Anda di halaman 1dari 40

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Blok Respirasi adalah blok XI pada semester 4 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus skenario B yang memaparkan kasus mengenai Tonsilopharingitis

1.2

Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu : 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario kasus mengenai Tonsilopharingitis. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial

TUTORIAL SKENARIO B Tutor Moderator Sekretaris meja Sekretaris papan Waktu Rule tutorial : dr. R.A. Tanzila : Metry Tiara Nanda : Maulana Iskandardinata : Ayu Ika Gustati Nurrahmah : Selasa dan Kamis,17 April 2012 & 19 April 2012 : 1. Alat komunikasi di silentkan 2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat 3. Jika ingin mengeluarkan pendapat, mengacungkan tangan terlebih dahulu. 2.2 Skenario Rian, laki-laki, umur 15 tahun, datang ke dokter dengan keluhan utama merasa sakit dan sukar menelan, sejak 2 hari yang lalu. Gejala tersebut disertai batuk, demam tinggi dan pembesaran kelenjar di bawah rahang bawah kanan dan kiri. Rian menderita gejala seperti ini setiap 2-3 bulan dan gejala membaik setelah berobat ke puskesmas. Pemeriksaan Fisik : Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, compos mentis Tanda vital : TD: 100/70 mmHg, N : 112x/menit reguler, RR : 24x/menit, T: 39,1oC. Pemeriksaan leher : Teraba pembesaran kelenjar submandibular kanan dan kiri.

Status THT : Telinga Hidung Tenggorokan : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+ : Cavum nasi : lapang, mukosa normal, masa -/: faring keerahan, lateral band dan granula membesar Tonsil T3/T3, detritus +/+, kripta membesar

2.3 Data Seven Jump 2.3.1 Klarifikasi Istilah 1. Kelenjar submandibular : kelenjar yang berada di bawah mandibula 2. Membrana timpani : partisi tipis antara meatus acusticus externus dan telinga bagian dalam 3. Cavum nasi : rongga hidung 4. Lateral band : bagian lateral Daerah di belakang pilar posterior yang berbatas tegas dengan dinding pharynx lateral, kadang dapat menonjol, merah seperti daging 5. Granula : partikel kecil yang berupa butiran 6. Detritus : sisa-sisa jaringan yang telah hancur 7. Kripta : lekuk kecil yang bermuara pada permukaan terbuka

2.3.2 Identifikasi masalah 1. Rian, laki-laki, umur 15 tahun, datang ke dokter dengan keluhan utama merasa sakit dan sukar menelan, sejak 2 hari yang lalu. 2. Gejala tersebut disertai batuk, demam tinggi dan pembesaran kelenjar di bawah rahang bawah kanan dan kiri.
3

3. Rian menderita gejala seperti ini setiap 2-3 bulan dan gejala membaik setelah berobat ke puskesmas. 4. Pemeriksaan Fisik : Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Tanda vital : TD: 100/70 mmHg, N : 112x/menit reguler, T: 39,1oC. Pemeriksaan leher : Teraba pembesaran kelenjar submandibular kanan dan kiri. 5. Status THT : Tenggorokan : Faring kemerahan, lateral band dan granula membesar Tonsil T3/T3, detritus +/+, kripta membesar 2.3.3 Analisis Masalah 1. a. Bagaimana anatomi, fisiologi, histologi tenggorokan ? 1.1. Anatomi Faring Faring merupakan bagian tubuh yang merupakan suatu traktus aerodigestivus dengan struktur tubular iregular mulai dari dasar tengkorak sampai setinggi vertebra servikal VI, berlanjut menjadi esophagus dan sebelah anteriornya laring berlanjut menjadi trakea. Batas-batas faring : Superior : Oksipital dan sinus sphenoid Inferior : Berhubungan dengan esophagus setinggi m. Krikofaringeus Anterior : Kavum nasi, kavum oris, dan laring Posterior : kolumna vertebra servikal melalui jaringan areolar yang longgar.

Faring dibagi menjadi tiga bagian : Nasofaring (Epifaring) Orofaring (Mesofaring) Laringofaring (Hipofaring)

1.1.1. Nasofaring Batas-batas nasofaring : Superior : Basis Cranii Inferior : Bidang datar yang melalui palatum molle Anterior : Berhubungan dengan cavun nasi melalui choana Posterior : Vertebra Servikalis Lateral : Otot-otot konstriktor faring Mukosa nasofaring sama seperti mukosa hidung dan sinus paranasalis yaitu terdiri dari epitel pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa kelenjar mukus di bawah selaput (membrana) mukosa terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat melekatnya mukosa. Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai beberapa sturktur penting, yaitu : Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang kadang disebut tonsila faringea atau tonsil nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding anterior basis sphenoid.

Torus tubarius atau tuba faringotimpanik, merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan palatum molle dan satu sentimeter di belakang tepi posterior konka inferior. Resesus faringeus terletak posterosuperior torus tubarius, dikenal sebagai fossa Rosenmuler, merupakan tempat predileksi karsinoma faring Muara tuba eustachius atau orifisium tube, terletak di dinding lateral nasofaring, dan inferior torus tubarius, setinggi palatum molle Koana atau nares posterior

1.1.2. Orofaring (Mesofaring) Merupakan kelanjutan dari nasofaring pada tepi bebas dari palatum molle. Batasnya : Superior : Palatum molle Inferior : Bidang datar yang melalui tepi atas epiglotis Anterior : Berhubungan dengan kavum oris melalui istmus Posterior : Vertebra servikalis 2 dan 3 bersama dengan otot-otot prevertebra Istmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus kanan dan kiri. Arkus faringeus sendiri dibentuk oleh pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat m. Palatoglosus dan bagian posterior terdapat m. Palatofaringeus. Diantara kedua pilar tersebut terdapat fossa/ruang tonsilaris, berisi jaringan limfoid yang disebut tonsila palatina.

Gambar. Penampang Faring

1.1.3. Laringofaring (Hipofaring) Terletak di belakang dan sisi kiri dan kanan laring yang disebut sinus atau fossa piriformis. Dimulai dari segitiga valekula yang merupakan batas orofaring dengan laringofaring, sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid, tempat masuknya spingter krikofaringeus. Batas-batas lainnya : Superior : Bidang datar melewati tepi atas epiglotis atau setinggi valekula Inferior : Tepi bawah kartilago krikoid Anterior : Aditus Laring Posetrior : Vertebra servikalis 3 sampai 6.

Valekula sendiri merupakan suatu cekungan yang dangkal dengan batas-batas : Anterior : basis lidah Posterior : fasies epiglotis anterior Lateral : plika faringoepiglotika Medial : plika glossoepiglotika Fossa piriformis mempunyai batas-batas : Medial : Plika ariepiglotika Lateral : kartilago tiroid dan membran tirohioid

1.2. Jaringan Limfoid pada Faring Jaringan limfoid yang berkembang pada faring dengan baik dikenal dengan nama cincin Waldeyer yang terdiri dari : Tonsila Palatina (faucial) Tonsila Faringeal (adenoid) Tonsila Lingualis Lateral Faringeal Band Nodul-nodul soliter di belakang faring

Gambar. Cincin Waldeyer

Jaringan Limfoid Nasofaring Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya. Penyakit Thornwaldts merupakan infeksi dari bursa faringeal ini. Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis semu bersilia yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring. Adenoid mendapat suplai darah dari A. Karotis Interna dan

sebagian kecil cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam Vena Jugularis Interna.

Gambar. Adenoid

Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam kelenjar Jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N. Vagus. Tubal tonsil dibentuk terutama oleh perluasan nodulus limfatikus faringeal tonsil ke arah anterior mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus tersebut terutama ditemukan pada mukosa tuba eustachius dan fossa Rossenmuler. Jaringan limfoid ini disebut juga Gerlachs Tonsil.

10

Gambar. Nasofaring dan Orofaring

Jaringan Limfoid Orofaring 1.2.2.1. Tonsila Lingualis Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina, dan meluas ke arah anteroposterior dari papila sirkumvalata ke epiglotis. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus. Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A. Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke Vena Jugularis Interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N. IX.
11

Tonsila Palatina 1.2.2.2.1. Embriologi Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan germinal entoderm dan mesoderm, dimana entoderm akan membentuk bagian epitel sedangkan mesoderm akan tumbuh menjadi jaringan mesenkim tonsil. Pada masa perkembangan janin, faring akan tumbuh dan meluas ke arah lateral dimana kantung kedua akan tumbuh ke arah dalam dari dinding faring yang selanjutnya akan menjadi fossa tonsilar primitif yang terletak antara arkus brakialis kedua dan ketiga. Fossa tonsilaris ini akan terlihat jelas secara makroskopis pada minggu keenambelas.

Gambar. Embriologi Tonsil

Pilar tonsil dibentuk oleh arkus brakialis kedua dan ketiga melalui pertumbuhan ke arah dorsal atau palatum molle. Kripta-kripta tonsil akan tumbuh secara progresif saat
12

usia janin tiga sampai enam bulan, sebgai massa yang solid yang tumbuh ke arah dalam dari permukaan epitel dan selanjutnya tumbuh bercabang-cabang dan berongga. Sedang limfosit-limfosit muncul dekat susunan epitel kripta pada bulan ketiga, lalu tumbuh secara terorganisir sebagai nodul-nodul setelah janin berusia enam bulan.

1.2.2.2.2. Anatomi Tonsila Palatina Dalam bidang THT dikenal tiga buah tonsil, yaitu tonsila palatina, tonsila faringeal dan tonsila lingualis. Dalam pengertian sehari-hari, yang dikenal sebagai tonsil adalah tonsila palatina, sedangkan tonsila faringeal dikenal sebagai adenoid. Tonsil terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk palatum molle. Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m.Konstriktor Faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil , membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.

13

Gambar. Tonsila Palatina

Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di daerah tersebut. Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang membesar. Plika ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil. Pole atas tonsil terletak pad cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat

14

denganruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan. Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu : Ruang peritonsil (ruang supratonsil) Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas : Anterior : M. Palatoglossus Lateral dan Posterior : M. Palatofaringeus Dasar segitiga : Pole atas tonsil Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial. Ruang retromolar Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m. Pterigoideus Internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus m.temporalis. bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsilar. Ruang parafaring (ruang faringomaksilar ; ruang pterigomandibula) Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah :

15

Superior : basis cranii dekat foramen jugulare Inferior : os hyoid Medial : m. Konstriktor faringeus superior Lateral : ramus asendens mandibula, tempat m.Pterigoideus Interna dan bagian posterior kelenjar parotis Posterior : otot-otot prevertebra. Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus dan otototot yang melekat pada prosessus styloideus tersebut. Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif. Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. Karotis Interna, V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.

Gambar. Tonsila Palatina dan struktur sekitarnya

1.2.2.2.3. Vaskularisasi Tonsil

16

Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu : A.Palatina Asendens, cabang A. Fasialis memperdarahi bagian postero inferior A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi daerah antero media A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi daerah postero superior A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor memperdarahi daerah antero superior. Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring.

Gambar. Vaskularisasi Tonsil

17

1.2.2.2.4. Aliran Limfe Tonsil Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor Faringeus Superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.

Gambar. Aliran Limfe Tonsil

1.2.2.2.5. Inervasi Tonsil

18

Terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan N. Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui Jacobsons Nerve.

Gambar. Inervasi Tonsil 1.2.2.2.5. Histologi Tonsil

Kapsul tonsil terutama terdiri dari jaringan ikat dan serabut elastin yang meliputi dua pertiga bagian permukaan lateral tonsil. Kapsul ini pada beberapa tempat masuk menjorok ke dalam tonsil, membentuk kerangka penyokong struktur di dalam tonsil yang disebut trabekula. Trabekula merupakan tempat lewatnya pembuluh darah, pembuluh limfatik eferen, dan saraf. Di dalam kapsul dapat dijumpai serabut-serabut otot serta pulau-pulau kartilago hialin, yang merupakan sisa jaringan embrional arkus brakialis. Membrana mukusa tonsil terdiri dari epitel berlapis gepeng dan pada beberapa tempat, lapisan mukosa ini akan mengadakan invaginasi ke dalam massa tonsil, membentuk saluran buntu yang disebut kripta. Kripta ini berbentuk tidak
19

teratur dan bercabang-cabang. Lapisan epitel mukosa kripta lebih tipis bila dibandingkan dengan epitel mukosa tonsil, bahkan pada bebrapa tempat, kripta ini tidak dilapisi mukosa sam sekali. Komposisi terbesar dari jaringan tonsil adalah jaringan limfoid yang pada beberapa tempat berkelompok, berbentuk bulat atau oval yang disebut folikel, dengan diameter sekitar 1-2 cm. Di dalam folikel, terdapat selsel limfosit dalam berbagai stadium pertumbuhan, dengan pusat pertumbuhannya disebut sentrum germinativum. Kadang-kadang di sepanjang epitel dapat ditemukan sel-sel limfosit yang bermigrasi atau mengadakan infiltrasi melalui mukosa yang tipis.

1.2.2.3. Lateral Faringeal Band (Adenoid) Merupakan jaringan limfoid yang mempunyai beberapa kripta yang rudimenter dan terletak mulai dari sudut yang diben tuk oleh permukaan belakang pilar posterior dengan dinding faring.

1.2.2.4. Nodul-nodul Limfatik Soliter Tersebar pada dinding posterior faring, di bawah adenoid, melengkapi terbentuknya cincin Waldeyer. Nodul-nodul ini bila meradang akan membengkak denga hebat, sementara tonsil akan tenang saja, padahal jarak keduanya hanya 3-4 mm.

1.2.3. Jaringan Limfoid Hipofaring Dari beberapa literatur menyebutkan tidak ada jaringan limfoid yang spesifik di daerah hipofaring/ laringfaring ini, seperti halnya di nasofaring dan orofaring. Hanya disebutkan bahwa jaringan limfoid tersebut banyak tersebar pada seluruh permukaan mukosa hipofaring sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid).
20

Mengenai jaringan limfoid daerah laring, disebutkan memegang peranan penting di dalam klinik terutama hubungannya dengan proses keganasan. Daerah glotis terdiri dari serabut-serabut elastis sehingga tidak memiliki jaringan limfoid. Daerah Supraglotis sebaliknya memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada plika fentrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika ariepiglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sebagai bundle neurovaskular laring. Jaringan limfoid ini bertanggung jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan kontralateral. Jaringan Infraglotis, tidak sebanyak di supraglotis, tetapi dapat terjadi invasi karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan pre dan paratrakeal. Seluruh jaringan limfoid daerah laring bermuara ke jaringan limfoid servikal superior dan inferior dalam.

1.3. Fisiologi Rongga Mulut dan Faring Secara umum, rongga mulut dan faring mempunyai fungsi dalam : Proses menelan dan pernafasan Pertahanan tubuh Proses fonasi Fungsi utama nasofaring adalah sebgai tbung kaku dan terbuka untuk udara pernafasan. Pada waktu menelan, muntah, sendawa, dan tercekik, nasofaring akan terpisah dengan sempurna dari orofaring karena palatum molle terangkat sampai ke dinding posterior orofaring.

21

Nasofaring juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba eustachius. Sebagai ruang resonansi sangat penting dalam pembentukan suara. Orofaring dan hipofaring selain berfungsi sebagai saluran pernafasan,juga berfungsi sebagai saluran drainase dari nasofaring, sebagai saluran makanandan minuman dari rongga mulut, terakhir sebagai rung resonansi dalam pembentukan suara.

1.3.1. Proses Menelan dan Pernafasan Proses menelan merupakan fungsi neuromuscular kompleks yang melibatkan struktur dari cavum oris, faring, laring, dan esophagus. Dibagi dalam 4 fase, yaitu : fase persiapan oral, fase oral, fase faringeal, dan fase esophagus. Fase pertama dan kedua di bawah control volunter, fase ketiga dan keempat adalah involunter.

1.3.1.1. Fase Volunter Fase persiapan oral : Meliputi gerakan mengunyah yang melibatkan kordinasi dari Penutupan bibir untuk menahan makanan dalam mulut bagian anterior Tekanan dari otot labial dan buccal untuk menutup sulkus anterior dan lateral Gerakan memutar dari rahang untuk mengunyah Gerakan memutar ke lateral dari lidah untuk menempatkan posisi makanan di atas gigi selama proses mastikasi

22

Palatum molle bulging ke belakang mendorong cavum oris ke belakang dan melindungi jalan nafas, serta persiapan untuk menelan. Pada akhir dari fase ini dan persiapan untuk fase oral, lidah mendorong makanan menjadi bolus dan menahan dengan gaya kohesif pada palatum durum.

Fase Oral : Fase oral masih merupakan proses menelan secara mekanik, dimana makanan dipindahkan dari belakang cavum oris ke anterior faucial arches untuk memulai proses menelan. Pada fase ini, lidah memegang peranan yang sangat penting, dimana dengan lidah dapat mengangkat dan menekan bolus ke belakang dank e dapan palatum durum, sehingga makanan dapat memenuhi bagian anterior faucial arches. Tekanan otot-otot bucal juga berperan dalam mendorong bolus ke belakang namun tidak sekuat dorongan lidah. Setelah makanan berada di anterior faucial arches, terjadi presipitasi rfleks menelan melalui nn. Glossofaringeus.

1.3.1.2. Fase Involunter Aspek refleks dalam menelan sangat penting karena jalan nafas harus terlindungi selama proses ini. Fase persiapan oral dan fase oral dapat dipersingkat dengan merubah konsistensi makanan menjadi cari, meletakkan makanan pada bagian belakang mulut, atau dengan mengubah posisi kepala ke belakang sehingga gaya gravitasi dapat membawa makanan ke faring. Namun fase faringeal atau fase reflek ini tidak dapat dipersingkat. Reflek menelan dirangsang di formatioretikularis pada otak yang berdekatan dengan pusat respirasi. Terdapat koordinasi dari kedua pusat ini dimana respirasi berhenti untuk memberikan waktu beberapa detik selama proses menelan berlangsung.

23

Terdapat juga rangsang kortikal untuk merangsang gerakan menelan melalui bentuk gerakan lidah pada fase oral dari menelan.

Aktifitas Neuromuskular Pada waktu reflek menelan terjadi, pusat menelan di pusat otak memprogram 4 aktifitas neuromuscular, yaitu : Penutupan velofaringeal untuk mencegah refluk dari makanan ke rongga hidung Peristaltik faringeal untuk menyiapkan bolus melalui faring Proteksi jalan nafas, dimana melibatkan elevasi dan penutupan laring Spingter krikofaringeal atau esophagus bagian atas membuka sehingga bolus dapat masuk ke esophagus

Proteksi jalan nafas Proteksi jalan nafas akibat adanya elevasi dan penutupan laring. Elevasi disebabkan oleh kontraksi dari strap muscle, dimana posisi laring ke atas dank e belakang lidah pada saat basis lidah retraksi diakhir fase oral dari menelan. Laring akan ke atas dan berada diluar jalur yang dilalui makanan pada saat melalui basis lidah. Penutupan laring melibatkan tiga spingter yaitu epiglottis ariepiglotik fold, false vocal fold, dan true vocal fold. Jalan nafas menutup hanya untuk memberikan waktu untuk makanan melalui jalan nafas dan kembali terbuka setelah makanan melaluinya.

Peristaltik Faringeal
24

Peristaltic faringeal bertanggung jawab dalam membersihkan material makanan dari resesus faringeal, termasuk valekula dan sinus piriformis setelah proses menelan.

Krikofaringeal Otot krikofaringeal bekerja bekerja berlawanan dengan mekanisme otot konstriktor dari faring. Pada saat istirahat mm konstriktor relaksasi dan mm krikofaringeus atau spingter esophagus menutup untuk mencegah masuknya udara kedalam esophagus bersamaan dengan inhalasi ke paru-paru. Bila bolus telah melalui daerah krikofaringeus maka dimulai fase esophageal. Sepertiga bagian atas dari esophagus terdiri dari campuran otot volunter dan involunter, sedang dua pertiganya secara keseluruhan merupakan otot volunter. Spingter esophageal bawah berfungsi sebagai katup bagi lambung. Katup ini relaksasi pada saat bolus masuk ke dalam lambung.

1.3.2. Fungsi Faring (Tonsil) dalam Proses Pertahanan Tubuh 1.3.2.1. Fisiologi Tonsil Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak
25

dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.

1.3.2.1.1. Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif.

26

b. Apa kemungkinan penyebab susah menelan ? Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas 1. disfagia mekanik Bolus makanan yang besar atau benda asing Keadaan inflamasi dan pembengkakan seperti stomatitis, faringitis, esofagitis Tumor maligna (adenokarsinoma, limfoma, karsinoma sel skuamosa) dan benigna (leiomioma, lipoma, angioma) Iskemia Pasca operasi atau pasca radiasi Kongenital Spondilitis cervicalis Pembesaran kelenjar tiroid

2. disfagia motorik Lesi oral dan paralisis lidah Anestesia orofaring Penurunan produksi saliva Lesi pada pusat menelan Lesi pada komponen sensorik nervus vagus dan glossofaringeus Lesi upper dan lower motor neuron Miastenia gravis Miopati Rabies dan tetanus

3. disfagia oleh gangguan emosi

27

c. Bagaimana mekanisme sukar menelan ? Infeksi bakteri dan virus saluran nafas bagias atas infeksi pada hidung dan faring menyebar melalui sistem limfa ke tonsil infeksi dan inflamasi tonsil membesar, peradangan kemerahan, edema palatum mole sakit tenggorokan susah menelan.

d. Apa interpretasi sakit dan sukar menelan sejak 2 hari yang lalu ? Ini berarti sudah terjadi inflamasi akut 2. a. Apa kemungkinan penyebab batuk ? - infeksi - mekanis - rangsangan kimia - inflamasi pada saluran pernafasan b. Apa kemungkinan penyebab demam tinggi ? - infeksi mikroorganisme - reaksi peradangan - pengaruh obat-obatan c. Apa kemungkinan penyebab pembesaran kelenjar di bawah rahang ? - infeksi virus atau bakteri - keganasan

d. Bagaimana mekanisme batuk ? Fase 1 (inspirasi): paru-paru memasukan kurang lebih 2.5 liter udara, esophagus dan pita suara menutup udara terjerat dalam paru-paru
28

Fase 2 (kompresi): otot perut berkontraksi diafragma naik dan menekan paru-paru, diikuti pula dengan kontraksi intercosta internus, yang pada akhirnya menyebbakan tekanan pada paru-paru hingga 100 mm/Hg

Fase 3 ( Ekspirasi): spontan esophagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari paru-paru batuk

Umum : Batuk dapat terjadi dengan sengaja atau karena refleks. Refleks batuk terjadi melalui afferent dan efferent pathways. Iritasi percabangan trakeobronkial otot-otot inspirasi berkontraksi maksimal diikuti menutupnya glotis tekanan intra thoraks glotis terbuka, perbedaan tekanan yang besar antara saluran napas dan udara luar menghasilkan aliran udara yang cepat melalui trakea partikel-partikel keluar menempel bersama sputum ataupun tidak menempel (kering)batuk Kasus: infeksi reaksi inflamasi aktivasi mediator sekresi eksudat meningkat mulamula serosa kemudian jadi tebal melekat pada dinding faring dahak sulit dikeluarkan usaha tubuh untuk mengeluarkan dahak batuk e. Bagaimana mekanisme demam tinggi ? infeksi masuk pirogen eksogen pirogen endogen (IL-6, IL-2, dll) memacu COX2 metabolisme asam arakidonat prostaglandin memacu termostat di hipotalamus demam f. Bagaimana mekanisme pembesaran kelenjar di bawah rahang ? infeksi penyebaran melalui sistem limfa ke tonsil reaksi inflamasi bakteri difagosit makrofag APC dibawa ke kelenjar limfa regional di daerah submandibular pembengkakan kelenjar limfe g. Bagaimana hubungan keluhan penyerta dan keluhan utama ? Keluhan penyerta dan keluhan utama sama-sama merupakan respon imunologi
29

h. Apa interpretasi pembesaran kelenjar di bawah rahang kanan dan kiri ? Terjadi pembesaran kelenjar getah bening 3. a. Apa makna gejala sering timbul 2-3 bulan ? Gejala sudah pada fase eksaserbasi dan sebagai indikasi untuk dilakukan tonsilektomi b. Mengapa gejala sering berulang ? - pengobatan yang tidak adekuat - adanya faktor pencetus, misalnya makanan c. Apa dampak gejala yang sering berulang ? - tonsil lebih membesar - mengganggu jalan nafas d. Obat apa yang diberikan kepada rian ? - kortikosteroid / Ibuprofen - Antipiretik - Ekspetorat dan Mukolitik - Antibiotik - Suntikan penisilin ; jika susah menelan 4. a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme keadaan umum ? - low intake - demam - tonsil membesar menyebabkan susah menelan b. Bagaimana interpretasi dan mekanisme nadi ? Meningkat, setiap peningkatan 1oC nadi meningkat 15 point
30

c. Bagaimana interpretasi dan mekanisme suhu ? Demam tinggi d. Bagaimana interpretasi dan mekanisme pemeriksaan leher ? Terjadi pembesaran 5. a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme faring kemerahan ? Telah terjadi peradangan Infeksi reaksi inflamasi peningkatan permeabilitas kapiler hiperemis b. Bagaimana interpretasi dan mekanisme lateral band ? Membesar Infeksi reaksi inflamasi hiperemis pembesaran lateral band c. Bagaimana interpretasi dan mekanisme granula membesar ? infeksi terjadi pada dinding faring granul membesar d. Bagaimana interpretasi dan mekanisme tonsil T3/T3 ? -T3: pembesaran dari arcus anterior dan uvula
Mekanisme: Proses radang berulang epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut jaringan mengkerut, ruang antara kelompok melebaryang akan diisi oleh defritus proses ini meluas hingga menembus kapsul timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsialaris

e. Apa saja klasifikasi pembesaran tonsil ? -T0: tidak ada pembesaran sudah diangkat -T1:pembesaran dari arcus anterior dan uvula -T2: pembesaran 2/4 dari arcus anterior dan uvula -T3: pembesaran dari arcus anterior dan uvula
31

-T4: pembesaran sama dengan arcus anterior dan uvula Sehingga secara menis sendiri dibagi beberapa level atau klasifikasi sebagai berikut : 1. Tonsilitis akut adalah gejala tonsil membengkak permukaan-nya yang diliputi eksudat yang berwarna putih kekuning- kuningan. 2. Tonsilitis folikularis dengan gejala tonsil yang membengkak dan hiperemis dengan permukaannya berbentuk bercak putih yang mengisi kripti tonsil yang disebut detritus. Detritus terdiri dari leukosit, epitel yang terlepas akibat peradangan, termasuk sisa-sisa makanan yang tersangkut tonsilitis lakunaris dengan gejala bercak yang berdekatan, bersatu dan mengisi lekuk-lekuk pada permukaan tonsil. 3. Tonsilitis membranosa dengan gejala eksudat yang menutup permukaan tonsil yang membengkak tersebut meluas menyerupai membran atau lapisan. Membran ini biasanya dapat dengan mudah diangkat atau di buang dan berwarna putih kekuning- kuningan. 4. Infiltrat peritonsiler dengan gejala perkembangan lebih lanjut dari tonsiitis akut. Perkembangan ini sampai ke bagian langit-langit, tonsil menjadi terdorong ke tengah, rasa nyeri yang sangat hebat , air liur pun tidak bisa di telan. Apabila dilakukan penyedotan dengan suntikan di tempat pembengkakan berdekatan palatum mole akan keluar darah. 5. Abses peritonsil bersama gejala perkembangan lanjut dari infiltrat peritonsili. Serta gejala klinis sama dengan infiltrat perintonsiler. Apabila dilakukan aspirasi (penyedotan dengan spuit/ suntikan) di tempat pembengkakan di dekat palatum mole akan keluar nanah putih kekuningan.

f. Bagaimana interpretasi dan mekanisme detritus +/+ ?


Positif ada bercak/bintik-bintik putih pada dinding tenggorokan. Mekanisme:

32

Folikel mengalami peradangan tonsil akan membengkak membentuk eksudat yang akan mengalir dalam saluran lalu keluar dan mengisi kripta kotoran putih/ bercak kuningdetritus

g. Bagaimana interpretasi dan mekanisme kripta melebar ? Pada tonsillitis, terjadi proses radang berulang yang timbul epitelmukosa dan jaringan limfoid terkikis terjadi proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut jaringan parut mengalami pengerutan kripta melebar 6. Jika data-data diatas saling dikaitkan : a. Apa kemungkinan penyakit yang diderita Rian ? Gejala Tonsilopharingitis Angina vincent Sakit tenggorokan Sukar menelan Demam tinggi Batuk Pembesaran kelenjar Faring hiperemis Detritus Kripta melebar Tonsil membesar + + + + + + + + + + + + + + + Subfebris + + + + plaut Tonsilitis difteri

b. How to make a diagnosis ? Anamnesis

33

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan lab

c. Data apa saja yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis Rian ?


1.Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). 2.Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly. 3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik. 4.Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. 5.Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement. 6.Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

d. Apa penyakit yang paling mungkin diderita Rian ? Tonsilopharingitis e. Bagaimana penanganan yang harus di lakukan terhadap kasus ini ? a. Kausatif - Penisilin dosisnya 250 mg po bid selama 10 hari untuk pasien < 27 kg dan 500 mg untuk pasien yg BB > 27 kg. - Amoxicillin - Sefalosporin generasi I dan klindamisin - Jika pasien alergi terhadap penicillin dapat digunakan antibiotic gol.makrolide (eritromisin). b. Simtomatik - Nyeri tekan ibuprofen, acetaminophen, aspirin - Vit. C Non-Medikamentosa a. Suportif - Banyak istirahat - Banyak minum b. Rehabilitatif
34

- Hindari iritan (polusi, asap, dll) - Hindari alcohol c. Preventif - Banyak cuci tangan - Bila ada yg sakit tenggorokan, pisahkan alat makannya Terapi Bedah Tonsilektomi dilakukan dengan indikasi tertentu

Usaha untuk membedakan tonsilofaringitis bakteri atau virus bertujuan agar pemberian antibiotik sesuai indikasi. Tonsilofaringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya tonsilofaringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak diperlukan pada tonsilofaringitis virus karena tidak akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan intravena yang sesuai terpi suportif yang dapat diberikan. Selain tiu, pemberian obat kumur dan obat hisap, pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabilaterdapat nyeri atau demam, dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi Influenza, karena insiden sidrom Reye kerap terjadi. Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasar pada gejal klinis dannhasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Antibiotik pilihan pada terapi tonsilofaringitis akut Streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selam 10 hari atau benzatin penisilin G IM dengan dosis 600.000 IU (BB<30kg) dan 1.200.000 IU (BB>30kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan penisilin V oral selama 10 hari. Untuk anak alergi dapat diberikan eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2-4 kali per hari selama 10 hari. Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk mengurangi frekuensi tonsilitis rekuran. Dasar tindakan ini masih belum jelas. Pengobatan dengan adenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam 2 tahun terakhir. Ukuran tonsil dan adenoid bukanlan indikator yang tepat. Tonsilektomi biasanya dilakukkan pada tonsilofaringits berulang atau kronis.

35

f. Jika tidak ditangani secara komprehensif, apa yang terjadi ? Gangguan tonsilitis kronis dapat menyebar dan menimbulkan komplikasi perkontinuitatum, hematogen atau limfogen. Penyebaran perkontinuitatum dapat menimbulkan rhinitis kronis, sinusitis dan otitis media. Penyebaran hematogen atau koimfogen dapat menyebabkan endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, urtikaria, furunkulosis dan pruritus. g. Jika sudah ditangani secara komprehensif bagaimana prognosisnya ? Quo ad vitam : Dubia ad bonam Quo ad fungsional : Dubia ad bonam h. Bagaimana kompetensi KDU pada kasus ini ?

Tingkat Kemampuan 4 Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga tuntas.

7. Bagaimana pandangan islam pada kasus ini ? "Nikmat apa saja yang kamu peroleh maka itu dari Allah dan musibah apa saja yang menimpamu maka itu dari ulahmu sendiri" (an-nisa: 79). 2.3.4 Hipotesis Rian, laki-laki, 15 tahun mengalami tonsilitis grade 3 yang disebabkan oleh infeksi atau peradangan

36

2.3.5 Kerangka Konsep

Infeksi pada lapisan epitel

Reaksi inflamasi

Pengeluaran leukosit PMN

Pirogen endogen

Sekresi eksudat banyak

Terbentuk detritus

Asam arakidonat

Menempel pada dinding faring

Kripta melebar

Prostaglandin Usaha tubuh untuk mengeluarkan dahak Memacu termostat dihipitalamus

Tonsil membesar

Sakit dan sukar menelan Demam tinggi Pembesaran kelenjar

Batuk

37

2.3.6 Learning Issue TONSILOFARINGITIS Defenisi Tonsilofaringitis merupakan peradangan pada tonsil atau faring ataupun keduanya yang disebabkan oleh bakteri (seperti str. Beta hemolyticus, str. Viridans, dan str. Pyogenes) dan juga oleh virus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur. Etiologi Tonsilofaringitis biasanya disebabkan oleh virus, lebih sering disebabkan oleh virus common cold (adenovirus, rhinovirus, influenza, coronavirus, respiratory syncytial virus), tapi kadang-kadang disebabkan oleh virus Epstein-Barr, herpes simplex, cytomegalovirus, atau HIV. Sekitar 30% kasus disebabkan oleh bakteri. Group A hemolytic streptococcus (GABHS) adalah yang paling sering, namun Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan Chlamydia

pneumoniae juga dapat menjadi penyebab. Prevalensi Tonsilofaringitis dapat mengenai semua umur, dengan insiden tertinggi pada anak-anak usia 5-15 tahun. Pada anak-anak, Group A streptococcus menyebabkan sekitar 30% kasus tonsilofaringitis akut, sedangkan pada orang dewasa hanya sekitar 5-10%. Tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh Group A streptococcus jarang terjadi pada anak berusia 2 tahun ke bawah. Patofisiologi Penularan terjadi melalui percikan ludah (droplet infection). Mula-mula kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit

polimorfonuklear. Gejala Klinis

38

Gejala yang sering ditemukan ialah suhu tubuh naik sampai mencapai 40 0C, rasa gatal/kering di tenggorokan, rasa lesu, rasa nyeri di sendi, odinofagia, tidak nafsu makan (anoreksia) , dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Bila laring terkena, suara akan menjadi serak. Pada kasus yang berat, penderita dapat menolak untuk makan dan minum melalui mulut.1,3,5 Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, tonsil membengkak, hiperemis ; terdapat detritus (tonsilitis folikularis), kadang detritus berdekatan menjadi satu (tonsilitis lakunaris), atau berupa membran semu. Kelenjar submandibula mambengkak dan nyeri tekan; terutama pada anak-anak. Penatalaksanaan Pada umumnya penyakit yang bersifat akut dan disertai demam sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat, dan diet ringan. Sistemik Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamide Antipiretik.Pengobatan Oral Obat kumur atau obat isap yang mengandung desinfektan. Tonsilektomi Tonsilektomi dilakukan hanya bila anak menderita serangan yang berat dan berulang-ulang yang mengganggu kehidupannya. Tindakan ini harus dilakukan bila disertai abses peritonsilar. Tidak boleh dilakukan 3 minggu setelah serangn tonsilitis akut, pada palatoskisis, atau pada waktu ada epidemi poliomielitis. Komplikasi Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut. Komplikasi tonsilitis akut, dapat berupa abses peritonsil, abses parafaring, toksemia, septikemia, otitis media akut, bronkitis, nefritis akut, miokarditis serta arthritis.
Prognosis Penderita biasanya sembuh dengan pengobatan antibiotik yang tepat. Dapat terjadi infeksi yang berulang. Dapat timbul komplikasi seperti abses peritonsilar, ruam kulit akibat stroptokok, otitis media akut, demam rematik, dan nefritis akut.

39

DAFTAR PUSTAKA Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna Publishing, Edisi V Jilid III, 2009 ; h2495 2502, 2538 2549 Ali, Muhammad. 2000. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta; Pustaka Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran. Jakarta; EGC Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta : KKI Kumala, Poppy. 1998. Kamus Kedokteran Dorlan, Jakarta; EGC Latief, Abdul, dkk. 2003. Diagnosis Fisis pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto Latief, Abdul, dkk. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta; EGC

40

Anda mungkin juga menyukai