Anda di halaman 1dari 3

Teknologi Vaksin Vaccinia Rekombinan

Usman Suwandi
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN Vaccine dan vaccination diambil dari kata Vaccinia, yaitu virus DNA yang termasuk grup Poxvirus sebagai penyebab cowpox. Virus Vaccinia ini populer karena dapat dibuat vaksin untuk imunisasi terhadap penyakit smallpox. Kemudian berkembang vaksin-vaksin lain yang mampu memberikan imunitas pain manusia dan hewan terhadap berbagai penyakit infeksi. Pembuatan vaksin biasanya memerlukan organisme hidup seperti toksin bakteri atau immune sera dalam jumlah besar. Pertumbuhan bakteri biasanya dilakukan pada media cair dalam bejaria fermentor. Media ditetapkan secara kimia dan kondisi pembiakan diatur dengan tepat, seperti temperatur, pH, oksigen dan sebagainya. Untuk pembuatan vaksin virus, pertumbuhan dapat dilakukan dalam host atau biakan sel hidup. Vaksin smallpox dapat dibiakkan pada dermis anak sapi domba, kerbau atau yang lain. Vaksin influenza dan yellow fever dapat dibiakkan pada fertile hen's eggs. Beberapa virus dapat ditumbuhkan pada biakan sel. Biasanya sel disiapkan dari monkey kidney, chick embryo atau human diploid cells. Inaktivasi atau detoksifikasi vaksin bakteri dapat dilakukan dengan pemanasan atau desinfektan, misalnya formalin untuk inaktivasi Bordetella pertusis sebagai whooping-cough vaccine, dapat juga untuk detoksifikasi toksin Corynebacterium diphtheriae dan Clostridium tetani sebagai vaksin diphtheria dan tetanus. Phenol juga digunakan inaktivasi Vibrio cholerae dan Salmonella typhi sebagai vaksin kholera dan tifoid. Cara pembuatan vaksin konvensionil ini kurang efektif baik untuk vaksin subunit, vaksin hidup yang dilemahkan atau vaksin yang dimatikan, sulit untuk membuat vaksin penyakit yang tidak dapat dibiakkan in vitro dan sulit membuat vaksin dalam jumlah besar. Kemudian para ahli mulai melihat teknologi rekayasa genetika yang telah berhasil memproduksi

protein asing dengan bakteri terutama Escherichia coli untuk diterapkan pada pembuatan vaksin dengan pemikiran bahwa fraksinasi bahan genetika organisme penyebab penyakit dan cloning gen tersebut ke dalam organisme lab (bakteri atau virus) memungkinkan untuk mempelajari komponenkomponen organisme secara terpisah. Dalam aplikasinya virus vaccinia menjadi salah satu vektor antigen asing dan sekarang menjadi vektor yang paling populer untuk pembuatan vaksin. Gen dari organisme penyebab penyakit seperti hepatitis B, herpes simplex, influenza dan malaria telah dapat di clone ke dalam vaccinia. Bila vaccinia rekombinan ini digunakan untuk vaksinasi kelinci, antibodi terhadap antigen asing tersebut berhasil diproduksi. REKAYASA GENETIKA VIRUS VACCINIA. Aplikasi virus hidup untuk imunisasi sudah berjalan bertahun-tahun.di berbagai negara.Vaksin bakteri dan virus hidup yang dilemahkan berhasil memacu cell-mediated and humored immune response pada host yang diinokulasi. Manfaat vaksin hidup telah banyak dibuktikan oleh beberapa vaksin yang sangat penting bagi manusia dan binatang seperti vaccinia virus, yellow fever virus, poliomyelitis virus, measles virus, rubella virus, Mycobacterium dan sebagainya. Namun cara pembuatan vaksin ini tidak dapat diterapkan untuk semua organisme patogenik. Para ahli terus mengembangkan caracara baru untuk mendapatkan vaksin baru. Keberhasilari penemuan gen encoding antigen virus asing seperti influenza, hepatitis B, dan keberhasilan memasukkan ke dalam rangkaian DNAvirus vaccinia serta kenyataan bahwa sifat antogenik tersebut dapat diekspresikan pada sel yang diinfeksi, telah memperbesar harapan membuat vaksin hidup dengan rekombinan DNA. Telah dilaporkan, binatang percobaan yang diinokulasi dengan vaksin virus vaccinia rekombi-

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 31

nan, kemudian dapat mengembangkan imunitas tidak hanya terhadap virus vaccinia tetapi juga organisme asal gen tersebut diambil. Hasil ini memberikan dorongan yang berharga, sehingga berhasil memperoleh antigen hemaglutinin atau nukleoprotein dari virus influenza dan dapat diekspresikan pada permukaan sel target melalui vektor vaccinia. Pada prinsipnya vektor vaccinia rekombinan dapat digunakan untuk imunisasi manusia terhadap berbagai antigen sumber penyakit. Virus vaccinia terpilih menjadi salah satu vektor penghasil vaksin rekombinan hidup karena dibandingkan dengan beberapa virus yang menginfeksi manusia, virus ini mempunyai karakteristik yang memungkinkan untuk manipulasi gennya dan mampu mengekspresikan berbagai antigen asing. Beberapa sifat virus vaccinia yang menguntungkan antara lain, vaccinia merupakan virus DNA, manipulasi genetika dapat dilakukan dengan relatif mudah, mempunyai genome yang mampu menerima berbagai DNA asing, mudah ditumbuhkan, mudah dimumikan dan mempunyai range host yang lebar bail pada manusia dan binatang. Untuk menghasilkan virus vaccinia rekombinan, pertamatama perlu mengisolasi dan mengidentifikasi gen pengkode antigen yang mempunyai respon imunologis terhadap patogen yang dikehendaki. Kemudian gen tersebut di clone pada rangkaian DNA vektor. Misalnya respon imunologis terhadap infksi hepatitis B dapat ditimbulkan dari surface antigen (SAg). Rangkaian DNA (gen) virus hepatitis B pengkode SAg, diisolasi dan di clone pada vektor vaccinia. Virus vaccinia rekombinan ini kemudian dapat dibiakkan secara in vitro untuk pembuatan vaksin. Tentu saja vaksin ini sebelum digunakan harus diuji terlebih dahulu kemampuan antigeniknya pada binatang percobaan dan pengujian lainnya. Inokulasi vaccinia rekombinan ke dalam binatang percobaan akan memacu respon imunitas terhadap organisme sumber penyakit asal gen tersebut diambil. Pada prinsipnya rekombinasi gen asing ke dalam rangkaian DNA vaccinia meliputi beberapa tahap : 1) Cloning rangkaian DNA vaccinia yang tidak mengandung informasi penting untuk replikasi ke dalam plasmid bakteri. 2) Gen pengkode antigen asing misalnya HBSAg, dimasukkan ke dalam rangkaian DNA vaccinia dalam plasmid, sehingga DNA asing ini akan diapit DNA vaccinia. 3) Plasmid yang mengandung DNA asing dan vaccinia dimasukkan ke dalam sel yang telah diinfeksi dengan vaccinia dalarh bentuk Ca phosphate DNA Co-precipitate. 4) Rekombinasi antara vaccinia pengapit gen asing dan DNA homolog salami replikasi DNA virus menyebabkan masuknya DNA asing ke tempat spesifik. 5) Virus infeksi dilepaskan dari sel berupa campuran virus vaccinia yang tidak mengandung gen asing dan yang mengandung gen asing. 6) Virus 'vaccinia rekombinan diseleksi, dimurnikan dan ditumbuhkan untuk pembuatan vaksin secara in vitro. PENERAPAN VACCINIA REKOMBINAN. Vaksin vaccinia rekombinan dilaporkan sudah memasuki

berbagai stadium pengujian pada binatang percobaan dan dipelajari kelayakannya serta keamanannya. Untuk mempelajari kelayakan, keamanan, efikasi dan efektivitas vaksin ini, para ahli telah mencoba membuat vaccinia rekombinan dari berbagai antigen penyakit seperti, herpes simplex virus glycoprotein, influenza virus hemaglutinin, Hepatitis B virus surface antigen, rabies virus glycoprotein dan sebagainya. Inokulasi vaksin rekombinan ini telah berhasil memacu produksi antibodi yang bereaksi terhadap antigen dan mampu menetrallisir infektivitas virus. Vaccinia rekombinan pengekspresi Hemaglutinin virus influenza. Hemaglutinin virus influenza terletak pada permukaan partikel virus influenza dan pada permukaan membran sel yang terinfeksi. Hemaglutinin dianggap sebagai antigen influenza. Antibodi terhadap hemaglutinin dapat menetralisir infektivitas virus influenza dan adanya antibodi ini menghambat aglutinasi eritrosit oleh hemaglutinin influenza. Bagian RNA influenza pengkode hemaglutinin disiapkan sebagai cDNA dan dimasukkan ke dalam virus vaccinia. Rekombinan ini mampu mensintesis hemaglutinin influenza dengan sifat identik dengan hemaglutinin yang disintesis oleh virus influenza sendiri. Bila virus vaccinia rekombinan ini diinokulasikan ke binatang, akan memacu produksi antibodi yang bereaksi dengan hemaglutinin influenza asli, menetralkan infektivitas virus influenza dan menghambat aglutinasi eritrosit. Dan dilaporkan, binatang yang diimunisasi dengan vaccinia rekombinan ini memperlihatkan resistensi terhadap virus influenza hidup secara intranasal. Vaccinia rekombinan pengekspresi Hepatitis B Virus Surface Antigen. HBSAg dianggap sebagai antigen hepatitis B, dan ternyata HBSAg yang diperoleh dari plasma orang terinfeksi merupakan imunogen yang menimbulkan kekebalan. Vaccinia rekombinan pengekspresi HBSAg dilaporkan telah dapat dibuat. Sel-sel yang diinfeksi dengan virus rekombinan ini mensekresikan bahan HBSAg yang bereaksi dengan anti-HBSAg; hasil sintesis ini ternyata tak dapat dibedakan dengan HBSAg asli. Bila binatang diinokulasi dengan uaccinia rekombinan ini secara intravena atau intraderma, maka binatang tersebut memproduksi anti-HBSAg. Simpanse yang divaksinasi dengan virus ini memperlihatkan proteksi terhadap virus hepatitis B. Vaccinia rekombinan pengekspresi antigen malaria. Organisme penyebab malaria mempunyai tiga fase dalam siklus hidupnya dan vaccinia rekombinan telah berhasil dibuat. Binatang yang diinokulasi virus ini memproduksi antibodi yang sesuai. Karena perbedaan stadium dalam siklus hidup organisme ini, maka masing-masing mempunyai antigen spesifik. Kekebalan terhadap yang satu, tidak akan melindungi manusia terhadap dua stadia lainnya, sehingga vaksinasi optimal memerlukan beberapa antigen yang diperoleh dari setiap stadium. Dengan vaksin vaccinia, beberapa gen mungkin dapat dimasuk-

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

kan dan dapat diekspresikan pada vaksin vaccinia tunggal. Vaccinia rekombinan pengekspresi Rabies Virus Glycoprotein. cDNA glikoprotein telah dapat dimasukkan ke dalam rangkaian DNA vaccinia dan mampu mengekspresikan antigen virus rabies. Kelinci dan mencit yang diinokulasi vaksin ini mampu menginduksi keluarnya antibodi yang sesuai. Binatang lab yang divaksinasi dengan virus rekombinan ini memperlihatkan reaksi imunitas terhadap beberapa strain rabies intraserebral. Vaccinia rekombinan pengekspresi Lymphadenopathyassociated virus. LAV sebagai organisme penyebab AIDS merupakan retrovirus grup Lentivirus dan mempunyai antigen pada permukaannya, yaitu protein. Dilaporkan DNA pengkode env telah berhasil dimasukkan ke rangkaian DNA vaccinia dan protein env yang dihasilkan memperlihatkan reaksi terhadap sera penderita AIDS. PENUTUP. Proteksi melawan infeksi berbagai organisme patogenik ditentukan oleh sistem imunologis host. Respon kekebalan terdiri dari dua macam yaitu antibody response dan cellular immune response. Cellular immune response mempunyai peranan tidak kalah penting dibanding antibodi dalam memacu timbulnya kekebalan. Vaksin hidup merupakan cara yang paling efektif untuk merangsang kedua respon imunologis tersebut. Vaksin hidup yang dibuat secara konvensionil mempunyai beberapa keterbatasan, misalnya kesulitan produksi dalam jumlah besar. Walaupun beberapa vaksin bakteri tidak terlalu menimbulkan masalah, tetapi vaksin virus dalam pembiakkannya memerlukan kondisi sangat kompleks. Beberapa virus harus ditumbuhkan pada biakan sel, embrio telur yang dibuahi atau di dalam binatang. Kondisi ini jelas menjadi pembatas. Di samping itu cara konvensionil tidak memungkinkan membuat vaksin dari organisme yang tidak dapat dibiakkan secara in vitro.

Untuk mengatasi masalah tersebut, vaksin vaccinia rekom binan kelihatannya mampu menutupi kekurangan tersebut Virus vaccinia bila digunakan untuk imunisasi binatang mampu menghasilkan antigen asing pada host dengan cara mirip infeksi alarni, sehingga maupun merangsang kekebalan, baik antibody response mampu cellular immune response. Selain efikasinya menimbulkan respon kekebalan, keuntungan vaksin ini juga dalam stabilitas dan kemudahannya. Gen yang dimasukkan ke dalam rangkaian DNA virus vaccinia memungkinkan menghasilkan vaksin untuk penyakit yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit pada manusia dan binatang. Selain itu vaksin vaccinia dapat dibuat menjadi vaksin polivalen yang mengandung beberapa antigen patogenik yang berbeda. Sehingga mungkin dibuat satu vaksin yang dapat menghasilkan lebih dari satu antigen.
KEPUSTAKAAN 1) Allison AC. Vaccine Technology : Developmental strategies. Biotechnology (Oct) 1987 : 1038 - 4 0 . 2) Brown F. Peptides as the next generation of Foot and Mouth Disease Vaccines. Biotechnology 1985; 3 : 4 4 5 - 8 . 3) Kieny MP. et al. Aids virus env protein expressed from a recombinant vaccinia virus. Biotechnology 1986; 4 : 7 9 0 - 4 . 4) Panicolli DL. Development of live recombinant vaccines using genetically engineered Vaccinia Virus. World Biotech Rep 1984; 2 : 35766. 5) Paoletti E et al. A modern approach to live vaccines : Recombinant Poxviruses. Biotechnology : Potentials & Limitations. Springer Verlag, 1986 : p. 1 5 5 6 4 . 6) Ratafia M. Worldwide opportunities in genetically engineered vaccines, Biotechnol 1987; 5 : 1 1 5 4 8 . 7) Rowlands DJ. Vaccines the synthetic antigen approach. Biotechnology : Potentials & Limitations. Springer Verlag, 1986 : p. 13854. 8) Sheffield F. Manufacture of immunological products and their quality control. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell Scientific Publ 1977 : p. 23252. 9) Sutton P. Application of biotechnology in healthcare a review. Biotechnol. 85 : 3739. 10) Woodrow GC. New generation vaccines. World Biotech Rep 1985; 3 : 16778.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 33

Anda mungkin juga menyukai