Sri-Edi Swasono
Seperti menyerutup kopi mocca panas, memang menulis itu nikmat dan harus dinikmati. Kita tidak bisa melahirkan tulisan-tulisan bermutu dengan jurus copy paste, omnipage, atau membayar setan tukang ketik. Kalau belum dapat merasakan nikmatnya mengetik kata demi kata, maka menulis catatan kaki terasa berat, membolak-balik buku rujukan jadi melelahkan, dan buku-buku fundamental tidak akan pernah dilahirkan. Kalau diamati, sebenarnya gunung yang besar itu tersusun dari kerikil-kerikil kecil, dan buku-buku itu juga disusun dari ribuan kata. Kerikil-kerikil yang keras dan padat membentuk gunung berbatu yang kokoh, sedang kata-kata indah dan penuh makna menyusun buku yang bermutu. Maka semakin berkualitas kata dan makna akan semakin berkualitas buku. Jika tiap kata dan makna benar-benar merupakan hasil dari olah pikir yang sungguh, maka ia berubah dari kerikil-kerikil kecil menjadi batu-batu permata. Gunung yang terbentuk ialah gunung permata, bukan lagi gunung batu. Dan buku yang terlahir bukan lagi karya biasa, namun karya yang tak lekang oleh zaman. Di titik itu maka batu kerikil tidak akan ada harganya dibanding batu permata, meski itu ribuan kerikil. Telah lebih dari jutaan buku yang ditulis, namun tak sampai ratusan yang menjadi karya abadi. Hanya contoh, seumur hidupnya Adam Smith hanya menulis tiga buah buku1. Salah satunya Wealth of Nation, disusun selama 10 tahun dan merupakan kristalisasi perenungan selama puluhan tahun sebelumnya. Buku itu diterbitkan tahun 1776. Tiga gelombang pemikiran raksasa telah mencoba meruntuhkan pengaruhnya. Ratusan pemikir melalui karyanya telah silih berganti berupaya merubuhkan kedigdayaan paham laissez-faire2. Namun Wealth Of Nations tetap bertengger dan pengaruhnya masih terasa, hingga detik ini. Begitulah dahsyatnya sebuah buku yang disusun dengan kualitas perenungan dan penulisan yang lama dan mendalam. Bukankah Al-Quran kitab petunjuk abadi- juga diturunkan selama puluhan tahun, dan setiap ayat bahkan setiap kata-nya mengandung makna perenungan yang dalam? Di antara ratusan pemikir itu, tercatat nama seorang ekonom Indonesia yang lantang meneriakkan kritik pada karya Adam Smith itu dan pengaruhnya. Seorang profesor, guru besar FE UI bernama Sri-Edi Swasono menorehkan pemikirannya dalam sebuah buku kecil berjudul Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Buku ini memaparkan penjelasan madzhab Kesejahteraan Sosial Indonesia dan menegaskan posisinya sebagai kontra madzhab laissez fairre yang sedang menghegemoni perekonomian di berbagai negara.3 Sejauh yang kutahu, Prof. Edi Swasono adalah pakar ekonomi Indonesia yang memahami teori-teori fundamental sekaligus kukuh memperjuangkan madzhab ekonomi kesejahteraan sosialnya. Gaya tulisan Prof. Swasono mirip sekali dengan gaya-gaya tulisan Bung Karno, Hatta, dan Natsir di buku-buku mereka, tegas dan berapi-api. Tak jarang pula disisipi dengan istilah-istilah asing.
Tiga buku tersebut yaitu: The Theory of Moral Sentiment (1759); Lectures on Justice, Police, Revenue, and Arms (1763); dan An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776); dalam Pressman, Fifty Major Economist, hlm 37. 2 Laissez-faire merupakan istilah dari Perancis, yang artinya biarkan saja, let it go, atau jarno wae dalam bahasa Jawa. Maksudnya, biarkan perekonomian berjalan apa adanya; pasar akan mengatur semua secara otomatis. Berasal dari namanya Laissez-faire, tampak bahwa pemikiran Smith memang berasal dari paham naturalis Phsyochrats Perancis. Namun 3 Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Penerbit Perkumpulan PraKarsa, 2005).
1
Barangkali ini ada kaitannya dengan suatu hal yang menarik, bahwa beliau adalah menantu Bung Hatta. Asik sekali membayangkan beliau bisa mengakses perpustakaan pribadi Bung Hatta yang isinya puluhan ribu buku itu. Kalau di buku para founding father Indonesia banyak istilah dari bahasa Belanda, istilah di buku Prof Swasono banyak dari bahasa Inggris. Tapi khusus di buku ini, jumlah istilah asing yang ditulis benar-benar terlalu. Sekali lagi ter-la-lu,begitu kata Bang Rhoma. Dalam pengantar, buku ini diakui oleh beliau memang disusun agak njelimet agar para mahasiswanya yang membaca tidak manja disamping dituntut agar tetap mudeng. Tampaknya itu merupakan tantangan bagi mahasiswa sekarang. Dan note ini akan berupaya menjawabnya. Yang cukup menarik dari buku kecil ini ialah kepadatan teori-teori dari sejumlah buku ekonomi fundamental. Memang buku-buku babon sekarang semakin susah dicari. Mahasiswa hanya mau baca buku-buku rangkuman punya Mankiw, Sadono Sukirno, Todaro, dll. Buku pertama jenis rangkuman seperti itu pertama kali dikarang oleh Paul Samuelson di Harvard. Judulnya Economics, waktu itu aku lihat buku asli dengan hardcover kain di Books, tapi harganya mahal. Akhirnya beli terjemahan yang dua jilid. Karena buku itu pada masa terbitnya simpel dan mudah dicerna maka banyak pembelajar yang menyukainya. Setelah itu banyak bermunculan buku-buku sejenis itu. Dan di saat yang sama buku-buku induk mulai menghilang dari peredaran. Hanya para ekonom generasi dulu lah yang punya buku-buku semacam itu. Al hasil kita yang belajar sekarang jadi kerepotan berburu buku. Di buku Prof. Swasono ini dituangkan gagasannya mengenai bagaimana seharusnya orientasi ekonomi Indonesia yang kembali pada basic cita-cita dan arah ekonomi oleh founding father bangsa Indonesia. Beliau memberikan tafsir ekonomi pada UUD 45 khususnya pasal 33, 34, dan 27 (ayat 2) dan menjadikannya sebagai titik tolak social welfare4 Indonesia. Social welfare memberi perhatian pada kebersamaan dan asas kekeluargaan sesuai dengan pasal 33, bukannya berdasar pada asas perorangan. Selain itu social welfare haruslah bersifat partisipatori-emansipatori, atau melibatkan masyarakat dan memberdayakannya. Beliau juga mengungkapkan adanya suatu pihak di Indonesia yang mencoba menggeser ekonomi Indonesia ke arah neoliberalisme berkedok pasar bebas dengan upaya menghapus pasal 33. Mereka membuat sebuah jembatan berupa skenario dunia tanpa batas/ borderless world, yang telah sangat berhasil mencuci bersih otak banyak orang. Sedang pemberdayaan masyarakat ditekankan melalui pasal 27 ayat 2 melalui adanya hak asasi berupa pekerjaan yang layak bagi tiap warga negara. Doktrin social welfare Indonesia diutuhkan dengan pasal 34 sebagai pasal filantropis yang mulia bagi mereka yang tetap miskin meski telah mengoptimalkan kemampuannya untuk bekerja. Pasal ini sejalan dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia yang juga memiliki implikasi berupa kebijakan proteksi ekonomi. Jadi proteksi ekonomi Indonesia dalam perdagangan bebas itu termasuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
Welfare dalam bahasa Indonesia artinya kesejahteraan, sedangkan social welfare atau kesejahteraan sosial didefinisikan oleh Prof. Edi Swasono sebagai doktrin yang mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang-seorang, berasas pada paham demokrasi ekonomi dan hak sosial rakyat, serta bersifat people empowerment (pemberdayaan masyarakat).
Di bagian lain, Prof. Swasono dengan kreatif mengusung Bung Karno dan Bung Hatta sebagai tokoh strukturalis.5 Bung Hatta sebagai pakar ekonomi, dalam artikel pembelaannya yang terkenal berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka, 1928), berbicara politik melawan penjajahan dan menuntut kemerdekaan. Disusul oleh Bung Karno dengan pembelaannya berjudul Indonesie Klaagt Aan (Indonesia Menggugat, 1930)6 dengan beberapa bagian sedikit merujuk artikel pembelaan Bung Hatta7, juga berbicara mengenai kapitalisme dan eksploitasi oleh kolonialisme Belanda. Kedua tokoh ini menurut beliau termasuk tokoh strukturalis sosial ekonomi. Sebenarnya masih ada beberapa bagian yang lebih menarik di bab-bab awal. Prof. Swasono telah mengumpulkan berbagai gagasan-gagasan tentang welfare economics dari para ekonom dan membaginya menjadi empat aliran. Aliran ekonomi kemakmuran tersebut dibagi menjadi: 1. Welfare Kontemporer Boulding, termasuk pemikiran: Pareto, Edgeworth, Samuelson, Arrow, Galbraith, dan Scitovsky 2. Welfare Kontemporer Baran: Bator, Abramovitz, Lange, Dahl, dan Lindblom 3. Welfare Amartya Sen-Etzioni, dan Meier-Stiglitz 4. Welfare Hatta dan Roosevelt-Nixon Welfare yang digagas oleh Boulding bertolak dari konsep pengembangan pareto optimum8 menjadi social optimum. Ekonomi masih dianggap pemborosan apabila seorang masih bisa menorong orang lain tanpa merugi, efisiensi tersebut masih dapat dilakukan hingga mencapai titik social optimum. Namun welfare Boulding masih dibatasi dengan pendekatan konsep harta atau riches, sehingga Samuelson memperluas tolak ukurnya dengan memasukkan nilai-nilai etik (ethical precept). Dilanjutkan dengan pendekatan Kenneth Arrow melalui konsep impossibility theorem9 sehingga memperkuat dimensi sosial dalam konsep Welfare. Galbraith10 dalam karyanya The Affluent Society menambahkan penjelasan, masyarakat yang terdikte dengan iklan merupakan bukti adanya pemborosan sosial dan berbagai langkah privatisasi sarana sosial oleh kaum monopolis swasta hanya memperparah kesenjangan sosial. Tibor Scitovsky menjelaskan dengan detail hubungan antara kesejahteraan dan persaingan dalam bukunya Welfare and Competition (1951),
. Kaum strukturalis didefinisikan oleh Prof. Swasosono sebagai mereka yang membelok dari pemikiran ekonomi pasar bebas karena market failure-nya, menempatkan ekonomi pada peran normatif, mengutamakan kemakmuran, keadilan, dan kesetaran ekonomi. Mereka menolak efisiensi pareto optimum yang dianggap statik, dan menjelajahi interrelasi para aktor serta variabel-variabel ekonomi. Karena itu mereka meyakini dimensi kemakmuran ekonomi tidak tunggal namun berkaitan dengan dimensi sosial dan politik. Mereka menolak total pasar bebas dan berupaya untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan ekonomi melalui kebijakan restrukturisasi. Sehingga ilmu ekonomi bagi kaum strukturalis diidentikan dengan ...ekonomi-politik! (Ibid, hlm 12 dan 32) 6 Ibid, hlm 36 7 Dedi Ahimsa Riyadi, Hatta Hikayat Cinta dan Kemerdekaan (Depok: Penerbit Edelweiss), hlm 21 8 Pareto Optimum ialah fase optimal menurut Vilfredo Pareto (1848-1923) dalam peningkatan ekonomi dimana seorang tidak dapat ditingkatkan kondisinya lagi (better-off), karena jika ditingkatkan akan membuat orang lain merugi (worse-off). 9 Impossibility theorem menggambarkan sulitnya proses transformasi penggabungan preferensi individu masing-masing anggota masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Namun Prof. Edi Swasono memberikan sambungan atas kesulitan itu bahwa proses transformasi antar preferensi individu cenderung bersifat interdependen atau saling bergantung, ketimbang berupa penggabungan; Lihat Sri-Edi, hlm 11. 10 John Kenneth Galbraith, seorang dosen di Harvard yang terkenal karena sikap kritisnya atas asumsi persaingan sempurna pada teori-teori ekonomi, dan selalu mengingatkan urgensi pengaruh dimensi politik pada ekonomi; dalam Pressman, hlm 219.
5
dan memberi batasan baik pada competition sekaligus pada negara. Di samping ia menolak agressive competition yang bertujuan memonopoli, ia juga melegitimasi peran negara untuk mengobati efek negatif kompetisi demi terjaminnya welfare.11 Seiring dengan semakin solidnya pandangan ilmu ekonomi sebagai ilmu moral, welfare economics yang masih berada dalam kekangan paham perfect individual liberty kini keluar menuju tingkat societal welfare12.Baran meyakini masalah pada perdebatan teoritikal atas welfare economics terletak pada melencengnya tatanan sosial-ekonomi dari tujuan hidup yang lebih utuh dan mulia. Pada masyarakat yang mendewakan self-interest, perfect individual liberty, consumers sovereignty, dan stelsel leissez faire; hubungan yang terjadi antara lembaga ekonomi dan sosial telah menghalangi tercapainya well-being (kesejahteraan hidup) masyarakat sebagai tujuan hidup yang utuh. Melalui keheranannya pada keraguan JS Mill13, Marshall14, Wicksell15, dan Pigou16 atas peran the visible hands , dapat disimpulkan bahwa Baran melegitimasi efektivitas peran pemerintah dalam mewujudkan welfare. Terlebih jika mengetahui pengaruh pandangan Karl Marx padanya dalam pengutamaan kejahteraan masyarakat dengan kemakmuran secara merata.17 Pandangan Baran diperkuat oleh Bator yang mengkritisi kemustahilan adanya peran invisible hand (sebut saja tangan setan), karena perfect competition sebagai syarat sesajen-nya tidak pernah bisa terpenuhi. Agaknya Prof. Swasono berupaya menjelaskan kelahiran kaum strukturalis yang bertolak dari gagasan beberapa ekonom sosialis. Dengan berawal dari penjelasan Paul Baran dan Bator, beliau menjelaskan urgensi keterkaitan bidang sosial dan politik terhadap ekonomi melalui paparan Abramovitz (1952), Dahl dan Lindblom (1963), serta Lange. Dengan begitu dapat saja kita cirikan welfare golongan kedua ini lebih bercorak lepas dari paham pasar bebas dan bernuansa strukturalis. Yang menarik bagiku ialah pandangan Abramovitz yang membuka pandangan para ekonom pada masalah pertumbuhan ekonomi. Awal mula kepentingan kita terhadap pertumbuhan ekonomi disebabkan karena kita menganggap hal itu relevan dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi
Sri-Edi, hlm 12 Societal Welfare didefinisikan sebagai kesejahteraan sosial dalam lingkup makro, sedang social welfare dalam lingkup sekelompok masyarakat. Welfare economics berarti ilmu ekonomi yang berorientasi kemakmuran. 13 John Stuart Mill (1806-1873), seorang pemikir yang memperkuat doktrin individual liberty melalui karyanya On Liberty (1859), dan mempertegas doktrin Utilitarianism (1863) yang ia kembangkan dari pemikiran Jeremy Bentham. Dua paham pemikiran ini termasuk yang memperkukuh dasar filsafat pasar bebas, disamping filsafat phsiocracy Quesnay dan laissez-faire. 14 Alfred Marshall (1842-1924), ekonom yang mencetuskan kurva Supply-Demand dan elastisitas yang kini dipelajari dalam ilmu ekonomi mikro. Ia juga yang mengupayakan berdirinya fakultas ekonomi secara independen, lepas dari fakultas hukum untuk pertama kalinya pada tahun 1903 di Cambridge. Kaitannya dengan hal ini, Marshall masih membatasi peran pemerintah pada garis ketika ada ancaman dari para pengusaha dengan kekuatan ekonomi besar bersekutu dan berupaya melakukan monopoli. 15 Knut Wicksell (1851-1926) disebut sebagai pendiri paham ekonomi campuran Swedia dan juga memperdetail peranan suku bunga dasar dan suku bunga pasar dalam perekonomian. Baran tetap menggolongkannya sebagai orang yang ragu meski Wicksell sendiri mendukung porsi peran pemerintah yang besar dalam ekonomi campuran. 16 Arthur Cecil Pigou (1877- 1959) yang pertama kali membawa externalitas (arti simpelnya: efek samping kegiatan ekonomi) ke ranah analisis yang lebih dalam hingga sekarang lahir istilah biaya sosial, CSR, carbon trading, dan green economy. Sayang dalam buku Prof. Swasono tidak disinggung konsep welfare Pigou dalam karyanya Economics of Welfare (1920). Pigou melegitimasi peran visible hands melalui usulan pembuatan hukum untuk mengatasi eksternalitas baik negatif maupun positif, dan memberi sedikit perhatian pada distribusi pendapatan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. 17 Sri-Edi, hlm 15
12 11
jangka panjang. Namun ternyata kedua hal itu tidaklah sama. Maka kini dapat kita katakan bahwa simbol-simbol pertumbuhan ekonomi hanya merupakan ilusi realitas bagi para ekonom yang ingin mewujudkan kesejahteraan, sebagaimana yang dijelaskan oleh seseorang -yang aku lupa namanyadalam sebuah artikel menarik di Kompas. Ia menggunakan pendekatan hiperrealitas Jean Boudrillard18 untuk menjelaskan simbol-simbol yang saling dipertukarkan dalam perekonomian Indonesia, sebagaimana yang dilakukan oleh Akhyar Sadad -seorang pakar digital culture- untuk menjelaskan terbentuknya masyarakat facebook19. Para ekonom sekarang lebih asik dengan pertumbuhan ekonomi ketimbang masalah kejahteraan sosial, sama seperti seorang yang lebih asik bermain facebook di HP ketimbang menyapa temannya yang berpapasan di jalan. Maka sejatinya menurut Akhyar, orang itu menganggap realitas orang-orang di facebook lebih riil ketimbang teman di depannya yang benar-benar riil. Begitu juga ekonom sekarang menganggap tanda (signifier) pertumbuhan ekonomi lebih riil ketimbang kesejahteraan sosial yang benar-benar riil! Welfare Amartya Sen20 yang bertitik tolak dari social preference dalam impossibility theorem Kenneth Arrow. Karena menurutku Sen termasuk seorang pemikir dari Timur, ia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki ekonom barat pada umumnya, kemampuan memberikan pencerahan khas kearifan Timur. Sentuhan kearifannya ini membuat konsep welfare Sen memiliki tujuan well-being (kesejahteraan hidup) yang lebih bermakna. Dalam ulasan Prof. Swasono, Sen juga dapat memperinci ukuran penilaian welfare melalui levels of living, basic needs fulfillment, quality of life,dan human development. Selain oleh Sen, kepentingan sosial juga ditekankan Amitai Etzioni sebagai seorang sosiolog terkemuka yang dengan keras menghantam mereka yang masih seperti homo economicus, ...Apakah manusia itu sekeluarga dengan kalkulator, yang dingin dan tak peduli, yang masing-masing berusaha memaksimumkan kesejahteraannya sendiri? Andaikata manusia memandang... bagaimana garis-garis ditarik diantara komitmen kepada orang banyak dan kepada dirinya... kita sekarang berada di tengah-tengah pertarungan paradigma... Dalam bukunya yang lain, The Limits of Privacy (1999), Etzioni menegaskan kritik atas individualisme dengan statementnya, privacy is a societal license, artinya privasi yang dimiliki oleh tiap individu haruslah mengikuti kaidah sosial, atau privasi individu haruslah memiliki lisensi dari masyarakat.21 Kritik kapitalisme yang terkenal oleh Meier dan Stiglitz dikategorikan oleh Prof. Swasono masih dalam satu aliran konsep welfare bersama Etzioni karena masih terkait dengan kritik individualisme. Prof. Swasono juga mengaitkan ulasan -yang menurutku ditarik dari benang merah individualisme sebagai landasan pasar bebas, karena tidak dijelaskan tekstual- pada berkembangnya
Jean Baudrillard (1929-2007), seorang tokoh postmo kebangsaan Perancis yang namanya sulit dieja dan diantara teman satu kelas hanya Kang Awaludin yang bisa mengejanya. 19 Akhyar Sadad et all, Digital Culture dalam kumpulan makalah SPI, hlm 9. Merupakan sebuah upaya berasas pada filsafat One Piece menggapai cita-cita dan menjelajah dunia bersama-sama, Ayo kita mulai, dunia baru telah memanggil kita. Tak peduli banyaknya lautan, jangan takut untuk mengarungi lautan ini. Langit luas tanpa batas yang kita lihat itu, kita mendatanginya dari tempat yang jauh. Tak akan kuragukan lagi, disana ada sesuatu yang akan kita bawa bersama. Matahari akan terbit dan cahayanya akan menghapus luka hati kita. Ayo kita temukan masa depan itu bersama. Dan jangan lupakan... we fight together! 20 Amartya Sen (1933- ), disamping ekonom Sen juga merupakan seorang filsuf etikus yang melakukan dekonstruksi pandangan identitas dalam bukunya Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Serpong: Marjin Kiri, 2007). Yang lebih menarik, ia adalah ekonom dari India sekaligus satu-satunya dari Asia, yang masuk dalam jajaran 50 ekonom besar dunia kategori Pressman. Sayangnya ia tidak mau pulang ke India untuk memperkuat pemikiran ekonomi di sana dan lebih betah ngeksis di Trinity College, Cambridge. Hal itu menjadi sebuah ironi di tengah badai kebangkitan negara-negara Asia yang sekarang tengah berhembus kencang. 21 Sri Edi, hlm 25
18
jalur pemikiran lain yang berorientasi ekonomi perencanaan atau ekonomi terpimpin. Gagasan sistem ekonomi terpimpin yang mempunyai beberapa sebutan seperti L Economic Dirigee (Perancis), Dirigisme, Geleide Economie, atau Ordening (Belanda), Guided Economy (Inggris), Planwirtschaft (Jerman). Para pakar memiliki istilahnya sendiri seperti, Abba Lerner dengan The Economics of Control, Jan T inbergen dengan istilah Planned Economy, Abraham Bergsom dengan Boards Sovereignty Economy, Bornstein dengan dua istilah yang membedakan CRME (Capitalist Regulated Market Economics) dan SCPE (Socialist Centrally Planned Economics), Igor Veitzmann dengan Geplante Markwirtschaft, serta Lewis, Myrdal dan penganut aliran sosial demokrasi menggunakan istilah Planning by Direction atau Planning by Command. Semua istilah itu menggambarkan bentuk-bentuk kontrol pemerintah terhadap perekonomian untuk menjamin optimalisasi kesejahteraan masyarakat luas, dengan corak yang berbeda-beda dari masing-masing pakar. Planning by direction ini berlawanan secara diametrikal dengan doktrin laissez-faire yang menolak setiap bentuk campur tangan negara, dan telah dipraktekkan oleh India tahun 1951 dan Indonesia tahun 1947 melalui konsep dari Panitia Pemikir Siasat Ekonomi. Welfare dalam pandangan kaum reformis pasar22 cenderung ke arah konteks santunan yang bernuansa etika filantropis. Namun menurut negara-negara maju, salah satunya Amerika Serikat, sistem santunan dianggap sebagai pos negara yang sangat mahal. Para reformis Amerika lebih mengutamakan pembukaan lapangan kerja ketimbang memberi santunan belaka. Maka dari itu welfare pada golongan ini lebih berdimensi workfare sehingga Franklin D Roosevelt (1934) menyatakan What I am seeking is the abolition of relied altogether, I cannot say so loud yet but I hope to be able to substitute work for relief, yang diperkukuh oleh Richard Nixon (1969), What America needs now is not welfare but more workfare. Kecanggihan Prof. Swasono tampak ketika mengkaitkan, melawankan, dan akhirnya mengalahkan dimensi welfare Amerika melalui analisis komparatifnya dengan tafsir dasar konstitusi UUD 45. Tiga pasal yang ditafsir sebagaimana telah disebut di atas (pasal 27 ayat 2, pasal 33, dan pasal 34), merupakan susunan utuh social welfare Indonesia. Statement presiden Nixon not welfare but more workfare telah lebih lama ditekankan dalam pasal 27 ayat 2 bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahkan di Indonesia itu tidak hanya berstatus sebagai konsepsi presiden melainkan telah tertanam dalam dasar konstitusi negara sesuai dengan tujuan nasional memajukan kesejahteraan umum. Sedang pasal 33 merupakan kontrol pemerintah terhadap aset-aset substansial milik negara untuk kemakmuran rakyat sebagai tujuan sosial welfare, yang disempurnakan dengan sistem santunan dalam pasal 34 yang dirasa mahal oleh reformis Amerika.
23
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep welfare Boulding dan alirannya masih mencoba berada dalam dimensi individualisme, competition, dan pasar bebas, begitu juga welfare Pigou yang belum disebutkan di sini. Sedang konsep welfare Baran dan alirannya berada dalam dimensi menolak segala doktrin pasar bebas, dan mengaitkannya dengan nuansa sosialstrukturalis. Amartya Sen memberi corak etik dan moral yang kuat pada susunan konsep welfarenya. Sedang menurutku Amitai Etzioni, Meier dan Stiglitz justru berbeda dari ranah Sen, karena dari ulasan Prof. Swasono hanya tampak melemparkan kritik tanpa menggagas suatu konsep yang jelas
22
Reformis pasar diposisikan oleh Prof. Swasono sebagai pembanding dari kaum strukturalis yang sekadar mengoreksi kelemahan-kelemahan pasar, meski terkadang bersifat tambal sulam. 23 Sri Edi, hlm 34-35
mengenai welfare. Dimensi welfare kaum reformis yang diwakili oleh FD Roosevelt (1934) dan Nixon (1969) yang diteruskan Reagen dan Bush, lebih cenderung ke arah workfare. Konsep ini menurut Prof. Swasono telah lebih dulu ditekankan para founding father Indonesia khususnya pada pasal 27 ayat 2 UUD 45, dengan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai tokoh strukturalis-nya. Dari sudut pandang workfare, konsep reformis Amerika dengan konsep Bung Hatta memang ada kaitannya. Namun jika ditilik dari kritik keras Bung Hatta terhadap kapitalisme24, maka welfare yang diusulkan oleh Prof. Edi Swasono dapat dikatakan berdiri independen karena bertolak dari basic tersendiri yang telah jelas yaitu UUD 45, dan memiliki wujud konsep yang jelas pula berdasarkan penjelasan pribadinya yang dikembangkan dari paradigma ekonomi Bung Hatta.
Kritik Bung Hatta ini terdapat dalam bukunya Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1935), yang berbunyi ...teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus... hanya ada dalam dunia pikiran.. dan tidak ada dalam masyarakat yang lahir,.. sebab itu dalam praktik laisser-faire stelsel persaingan merdeka dlltidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith. Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah..., dalam Sri Edi, hlm 28-29.
24