Anda di halaman 1dari 2

KETEGASAN PEMERINTAH DALAM KONTRAK TERHADAP MNC Berbicara mengenai MNC (Multinational Company) dan Negara maka keduanya

tidak bisa dipisahkan. Dalam konteks ideal, keduanya membutuhkan kerjasama untuk saling menguntungkan. Namun sayang sekali dalam realitanya, kerjasama keduanya berjalan dengan tidak baik. Seringkali kita temukan kasus adanya penyelewengan dan tindakan negatif yang dilakukan oleh pihak MNC di sebuah negara. Pemerintahpun sering kali tidak berkuasa menghadapi MNC yang ada. Kini kami membandingkan apa yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Venezuela dan Bolivia dalam menghadapi MNC. Tentu bisa dilihat perbedaan yang sangat signifikan mengenai sikap pemerintah terhadap MNC. Tidak bisa dipungkiri Indonesia hari ini masih bertekuk lutut dibawah pengaruh MNC. Dalam fakta lapangan banyak sekali ditemukan penyimpangan-penyimpangan yang tentu saja sangat merugikan. Hal ini dilihat dari pencemaran lingkungan dan pembagian hasil yang tidak menguntungkan bagi pemerintah. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran lingkungan akibat limbah merkuri di Mimika oleh penambangan PT Freeport Indonesia di tahun 2004 dan kasus pencemaran lingkungan Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya di tahun 2004. Dari sisi keuntungan pemerintah, sejak tahun 1996 pemerintah hanya menerima AS$479 juta, sedangkan Freeport menerima AS$1,5 miliar. Kemudian, di tahun 2005, pemerintah hanya menerima AS$1,1 miliar. Sedangkan pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapaiAS$4,1 miliar. Selama ini Freeport hanya memberikan royalti bagi pemerintah senilai 1 persen untuk emas, dan 1,5 persen3,5 persen untuk tembaga. Royalti ini jelas lebih rendah dari negara lain yang menetapkan 6 % untuk tembaga dan 5 % untuk emas perak. Melihat kondisi seperti ini, yang menjadi pokok permasalahan adalah penyelengaraan Kontrak Karya (KK) antara pihak pemerintah dengan pihak MNC. Jika dilihat KK tersebut maka akan telihat betapa lemahnya pemahaman hukum pemerintah pada saat bersama-sama dengan pihak MNC mendesain KK. Akibatnya, klausul yang terbentuk merugikan pemerintah dan bangsa Indonesia. Pihak MNCpun sangat bisa memanfaatkan kesempatan untuk memainkan kontrak yang ada ini. Hal yang terjadi di Indonesia ini, sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Bolivia dan Venezuela. Pemerintah berani melakukan tindakan tegas terhadap pihak MNC yang dinilai tidak menguntungkan bagi rakyat dan negara. Dalam kondisi ekstrim bahkan pemerintah berani melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing tersebut.Langkah nasionalisasi yang diambil juga sebagai wujud menciptakan negara yang berdaulat dan mandiri. Nasionalisasi juga dijadikan sebagai bentuk perlawanan pada era neo kolonialisme negara-negara maju. Oleh karena itu, kami dalam paper ini bermaksud membahas bagaimana konsep ideal posisi pemerintah terhadap MNC. Pemerintah tentu saja harus memiliki bargaining power dalam menghadapi kontrak dengan pihak MNC. Hal ini diperlukan dalam mewujudkan negara yang adil, makmur dan sejahtera.

KASUS
MANAJEMEN LINTAS BUDAYA
KETEGASAN PEMERINTAH DALAM KONTRAK TERHADAP MNC

RIDWAN YUSUF SURYO GUMILANG LEONARDUS RIYAN KRISSUDIRO RICO SAKTIAWAN JANG JAYA CHANDRA AGIE YUDHA

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA 2012

Anda mungkin juga menyukai