Anda di halaman 1dari 5

BAB I PENDAHULUAN

Empiema subdural adalah infeksi yang secara klinis jarang terjadi dan merupakan 13-23% dari semua kasus infeksi intra kranial (Rajat 2011). Empiema subdural ditandai dengan adanya purulen di ruang subdural. Empiema subdural merupakan infeksi intra kranial yang serius dengan tingkat kematian sekitar 35%. Empiema subdural dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan, yaitu berupa meningitis, sepsis, luka yang menembus tengkorak, osteomielitis, dan pecahnya abses intra serebral, namun infeksi laringologik dilaporkan sebagai penyebab paling umum ditemukan. Sekitar 70% dari empiema subdural disebabkan oleh perluasan infeksi sinus paranasal, sementara yang lainnya disebabkan oleh perluasan infeksi otologik sekitar 20% (Das, 2005). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit unuversitas nasional departemen hematologi onkologi di singapura pada tahun 2006 didapatkan kasus empiema subdural sebanyak 178 kasus dari pasien yang mengalami sinusitis, 95% diantaranya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus dan Streptococcus (Chan, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di rumah sakit khoula di India pada tahun 2004 didapatkan sebanyak 45 kasus empiema subdural, 35 diantaranya adalah wanita dan 10 diantaranya adalah pria (Manoj, 2004)

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Empiema subdural adalah suatu kumpulan bahan purulen dalam ruang potensial antara dura sebelah luar dan membran arakhnoid sebelah dalam. Empiema dapat timbul sebagai perluasan langsung infeksi atau lebih jarang oleh trombofeblitis melalui saluran venosa. Empiema ini jarang merupakan komplikasi otitis media dan mastoiditis (Nelson).

2.2 Etiologi Empiema subdural Merupakan infeksi purulen rongga subdural yang sering kali dapat menjadi progresif dan berakibat fatal bila tidak diobati. Penyebab tersering kejadian ini merupakan lanjutan dari proses infeksi sinusitis paranasal melalui vena emisaria, tromboflebitis retrograd, atau ekstensi mastoiditis melalui mukosa, tulang, dan durameter. Sementara pada bayi sering kali merupakan lanjutan meningitis bakterial (Satyanegara, 2010). Empiema subdural dapat juga berasal dari kontaminasi bakteri secara langsung pada trauma tembus atau tindakan kraniotomi, penyebaran purulensi intra torakal, dan perluasan proses infeksi di luar kepala. Pus di dalam rongga subdural yang berpotensi untuk cepat menyebar ke dalam otak dan celah hemisfer, meluas menuju ke bilateral hemisfer atau multipel, dan bahkan juga ada yang mencapai serebelum (Satyanegara, 2010).

2.3 Manifestasi klinis Gejala yang tampak berupa sakit berat dan menunjukkan adanya gejala sepsis dan toksik. Gejala khas lainnya adalah nyeri kepala berat pada daerah temporoparietalis. Adapun temuan ganguan sistem saraf sentral berupa kejangkejang, hemiplegia, dismetria, perilaku suka bertengkar, mengantuk, stupor,

deviasi mata, disfagia, defisit sensoris, kaku kuduk, dan tanda kernig positif (NELSON, Satyanegara).

2.4 Diagnosa Diagnosa pasti empiema subdural ditegakkan berdasarkan gambaran CTScan otak berupa area hipodensitas berbentuk bulan sabit yang menunjukkan efek massa serta pada pemberian zat kontras akan menampakkan adanya suatu pita pembatas yang hiperdens di dekat parenkim otak. Dalam hal ini selain dapat menunjukkan keberadaan dan lokasi koleksi ekstra serebral, CT-Scan juga dapat menampilkan derajat dan ekstensi edema serebri yang terjadi (NELSON). Pemeriksaan angiografi yang invasif hanya digunakan sebagai

pemeriksaan penunjang diagnostik tambahan yang menampilkan gambaran avaskular di daerah ekstraserebral (NELSON). Hitung sel darah puih perifer juga sering digunakan dan ditemukan adanya dominasi sel leukosit polimorfonuklear. Kadar glukosa serebrospinal biasanya normal dan tidak ditemukan

mikroorganisme pada biakan cairan serebrospinal (Satyanegara, 2010).

2.5 Penatalaksanaan Empiema subdural akut merupakan kasus yang memerlukan tindakan operasi segera untuk evakuasi pus dan debris nekrosis yang bersih. Sebaiknya dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas karena mengingat bahwa burrhole tidak adekuat untuk pembersihan pus dan irigasi tidak cukup adekuat. Di samping itu juga perlu dipasang kateter untuk drainase dan irigasi antibiotika (dua kali sehari) kombinasi dari bacitracin 500 unit/ml, neomisin 1%, dan polimiksin 0,1% (Satyanegara). Pemberian kortikosteroid terkadang dibutuhkan untuk mengurangi edema berat. Pembedahan mastoid untuk melokalisasi dan mengalirkan sumber infeksi biasanya ditunda sampai pasien mengalami beberapa perbaikan dalam status neurologis (NELSON).

Tanda dan gejala klinis empiema subdural biasanya berupa nyeri kepala berat pada daerah temporoparietalis. Temuan sistem saraf sentral dapat meliputi kejang-kejang, hemiplegia, dismetria, perilaku suka bertengkar, mengantuk, stupor, deviasi mata, disfagia, defisit sensoris, kaku kuduk, dan tanda kernig positif. CT-Scan sering digunakan dalam diagnostik. Hitung sel darah puih perifer juga juga sering digunakan dan ada dominasi sel leukosit polimorfonuklear. Kadar glukosa serebrospinal biasanya normal dan tidak ditemukan mikroorganisme pada biakan cairan serebrospinal. Pengobatan pada empiema subdural meliputi terapi antimikroba intravena intensif, anti konvulsan dan drainase empiema secara bedah saraf melalui lubang bor atau kraniektomi. Kortikosteroid terkadang dibutuhkan untuk mengurangi edema berat. Pembedahan mastoid untuk melokalisasi dan mengalirkan sumber infeksi biasanya ditunda sampai pasien mengalami beberapa perbaikan dalam status neurologis. (NELSON)

Empiema subdural adalah infeksi purulen rongga subdural yang sering kali dapat menjadi progresif dan berakibat fatal bila tidak diobati. Penyebab tersering kejadian ini merupakan lanjutan proses infeksi sinusitis paranasal melalui vena emisaria, tromboflebitis retrograd, atau ekstensi mastoiditis melalui mukosa, tulang, dan durameter. Sementara pada bayi sering kali merupakan lanjutan meningitis bakterial. Empiema subdural dapat juga berasal dari kontaminasi bakteri secara langsung pada trauma tembus atau tindakan kraniotomi, penyebaran purulensi intra torakal, dan perluasan proses infeksi di luar kepala. Pus di dalam rongga subdural berpotensi untuk cepat menyebar ke dalam otak dan celah

hemisfer, meluas menuju ke bilateral hemisfer atau multipel, dan bahkan juga ada yang mencapai serebelum. Pada penderita gejala yang tampak berupa sakit berat dan menunjukkan adanya gejala sepsis dan toksik. Gejala khas lainnya adalah nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan defisit okulomotor, peninggian tekanan intrakranial dan tanda-tanda perangsangan meningeal. Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan gambaran CT-Scan otak berupa area hipodensitas berbentuk bulan sabit yang menunjukkan efek massa serta pada pemberian zat kontras akan menampakkan adanya suatu pita pembatas yang hiperdens dekat parenkhim otak. Dalam hal ini selain dapat menunjukkan keberadaan dan lokasi koleksi ekstra serebral, CT-Scan juga dapat menampilkan derajat dan ekstensi edema serebri yang terjadi. Pemeriksaan angiografi yang invasif hanya digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik tambahan yang menampilkan gambaran avaskular di daerah ekstraserebral. Empiema subdural akut merupakan kasus yang memerlukan tindakan operasi segera untuk evakuasi pus dan debris nekrosis yang bersih. Sebaiknya dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas mengingat bahwa burr-hole tidak adekuat untuk pembersihan pus dan irigasi tidak cukup adekuat. Di samping itu juga perlu dipasang kateter untuk drainase dan irigasi antibiotika (dua kali sehari) kombinasi dari bacitracin 500 unit/ml, neomisin 1%, dan polimiksin 0,1%. (Satyanegara, Hasan RY, Abubakar S, Maulana AJ, Sufarnap E, Benhadi I, Mulyadi S, Sionno J. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. PT Gramedia. Jakarta. 2010. Hal: 385-386.).

Anda mungkin juga menyukai