Anda di halaman 1dari 34

BAB 1 PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit tropik infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Penyakit ini merupakan penyakit saluran pernapasan yang paling banyak menyerang manusia di dunia. Delapan puluh persen dari beban global TB berada pada 23 negara, yang hampir semuanya merupakan negara tropis, seperti di Amerika Tengah dan Selatan, sub-Sahara Afrika, Asia Selatan dan Tenggara, dan kepulauan tetangga lainnya. Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terkena penyakit ini. Pada tahun 2009, terdapat sekitar 9,4 juta insiden kasus TB secara global. Prevalensi di dunia mencapai 14 juta kasus atau sama dengan 200 kasus per 100.000 penduduk.1 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992 TB paru di Indonesia menduduki urutan kedua penyebab kematian terbanyak (11,4%).2

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia, tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia, terutama di negara-negara tropis. Berdasarkan data WHO, pada tahun 2009 angka insidensi TB yang terjadi di dunia mencapai 9,4 juta ataupun 137 kasus per 100.000 penduduk dengan angka 4kematian yang terjadi sebanyak 1,7 juta orang.3 Infeksi ini terjadi umumnya pada daerah Asia sebanyak 55%, Afrika 30%, lalu proporsi lain yang lebih kecil pada Mediterranean Timur 7%, Eropa 4%, dan Amerika sebanyak 3%4. Indonesia saat ini menempati peringkat kelima dunia setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria dalam angka kesakitan akibat TB. Angka kejadian TB di Indonesia berkisar antara 350.000-520.000 dengan insidensi kejadian sebanyak 189 kasus per 100.000 penduduk dan prevalensinya 285 kasus per 100.000 penduduk. 4,5

Paduan OAT pada penderita TB terdiri dari 3 kategori. Kategori 1 adalah panduan OAT yang diberikan untuk pasien baru. Paduannya yaitu terdiri dari 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Untuk fase intensif 2 - 3 bulan pertama diberikan adalah: rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan ethambutol. Untuk fase lanjutan 4 bulan kemudian digunakan rifampisin dan isoniazid. Sementara untuk TB kategori 2 yaitu pada pasien yang BTA positif yang telah diobati sebelumnya seperti pasien kambuh, gagal, atau pasien

dengan pengobatan setelah putus berobat, diberikan pengobatan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, ethambutol setiap hari selama 1 bulan pertama, kemudian isoniazid, rifampisin dan ethambutol setiap hari atau 3 x semingu selama 5 bulan. 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Defenisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit tropik infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang ditularkan melalui udara yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. 2.1.2. Etiologi TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV. 2.1.3. Klasifikasi 1.Berdasarkan lokasi organ tubuh yang terkena a.TB Paru : menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus b. TB Ekstra Paru: menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, saluran kencing, alat kelamin dll.

2. Berdasarkan pemeriksaan dahak a. TB Paru BTA Positif : - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan fototoraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. - 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif - 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnyahasilnya BTA negdan tidak ada perbaikan setelahpemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolon) b. Paru BTA Negatif (Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif) : - Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative - Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis - Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolon) - Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan OAT

3. Berdasarkan riwayat pengobatan a.Kasus Baru : Pasien yang belum pernah diobati dengan OATatau sudah pernah menelan OAT kurang darisatu bulan (4 minggu) b. Kasus Kambuh (Relaps): Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur) c. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) : Pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif d. Kasus Gagal (Failure) : Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan

2.1.4. Cara penularan dan resiko penularan Sumber penularan adalah pasien TB BTA Positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

2.1.3. Patogenesis A. Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara : Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan : Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.6

B. Tuberkulosis Pasca-Primer Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis postprimer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : 1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat 2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini : Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.6 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).6

2.1.5. Patofisiologi

2.1.3. Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

2.1.3.1. Riwayat Penyakit Gejala sudah timbul berapa lama Sudah berobat atau belum Adakah kontak dengan penderita tuberkulosis paru di lingkungan keluarga, pekerjaan atau kawan dekat.

Sudah pemah mendapat pengobatan obat-obat antituberkulosis (OAT) atau belum, berapa lama dan berapa macam obat Adakah penyakit gula, sebab diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit tuberkulosis paru Penyakit tuberkulosis paru dapat timbul beberapa tahun kemudian setelah terjadi efusi pleura.8

2.1.3.2. Gejala Klinis Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). 1. Gejala Respiratorik Batuk lebih dari 2 minggu Timbul dalam waktu beberapa minggu/bulan yang makin bertambah dan berkaitan dengan produksi dahak Tuberkulosis paru dimulai dan berkembang biak dalam jaringan paru. Selama bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, orang sakit tidak akan batuk. Batuk terjadi karena iritasi pada bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan ke luar.8 Batuk darah Biasanya dikaitkan dengan adanya kavitas, tetapi luka pada dinding bronkus juga dapat menjadi sumber perdarahan.8 Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit Tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinta ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Oleh karena itu, proses tuberkulosis harus cukup lanjut, untuk dapat menimbulkan batuk dengan ekspektorasi. 9 Sesak napas Jarang, biasanya terjadi pada kelainan parenkim yang luas, efusi pleura atau penyakit kardiopulmoner yang mendasari.8 Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pda penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 10

Nyeri dada Kadang-kadang terjadi.8 Gejala yang ada hubungannya dengan penyebaran ke organ lain, tergantung dari organ yang terkena.8

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.6 2. Gejala Sistemik Demam Malaise Keringat malam Anoreksia Berat badan menurun

3. Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.6

2.1.3.3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.6 Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess. 6

2.1.3.4. Pemeriksaan Bakteriologik a. Bahan pemeriksaan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). 6 b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) Pagi ( keesokan harinya ) Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturutturut. Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak

bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.6 Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.6

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.6

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain. Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasiliti foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif BTA negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst SkalaBronkhorst (BR) : BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang

Pemeriksaan biakan kuman Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : - Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh - Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul. 6

2.1.3.5. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam- macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif: Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) : Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.6 2.1.3.6. Pemeriksaan Khusus Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan

kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 6 1. Mantoux test Kurang berarti pada orang Indonesia dewasa, mengingat indeks tuberkulin yang tinggi. 6 2. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.6 3. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. 6 Pada pemeriksaan deteksi Mycobacterium tuberculosis tersebut, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat. 3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda: a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) b. Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) c. Mycodot d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP).6 2.1.3.7. Pemeriksaan lain 1. Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 6

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu : Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka). Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.6 3. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 6 4. Uji tuberkulin Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Untuk memperkecil kemungkinan kesalahan diagnosis dan mempermudah pengobatan, diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya diklasifikasikan sesuai dengan riwayat penyakit/pengobatan, klinis, radiologis dan bakteriologis menjadi 3 kelas/golongan: 1. Tuberkulosis paru. 2. Tuberkulosis paru tersangka. 3. Bekas tuberkulosis paru. 6

2.1.4. Penatalaksanaan Penatalaksanaan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. 8

Sifat obat. Sifat-sifat obat anti tuberkulosis (OAT), ditentukan oleh faktor-faktor farmakologik, lingkungan, kegiatan bakterisidal, kegiatan sterilisasi dan adanya lag phase.8 a) Faktor farmakologik. OAT harus diberikan sebagai dosis tunggal dan pada saat yang sama, supaya tercapai kadar yang tinggi di dalam darah dan bekerja secara sinergis. 8 b) Faktor lingkungan Keadaan lingkungan di dalam set pada tubuh manusia adalah asam, di luar set lingkungannya adalah alkalis atau netral. Sebagian besar kuman tuberkulosis hidup dan lebih aktif di luar sel. INH dan rifampisin mempunyai kegiatan bakterisidal di dalam dan di luar set. Obat-obat yang demikian disebut sebagai one complete bactericidal drug. Streptomisin, etambutol dan PAS bekerja hanya di luar sel. Sedangkan pirazinamid bekerja hanya di dalam sel. Obat-obat yang dapat bekerja pada lingkungan asam atau alkali/netral saja disebut sebagai one half complete bactericidal drug.8 c) Faktor "lag phase". Lag phase adalah waktu saat kuman tuberkulosis tidak dapat berkembang biak setelah tersentuh oleh obat anti tuberkulosis.8 d) OAT yang banyak digunakan saat ini ada yang bersifat bakterisid dan ada yang bersifat bakteriostatik. Yang bersifat bakterisid adalah streptomisin, isoniazid, rifampisin dan pirazinamid. Sedangkan yang bersifat bakteriostatik adalah etambutol, PAS dan lain-lain.8 e) Faktor kegiatan sterilisasi. Yaitu kegiatan melenyapkan secara tuntas kuman tuberculosis yang ada di dalam tubuh selama jangka waktu pengobatan tertentu. Pirazinamid dan rifampisin termasuk mempunyai kegiatan sterilisasi paling aktif, INH kurang aktif sedangkan streptomisin dan etambutol sedikit atau sama sekali tidak. 8 Cara pemberian. Cara pemberian pengobatan tuberkulosis paru pada orang dewasa terdiri dari ritme pemberian, fase pengobatan dan periode pengobatan. Ritme pemberian. Setiap hari atau berkala 2 atau 3 kali seminggu. 8

Fase pengobatan Pengobatan dapat diberikan dalam satu fase (fase tunggal) atau dua fase (fase ganda). 8 a) Fase tunggal : Pengobatan dari awal hingga akhir diberikan dengan ritme yang sama, yaitu setiap hari atau berkala 23 kali seminggu. 8 b) Fase ganda : Pengobatan terdiri dari fase permulaan (initialphase) dengan pemberian setiap hari selama 13 bulan, dan fase lanjutan (continuation phase) dengan pemberian secara berkala 23 kali seminggu (intermittent) sampai akhir pengobatan. 8 Periode pengobatan Dikenal dua macam periode pengobatan, yaitu pengobatan jangka pendek dan pengobatan jangka panjang. a) Pengobatan jangka pendek (short course chemotherapy) memakan waktu 69 bulan, dan bertujuan : Segera membunuh populasi kuman yang berkembang biak cepat dan banyak (killing activity). Menyucihamakan lesi (sterilizing activity). Mengurangi angka kekambuhan (relapse rate). Syaratnya minimal harus mempunyai nilai bakterisidal dua(two complete bactericidal drugs). Keuntungan : Pemeriksaan resistensi kuman pada permulaan pengobatan dapat diabaikan. b) Pengobatan jangka panjang (pengobatan konvensional) diberikanselama 1218 bulan, dan minimal harus mempunyai nilai bakterisidal 1 atau one and a half complete bactericidal drugs.8 A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT): 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin INH Pirazinamid Streptomisin Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin Amikasin

Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat. Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia yaitu Kapreomisin, Sikloserino PAS (dulu tersedia), Derivat rifampisin dan INH, dan Thioamides (ethionamide dan prothionamide).6

Obat

Dosis (mg/Kg/ BB/Hari ) 8-12 4-6 20-30 15-20 15-18

Dosis yang dianjurkan Harian (mg/ kgBB / hari) 10 5 25 15 15 Intermitten(mg/K g/ BB/kali) 10 10 35 30 15

Dosis Maks (mg)

Dosis (mg) / berat badan (kg) <40 40-60 >60

R H Z E S

600 300

1000

300 150 750 750 Sesuai BB

450 300 1000 1000 750

600 450 1500 1500 1000

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal 2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja 3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar 4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit 5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi. 6

BB

30-37 38-54 55-70 >71

Fase intensif 2 bulan Harian Harian 3x/minggu RHZE RHZ RHZ 150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5

Fase lanjutan 4 bulan Atau 6 bulan Harian 3x/minggu Harian RH RH EH 150/75 150/150 400/150 2 2 1,5 3 3 2 4 4 3 5 5 3

Efek Samping OAT : Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 1. Isoniazid (INH) Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra) Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus. 6 2. Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah : Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. 6 3. Pirazinamid Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. 6 4. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi. 6 5. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini

mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. 6 Efek samping Minor Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni Efek samping Mayor Gatal dan kemerahan pada kulit Tuli Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus) Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan) Muntah dan confusion (suspected drug-induced pre-icteric hepatitis) Gangguan penglihatan Kelainan sistemik, termasuk syok dan purpura Kemungkinan Penyebab OAT diteruskan Rifampisin Pyrazinamid INH Tatalaksana Obat diminum malam sebelum tidur Beri aspirin /allopurinol Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mg Perhari Beri penjelasan, tidak perlu diberi apaapa Tatalaksana Hentikan obat penyebab Beri antihistamin & dievaluasi ketat Streptomisin dihentikan ganti etambutol Streptomisin dihentikan ganti etambutol Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati

Rifampisin

Kemungkinan Penyebab Semua jenis OAT

Streptomisin Streptomisin

Sebagian besar OAT

Sebagian besar OAT

Ethambutol Rifampisin

Hentikan ethambutol Hentikan Rifampisin

PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS Kategori Kasus I - TB paru BTA +, - BTA -, lesi luas II - Kambuh - Gagal pengobatan Paduan obat yang diajurkan 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE / 6 HE atau 2RHZE / 4R3H3 -2 RHZES/1RHZE / 5 RHE -2 RHZES lalu sesuai hasil uji resistensi atau -2RHZES/1RHZE / 5R3H3E3 Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinik, bakteriologik & radiologik saat ini (lihat uraiannya) atau 2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3 2 RHZ / 4 RH atau 6 RHE atau 2RHZ /4 R3H3 Sesuai uji resistensi (minimal 3 obat sensitive dengan H tetap diberikan) atau H seumur hidup Sesuai uji resistensi + kuinolon atau H seumur hidup Keterangan

Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin

II

-TB paru lalai berobat

III

-TB paru BTA neg. lesi minimal Kronik

IV

MDR-TB

B. Pengobatan Suportif / Simptomatik Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan. 1. Pasien rawat jalan a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain. 2. Pasien rawat inap Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

Batuk darah (profus) Keadaan umum buruk Pneumotoraks Empiema Efusi pleura masif / bilateral Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa : TB paru milier Meningitis TB

Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat. 6 C. Terapi Pembedahan lndikasi operasi 1. Indikasi mutlak Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif 2. lndikasi relativ Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) Bronkoskopi Punksi pleura Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

Kriteria Sembuh BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan

Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif. 6

2.1.5. Evaluasi Pengobatan Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. 6 Evaluasi klinik Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik. 6

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik Sebelum pengobatan dimulai Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) Pada akhir pengobatan Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.6

Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: Sebelum pengobatan Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) Pada akhir pengobatan. 6

Evaluasi efek samping secara klinik Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)

Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman. 6

Evalusi keteraturan berobat Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. 6

Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh.
6

Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. 6

BAB 3 LAPORAN KASUS

A. Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 7 maret 2012) a. Identifikasi Nama Jenis Kelamin Usia Pekerjaan Keluhan Utama Keluhan Tambahan b. Telaah keluhan Sesak napas dialami os 6 bulan yang lalu, dan memberat dalam 1 minggu ini. Sesak napas memberat bila beraktivitas ringan dan tidak berhubungan dengan cuaca.. Riwayat napas berbunyi tidak dijumpai. Selain sesak napas, os juga mengeluhkan batuk sejak 6 bulan ini, dengan dahak berwarna kuning dan volumenya sdt/ kali batuk. Nyeri dada dijumpai pada dada kanan, nyeri seperti tertusuk-tusuk dan nyeri bertambah jika os batuk dan tertarik napas, penjalaran nyeri tidak ada. Nyeri dada dialami os sejak 6 bulan yang lalu. Riwayat batuk darah dijumpai 6 bulan yang lalu berupa bercak,tetapi 5 hari yang lalu batuk darah lebih banyak dari biasanya. Demam dijumpai 1 minggu ini, demam tinggi, menggigil dijumpai dan demam turun setelah os dirawat di RS Swasta oleh Sp.P. Riwayat keringat malam dijumpai sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat Penurunan nafsu makan dijumpai sejak 2 bulan ini yang disertai penurunan berat badan 10 kg dalam 2 bulan ini. Riwayat kontak dengan penderita TB tidak ada Riwayat OAT dijumpai pada tahun 2008 dari puskesmas berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan dahak. Os makan OAT selama 6 bulan teratur. Kemudian pada Oktober 2011 os kembali makan OAT sampai saat ini dari RS Swasta oleh Sp.P berdasarkan klinis, rontgen dan pemeriksaan dahak. Riwayat merokok lebih kurang 30 tahun sebanyak 20 batang/ hari jenis filter, kretek, hisapan dalam (IB=600). Os bekerja sebagai tukang becak. : Tn. NG : Laki-laki : 50 tahun : Tukang becak : Sesak nafas : Batuk Berdahak

Riwayat tempat tinggal padat penduduk. Riwayat minum alkohol tidak ada. Riwayat sex bebas tidak ada. Riwayat keluarga menderita DM tidak ada, tumor tidak ada, hipertensi tidak ada, penyakit jantung tidak ada. Sebelumnya os dirawat di RS Swasta dengan keluhan batuk darah dan sesak nafas dan untuk penatalaksanaannya os dirujuk ke RSHAM. Saat os datang membawa hasil pemeriksaan BTA positif (+++). Riwayat penyakit terdahulu: (-) Riwayat Penggunaan Obat: (-) B. Hasil Pemeriksaan a. Pemeriksaan tanda vital Kesadaran: Compos Mentis Tekanan Darah: 110/70 mmHg Frekuensi Nadi: 68 kali/menit Frekuensi Napas: 36 kali/menit Suhu Tubuh: 36,50 C BB: 51 kg ; TB: 162 cm ; BMI: 19,4 kg/m2

b. Pemeriksaan Fisik Kepala: pada mata tidak dijumpai anemia Leher: tidak dijumpai pembesaran KGB Toraks: o Inspeksi : Asimetris, ketinggalan bernafas dada kanan o Palpasi : Stem fremitus kanan lebih lemah kiri, kesan kanan melemah o Perkusi : Sonor memendek di lapangan paru kanan o Auskultasi : Suara penapasan vesikuler mengeras pada lapangan paru kanan dengan suara tambahan tidak dijumpai.

c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Sputum SPS : BTA(+++) Foto Toraks

Pemeriksaan Laboratorium Hb: 8,10 g% Eritrosit (RBC): 3,69 x 106/mm3 Leukosit (WBC): 10,40 x 103/mm3 Hematokrit: 24,0% Trombosit (PLT): 564 x 103/mm3

Pemeriksaan Analisa Gas Darah pH pCO2 pO2 Bikarbonat (HCO3) Total CO2 Kelebihan Basa (BE) Saturasi O2 : 7,488 : 29,4 mmHg : 165,9 mmHg : 21,8 mmol/L : 22,7 mmol/L : -1,2 mmol/L : 99,4 %

C. Diagnosa banding TB paru kategori II dengan destroyed lung TB paru kategori II dalam terapi Suspect MDR-TB

D. Diagnosa Sementara : TB paru kategori II

E. Penatalaksanaan Diet MB IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit

Inj. Ceftriaxson 1 gram / 12 jam Inj. Streptomycin 1 gram / hari Inj. Ranitidine 1 amp / 12 jam R/H/Z/E: 450/400/1300/1000 GG 3 x 1 PCT 3 x 1 Vitamin B-complex 3 x 1 SF 2 x 1

DISKUSI Tuberkulosis merupakan penyakit yang sering ditemukan di masyarakat khususnya di negara berkembang termasuk di Indonesia meskipun diagnosis pasti sulit ditegakkan. Seseorang

akan terinfeksi tuberkulosis jika terhirup bakteri Mycobacterium tuberculosis melaui inhalasi dari pasien yang sudah positif terinfeksi TB. Seseorang yang terinfeksi TB kadang belum menunjukkan gejala klinis meskipun hasil uji tuberkulinnya positif. Ini semuanya tergantung dari status nutrisi dan kadar imunitas seseorang. Pada kasus diatas berdasarkan gejala klinis pasien yaitu sesak nafas yang dialami sekitar 2 bulan, batuk berdahak lebih dari 2 minggu, adanya riwayat batuk darah sebanyak 3 kali/hari. Menurut Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru oleh Alsagaff dan Mukty, batuk darah terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. Ditemukan juga nyeri dada pada pasien saat batuk. Menurut Buku Ilmu Penyakit Dalam oleh Amin dan Bahar nyeri dada tersebut terjadi akibat infiltrasi radang telah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik /melepaskan nafasnya. Gejala diatas ini merupakan termasuk ke dalam gejala respiratorik yang terdapat pada penyakit tuberkulosis menurut PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). Gejala sistemik berupa penurunan nafsu makan diikuti penurunan berat badan 8 kg selama 8 bulan ini juga ditemukan. Menurut Alsagaff dan Mukty ini merupakan manifestasi dari toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif. Riwayat penyakit dijumpai seperti riwayat keluarga terinfeksi TB, pernah menderita TB sebelumnya dan pernah dirawat di rumah sakit selama seminggu lalu pulang dari rumah sakit dan dirawat kembali di rumah sakit swasta selama 2 minggu, dan ditemukan juga riwayat penggunaan obat OAT selama 6 bulan dari puskesmas berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan dahak. Riwayat merokok selama 10 tahun sebanyak 1 bungkus perhari (IB=120) juga ditemukan. Dari pemeriksaaan fisik, pada inspeksi tidak ditemukan adanya kelainan namun pada palpasi ditemukan stem fremitus melemah kedua lapangan paru. Pada perkusi dijumpai sonor memendek di kedua lapangan paru dan pada auskultasi dijumpai suara pernafasan bronkial dan suara tambahan amphorik pada paru kanan atas serta ronki basah yang sering terjadi pada tuberkulosis. Pada pemeriksaan sputum sps dijumpai BTA (+++) yang merupakan diagnosis pasti dalam menegakan diagnosa tuberkulosis. Pada pemeriksaan radiologi dijumpai gambaran destroyed lung yaitu atelektasis, multikavitas, dan fibrosis akibat kerusakan paru yang hebat.

Oleh sebab itu, berdasarkan dari gejala klinis, pemeriksaan sputum, radiologis, juga riwayat pemberian OAT yang pernah di konsumsi juga pada gambaran foto toraksnya ditemui gambaran ateletaksis dan multikavitas sehingga os di diagnosa sebagai TB kategori II yang disertai destroyed lung.

DAFTAR PUSTAKA 1. Maartens, G., dan Beyers, N., 2002. Tuberculosis in the tropics. Clin Chest Med 23: 341 350

2. Stead, W.W., 1997. The origin and erratic global spread of tuberculosis. Clin Chest Med 18:6577. 3. World Health Organization. 2010. Global Tuberculosis Control 2010. Diambil dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241564069_eng.pdf [Diakses tanggal 20 Juli 2011] 4. World Health Organization. 2010. Tuberculosis Global Facts. Diambil dari:

www.who.int/tb/publications/2010/factsheet_tb_2010.pdf [Diakses tanggal 20 Juli 2011] 5. World Health Organization. 2011. Global Health Observatory Data Repository. Diambil dari: http://apps.who.int/ghodata/?vid=500# [Diakses tanggal 21 Juli 2011] 6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis. Diambil dari:

www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf [Diakses tanggal 22 Juli 2011] 7. Jacobs, M., Samarina, A., Grivennikov, S., Botha, T., Allie, N., Fremond, C., et al., 2007. Review: Reactivation of tuberculosis by tumor necrosis factor neutralization. European Cytokine Network 181: 5-13 8. Kartika. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Default Penderita

Tuberkulosis Paru di RSUD BUDHI ASIH JAKARTA 2008. 13-14. 9. Kusnan B, Suratmi S. 1990. Diagnosis dan Pengobatan TBC Paru. Cermin Dunia Kedokteran. 10. Alsagaff H. 1989. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. 11. Amin Z, Bahar A. 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W.,ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI. 988-993.

Anda mungkin juga menyukai