Anda di halaman 1dari 12

Aborsi Tidak Aman

Posted by samsara -

Jika anda melakukan aborsi di klinik atau rumah sakit, anda akan menjalani konsultasi pra aborsi untuk memastikan anda mengetahui berbagai resiko dan kemungkinan yang bisa terjadi, pada saat di lakukan prosedur aborsi anda akan mendapat serangkaian tindakan medis yang telah memenuhi standar medis, diantaranya di lakukan pembiusan yang dapat mengurangi rasa sakit yang berlebihan sehingga anda terhindar dari kemungkinan trauma. Selain itu anda juga akan menjalani perawatan selama beberapa hari pasca tindakan aborsi di mana keadaan kesehatan anda akan terus menerus di pantau untuk memastikan tidak terjadi pendarahan yang hebat atau infeksi. Biasanya anda akan di beri obat atau suntikan antibiotic untuk mengurangi infeksi yang terjadi dan vitamin penambah darah untuk menggantikan darah yang keluar melalui pendarahan. Beberapa minggu atau sebulan kemudian setelah prosedur aborsi anda masih harus melakukan check-up untuk memastikan kondisi anda benar-benar pulih seperti semula.

Berbeda dengan gambaran di atas, ketika anda melakukan tindakan aborsi di klinik aborsi yang illegal, biasanya anda hanya datang pada saat prosedur aborsi dan setelah prosedur selesai di lakukan anda akan langsung pulang atau setidaknya hanya menginap semalam. Bahkan pada beberapa kasus banyak tindakan aborsi yang di lakukan di kamar hotel yang hanya di sewa untuk beberapa jam sehingga sehabis melakukan tindakan aborsi anda terpaksa harus segera check-out. Pada kasus yang lebih parah, bahkan seringkali tindakan aborsi dilakukan tanpa di beri obat penghilang rasa sakit atau pembiusan. Hal ini dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya Post Abortion Syndrome akibat dari trauma yang menyakitkan. Biasanya si dokter atau bidan hanya akan membekali anda dengan beberapa obat atau pil antibiotic dan vitamin penambah darah.

Apa akibatnya bila aborsi dilakukan secara tidak aman? Seringkali, aborsi yang dilakukan oleh bukan orang yang ahli akan memakai cara dan alat-alat yang tidak tepat. Untuk merusak dan memaksa janin keluar, rahim akan dipijat dan dimasuki alat atau benda ke dalamnya. Alat ini sering berupa benda tajam, telah tercemar dan tidak bersih. Misalnya bambu, alat penusuk atau selang yang tidak steril sering membuat infeksi rahim. Sebagai akibatnya, selain bisa kena infeksi, rahim itu bisa rusak atau robek dan selanjutnya bisa terjadi perdarahan hebat, terus menerus dan rahimnya rusak untuk selamanya. Jadi bila aborsi dilakukan oleh bukan orang yang ahli maka kemungkinan pertama yang akan terjadi adalah infeksi rahim karena alat yang dipakai tidak bersih. Kemungkinan ke dua adalah akan terjadi perdarahan hebat dan terus menerus karena rahimnya dirusak. Perlu diketahui, rahim yang ada janinnya akan penuh dengan pembuluh darah yang menyalurkan makanan bagi calon bayi. Bila dirusak maka jaringan pembuluh darah ini akan rusak dan terjadi perdarahan yang sukar dihentikan.

Kemungkinan ke tiga, rahim akan terus menerus mengeluarkan darah dan cairan lain. Ini tentu akan berakibat kematian bagi si ibu bila tidak segera ditolong. Sementara itu, keadaan rahim yang tidak sehat ini bisa berkembang menjadi infeksi yang terus menerus, tumbuhnya sel baru, tumbuhnya sel ganas dan lain-lain.

Tidak adanya tindak lanjut setelah melakukan prosedur aborsi akan sangat membahayakan kesehatan si perempuan di kemudian hari, bahkan pada beberapa kasus terjadi kematian akibat pendarahan yang hebat. Pada beberapa perempuan mungkin tidak terlihat adanya kelainan akibat prosedur aborsi yang tidak aman tapi bukan berarti tidak ada, biasanya infeksi atau trauma nya akan muncul beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan, hanya banyak yang kemudian tidak menyadarinya.

Unsafe abortion - Re: Sedikit tentang data aborsi - Re: [UNAIR] Re: Abortion.....:( , again?

Dari: Windhu Purnomo Judul: Unsafe abortion - Re: Sedikit tentang data aborsi - Re: [UNAIR] Re: Abortion.....:( , again? Tanggal: Sun, 25 Apr 2004 07:31:20 -0700

Saya akan sedikit panjang lebar berpendapat soal aborsi dari sudut pengetahuan saya. Masalah aborsi (induced abortion) akan selalu debatable, pro-kontra, ada kelompok pro-life yang tidak menyetujui abortus provokatus atau induced abortion, sebaliknya ada kelompok pro-choice yang menyetujui abortus provokatus (ini pun ada spektrumnya dari yang setuju aborsi untuk semua kasus sampai yang hanya menyetujui aborsi untuk kasus-kasus tertentu/terbatas). Saya tidak mau masuk pada perdebatan itu, tetapi hanya ingin menunjukkan beberapa problem seputar aborsi (dalam hal ini: induced abortion; u/ sekedar diketahui ada 2 macam aborsi: 1. spontaneous abortion atau keguguran, yaitu aborsi yang terjadi dengan sendirinya, bukan karena diprovokasi; 2. induced abortion atau pengguguran, yaitu aborsi yang diinduksi/diprovokasi) yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan kesehatan masyarakat. Semua opini saya adalah evidence based. Saya juga tidak mau masuk ke masalah moral/agama, karena ini akan selalu menjadi perdebatan sepanjang masa yang tidak bakal pernah selesai. Menurut data WHO & Bank Dunia (1997): unsafe abortion (aborsi yang tidak aman) merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu (13%), di samping berbagai penyebab langsung & tak langsung lainnya. [ Definisi unsafe abortion (WHO, 1998): adalah prosedur untuk melakukan

terminasi (penghentian) kehamilan yang tidak diingini (unwanted pregnancy, baik oleh karena buruknya ketrampilan penolong mau pun karena lingkungan yang memiliki standar medis minimal yang buruk, atau karena kedua-duanya. Akibat dari unsafe abortion di antaranya adalah: aborsi tak lengkap (incomplete abortion) yg bisa mengakibatkan nyeri pelvis sampai perdarahan terus menerus; sepsis, yaitu infeksi yang ekstensif sampai ke seluruh tubuh; perdarahan hebat; dan perlukaan intra-abdomen (perlukaan dalam perut); semuanya ini bisa menyebabkan kematian atau setidaknya kecacatan rahim. ] Secara absolut (WHO, 1998) jumlah kematian ibu akibat unsafe abortion pada tahun 1998 di Afrika: 33.000, Asia: 37.600, Amerika Latin: 4.600 dan Eropah: 500. [ Data dari Amerika Utara (USA & Kanada) memang tidak dimasukkan karena jumlah kematian ibu di situ sangat kecil, yaitu hanya 490 kematian pada tahun 1995 dari kematian ibu total di dunia sebesar 515.000 per tahun (WHO, 2001), bandingkan dengan jumlah kematian ibu di Afrika dan Asia yang masing-masing 273.000 dan 217.000 per tahun. ] Menurut The John Hopkins School of Public Health dalam Population Reports-nya (1997): di Amerika Latin terdapat 100 kematian dari 100.000 aborsi, di Asia 400 kematian per 100.000 aborsi dan di Afrika 600 kematian per 100.000 aborsi. Sedang aggregate mortality rate dari 13 negeri-negeri maju (terutama di Eropah dan Amerika Utara, juga Aussie dan Selandia Baru) hanya 0,6 kematian per 100.000 aborsi (!!!). Data di atas (terutama harap lihat data proporsi atau rate) menunjukkan bahwa problem besar tentang maternal mortality, unsafe abortion dan abortion-related maternal deaths terdapat di negara-negara terbelakang di Afrika dan Asia (termasuk Indonesia! ah, itu kan malu-maluin..!), bukan di negeri-negeri maju seperti di Eropah atau Amerika Utara. Mengapa muncul unsafe abortion? Hampir semua pelaku unsafe abortion (dengan standar medis minimal dan ketrampilan penolong yang buruk) adalah mereka yang sama sekali tidak profesional, misalnya para dukun. Mengapa para ibu (ingat, sebagian besar --lebih dari 70 persen-- yang mengaborsi kandungannya adalah para ibu yang sudah menikah dan sudah memiliki anak, sebagian kecil adalah remaja) minta pertolongan pada penolong-penolong tidak profesional semacam ini? Ini karena induced abortion adalah ilegal di negeri-negeri tertentu seperti di Indonesia. Akibat dari di-ilegalisasikannya aborsi, para profesional (para dokter yang mempunyai standar ketrampilan dan peralatan yang memadai) tidak mau dan tidak berani melakukan tindakan aborsi, sehingga para ibu yang akan melakukan aborsi (karena alasan apa pun) akan lari ke para tenaga yang tidak profesional dan tidak memenuhi standar (tidak punya ketrampilan yang cukup dan peralatan dengan syarat aseptik yang memadai), dan biasanya secara sembunyi-sembunyi. Tidak jarang kita membaca di koran seorang perempuan tewas diaborsi dukun dengan cara diinjak perutnya setelah gagal dipijit atau diminumi ramuan tertentu sebelumnya. Ada yang tewas terinfeksi/sepsis akibat rahimnya yang dikorek-korek atau ditusuk-tusuk dengan benda yang tidak steril. Sering sekali kita membaca dan mendengar peristiwa semacam ini... [ Tapi ada juga sih pihak-pihak yang meng-"kapok-kapok"-kan kematian atau penderitaan perempuan-perempuan ini karena dianggap sebagai balasan setimpal dari perbuatannya yang dianggap amoral dan melanggar agama... Duh Gusti... ] Ada banyak alasan seorang perempuan melakukan aborsi, dan itu sudah ditulis

oleh pak Nur. Apa pun alasan mereka, tetapi mereka berada di sisi yang lemah dan selalu sebagai pihak yang banyak disalahkan. Itulah sialnya mereka terlahir sebagai perempuan (betapa beruntungnya mereka yang terlahir sebagai laki-laki). Tidak akan pernah laki-laki hamil, melahirkan dan melakukan aborsi. Sehingga tidak pernah laki-laki disalahkan dan dianggap amoral karena hamil di luar nikah, melahirkan bayi "haram", atau melakukan aborsi. Dengan mudah banyak laki-laki yang sinis, jijik dan melontarkan opini penghakiman terhadap perempuan-perempuan yang "amoral" tersebut. Sekali lagi, itulah sialnya perempuan lahir ke dunia laki-laki. Dunia ini memang milik laki-laki. Begitu ada perempuan yang mempunyai opini dan mengutarakan keluh-kesahnya sebagai seorang perempuan dan melihat penderitaan para perempuan sesamanya, maka dengan gampangnya akan ditindas dengan berbagai argumen yang bias laki-laki. Saya punya saudara jauh, dia seorang perempuan, saya biasa memanggil "mbak T", sekarang tinggal di kota kecil Bangil. Setelah menikah dengan seorang lelaki (saya memanggilnya "mas S", sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu) yang sangat taat beragama, tentu saja sangat taat beribadah ritual. Setelah melahirkan 3 anak perempuan dalam jarak yang sangat dekat (kurang dari dua tahun sekali), ketika hamil untuk ke 4 dan ke 5 kalinya dia melakukan aborsi (anehnya, atas permintaan suami yang taat beragama tadi, tapi kelihatannya karena sudah sangat terpaksa) ke dukun di suatu tempat (jadi dia melakukan 2 kali aborsi, dan ndilalah koq selamat, meski pun aborsi yang terakhir dia mengalami perdarahan cukup hebat, dan sangat beruntung tertolong setelah dibawa ke rumah sakit). Sejak aborsinya yang terakhir itu mereka takut lagi melakukan aborsi. Sekarang jumlah anaknya 5 orang, semua perempuan. Mbak T ini sama sekali tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi apa pun, karena suaminya (mas S) tidak setuju dengan penggunaannya dengan berbagai alasan (salah satunya karena alasan agama) meski pun mbak T ingin mencoba menggunakannya. Sebelum mas S sakit-sakitan sampai meninggal, keluarga mbak T mengalami kesulitan keuangan, gali lubang tutup lubang, diantaranya untuk memelihara anak-anaknya, sehingga harus pinjam uang sana-sini termasuk ke saya. Saya sangat prihatin melihat keadaannya. Ini salah satu contoh dari banyak ibu lain (di negeri ini) yang tidak berdaya menghadapi suami (yang nota-bene seorang laki-laki). Pengambilan keputusan sepenuhnya di tangan suami, si isteri sama sekali tidak memiliki hak reproduksinya sendiri. Dia harus menghadapi risiko kesakitan sampai kehilangan nyawa karena hak-hak yang semestinya dia punyai dirampas oleh suami. Mbak T tidak akan mengalami perdarahan hebat kalau dia tidak melakukan unsafe abortion. Dia tidak akan melakukan aborsi kalau dia tidak mengalami unwanted pregnancy. Dia tidak akan mengalami unwanted pregnancy kalau dia tidak dilarang suami menggunakan alat kontrasepsi (kalau perlu kontrasepsi mantap atau sterilisasi bila anak sudah lebih dari 2 anak). Dia mungkin menggunakan alat kontrasepsi kalau pengambilan keputusan tidak hanya terletak di tangan suami. Atau, dia akan kecil kemungkinannya mengalami perdarahan hebat kalau aborsinya dilakukan oleh dokter secara profesional dengan prosedur dan peralatan yang memenuhi standar medis yang memadai. Wuaah, capek juga nulis ini. Sebetulnya masih ada hal-hal yang berkaitan dengan aborsi ini yang ingin saya tulis, ada beberapa data yang ingin saya ulas termasuk bagaimana

membaca data yang dikutip pak Nur di bawah ini. Mungkin lain kali kalau ada waktu. Wass, W P `````` === From: "Nur Syam Rahmadi" <[EMAIL PROTECTED]> > Artikel-artikel ini dapat dibaca sendiri di internet <www.aborsi.net> > > Salam, > Nur Syam R > ======================== > > ALASAN ABORSI > > Aborsi dilakukan oleh seorang wanita hamil - baik yang telah menikah maupun > yang belum menikah dengan berbagai alasan. Akan tetapi alasan yang paling > utama adalah alasan-alasan yang non-medis (termasuk jenis aborsi > buatan/sengaja) > > Di Amerika, alasan-alasan dilakukannya aborsi adalah: > 1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir mengganggu karir, sekolah atau > tanggung jawab lain (75%) > 2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%) > 3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%) > > Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama > mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak > anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang > mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan > seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam > kandungannya. > > Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang > mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada didalam > kandungannya adalah boleh dan benar . Semua alasan-alasan ini tidak > berdasar. > Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidakpedulian seorang > wanita, yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. > > Data ini juga didukung oleh studi dari

Epidemiologi Abortus yang Tidak Aman


Posted by soleman | 10:55 PM | medika | 0 comments

NASRIN KODIM Pendahuluan Sejak lama diketahui bahwa abortus spontan hanyalah sebagian kecil dari seluruh kejadian abortus. Bagian terbesar adalah abortus provokatus yang dilakukan dengan sengaja akibat kehamilan yang tidak diingini. Dari hasil World Fertility Survey tahun 1987, diketahui bahwa di seluruh dunia ada sekitar 300 juta pasangan usia subur yang tidak ingin mempunyai anak lagi, tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Mereka adalah kelompok yang sangat berisiko untuk mengalami kehamilan yang tidak diingini. Keadaan seperti ini paling mencolok ditemukan di negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika latin, yang tingkat ketersediaan fasilitas pelayanan jasa aborsinya sangat rendah. Program keluarga berencana di Afrika, Asia, dan Amerika latin secara berturut-turut hanya mampu mencakup 23%, 43%, dan 57% dari para pasangan yang tidak menginginkan anak tersebut (WHO). Selain itu, kehamilan yang tidak diingini dalam jumlah yang besar juga terjadi pada kelompok remaja. Para remaja yang dihadapkan pada realitas pergaulan bebas masyarakat moderen itu, tidak dibekali sedikitpun dengan pengetahuan tentang Fisiologi reproduksi dan perilaku seksual yang benar. Berdasarkan data WHO diketahui bahwa di seluruh dunia, setiap tahunnya diperkirakan ada sekitar 15 juta remaja yang mengalami kehamilan. Sekitar 60% di antaranya tidak ingin melanjutkan kehamilan tersebut dan berupaya mengakhirinya.

Frekuensi kehamilan yang tidak diingini yang tinggi itu dipastikan akan meningkatkan kebutuhan jasa pelayanan abortus. Menurut badan kesehatan dunia (WHO), di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan sekitar 40--60 juta ibu yang tidak menginginkan kehamilannya melakukan aborsi. Setiap tahun, sekitar 500.000 ibu mengalami kematian yang disebabkan oleh kehamilan dan persalinan. Sekitar 30--50% di antaranya meninggal akibat komplikasi abortus yang tidak aman. Yang lebih memprihatinkan lagi, sekitar 90% dari kematian tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang jumlah dan penyebaan fasilitas pelayanan kesehatan profesionalnya masih relatif kecil dan tidak merata (Ericca, 1997). Sementara, sikap terhadap abortus bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain. Hal ini diekspresikan dalam bentuk peraturan dan undang-undang negara yang membatasi tindakan aborsi. Pada 1986, Tietze dan Henshaw mungelompokkan status hukum abortus di seluruh dunia berdasarkan proporsi penduduknya, dalam 4 kelompok besar. Yaitu, sekitar 13% melegalkan abortus tanpa sarat, 24% melarang abortus kecuali hanya untuk keselamatan si ibu, 39% memberikan izin berdasarkan permintaan, dan 24% legal berdasarkan pertimbangan sosial yang luas. Variasi ini berhubungan sangat erat dengan jasa pelaksanaan abortus yang tidak aman. Semakin ketat larangan abortus, semakin besar risiko pertolongan aborsi yang tidak aman, sebagai akibat langka dan mahalnya fasilitas pelayanan abortus. Sebaliknya, di negara-negara yang membebaskan abortus, risiko tersebut relatif lebih kecil. Meskipun demikian, akan selalu ada para ibu yang mencari jasa pelayanan aborsi yang tidak aman. Sebagai contoh, di Tunisia, aborsi dapat dilakukan secara legal. Akan tetapi, dikatakan bahwa sekitar 1/3 aborsi dilakukan secara tidak aman. Bahkan, di Zambia, negara yang sangat memberikan kelonggaran untuk pelayanan aborsi, sebagian besar obortus dilakukan secara tidak aman. Dari uraian tersebut di atas, terbukti bahwa tingginya frekuensi kehamilan yang tidak diingini di negara-negara

berkembang, akan meningkatkan kebutuhan jasa palayanan abortus. Sementara, larangan terhadap abortus akan membuat fasilitas pelayanan aborsi profesional yang berkualitas menjadi langka dan mahal. Akibatnya, pilihan akan jatuh pada jasa pelayanan abortus yang tidak aman yang diberikan oleh tenaga yang tidak terampil dan tidak terlatih. Para ibu yang kebingungan itu akan nekad memilih pelayan aborsi yang tidak aman dan mengancam keselamatan ketimbang membesarkan janin yang mereka kandung. Mereka tidak menghiraukan risiko komplikasi, cacad, dan kematian yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan yang keliru itu. Pelayanan abortus yang mereka pilih itu akan mengantarkan mereka pada risiko kematian 100 sampai 500 kali lebih besar. Di negara berkembang, masalah ini sangat penting karena menyangkut keselamatan dan kelangsungan hidup para ibu usia produktif yang menjadi pengayom utama keluarga. Pengertian Secara umum, abortus didefinisikan sebagai upaya terminasi kehamilan yang dilakukan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan. Selanjutnya, menurut WHO, aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) adalah aborsi yang dilakukan dengan menggunakan metode yang berisiko tinggi, bahkan fatal, dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau tidak terampil serta komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian wanita usia reproduksi. Dengan demikian, ada tiga kriteria aborsi yang tidak aman, yaitu metode berisiko tinggi, dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian ibu (WHO, 1995). Metode aborsi risiko tinggi yang dimaksud antara lain meliputi penggunaan obat atau jamu, pemijitan, memasukkan alat atau benda asing ke dalam rongga vagina. Peralatan yang digunakan biasanya terkontaminasi oleh mikroorganisme dan bahan-bahan kausatif atau iritatif sehingga meskipun pasien dapat diselamatkan dari kematian, dia masih tetap terancam untuk mengalami cacad menetap atau gangguan organ yang serius. Sementara, bahanbahan tradisional yang sering digunakan antara lain plastik, batang kayu, akar pohon, atau tangkai daun yang mempunyai getah iritatif (Erica, 1994). Yang dimaksud dengan individu yang tidak terlatih atuu tidak terampil adalah individu, baik tenaga medis ataupun bukan, yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang sangat minimal sehingga tidak dapat memperkirakan risiko yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukannya. Abortus yang tidak aman bukan semata-mata masalah medis, etika ataupun hukum, tetapi merupakan masalah kemanusiaan yang menyangkut wanita dan pria sebagai pasangan suami istri dan sebagai anggota masyarakat serta kelangsungan hidup janin yang dihasilkan dari hubungan suami istri. Masalah Penilaian besarnya masalah abortus di berbagai negara menghadapi banyak kesulitan sebagai akibat status abortus yang ilegal sehingga kasus-kasus yang terjadi jarang dilaporkan. Namun, tanpa gambaran yang jelas dan lengkap pun, abortus tetap terdeteksi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius. Setiap tahun, ada sekitar 40 sampai 60 juta wanita yang berupaya mengakhiri kehamilan yang tidak mereka ingini. Di seluruh dunia, setiap tahun terjadi sekitar 40--70 kasus abortus per 1000 wanita usia reproduksi (WHO, 1995). Diperkirakan bahwa sekitar 20% dari seluruh kehamilan akan berakhir dengan aborsi. Kelompok wanita yang memilih jasa pelayanan aborsi yang tidak aman akan menghadapi risiko kematian 100 sampai 500 kali lebih tinggi daripada wanita yang mendapat

pelayanan jasa aborsi aman yang diberikan oleh tenaga profesional yang terlatih. Di India, abortus telah diizinkan secara luas sejak 1980, tetapi pada 1980 dilaporkan hanya 388.000 dari 4--6 juta tindakan abortus yang dilakukan di fasilitas pelayanan pemerintah (Erica 1994). Di Tunisia yang melegalkan tindakan abortus, sekitar 33% kejadian aborsi masih tergolong sebagai aborsi yang tidak aman. Di Zambia yang mengizinkan pelaksanaan abortus dengan mempertimbangkan alasan sosial yang luas, sebagaian besar wanitanya melakukan tindakan abortus yang tidak memenuhi persyaratan profesional. Di sini, kelonggaran yang diberikan terhadap abortus tidak diikuti dengan kemudahan sistem administrasi penyelenggaraannya. Misalnya, setiap abortus yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan tiga orang dokter, yang salah satunya adalah dokter spesialis. Di Amerika Latin, komplikasi abortus yang dilaklikan secara ilegal merupakan penyebab utama kematian pada wanita yang berusia 15--39 tahun. Berdasarkan laporan dari berbagai negara berkembang, diketahui bahwa abortus yang tidak aman merupakan penyebab utama kematian ibu. Survei yang dilakukan di Adis Ababa pada 1981--1983 menemukan 54% kematian ibu yang langsung disebabkan oleh kamplikasi abortus provokatus yang tidak aman. Kecenderungan Regional Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di 19 negara Amerika Latin, setiap tahun dilakukan sekitar 34 juta abortus atau sebesar 45 per 100 wanita usia produktif. Di Chili, sekitar 10--30% tempat tidur di bangsal kebidanan dan kandungan diisi oleh wanita yang mengalami komplikasi aborsi (Erica, 1994). Dari Zimbabwe, Afrika, dilaporkan bahwa sekitar 28% seluruh kematian ibu berhubungan dengan abortus. Sementara, di Tanzania dan Adis Adaba masing-masing sebesar 21% dan 54%. Hal ini diperkirakan merupakan bagian kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan pelayanan kedokteren moderen yang ditandai oleh kesenjangan informasi. Di Mesir yang mayoritas berpenduduk muslim, penduduk yang berpeluang untuk melakukan abortus sangat kecil. Ditemukan bahwa sekitar 50% tempat tidur di bagian kebidanan diisi oleh kasus-kasus komplikasi abortus. Sedangkan di Irak dikatakan bahwa perawatan kasus aborsi dan komplikasinya melebihi perawatan persalinan. Di daerah pedesaan Libanon, pada 1961 diketahui bahwa 0,2% kehamilan diakhiri dengan abortus, sementara diperkotaan 8--14%. Meskipun status abortus di negara-negara Asia umumnya ilegal, insiden abortus umumnya dianggap tinggi. Di Korea, pada 1978 insidens abortus ditemukan sebesar 235 per 1000 wanita yang berkeluarga yang berusia 15--44 tahun. Di Thailand yang mengizinkan abortus secara terbatas, didapatkan angka 37 per 1000 wanita usia reproduktif dan ratio 245 per 1000 kelahiran hidup. Di Singapura, pada 1981 dilaporkan insiden abortus 28,4 per 1000 wanita usia reproduktif dan rasio 371 per 1000 kelahiran hidup. Di India yang melegalkan aborsi tapi dengan fasilitas pelayanan yang tidak merata, ditemukan angka 55 per 1000 wanita usia 15--44 tahun. Karakteristik Wanita yang Mencari Pelayanan Aborsi Ada berbagai alasan dan kondisi individual yang memungkinkan wanita melakukan aborsi. Di berbagai daerah, pola itu bergeser secara konstan mengikuti perubahan sosial, peraturan perundang-undangan, dan moral yang berlaku.

Meskipun demikian, beberapa karakteristik umum dapat diindentifikasi. Status sosial ekonomi Pertolongan abortus yang tidak aman lebih banyak dialami oleh kelompok masyarakat yang miskin, karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka untuk membiayai jasa pertolongan profesional. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang kaya yang dikatakan relatif lebih banyak yang melakukan aborsi, mempunyai risiko lebih kecil untuk mendapat pertolongan aborsi yang tidak aman. Pendidikan Aborsi lebih sering dilakukan oleh para wanita yang berpendidikan rendah daripada yang berpendidikan tinggi. Tinggal di daerah perkotaan Pengguguran kandungan lebih banyak terjadi di daerah perkotaan jika dibandingkan dengan daerah pedesaan. Di Malaysia dan Mesir, rasio abortus di perkotaan dan di pedesaan berkisar antara 3--4 kali. Akan tetapi, karena fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas lebih banyak berada di daerah perkotaan, maka angka kematian akibat abortus relatif lebih jarang karena komplikasi abortus dapat ditangani dengan baik. Sebaliknya, di daerah pedesaan, kasus abortus dan fasilitas pelayanannya relatif lebih rendah. Status perkawinan Umumnya yang melakukan aborsi adalah para wanita yang belum menikah. Survei yang dilakukan di sembilan negara Amerika Latin menemukan 18% komplikasi abortus terjadi pada kelompok yang belum menikah. Di Korea dan Thailand, insiden aborsi di kalangan yang tidak menikah sangat tinggi, umumnya terjadi di kalangan mahasiswa dan wanita pekerja. Di Subsahara Afrika, abortus lebih sering dilakukan di kalangan wanita yang tidak menikah. Sebaliknya, di India abortus umumnya dilakukan oleh para wanita yang telah menikah. Masalah yang sangat memprihatinkan bahwa hampir di semua negara, program keluarga berencana hanya diperuntukkan bagi wanita yang telah menikah. Umur Penelitian yang dilakukan di Asuncion, Bogota, Lima Panama, dan Boenos Aires, Amerika Latin, memperlihatkan bahwa angka aborsi di kalangan remaja relatif paling rendah. Akan tetapi, memperlihatkan kecenderungan yang meningkat pesat dibandingkan dengan kelompok umur yang lain. Angka tertinggi justru ditemukan di kalangan wanita berusia lebih dari 35 tahun. Paritas Dari survei yang dilakukan di India, diketahui bahwa 20% wanita yang melakukan aborsi mempunyai satu atau dua anak, sekitar 32% mempunyai 3--4 anak, dan 41% telah mempunyai lebih dari lima anak. Di Cina justru aborsi digunakan untuk mengendalikan tingkat kesuburan.

Metode Aborsi yang Tidak Aman Metode aborsi yang tidak aman yang umumnya digunakan di berbagai negara bervariasi, dari metode teknik medis lanjut yang digunakan oleh dokter sampai teknik tradisional berbahaya yang digunakan oleh dukun, teman, atau tetangga yang menolong atau oleh wanita hamil itu sendiri. Mertode yang paling sering digunakan oleh dokter dan perawat adalah mengeluarkan isi kandungan dengan menggunakan alat, terutama dengan dilatasi dan kuretase. Saat ini, metode kuretase bedah secara sangat progresif diganti oleh metode kuretase penghisapan, yang salah satunya adalah induksi haid. Cara lain adalah histerotomi, yaitu pengeluaran isi rahim dengan pembedahan besar yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Di negara maju, cara ini telah ditinggalkam. Di India, cara ini masih dilakukan, yang biasanya diikuti dengan sterilisasi pembedahan. Prosedur lain yang digunakan secara legal di rumah sakit selama trimester kedua kehamilan adalah perangsangan kontraksi rahim dengan memasukkan larutan garam atau prostaglandin. Prosedur ini memakan waktu 36--72 jam. Prosedur ini tidak selalu efektif. Untuk para pelaku abortus yang tidak profesional, upaya yang dilakukan antara lain adalah memasukkan cairan ke dalam uterus. Cairan yang digunakan bervariasi, mulai dari air sabun sampai disinfektan rumah tangga yang dimasukkan melalui semprotan ataupun alat suntik. Di beberapa negara juga menggunakan pasta yang bersifat abortif yang mengandung zat iritatif. Sediaan jamu dan obat-obatan per oral juga sering digunakan. Berbagai jamu dan obat yang diduga bersifat abortif dapat ditemukan di pasaran bebas di negara-negara berkembang. Di Bangladesh, obat-obat tersebut kemungkinan mengandung kina, permanganat, ergot, dan air raksa. Di Malaysia, ditemukan pil timah oksida dan minyak zaitun (Erica, 1994). Metode lain yang relatif lebih berbahaya adalah memasukkan alat atau benda asing ke dalam rongga rahim. Di India digunakan pucuk wortel yang telah dikeringkan; di Philipin alat tesebut adalah pisang atau daun tumbuh-tumbuhan lokal kalachulchi. Di Ghana, digunakan ranting pohon comelina yang jika dimasukkan ke dalam rahim akan menyerap air dan mengembang membuka leher rahim serta menyebabkan abortus. Jenis lain adalah tanaman Jatropha yang mengandung bahan kimia korosif yang dapat menyebabkan abortus. Di Amerika latin, upaya abortus dilakukan dengan memasukkan ujung kateter yang lentur ke dalam rongga rahim. Ujung yang lain diikatkan di pangkal paha. Wanita tersebut kemudian disuruh berjalan sehingga ujung kateter yang berada di dalam rongga rahim bergoyang-goyang menggangu isi rahim dan merangsang abortus. Ada pula yang menggnakan cairan kina yang toksik pada bayi dan si ibu. Ada juga para wanita yang melakukan sendiri dengan memasukkan plastik berongga ke dalam rongga rahim, kemudian memasukkan alat atau kawat melalui plastik tersebut untuk mengorek rongga rahim. Komplikasi Utama

Komplikasi dini dan yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, yang sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tersisa di dalam rahim. Sepsis merupakan salah satu komplikasi aborsi yang paling fatal. Infeksi yang paling serius yang jarang ditemukan adalah infeksi bakteri anaerub yang menyebabkan gasgangrin dan tetanus. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh penggunaan peralatan yang tidak bersih. Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit. Komplikasi abortus lain yang secara potensial fatal adalah bendungan sistem pembuluh darah oleh bekuan darah, gelembung udara, atau cairan. Yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan bekuan darah berat yang disebabkan oleh infeksi berat serta keracunan obat-obat abortif yang menyebabkan gagal ginjal. Komplikasi lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemandulan sebagai akibat infeksi yang berakibat dengan penutupan tuba falopii. Dikatakan bahwa kerusakan tuba merupakan penyebab utama kemandulan di negara berkembang. Penyebab lain dari penyumbatan tuba adalah peradangan panggul yang berhubungan dengan penyakit hubungan seksual (WHO, 1995). Faktor Risiko Kematian Aborsi Faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko kematian akibat aborsi antara lain adalah: metoda yang digunakan, kompetensi petugas pemberi pertolongan, usia kehamilan pada saat aborsi dilakukan, umur ibu, keadaan umum ibu, dan keberadaan pelayanan medis yang bermutu. Metode yang digunakan Metode dan tindakan aborsi yang digunakan merupakan faktor risiko kematian yang sangat penting bagi kasus-kasus aborsi. Komplikasi serius berupa perdarahan dan sepsis dengan risiko kematian paling tinggi terjadi pada kasus aborsi yang ditangani secara tidak profesional. Meskipun angka pasti dari kasus seperti itu sulit ditemukan, tapi kontribusinya terhadap kematian ibu diakui tinggi. Kompetensi petugas pemberi pertolongan Kompetensi petugas berhubungan erat dengan metode yang digunakan. Pelayanan abortus nonprofesional di samping menggunakan metode yang tidak lazim, petugas pemberi pelayanannya pun tidak mempunyai kompetensi dalam menagani berbagai komplikasi yang terjadi. Mereka tidak mengenal tanda-tanda kegawatan yang memerlukan pertolongan segera. Usia kehamilan pada saat aborsi dilakukan Stadium kehamilan ketika abortus dilakukan merupakan faktor risiko yang penting. Di Chili, 47% ibu-ibu yang

melakukan aborsi pada usia kehamilan 3--5 bulan berakhir dengan perawatan di rumah sakit. Sementara, yang dilakukan pada usia kehamilan satu bulan hanya 18% yang memerlukan perawatan. Di Amerika Serikat, diketahui bahwa risiko kematian upaya pengguguran pada usia kehamilan sampai 8 minggu, 20 kali lebih rendah dari risiko kematian persalinan normal. Pada aborsi yang ditolong oleh tenaga profesional pun, risiko kematiannya akan meningkat sesuai dengan peningkatan usia kehamilan. Umur ibu Umur ibu merupakan salah satu faktor risiko kematian akibat abortus. Semakin muda usia ibu pada waktu melakukan tindakan, semakin besar risiko kematian yang dihadapi. Angka kematian akibat tindakan aborsi yang tinggi di Amerika Latin ditemukan pada kelompok remaja, sedangkan pada kelompok mahasiswa dan pekerja relatif lebih rendah (Erica, 1994). Keadaan umum ibu Keadaan umum ibu waktu melakukan abortus merupakan faktor risiko kematian yang penting. Tingginya angka kematian akibat aborsi di negara-negara berkembang antara lain merupakan kontribusi dari keadaan gizi yang buruk serta anemia (Kodim, 1998). Keberadaan pelayanan medis yang bermutu Ketersediaan fasiliatas pelayanan yang berkualitas merupakan faktor penting dalam mencegah kematian akibat aborsi. Berbagai komplikasi aborsi yang terjadi dapat diatasi dengan baik oleh fasilitas pelayanan aborsi. Itulah sebabnya, di daerah perkotaan yang jumlah kasus abortusnya tinggi, mempunyai angka kematian yang relatif rendah. Sebaliknya, di daerah pedesaan dengan angka aborsi yang rendah mempunyai angka kematian yang relatif tinggi (Affandi, 1997; Kodim 1998). Daftar Pustaka 1. Affandi Biran, Pemberdayaan Wanita dan Rujukan Obstetrik Perinatal di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1997 2. Erica, Sue A. Preventing Maternal Derath, Worl Health Organization, Geneva; 1994 3. Izhar M. Fihir dan George Adriaanz, Penatalaksanaan Klinik Pascaabortus dan Komplikasinya, AVSC International, Galang Comunication, 1998. 4. Kodim, dkk. Studi Intervensi, Rujukan Obsterik Perinatal di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Serang, Jawa Barat, 1996-1998, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, 1998. 5. Moeloek, Farid A, Beberapa Fakta tentang Aborsi, Aborsi di Bawah Bayang-bayang Kematian Ibu, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Wira Bhakti, Jakarta, 1998. 6. World Health Organization, Complication of Abortion, technical and Managerial for Prevention and Treatment. Geneva: 1995.

Anda mungkin juga menyukai