Anda di halaman 1dari 25

Presentasi kasus

GENERAL ANESTESI CRANIOTOMY PADA SUBDURAL HEMATOM

OLEH : Meisa Marsalina G0006116

PEMBIMBING : dr. Ardana T.A., M.Si Med, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK LAB / UPF ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesia umum, lainnya dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar kepala, leher, intra torakal, intra abdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum endotrakea. Dengan cara terakhir ini jalan napas dapat bertahan bebas terus dan kalau perlu napas dapat dikendalikan (dikontrol). (2). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan yang terlambat. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat (Japardi, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESIA UMUM Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktikkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan, karena dengan anestesi ini jalan nafas dapat terus dipertahankan dan nafas dapat dikontrol. (2) Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu hilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam memberikan obatobat pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, atau pemeliharaan. (5) 1. Persiapan Pra Anestesi Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Semua pasien yang masuk di bagian kebidanan kemungkinan akan membutuhkan anestesi, baik elektif maupun emergensi. Perlu dibuat anamnesis yang lengkap mengenai umur, paritas, usia kehamilan, dan faktorfaktor yang mungkin menyebabkan komplikasi.(1) Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu sampai dua hari sebelum operasi sedangkan pada kasus darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik secara optimal, merencanakan dan memilih tehnik serta obat obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien, menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology). (3)

1.

Macam-macam teknik anestesi : 2

No. 1. 2. 3. 4.

Teknik Open Semi open Semi closed Closed

Resevoir bag Valve _ + + + _ + + +

Rebreathing Soda lime _ _ + + _ _ + +

Keterangan : Rebreathing ( - ) Rebreathing ( + ) Rebreathing ( + ) = CO2 langsung ke udara kamar. = CO2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap lagi. = CO2 dihisap lagi.

Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai beberapa keuntungan : 1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan. 2). Konservasi panas dan uap. 3). Menurunkan polusi kamar. 4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.

2.

Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology), yaitu : (4) ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas mencapai 2 %. ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena penyakit bedah maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas mencapai 16 %.

ASA 3

: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %.

ASA 4

: Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan operasi. Angka mortalitas mencapai 68 %.

ASA 5

: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan operasi

hampir tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai 98 %.

b.Premedikasi Anestesi Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi dilakukan. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum pasien dibawa ke ruang operasi. (4) Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk memberikan rasa nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat obat anestesi, menekan reflek reflek yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas. Obat obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah : 1. Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer. 2. Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil. 3. Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol. 4. Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

Premedikasi pada bedah caesar hanya menggunakan anti kolinergik tanpa narkotik dan sedatif. 4

Obat obat premedikasi : Sulfas Atropin Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis klinik (0,40,6 mg ) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan perangsangan nervus Vagus. Pada dosis yang lebih besar (> 2 mg) akan menghambat nervus Vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu melemaskan nervus otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal dan mengurangi rasa mual serta muntah. Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 2 mg intra vena. Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg. Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 0,4 mg untuk anak anak. Pemberian : SC, IM, IV.(7)

Pethidin Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya, depresi nafas dan efek sentral lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian sub cutan atau intra muskular, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis toksik menimbulkan perangsangan SSP misal tremor, kedutan otot dan konvulsi. Pada saluran nafas, akan menurunkan tidal volume sedang frekuensi nafas kurang dipengaruhi sehingga efek depresi nafas tidak disadari. Secara sistemik menimbulkan anestesi kornea dengan akibat hilangnya refleks kornea. Obat ini juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan sehingga menimbulkan mual, muntah dan pusing pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat baring, obat ini tidak 5

mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi penderita berobat jalan dapat timbul sinkop orthostotik karena hipotensi akibat vasodilatasi perifer karena pelepasan histamin. (4) Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada pemberian IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin dimetabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang diberikan. Preparat oral dalam tablet 50 mg, parenteral dalam bentuk ampul 50 mg per cc. Dosis dewasa 50-100 mg disuntikkan SK atau IM. Jika secara IV efek analgesiknya tercapai dalam waktu 15 menit. (4)

c. Induksi Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan (III) yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. (4) Macam-macam stadium anestesi : Stadium I (analgesia) : - mulai pemberian zat anestesi sampai dengan hilangnya kesadaran - mengikuti perintah, rasa sakit hilang. Stadium II ( Delirium ) : - mulai hilangnya kesadaran sampai dengan permulaan stadium bedah. - gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak teratur, midriasis, takikardi. Stadium III (Pembedahan): 1.Tingkat 1 :nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak menurut kehendak, nafas dada dan perut seimbang. 2. Tingkat 2 : nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar, mulai relaksasi otot.

3.Tingkat 3 : nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot sempurna. 4.Tingkat 4 : nafas perut sempurna, tekanan darah menurun, midriasis maksimal, reflek cahaya ( - ) Stadium IV. (Paralisis) : nafas perut melemah, tekanan darah tidak terukur, denyut nadi berhenti dan meninggal. Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol Propofol merupakan derivat isoprofilfenol yang digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi umum. Propofol secara kimia tidak ada hubungannya dengan anestesi IV lain. Pemberian IV ( 2 mg/kg BB ) menginduksi anestesi secara cepat seperti Tiopental. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus Propofol yang berkesinambungan dengan Opiat, N2 dan atau anestesi inhalasi lain.(4) Propofol menurunkan tekanan arterial sistemik, dan kembali normal dengan intubasi trekea. Propofol tidak menimbulkan aritmia, atau iskemik otot jantung, tidak merusak fungsi hati dan ginjal. (7) Keuntungan Propofol, bekerja lebih cepat dari Tiopental,

mempunyai induksi yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, sehingga berguna pada pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur cepat dan singkat. (7) Sediaan :ampul atau vial 20 ml ( 200 mg ), tiap ml mengandung 10 mg Propofol. Dosis : 1,5 2 2 2,5 4. Pemeliharaan mg/kgBB iv (anak) mg/kgBB iv (dewasa)

Maintenance atau pemeliharaan adalah pemberian obat untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini menggunakan Sevofluran, N2O, dan O2.(5) a. Sevofluran Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh sodalim namun membahayakan terhadap tubuh manusia. b. Dinitrogen Oksida/Gas Gelak/N2O Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritasi. Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai relaksasi otot, oleh karena itu operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Dinitrogen Oksida mendesak oksigen dengan ruanganruangan tubuh. Hipoksia difus dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. dipakai belum ada laporan

Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% : 30% atau 50% : 50%. (4) 5. Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau non depolarisasi , misal kurarin. Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. (4) Dua golongan obat pelumpuh otot: 1. Depolarisasi. - Ada fasikulasi otot - Berpotensiasi dengan antikolinesterase - Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik - Belum dapat diatasi dengan obat spesifik - Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis - Contoh: suksametonium (suksinil kolin) 2. Non depolarisasi - Tidak ada fasikulasi otot - Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane - Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik - Dapat diantagonis oleh antikolinesterase - Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium

bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida). 1. Succynil Choline

Merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat, sekitar 1 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 5 menit sehingga obat ini sering digunakan dalam tindakan intubasi trakea. Lama kerja dapat memanjang jika kadar enzim kolinesterase berkurang, misalnya pada penyakit hati parenkimal, kakeksia, anemia, dan hipoproteinemia. (4) Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi, bradiaritma dan asistole, takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan intra okuler, hiperkalemi dan nyeri otot fasikulasi. (3) Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 50 mg. Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan 2% sebagai pelumpuh otot jangka pendek. Dosis untuk inhalasi 1 2 mg / kgBB. (7) 2. Atrakurium besilat (Tracrium) Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru dengan struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltatum. Keunggulan atracurium adalah : metabolisme terjadi di dalam darah tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. (4) Dosis intubasi Dosis relaksasi otot Dosis pemeliharaan 6. Antagonis Pelumpuh Otot 10 : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV : 0,5 0,6 mg / Kg BB / IV : 0,1 0,2 mg / Kg BB / IV

Neostigmin Metil Sulfat ( Prostigmin ) Merupakan antikolinesterase yang mencegah hidrolisis dan menimbulkan akumulasi asetilkholin. Obat ini mengalami metabolisme oleh kolinesterase serum dan bentuk utuh obat sebagian diekskresi melalui ginjal. Mempunyai efek nikotinik, muskarinik dan stimulan otot langsung. Efek muskarinik antara lain bradikardi, hiperperistaltik, dan spasme saluran cerna, pembentukan sekret jalan nafas dan kelenjar liur, bronkospasme, berkeringat, miosis dan kontraksi vesika urinaria. Dosis 0,5 mg bertahap hingga 5 mg. Biasanya diberikan bersamasama dengan atropin dosis 11,5 mg. (4) Bila heart rate <100x/mt, diberi SA dahulu agar tercapai HR>100x/mt, baru kemudian diberi prostigmin. Bila HR>100x/mt, SA dan prostigmin disuntikan bersama-sama. (4)

7. Obat Oxytocine: Cyntocinon, Pitocin Adalah hormon yang merangsang uterus untuk berkontraksi. Wanita hamil sensitif terhadap obat ini pada kehamilan 34 - 38 minggu. Dosisnya 20 - 40 unit / 1000 ml RL diberikan secara infus sampai 200 ml/jam. Onset kurang 1 menit, dengan lama kerja 2 - 3 menit. Toksisitas dan efek sampingnya adalah : Karena stimulasi berlebih pada uterus, terjadi kontraksi tetani uterus dan mungkin ruptur uteri sehingga terjadi fetal distress dan asfixia Ada efek ADH, menyebabkan intoksikasi air Tekanan darah dapat menurun 30%, resistensi perifer menurun 50%, nadi meningkat 30%, cardiac output meningkat 50%.(7)

8. Analgetik

11

Remopain Merupakan ketoralac trometamin sebagai pengobatan jangka pendek terhadap rasa sakit berat dan sedang setelah operasi lama. Penggunaan tidak boleh melebihi 2 hari. Kontraindikasi : pada pasien yang alergi dengan ketorolac trometamin, aspirin atau obat AINS lainnya, tukak lambung aktif, pasien dengan penyakit cerebrovaskuler, pasien dengan riwayat penyakit asma. Efek samping : pada saluran cerna dapat terjadi dispepsi, mual, diare. Pada SSP seperti sakit kepala. Edema, rasa sakit di tempat suntik. Dosis : dosis awal dianjurkan 10 mg, dilanjutkan 10-30 mg tiap 4-6 jam. Dosis total pakai : 90 mg. Pasien usia lanjut, pasien dengan kerusakan ginjal dan BB < 50 kg tidak boleh melebihi 60 mg Sediaan : ampul 30 mg/ml Pemberian : IM, IV

9. Intubasi Trakea Merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah di monitor dan dikendalikan. Tindakan intubasi trakea ini bertujuan untuk : 1. Mempermudah pemberian anestesi. 2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan demi kelancaran pernafasan. 3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung. 4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial. 5. Untuk pemakaian ventilasi yang lama. 6. Mengatasi obstruksi laring akut. (4)

10. Terapi Cairan

12

Dalam suatu tindakan operasi terapi cairan harus diperhatikan dengan serius, terapi cairan perioperatif bertujuan untuk : 1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. 2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. (6) Pemberian cairan operasi dibagi : (7) 1. Pra operasi Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang diakibatkan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi

lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2% BB, dehidrasi sedang perlu cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat sebesar 7% BB. Setiap kenaikan suhu 1 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %.
0

2. Selama operasi Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi ringan 4ml/kgBB/jam, sedang 6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam. Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1 2 kali darah yang hilang. Sedangkan apabila terjadi perdarahan lebih dari 20% akan dipertimbangkan untuk dilakukannya transfusi. 3. Setelah operasi

13

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari hari pasien.

11. Pemulihan Tindakan yang tidak boleh dilupakan pula dalam anestesi adalah pemulihan. Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau Recovery Room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.(6)

B. SUBDURAL HEMATOM Subdural hematom (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara selaput otak durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil (Nasution, 2010). Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis : a. Hematoma Subdural Akut Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.

b. Hematoma Subdural Sub-Akut

14

Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya. c. Hematoma Subdural Kronik Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri (Nasution, 2010). SDH akut terjadi pada penderita-penderita dengan cedera kepala berat (CKB). SDH akut dihubungkan dengan tingginya angka mortalitas dan morbiditas. Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah trauma otak traumatika. Pada kasus-kasus CKB 44%nya mempunyai tekanan intrakranial >20 mmHg dan 82% mempunyai tekanan >10 mmHg. Tingginya tekanan intrakranial mempunyai koralsi dengan prognosis penderita yang buruk (normal tekanan intrakranial 10-15 mmHg) (Usmanto, 2004). Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan sampai penurunan kesadaran, kebanyakan tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa yang hebat atau lesi lainnya (Usmanto, 2004).

15

BAB III LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin No RM Diagnosis pre operatif Macam Operasi Macam Anestesi Tanggal masuk Tanggal Operasi : Nn. L : 18 tahun : Perempuan : 01075222 : Subdural hematom : Craniotomy : Anestesi umum : 7 Juli 2011 : 7 Juli 2011

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI 1. Anamnesa Keluhan utama : pasien tidak sadar setelah KLL Riwayat Penyakit Sekarang : 2 jam SMRS saat pasien dibonceng sepeda motor dengan menggunakan helm standar bertabrakan dengan sepeda motor lain dari arah berlawanan. Posisi jatuh tidak diketahui. Pingsan (+), muntah (-), kejang (-). Pasien tidak sadar sampai sekarang. Oleh penolong, pasien dibawa ke RS Martha Lestari, Sragen, dipasang infus dan diberi suntikan obat-obatan. Karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke RSDM. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat asma ( ) Riwayat alergi ( ) Riwayat hipertensi atau penyakit jantung ( ) 16

2. Pemeriksaan Fisik: a. Keadaan umum : lemah b. Vital sign : T N : : 110/70 mmHg 96 x/menit 20 x/menit 36,60C 50 kg

Rr : S :

BB : c. Status Generalis : GCS: E1M2V4

Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm) Jalan nafas : tersumbat (-), ompong (-), gigi palsu (-), oedem (-), kekakuan sendi rahang (-), kaku leher (-) Thorax : retraksi (-) COR : BJ I II intensitas normal, reguler bising (-) Pulmo : Suara dasar vesikuler : kanan/kiri = +/+ Suara tambahan whezing kanan/kiri = -/RBK kanan/kiri = -/RBH kanan/kiri = -/Abdomen : supel Ekstremitas : Oedem akral dingin

17

3. Pemeriksaan laboratorium : Hemoglobin Hct Lekosit Gol darah Trombosit Eritrosit GDS : 11,6 g/dl : 35 % : 27,9.103 ul : 0 : 121.103 ul : 3,11.10 ul : 126 mg/dl
6

Ureum Creatinin Albumin Natrium Kalium Klorida HbsAg

: 13 mg/dl : 0,4 mg/dl : 3,7 g/dl : 137 mmol/L : 5,2 mmol/L : 114 : Negatif

4. Kesimpulan : Kelainan sistemik Kegawatan Status fisik ASA :(+) :(+) : III E

C. RENCANA ANESTESI 1. Persiapan Operasi a. Persetujuan operasi tertulis ( + ) b. Puasa > 6 jam c. Infus D5 NS 26 tpm 2. Jenis Anestesi : General Anestesi

3. Teknik Anestesi : GA Intubasi oral 5. Premedikasi 6. Induksi 7. Maintenance 8. Monitoring : Midazolam 5 mg, Fentanyl 40 mg, Lidocain : Propofol 100 mg : O2 = 4 L/menit, isofluran 0,8 :tanda vital selama operasi tiap 5 menit, cairan, perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi. 9. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

18

D. TATA LAKSANA ANESTESI 1. Di ruang Persiapan a. Cek persetujuan operasi b. Periksa tanda vital dan keadaan umum c. Lama puasa > 6 jam d. Cek obat-obat dan alat anestesi e. Infus D5 NS 26 tpm f. Posisi terlentang g. Pakaian pasien diganti pakaian operasi 2. Di ruang Operasi a. Jam 18.10 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang b. Jam 18.20 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur sebagai berikut : 1). Pasien dalam posisi supine 2). Premedikasi injeksi Midazolam 5 mg, Fentanyl 40 mg, Lidocain 3). Dilakukan induksi dengan propofol 100 mg, segera kepala diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 4 l/menit. Setelah reflek bulu mata menghilang, Atracurium dimasukkan IV. Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan orotrakheal tube no. 7,0 dan Guedel, balon ET dikembangkan. Setelah terpasang baik dihubungkan dengan mesin anestesi untuk mengalirkan O2 4). Jam 18.30 operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5 menit c. Jam 21.45 operasi selesai, alat anestesi dilepas, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

19

Monitoring Selama Anestesi Jam 18.30 18.35 18.40 18.45 18.50 18.55 19.00 19.05 19.10 19.15 19.20 19.25 19.30 19.35 19.40 19.45 19.50 19.55 20.00 20.05 20.10 20.15 20.20 20.25 20.30 20.35 20.40 20.45 20.50 20.55 21.00 21.05 21.10 21.15 21.20 21.25 21.30 21.35 21.40 Tensi 120/70 119/70 119/69 110/60 100/60 100/60 100/60 98/60 98/60 98/55 98/44 98/44 100/44 100/44 98/44 100/40 100/40 100/40 100/40 80/40 80/40 84/40 86/40 90/40 80/40 90/40 90/40 90/40 90/40 95/45 95/45 95/50 100/55 92/58 104/60 104/64 104/64 100/58 110/60 Nadi 86 86 86 87 87 87 90 87 87 88 88 88 89 90 90 88 88 88 89 89 90 92 96 96 100 98 96 96 96 96 97 84 81 84 85 86 87 84 84 SaO2 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 20

21.45

100/60

80

100%

3. Di ruang pemulihan a. Jam 22.00 : Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam posisi

terlentang, diberikan O2 3 liter/menit b. Jam 22.30 : Pasien dipindah ke ICU

21

BAB IV PEMBAHASAN

Banyak hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi umum pada cedera kepala. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat melakukan tindakan anestesi, maka kita harus mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada cedera kepala serta efek masing-masing obat anestesi.

A. PERMASALAH DARI SEGI MEDIK 1. Emergensi 2. Menyangkut nyawa penderita B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH 1. Perdarahan 2. Trauma C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI 1. Pemeriksaan pra anestesi Cito : Waktu yang tersedia untuk mempersiapkan anestesi terbatas. 2. Premedikasi Pada pasien ini diberikan Midazolam, Fentanyl dan Lidocain sebagai premedikasi anestesi 3. Induksi a. Pada kasus ini menggunakan Propofol dan Ketamin untuk induksi. b. Atracurium untuk pemasangan ET untuk mengurangi cedera dan untuk memudahkan tindakan bedah dan ventilasi kendali. 4. Maintenance Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 3 L: 3 L, serta Sevoflurane 1 vol %.

22

BAB V KESIMPULAN

Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Anestesi umum dalam persalinan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi. Dalam hal ini pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus benarbenar diperhatikan agar tidak menimbulkan bahaya bagi penderita. Dalam makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi craniotomy pada pasien perempuan, umur 18 tahun, status fisik ASA III E dengan diagnosis subdural hematom dengan menggunakan teknik general anestesi inhalasi semi closed dengan ET no 7. Untuk mencapai hasil maksimal pada anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Pada pelaksanaan kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, G, dkk. Buku Ajar Anestesi dan Reanimasi..CV Indeks, Jakarta. 2010. 2. Rustam M. Sinopsis Obstetri, jilid I edisi 2, cetakan I, EGC, Jakarta. 2005 3. Cunningham F.G., et al. Obstetri Williams, edisi 18, editor Devi H.R., EGC, Jakarta.2003 4. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of Medicine. Jan-Mar 2002. 5. Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J Bone Joint Surg Am. 2010; 62:1219-1222. 6. Kumpulan protokol, (2010), Penanganan kasus Obstetri & Ginekologi, Lab/SMF obsgyn FK UNS / RSUD dr Moewardi Surakarta. 7. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009; 107-112 8. Robyn Gmyrek, MD, Maurice Dahdah, MD, Regional Anaesthesia, Updated: Aug 7, 2009. Accessed on 24thjune 2011 at www.emedicine.com .

24

Anda mungkin juga menyukai