Anda di halaman 1dari 27

PEMBENAHAN SISTEM HUKUM DAN ARAH KEBIJAKAN RENCANA REVISI UU MAHKAMAH AGUNG

Tugas Mata Kuliah : Politik Hukum Dosen :

Oleh :

--------------------------NIM :

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JANABADRA YOGYAKARTA 2010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejarah berdirinya Mahkamah Agung kiranya tidak dapat dilepaskan dari pada penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda, dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut. Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia tidak ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. Tahun 1946 ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya penunjukan tempatnya saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi sebagai berikut: Menundjukkan sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu kota Djakarta-Raja. Pada tahun 1947 ditetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Pada tahun 1948, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang dalam Pasal 50 ayat (1) menyatakan:

1. 2.

Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan

Undang-Undang federal, dengan pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekurankurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat apel. Setelah konstitusi bangsa Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tahun 1965 dibuat Undang-Undang yang mencabut UndangUndang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Di jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-Undang (Osamu Seirei) Nomor 2 Tahun 1944, yang melimpahkan segala tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan. Sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi.

Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Yogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pemulihan kedaulatan, dengan demikian Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun. Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada dibawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan: bersama dibawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya Kejaksaan Pengadilan Negeri. Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Kejaksaan. (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961) Perkembangan selanjutnya dibentuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam Pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari pengadilan-pengadilan lain, yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari: 1. 2. 3. 4. Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan Militer; Peadilan Tata Usaha Negara.

Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Fungsi Peradilan; Fungsi Pengawasan; Fungsi Pengaturan; Fungsi Memberi Nasehat; Fungsi Administrasi. Sejak Amandemen Ke-3 Undang-Undang Dasar 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2 (dua), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan. Dasar hukum yang mengatur mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Susunan Mahkamah Agung terdiri dari 1 orang Ketua Mahkamah Agung, 1 orang Wakil Ketua Bidang Teknis Yudisial, 1 orang Wakil Ketua Bidang Non Teknis Yudisial, 9 orang Ketua Muda, Hakim-Hakim Agung, Panitera dan Sekretaris Mahkamah Agung. Jumlah Hakim Agung aktif yang saat ini bertugas

di Mahkamah Agung hingga bulan oktober 2008 sebanyak 43 orang. Jumlah tersebut dapat bertambah dan dapat berubah, tidak ada patokan pasti, UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 hanya membatasi sebanyak-banyaknya Hakim Agung berjumlah 60 orang. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan di bawah undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi. Mahkamah Agung juga mempunyai fungsi pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana,

cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas, serta pengawasan Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur undang-undang. Selain fungsi-fungsi di atas, Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain atau memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi. Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya. Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili

serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Terlepas dari sejarah tentang Mahkamah Agung di atas, maka Mahkamah Agung pada saat ini tentu sangat diharapkan sekali oleh rakyat agar dapat menjalankan tugasnya dengan seadil-adilnya, dalam arti arah kebijakan hukum yang diambil oleh Mahkamah Agung disesuaikan dengan perkembangan jaman dan tentunya berpihak kepada keadilan yang diingginkan masyarakat banyak. Arah kebijakan hukum atau politik hukum dari Mahkamah Agung tidak terlepas dari sistem pemerintahan Republik Indonesia dan pelaksanaan sistem di berbagai sektor lainnya yang mendukung roda pemerintahan, termasuk pula sistem hukum dan arah politik hukum dalam mencapai rencana dan tujuan bernegara. Memperhatikan UUD 1945 beserta ke-4 perubahannya dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan demokratis, pembangunan hukum memainkan peranan penting dalam menjamin dan melindungi kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Arah dan tujuan pembangunan di bidang hukum harus terus diupayakan terfokus dan bertahap menuju arah dan tujuan bernegara sebagaimana yang dicita-citakan. Berbagai perubahan yang terjadi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia dan perkembangan dunia global juga berpengaruh pada sistem hukum dan arah politik hukum Mahkamah Agung, perlu upaya pembenahan yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembenahan terhadap sistem yang ada ditujukan bagi upaya perbaikan dengan tetap berlandaskan kepada prinsip-

prinsip hukum dan ketatanegaraan yang berlaku serta tetap tanggap terhadap kebutuhan yang diperlukan.

B. Permasalahan Atas dasar latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas arah politik hukum (kebijakan hukum) Mahkamah Agung. Penulis akan membahas politik hukum secara umum, dilanjutkan dengan pembenahan sistem, serta diakhiri dengan pembahasan mengenai perlu tidaknya revisi atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, terutama yang berkaitan dengan diusulkannnya perpanjangan pensiun Hakim Agung ditambah dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Hal ini perlu dibahas karena menurut penulis perpanjangan usia pensiun seorang Hakim Agung menjadi 70 tahun bukanlah perpanjangan pensiun yang biasa, akan tetapi mempunyai arah tertentu yang berkaitan dengan kebijakan politik yang hendak diterapkan. Kebijakan politik apabila diambil demi kepentingan rakyat akan sangat bermanfaat, akan tetapi akan menjadi berbahaya apabila hanya digunakan untuk kepentingan golongan.

BAB II PEMBAHASAN

A.

Politik Hukum Salah satu tugas utama politik hukum nasional adalah selalu mengawal

dan mengalirkan hukum-hukum yang sesuai dengan dan dalam rangka menegakkan konstitusi. Pembangunan politik hukum nasional harus selalu dijaga agar tidak menyimpang dari aliran konstitusi dan sumber nilai yang mendasarinya. Hukum atau sistem legal nasional harus dipandang sebagai sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. Pandangan tersebut menurut pandangan Sofian Effendi cukup berbeda dari pandangan kebanyakan para pengasuh pendidikan hukum, yang memandang hukum dalam perspektif yang terbatas dan mencakup hanya lembaga penegak hukum, serta hukum positif sebagai produk utamanya. William Lawrence, adalah salah seorang pelopor dalam pengembangan pandangan holistik tentang hukum dan sistem hukum. Dalam tulisannya American Law in the 20th Century, Lawrence menunjukkan dengan jelas pandangan holistiknya tentang hukum (law) dan tentang sistem hukum (legal system). bagi banyak orang mungkin hukum hanya dimaknai sebagai berbagai lembaga penegak hukum seperti polisi, kejaksanaan, pengadilan, mahkamah agung, serta hukum positif yang dihasilkan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut. Menurutnya hukum jauh lebih luas daripada

10

lembaga penegak hukum, karena kenyataannya hukum amat mempengaruhi kehidupan masyarakat Amerika moderen. Hukum telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, oleh karena itu hukum tidak bisa lagi dilihat secara terisolasi dari masyarakat, tetapi telah merupakan bgian integral dari kehidupan masyarakat, budaya hukum adalah salah satu unsur dari budaya masyarakat. Sistem hukum tidak dapat dipisahkan lagi dari sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial suatu masyarakat. Menurut studi Kebijakan Publik, dalam melaksanakan fungsinya Pemerintah melakukan tindakan-tindakan kebijakan dalam bidang-bidang yang ditetapkan oleh konstitusi. Hukum (law) adalah salah satu instrument kebijakan yang digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Jadi, politik hukum sebagai terjemahan dari legal policy, mempunyai makna yang lebih sempit daripada politik hukum sebagai terjemahan dari politics of law atau politics of the legal system. Studi kebijakan publik juga menganggap sistem kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh dua subsistem, yaitu konfigurasi pemangku kepentingan (stakeholders) dan lingkungan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Kalau diteropong dari kacamata sistem kebijakan publik tersebut, arah kebijakan hukum amat dipengaruhi oleh siapa pemangku kepentingan yang paling dominan pengaruhnya terhadap suatu kebijakan hukum, kalau lingkungan hukum, termasuk etika tidak terlalu dijadikan landasan pertimbangan dalam penyusunan hukum sebagai produk kebijakan publik.

11

Pendekatan yang digunakan oleh Sofian Effendi dalam memandang hukum atau sistem hukum lebih mendekati pendekatan Lawrence dalam studinya tentang Hukum Amerika pada Abad 20. Lawrence menunjukkan bahwa Amerika mengalami pergeseran sistem hukum karena perubahan lingkungan politik yang dialami oleh Pemerintah Amerika. Pada masa-masa awal Pemerintahan Amerika pengaruh Bill of Rights dan Supreme Court amat dominan terhadap sistem hukum Amerika. Tahap selanjutnya adalah pemerintahan Welfare State di bawah kepresidenan Roosevelt yang menghasilkan arah kebijakan hukum yang baru. Selanjutnya Amerika berkembang menjadi kekuatan ekonomi dan politik dunia, dan sejalan dengan perubahan tersebut, terjadi perubahan dalam sistem hukum. Dalam pandangan Prof. Notonagoro, Pembukaan UUD 1945 adalah landasan dasar atau staatsfundamentalnorms bagi sistem hukum Indonesia, Bung Karno sebagai pencipta Pancasila bahkan menamakan dasar negara tersebut sebagai weltanschaaung bagi bangsa Indonesia. Dari sudut pandangan ini, penegakan konstitusi hanya mungkin terjadi kalau amandemen untuk menyempurnakan konstitusi dilakukan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan staatsfundamentalnorms tersebut. Dalam upaya menyesuaikan konstitusinya dengan perkembangan konfigurasi politik, dapat disaksikan adanya perbedaan yang nyata antara Amerika Serikat. Amerika Serikat menyesuaikan konstitusi dengan

perkembangan konfigurasi politik melakukan pendekatan yang amat hati-hati dan dengan tetap mempertahanan bangunan asli konstitusinya. Penyempurnaan

12

dilakukan dengan tetap mempertahankan konstitusi yang asli dan melakukan amandemen secara bertahap melalui prosedur amandemen yang cukup rumit, diusulkan oleh Kongress dan harus disetujui oleh 2/3 negara bagian. Karena itu selama 230 tahun baru diadakan amandemen sebanyak 27 kali. Dengan cara seperti tersebut, dapat dipertahankan adanya pemerintahan negara yang efektif dan stabilitas politik tetap terjadi. Sebaliknya Indonesia menempuh prosedur perubahan besar-besaran, kalau tidak mau dikatakan pergantian UUD, karena dari 199 ketentuan yang terdapat pada UUD baru, hanya 27 yang berasal dari UUD 1945 asli. Bentuk dan susunan pemerintahan Negara R.I. mengalami perubahan mendasar, dan menghasilan pemerintahan negara yang tidak stabil dan tidak efektif, persis seperti ramalan para constitutional framers hampir enam puluh tahun yang lalu. Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila harus menjadi landasan dalam pembangunan politik hukum dan sebagai landasan dasar dalam penyusunan hukum ternyata telah diabaikan oleh MPR. Hukum dasar atau grondwet yang mereka hasilkan dalam kenyataannya telah menyimpang dari falsafah dasarnya sebagaima tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan dinamika politik yang cepat karena didorong oleh Gerakan Reformasi pada 1998 telah mengobarkan nafsu untuk merombak UUD secara semena-mena. Pada tataran yang lebih rendah dapat dilihat terjadinya kekacauan dalam sistem hukum yang dihasilkan oleh UUD hasil amandemen yang semena-mena. Karena perimbangan kekuasaan yang berubah dalam sistem politik, dan karenanya juga dalam sistem hukum, UU yang dihasilkan banyak yang tidak

13

dilandasi oleh ketentuan dalam UUD dan tidak lagi berlandaskan pada falsafah dasar yang seharusnya menjiwai semua produk dan perilaku sistem hukum Indonesia.

B.

Pembenahan Sistem dan Politik Hukum Sistem hukum Indonesia yang menghasilkan peraturan perundangan

selayaknya dapat berfungsi sebagai aturan dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun, pada kenyataannya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Daerah masih saja menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Masih banyak terdapat tumpang tindih peraturan perundang-undangan (hierarchy disorder) di tingkat Pusat dan Daerah, menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan serta penegakan hukum di Indonesia, baik di bidang investasi, perdagangan, pertanahan, otonomi daerah, maupun pemberantasan korupsi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20042009 (RPJMN), kelemahan sistem hukum tersebut telah teridentifikasi dan difokuskan dalam tiga permasalahan, yakni tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan, implementasi undang-undang yang terhambat oleh peraturan pelaksanaannya, serta tidak adanya peraturan perundangundangan. Hal tersebut merupakan dampak dari lemahnya pelaksanaan koordinasi antar instansi/lembaga pemerintah yang belum dapat dilaksanakan dengan maksimal dan konsisten sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Proses pembentukan peraturan juga belum terkoordinasi dengan

14

baik sehingga tiap-tiap institusi/lembaga eksekutif dan legislatif belum menjadikan Prolegnas sebagai dasar atau acuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan sistem hukum nasional harus pula didukung oleh penelitian hukum, pengkajian hukum, penyusunan naskah akademis, dan penyediaan jaringan dokumentasi dan informasi hukum yang memadai sehingga prosesnya dapat berjalan dengan lebih baik. Kelembagaan aparat penegak hukum dewasa ini juga masih menjadi suatu permasalahan yang harus dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. Kinerja aparat penegak hukum dan peradilan, meskipun sudah menunjukkan banyak kemajuan, diakui masih perlu perbaikan kinerja yang menunjukkan kesungguhan dalam upaya penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip keadilan, cepat, mudah, murah, dan transparan. Pengawasan internal maupun eksternal yang dilakukan oleh tiap-tiap institusi/kelembagaan belum dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap hasil kinerja yang dilakukan karena masih terdapat semangat melindungi korps terhadap ketimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi. Hal tersebut yang mengakibatkan skeptisme masyarakat dan penurunan tingkat kepercayaan terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dengan adanya lembaga Komisi Yudisial yang berfungsi secara objektif melakukan pengawasan terhadap pemegang kekuasaan kehakiman (external auditor) sebagai lembaga yang mandiri mempunyai kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, serta menjaga keluhuran martabat serta perilaku

15

hakim. Pengangkatan Hakim Agung masih menemui kendala antara lain dari segi peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa apabila dibutuhkan, seorang Hakim Agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karir, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dinyatakan bahwa Mahkamah Agung, pemerintah, dan masyarakat dapat mengajukan calon hakim agung kepada Komisi Yudisial. Oleh karena itu, perlu adanya sinkronisasi peraturan perundangundangan terkait, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan dan lebih terarah pada sistem pemilihan Hakim Agung yang lebih objektif dan mendorong reformasi peradilan dalam mewujudkan lembaga peradilan yang bersih, jujur, dan profesional. Namun, pada praktiknya masih terdapat resistensi dari sebagian Hakim Agung yang menganggap bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan lembaga peradilan dapat mengganggu independensi Hakim Agung dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai wujud kekuasaan kehakiman. Sebagai akibatnya, rekomendasi yang diberikan kepada Mahkamah Agung berdasarkan pemeriksaan hakim yang berasal dari laporan masyarakat ataupun media massa belum ada tindak lanjut pelaksanaannya. Di sisi lain, dukungan anggaran, sarana dan prasarana, kesejahteraan, serta peningkatan sumber daya manusia aparat penegak hukum masih sangat terbatas, sehingga mengakibatkan hambatan dalam berbagai upaya penegakan

16

hukum, terutama dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi dan kasus-kasus lain yang menarik perhatian masyarakat serta memiliki tingkat kesulitan penyelesaian kasus yang tinggi. Demikian pula dengan penanganan kasus di lingkungan peradilan yang sudah memanfaatkan fasilitas jaringan internet di beberapa lembaga peradilan yang berada di beberapa kota besar di Indonesia. Dengan kendala anggaran pembangunan di bidang hukum yang terbatas serta kurangnya sumber daya manusia yang memadai, keberlangsungan pelayanan hukum di beberapa institusi menjadi terhambat. Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah juga menjadi salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum. Masyarakat sebagai elemen dari suatu sistem hukum sebaiknya menjadi pendorong upaya penegakan hukum. Dengan kondisi penegakan hukum yang masih belum memberikan hasil yang diharapkan masyarakat, terlebih dengan berbagai contoh pelanggaran dan penyimpangan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, skeptisme masyarakat terhadap penegakan hukum terjadi dan berdampak pada upaya penegakan hukum yang telah dilakukan selama ini. Dengan demikian, perlu adanya suatu shock therapy berupa penegakan hukum yang konsisten dan tidak berpihak terutama dari dan untuk aparat penegak hukum dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat. Sosialisasi tentang tugas, kewenangan, dan fungsi dari kelembagaan yang dibentuk dalam sistem hukum sangat penting diberikan kepada masyarakat dalam rangka proses pembelajaran dan meningkatkan kesadaran hukum.

17

Berbagai upaya perbaikan yang dilaksanakan oleh aparat dan kelembagaan penegak hukum sudah mencapai kemajuan yang baik meskipun masih belum dapat dikatakan kemajuan yang signifikan. Hal yang penting dilakukan adalah melakukan evaluasi ditiap tahapan pelaksanaan kinerja ditiaptiap kelembagaan dan membuat rencana pelaksanaan dan perbaikan ke depan. Penataan substansi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan melalui kajian lintas sektor terkait merupakan sesuatu keharusan dalam rangka membenahi peraturan perundang-undangan yang selama ini tumpang tindih. Disamping itu, perlu dilaksanakan segera penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk

penyusunan Prolegda serta keterangan pemerintah atas pengujian undangundang terhadap UUD 1945 beserta ke-4 perubahannya, yang menjamin penegakan hukum dan HAM. Ketersediaan tenaga perancang peraturan perundang-undangan baik di tingkat Pusat maupun Daerah harus ditingkatkan melalui pendidikan professional yang memadai dengan fasilitasi oleh Departemen Hukum dan HAM sebagai Law Centre. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, KPK, serta kementrian/lembaga pemerintah lainnya perlu meningkatkan koordinasi untuk melakukan kajian hukum secara bersama-sama terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbaikan di bidang kelembagaan juga harus diarahkan kepada perwujudan lembaga yang professional baik dalam pelaksanaan tugas dan

18

kewenangannya maupun dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kinerja yang professional harus disertai oleh perangkat prosedur pelaksanaan yang efisien dan efektif yang sejalan akuntabilitas kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Mekanisme tersebut merupakan langkah awal perbaikan kinerja lembaga penegak hukum dan lembaga terkait lainnya di samping upaya perbaikan di bidang sumber daya manusia secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Kerja sama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu dilaksanakan melalui koordinasi yang kuat, terutama dalam rangka pemilihan hakim yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi dengan proses yang transparan dan akuntabel. Di samping itu, peningkatan pengawasan terhadap kinerja hakim dan lembaga peradilan perlu dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Dengan demikian diharapkan dampak perbaikan kinerja kelembagaan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat kembali terhadap sistem hukum Indonesia di samping meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hukum dan menciptakan budaya hukum yang tinggi di setiap segi kehidupan bermasyarakat.

C.

Kebijakan Revisi Undang-Undang Mahkamah Agung Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat

masih saja menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Masih banyak terdapat tumpang tindih peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat dan Daerah, menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan serta penegakan hukum

19

di Indonesia, baik di bidang investasi, perdagangan, pertanahan, otonomi daerah, maupun pemberantasan korupsi. Selain hal tersebut, kebijakan dalam pembentukan undang-undang masih sering berubah-ubah. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan atau revisi, termasuk rencana revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Seperti diketahui, bahwa proses pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA), menuai kritik dari banyak kalangan. Setidaknya kritik yang mengemuka ada dua hal, yaitu proses dan materi/substansi. Menyangkut proses, pembahasan RUU MA dianggap penuh kejanggalan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah secara tiba-tiba memutuskan untuk mempercepat pembahasan RUU MA daripada RUU Komisi Yudisial (KY) atau RUU Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, putusan MK tentang judicial review UU Komisi Yudisial, telah meminta DPR dan pemerintah melakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU KY, UU MA, dan UU MK. Dengan demikian, proses pembahasan mestinya dapat dilakukan secara bersamaan. Setidaknya RUU KY -lah yang harus didahulukan, mengingat pokok persoalan dari revisi ketiga undang-undang tersebut menyangkut soal sistem pengawasan hakim dalam UU KY. Tidak satu pun ketentuan dalam UU MA yang dibatalkan oleh putusan MK. Disamping itu, proses pembahasan RUU MA tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif. Hal ini menyalahi perintah Undang-Undang Nomor

20

10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Proses pembahasan RUU seperti itu, sangat berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan penuh conflict of interest. Besar kemungkinan akan banyak masalah dan merugikan kepentingan masyarakat luas. Dari segi substansi, diusulkan usia pensiun Hakim Agung ditambah dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Usul ini muncul dari pemerintah yang kemudian disetujui sejumlah fraksi di DPR. Bahkan akan disiasati, usia pensiun Hakim Agung tetap 65 tahun, tapi bisa diperpanjang dua kali. Alasan yang dikemukakan, karena hal ini berkaitan dengan tugas Hakim Agung yang menuntut pengalaman dan kebijaksanaan, dan mencontoh beberapa negara, seperti Australia, Thailand, Korea, dan Malaysia, usia pensiun Hakim Agungnya sampai 70 tahun. Usia pensiun Hakim Agung 70 tahun di sejumlah negara tersebut dipengaruhi oleh usia harapan hidup yang berbeda di setiap negara. Menurut data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Kesehatan tahun 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling rendah se-ASEAN, yaitu 65 tahun. Tahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahun. Hal ini artinya, di atas usia 66 tahun, kondisi orang Indonesia akan mengalami penurunan baik dari segi ingatan, analisis maupun tingkat produktivitas. Selain itu, usia 70 tahun dapat tergolong ke dalam usia yang tidak produktif. Dengan demikian, menjadi tidak logis usul perpanjangan usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun. Hal ini akan menjadi persoalan, jika dikaitkan dengan beban perkara yang masih menumpuk di MA. Hakim Agung 70 tahun

21

jelas terlalu tua, dan akan memperlambat upaya pengurangan atau penyelesaian tumpukan perkara. Bisa jadi, karena pengaruh usia, putusannya menjadi aneh dan janggal. Atau pertimbangannya yang dangkal, dan tidak konsisten dengan amar putusan. Tentu saja, yang paling dirugikan adalah masyarakat luas, khususnya para pencari keadilan (justitiabelen). Usia pensiun 70 tahun juga akan menghambat proses regenerasi, yang diperlukan bagi percepatan reformasi di MA. Saat ini KY telah menyeleksi sejumlah calon Hakim Agung, sebagian bahkan telah diserahkan ke DPR. Seleksi calon Hakim Agung tahun ini, sehubungan dengan akan pensiunnya beberapa Hakim Agung. Jika usia pensiun Hakim Agung diperpanjang menjadi 70 tahun, dan para Hakim Agung tidak jadi pensiun, lantas bagaimana dengan proses seleksi yang sudah berjalan. Jelas hal itu merugikan dan bisa dianggap menghambur-hamburkan uang negara. Usul tersebut juga tidak sejalan kondisi peradilan yang masih buruk. Tidak berlebihan, ketika sebuah lembaga international menilai peradilan di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia. Penilaian tersebut tentunya bukan tanpa dasar. Sejumlah fakta masih menunjukkan persoalan seperti, ribuan perkara yang menumpuk, manajemen perkara yang tidak jelas dan transparan, putusan yang aneh dan melukai rasa keadilan, serta belum bersihnya pengadilan dari praktik-praktik mafia peradilan. Prestasi yang setidaknya dapat menjadi tolak ukur dan pertimbangan seorang pejabat jika hendak diperpanjang jabatan atau usia pensiunnya. Nampaknya, tidak terlalu sulit untuk mengambil kesimpulan dengan

22

mengaitkan kondisi peradilan, bahwa sangat minim catatan prestasi yang bisa dianggap luar biasa dan membanggakan dari kalangan Hakim Agung, sehingga sangat tidak pantas jika kemudian usia pensiun Hakim Agung diperpanjang. Tidak dapat dihindari kemudian adanya tudingan bahwa, perpanjangan usia pensiun itu untuk sehubungan dengan kepentingan politik sejumlah Hakim Agung yang akan pensiun. Tercatat 11 Hakim Agung yang akan pensiun pada akhir tahun ini, termasuk Ketua MA Bagir Manan. Jika perpanjangan usia 70 tahun disetujui, hal ini merupakan ketiga kalinya dilakukan selama kepemimpinan Bagir Manan. Pertama melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang menentukan usia pensiun 65 tahun dan bisa diperpanjang 2 tahun, kedua melalui perpanjangan pensiun yang dilakukan sendiri oleh Ketua MA pada tahun 2005/2006. Perpanjangan jabatan beberapa kali tersebut, tidak hanya akan menimbulkan hegemoni dan dominasi, tetapi memunculkan pula oligarki kekuasaan di dalam tumbuh MA. Dalam hal ini, DPR dan pemerintah semestinya melakukan cheks and balances. Setidaknya dengan

mempertanyakan prestasi luar biasa dan audit terhadap kinerja para hakim agung. DPR dan pemerintah justru lebih banyak membiarkan, bahkan malah memberikan legitimasi, sebagaimana ditunjukkan dari usulan pensiun 70 tahun. Bukan tidak mungkin jika DPR dan pemerintah punya kepentingan sendiri. Bisa jadi kepentingan atas suatu penanganan perkara, mengingat anggota DPR, khususnya di Komisi III merangkap juga sebagai advokat, atau dari sisi pemerintah (dalam hal ini Presiden/Wakil Presiden), yang mencoba

23

mengamankan kepentingannya dalam menghadapi pemilu 2009. Hal ini sudah merupakan kejahatan kolektif. Revisi undang-undang yang semestinya diabdikan untuk kepentingan publik, tetapi telah dimanipulasi dan menghamba pada kepentingan sekelompok elite kekuasaan.

24

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang telah diuraikan, penulis dapat menyimpulkan bahwa, politik hukum yang diterapkan di Indonesia menyebabkan pemerintahan negara yang tidak stabil dan tidak efektif. Hal tersebut yang mengakibatkan skeptisme masyarakat dan penurunan tingkat kepercayaan terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain hal tersebut, khususnya menyangkut proses revisi UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004, kebijakan yang diambil tidak mempunyai arah yang jelas mengenai fungsi perpanjangan pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun. Politik hukum atau klebijakan hukum yang ditempuh sudah seharusnya bersifat transparan, apalagi jika menyangkut suatu lembaga yang membawahi kepentingan masyarakat seperti Mahkamah Agung.

B. Rekomendasi Khususnya mengenai pembahasan RUU MA, sebaiknya dikembalikan pada semangat putusan MK dan suara publik yang menghendaki perbaikan dan penguatan sistem pengawasan hakim oleh KY, bukan perpanjangan pensiun Hakim Agung. Revisi UU MA, bersama RUU dan MK, merupakan entry point untuk melakukan itu. Revisi yang setidaknya dapat memberikan penguatan bagi

25

independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman,s erta sekaligus memberikan perlindungan bagi kepentingan masyarakat, khususnya para pencari keadilan.

26

DAFTAR PUSTAKA

Budiman Tanuredjo, Sebuah Cermin untuk Mahkamah Agung, Kompas, Sabtu 17 November 2007. Eman Suparman, Mahkamah Agung dan Gagasan Kekuasaan Kehakiman Yang Ideal, Unpad, Bandung, 2007. ______, Menelusuri Jejak Sumber dan Kriteria Kekuasaan Mahkamah Agung, Unpad, Bandung. 2007. Firmansyah Arifin, Revisi UU MA, untuk Kepentingan Siapa, Koran Indonesia, 25 September 2008. Sofian Effendi, Politik Hukum (Politics Of The Legal System) atau Kebijakan Hukum (Legal Policy), Yogyakarta, 2006. Subagyo, Kebijakan dan Struktur Organisasi Mahkamah Agung, Jakarta, 2006. Tanpa Nama, Pembenahan Sistem dan Politik Hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

27

Anda mungkin juga menyukai