusi utero-plasenta (4) Obat yang paling umum digunakan selama kehamilan : (a) Nifedipine Penghambat kanal kalsium, terutama efektif untuk periode pasca persalinan 10-20 mg setiap 6 sampai 8 jam. Pemberian sublingual tidak

direkomendasikan karena efek vasodilator poten yang dimilikinya. (b) Labetalol atau atenolol Antagonis campuran alfa dan beta dosis 3-4 x 50mg/hari 10-20 mg bolus intravena yang dapat diulang setiap 10 menit hingga dosis maksimal 300mg. Alternatif lain infuse labetalol tanpa berhenti pada kecepatan 1-2mg/jam dapat digunakan dan dititrasi sesuai dengan kebutuhan. Terminasi kehamilan, cara persalinan : (a) Jika tidak sedang dalam proses bersalin, periksa serviks. Jika serviks dalam kondisi matang untuk induksi, mulailah induksi persalinan. (b) Jika pasien sedang dalam proses bersalin dan terdapat kemajuan yang memadai ditinjau dari partograf dan tidak terdapat komplikasi janin atau ibu,

33

lanjutkan percobaan persalinan per vaginam dengan pemantauan janin/ibu yang ketat. (c) Jika terdapat indikasi obstetric untuk persalinan dengan cara saecar, lakukan prosedur sejak awal (Wiknjasastro,2008) Penanganan preeklampsia ada dua macam, yaitu penanganan aktif dan penanganan konservatif. Penanganan aktif dilakukan dengan penghentian segera kehamilan bersamaan dengan pemberian obat. Sedangkan pada penanganan konservatif, kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian obat (Paisal, 2006).

Indikasi penanganan aktif dimana janin harus segera dilahirkan, antara lain : 1) Umur kehamilan sudah 37 minggu atau lebih. 2) Adanya gejala impending preeklampsia. 3) Kegagalan penanganan konservatif yaitu dalam waktu setelah 6 jam sejak dimulainya pemberian obat terjadi kenaikan tekanan darah atau setelah 24 jam sejak dimulainya pemberian obat, tidak ada perbaikan gejala. 4) Keadaan janin memburuk. 5) Adanya tanda-tanda terhambatnya pertumbuhan janin (Intra Uterine Growth Retardation). 6) Timbulnya sindrom HELLP. Penghentian kehamilan dapat ditempuh dengan cara persalinan per vagina dengan induksi, atau dengan seksio sesar.

34

Indikasi penanganan konservatif adalah umur kehamilan dibawah 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia, dan keadaan janin baik (Paisal, 2006). Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, dianggap sebagai kegagalan penanganan konservatif, dan dilanjutkan dengan penanganan aktif. Pada penanganan konservatif, penderita boleh pulang jika gejala preeklampsia berat sudah berubah menjadi gejala preeklampsia ringan selama 3 hari berturut-turut. Selama dirumah pasien tetap diawasi dan diterapi sesuai dengan protokol terapi preeklampsia ringan (Paisal, 2006). f) Hubungan Pre Eklampsi Terhadap Persalinan Prematur Menurut penelitian oleh Meis, dkk pada tahun 1995 1998 dalam menganalisis kelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu yang dilakukan di NICHD maternal-fetal medicine Units Network, kelahiran prematur yang diindikasikan 43%-nya disebabkan oleh preeklampsia (Cunningham, 2005). Berdasarkan penelitian Kiswatin dengan judul pengaruh preeklampsi terhadap kejadian persalinan preterm di VK IRD RSU DR. Soetomo Surabaya tahun 2009, didapat hasil penelitian yang signifikan ada pengaruh preeklampsi untuk melahirkan prematur atau kesempatan kelahiran prematur hingga 86% untuk ibu dengan preeklampsi dibandingkan dengan yang tidak preeklampsi.

35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A.

Desain Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan pendekatan cross sectional, dimana penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan Ketuban Pecah Dini (KPD) dan Preeklampsi dengan Kejadian Persalinan Prematur dengan diobservasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach)(Notoatmodjo, 2010). Persalinan Prematur KPD KPD Tidak KPD Persalinan Tidak pre Prematur Persalinan Prematur Persalinan Tidak pre Prematur Ibu Bersalin Persalinan Prematur Preeklampsi Preeklampsi
< 35 tahun

Persalinan Tidak pre Prematur Persalinan Prematur Persalinan Tidak pre Prematur

Tidak Preeklampsi

Bagan 1. Desain Penelitian (Modifikasi Notoatmojo, 2010)

35

36

B. Variabel Penelitian Sebagai dasar dalam penelitian ini dibuat variabel penelitian dengan menggunakan suatu kerangka konsep, yaitu kerangka hubungan antara konsep-konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini mengidentifikasi dan mengetahui hubungan ketuban pecah dini dan preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur, dengan menggunakan variable independent yakni ketuban pecah dini dan preeklampsi sebagai factor risiko, dan persalinan prematur adalah variable dependent atau efek.

Variabel Independent

Variabel Dependent

1. Ketuban Pecah Dini 2. Preeklampsi

Persalinan Prematur

Bagan 2. Variabel Penelitian

37

C.

Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Persalinan Prematur Persalinan dalam Alat Ukur Hasil ukur Skala Ukur Nominal

Prematur Register Checklist 0=persalinan ini prematur 1=persalinan tidak prematur

penelitian

adalah persalinan yang terjadi pada saat UH > 37 minggu yang tercatat di register KPD

KPD dalam penelitian Register Checklist 0=KPD ini adalah pecahnya atau terjadi / 37 1=tidak

Nominal

selaput keluar sebelum preterm minggu

ketuban cairan

inpartu sebelum

Preeklampsi Preeklampsi

dalam Register Checklist 0=preeklampsi 1=tidak preeklampsi

Nominal

penelitian ini adalah ibu bersalin diagnosis dengan pereklampsi

yang tercatat di register

38

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang bersalin diruang kebidanan RSUD Arga Makmur berjumlah 634 persalinan. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian atau total sampling persalinan prematur sebanyak 113 orang. E. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang kebidanan RSUD Arga Mamur Bengkulu Utara. 2. Waktu penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juli 2012. F. Rencana pengumpulan, pengolahan dan Analisa Data 1. Pengumpulan data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari catatan medik / register diruang kebidanan RSUD Arga Makmur Bengkulu Utara periode Januari Desember tahun 2011 dengan menggunakan Checklist (Format pengumpulan data). 2. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap berikut : a) Editing pada periode Januari Desember tahun 2011 yang

39

Editing yaitu memeriksa semua jawaban checklist untuk meneliti kemabali apakah semua pertanyaan terjawab dan apakah jawaban yang diberikan sudah cukup benar. Editing dilakukan saat itu juga, sehingga jika terjadi kesalahan dapat dibenahi saat itu juga. b) Coding Coding data yaitu data yang telah disusun dan diperiksa kelengkapannya, kemudian dikelompokan atau digolongkan berdasarkan kategori yang dibuat berdasarkan justifikasi atau pertimbangan peneliti sendiri. Hal ini bertujuan untuk

mempermudah pengolahan data. c) Processing / entry Setelah data dikelompokkan kemudian data tersebut diproses dan diolah kedalam komputer. d) Cleaning Sebelum melakukan analisa data yang sudah dimasukkan kemudian dilakukan pengecekkan pembersihan jika ditemukan kesalahan pada proses data sehingga dapat diperbaiki dan dinilai (score) yang ada sesuai dengan penelitian data kemudian dilakukan transformasi data untuk menggambarkan variabel bebas dan variabel terikat lalu melakukan scoring terhadap masing-masing variabel.

//

40

3. Analisis Data a. Analisis Univariat Dilaksanakan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel bebas dan variabel terikat, sehingga dapat diketahui dari masing-masing variabel dengan menggunakan rumus menurut Budiarto E (2002) sebagai berikut : P=
f x 100% n

Keterangan : P : jumlah presentase yang ingin dicapai n : Sampel F : jumlah frekuensi yang diharapkan b. Analisis Bivariat Untuk melihat hubungan ketuban pecah dini dan preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur, data dianalisa dengan menggunakan uji statistik X2 (Chi

Square) dengan tingkat kepercayaan 95 % atau = 0,05 1) Rumus chi square N {( AD BC ) 1/2 N}2 X2 = (A + B) (B + D) (A + C) (C + D) Keterangan : X2 N CL : Chi square : Populasi : 0,05 : 95% (Derajat signifikan)

41

Hasil chi square dapat dianalisis sebagai berikut : a. Ho ditolak dan Ha diterima bila : X2 hitung > X2 tabel Atau P hitung < P (0,05) (1) Ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian persalinan prematur. (2) Ada hubungan antara preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur. b. Ho diterima dan Ha ditolak bila : X2 hitung < X2 tabel Atau P hitung > P (0,05) (1) Tidak ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian persalinan prematur (2) Tidak ada hubungan antara preeklampsi dengan kejadian persalinan prematur. (bermakna secara signifikan)

42

DAFTAR PUSTAKA Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono Prawirohardjo. Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC. Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM. Joseph HK, dkk. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (obsgyn). Yogyakarta : Nuha Medika. Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai