Anda di halaman 1dari 17

PASTORAL ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI

GEREJA YANG HIDUP: MENGAKAR, MEKAR, DAN BERBUAH

PEDOMAN PASTORAL KEUSKUPAN BANDUNG 1 Januari 2010 31 Desember 2014

Pengantar
Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik adalah sederet kata yang menjadi bagian syahadat Nikea-Konstantinopel. Umat Katolik setiap kali mengucapkan syahadat tersebut membarui pernyataan iman kepercayaannya kepada Gereja. Pernyataan iman akan Gereja merupakan ajakan batin agar kita dengan rahmat Tuhan mengupayakan sungguh-sungguh, sehingga Gereja menjadi dapat dipercaya, credible, memiliki credibilitas yang bermutu tinggi. Credibilitas Gereja perlu kita bangun bersama dengan berbagai macam cara. Umat Allah Keuskupan Bandung melalui musyawarah pastoral menganalisis secara objektif situasi yang khas bagi negeri sendiri, menyinarinya dengan terang amanat Injil yang tidak dapat diubah, dan dari ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi, norma-norma untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak (lh. Octogesima Adveniens, 4). Musyawarah Pastoral Keuskupan Bandung telah diselenggarakan sebagai bagian dari gerakan umat untuk mewujudkan Gereja sebagai komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. Sebagai tindak lanjut, gerakan umat tersebut masih perlu dengan dilengkapi dengan berbagai rapat kerja, pertemuan pada tingkat keuskupan, paroki, maupun pada tingkat kelompok basis yang lain. Credibilitas Gereja perlu juga dibangun dengan mengembangkan tata kelola berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan melalui transparency dan accountability. Untuk itu,

dibutuhkan keterlibatan dari semua pihak: para imam, biarawan-biarawati dan kaum awam, untuk membangun sinergi agar Gereja sungguh hidup. Sinergi tersebut dapat terjadi, bila terjalin kerjasama saling melengkapi, keterbukaan antar warga Gereja, sehingga Gereja sungguh mengakar, mekar dan berbuah bersama masyarakat Jawa Barat. Sinergi tersebut menjadi semakin kuat, bila dikembangkan juga keterbukaan lintas ilmu: ilmu-ilmu sakral dan ilmu-ilmu sekular, karena tujuan akhir kemajuan ilmu-ilmu itu adalah kemanusiaan seutuhutuhnya juga, dan kesejahteraan bersama. Umat Allah Keuskupan Bandung yang bermusyawarah telah merumuskan Arah Dasar, dan bertekad untuk menjadi pelaku apa yang diputuskannya. Jiwa semangat orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 25-37) diharapkan menjadi jiwa semangat para pelaku Arah Dasar Keuskupan Bandung untuk lima tahun mendatang, 1 Januari 2010 s.d. 31 Desember 2014. Agar terjadi kebersamaan yang kuat di antara umat, tidak tepat kalau ada orang yang berada di pinggiran untuk menjadi penonton belaka. Kesediaan berbagi apa pun (pikiran, tenaga, waktu, dana, dll.) ibarat lima roti dan dua ikan (lh. Yoh 6:1-15), bila dilakukan dengan tulus hati dan ikhlas, merupakan awal dari terjadinya pekerjaan-pekerjaan Allah sendiri. Kita semua, anak-anak, remaja, orang muda dan dewasa adalah pelaku-pelaku kehendak Allah. Dalam Kristus kita dilibatkan untuk membangun Gereja sebagai komunitas yang hidup, mengakar, mekar dan berbuah. Yeremia dengan kalimat-kalimat serupa menggambarkan kehidupan itu dengan sangat bagus, Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah (17:8). Ia menjelaskan bahwa semua itu dapat terjadi, bila orang mengandalkan Tuhan, sebagaimana dikatakan, Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! (17:7). Menyadari ancaman-ancaman yang ada, marilah kita tetap mengandalkan Tuhan, yang bersabda, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. (Mat 28: 20). Salam, doa dan Berkat Tuhan.

Bandung, 15 Januari 2010 + Johannes Pujasumarta

Uskup Keuskupan Bandung

PENDAHULUAN
Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung ini merupakan hasil refleksi bersama umat Keuskupan Bandung melalui proses yang dimulai dari musyawarah pastoral tingkat komunitas basis dan berpuncak pada musyawarah pastoral tingkat keuskupan. Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung ini merupakan penjabaran Arah Dasar Pastoral Keuskupan Bandung yang dirumuskan dalam musyawarah pastoral tingkat keuskupan, serta dijadikan sebagai titik acuan penyusunan rencana program dan kegiatan pastoral Keuskupan Bandung selama 5 (lima) tahun ke depan (Januari 2010 Desember 2014). Dengan berpedoman pada Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung yang dijiwai oleh spiritualitas orang Samaria yang baik hati ini, gerak pastoral Keuskupan Bandung selama 5 (lima) tahun ke depan diharapkan mampu mewujudnyatakan cita-cita bersama Gereja

Keuskupan Bandung sebagai komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung ini memuat masalah-masalah pastoral, tujuan pastoral yang hendak dicapai selama 5 (lima) tahun ke depan, dan strategi-strategi pastoral untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung ini menjadi pedoman dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi program-program dan kegiatan-kegiatan pastoral Keuskupan Bandung selama 5 tahun ke depan. Dalam merencanakan program dan kegiatan tersebut, setiap komisi, paroki dan kelompok kategorial tetap memperhatikan situasi kontekstual dan kebutuhan umat. Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung ini diharapkan akan membawa perubahan mendasar dalam wajah Gereja Keuskupan Bandung apabila semua umat Keuskupan Bandung beserta pimpinannya melaksanakan Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung ini secara konsisten dan konsekuen.

ARAH DASAR
Kita, umat Allah Keuskupan Bandung, bercita-cita menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. Kita mewujudnyatakan Kerajaan Allah melalui pemuliaan martabat manusia dan pemulihan keutuhan ciptaan. Cita-cita tersebut digumuli dalam konteks masyarakat Jawa Barat yang plural. Dalam keberagaman etnik dan budaya, kita menegaskan diri 100 % Indonesia dan 100 % Katolik untuk membangun persaudaraan yang dijiwai semangat silih asah, silih asih, dan silih asuh dalam menumbuh-kembangkan nilai-nilai kristiani agar meresap bagai garam, mengubah bagai ragi, dan menyinari bagai terang ke semua bidang kehidupan. Sejalan dengan dinamika dan perubahan kondisi sosial politik Jawa Barat, kita ikut ambil bagian dalam seluruh dinamika yang terjadi dengan tetap menyadari diri sebagai bagian utuh kenyataan Indonesia, Asia, dan dunia. Searah dengan kehendak Jawa Barat untuk menjadi provinsi terdepan dalam menyangga ibu kota negara dan untuk membangun masyarakat yang beriman, berakhlak, serta berpihak kepada kaum miskin dan tersisih, kita memperjuangkan pendidikan hati dan budi, keadilan sosial dan ekonomi, kesehatan masyarakat, keadilan dan kesetaraan gender, kelestarian lingkungan, dan perdamaian. Dengan demikian, umat Allah Keuskupan Bandung menjadi Gereja yang mencintai dan dicintai masyarakat Jawa Barat. Dengan meneladan iman dan kesetiaan Bunda Maria, reksa pastoral umat Allah Keuskupan Bandung hendak dilaksanakan dengan cara membangun kesadaran pentingnya sejarah dan konteks hidup, membangun keluarga sebagai Gereja kecil, memberdayakan kelompok basis sebagai komunitas dinamis, mengupayakan pendidikan berkelanjutan di segala bidang, dan mengedepankan orang muda. Kesadaran ini hendak diwujudkan melalui dialog dan kerjasama dengan berbagai pribadi, organisasi, dan institusi dalam jejaring sosial yang luas. Strategi ini lebih dikonkretkan dengan merevitalisasi komisi yang sudah ada dan membentuk komisi lain untuk mengakomodasi masalah, tantangan, dan cita-cita di berbagai bidang. Untuk mengembangkan Gereja yang utuh seperti yang dihidupi Gereja perdana melalui pewujudan koinonia, liturgia, diakonia, dan kerugmadalam semangat kasih tanpa pamrih, umat Allah Keuskupan Bandung bertekad meneruskan ajaran dan perbuatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Umat Allah Keuskupan Bandung bertekad mewujudnyatakan cita-citanya melalui hidup dan karya berdasarkan cinta kasih yang dijiwai kemurahan hati dan kesediaan berbagi dengan meniru perbuatan Orang Samaria Yang Baik Hati (Luk 10: 25-37). Tekad ini menjadi pendorong untuk berperan aktif dalam peningkatan kesejahteraan material dan spiritual masyarakat. Yesus bersabda kepada murid-muridNya, Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan. (Luk 5: 4). Sabda ini adalah panggilan kepada kita, umat Allah Keuskupan Bandung, untuk memasuki kedalaman hidup melalui sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi, agar siap diutus. Setelah kebangkitan, Yesus mengutus para

muridNya dengan bersabda, Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai pada akhir zaman. (Mat 28: 20). Inilah peneguhan bagi umat Allah Keuskupan Bandung untuk mewujudnyatakan Gereja sebagai komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah.

MASALAH, TUJUAN, STRATEGI


1. BIDANG PANGGILAN Gereja yang mengikuti Kristus (Mat. 10: 1-14; LG 40-42; OT 2-11). Masalah: a. Kesadaran bahwa Gereja dipanggil untuk mengikuti Kristus, entah melalui hidup bakti tertahbis atau tak tertahbis maupun hidup keluarga. b. Relasi spiritual antara imam, religius, dan umat melalui kunjungan ke rumah umat, ke seminari / biara, serta melalui contoh kehidupan yang luhur. c. Pemahaman bahwa keluarga adalah seminari yang menjadi dasar panggilan hidup bakti, entah sebagai frater, bruder, suster, maupun imam. d. Terpeliharanya kebiasaan berdoa bagi Gereja agar setia mengikuti Kristus. e. Pemanfaatan media cetak dan elektronik untuk mengembangkan dimensi panggilan Gereja. Tujuan Pastoral: a. Meningkatnya kesadaran Gereja akan panggilan untuk mengikuti Kristus. b. Tumbuhnya panggilan religius dan imam melalui pendidikan keluarga. c. Rumah formasi semakin diberdayakan dengan memanfaatkan berbagai fasilitas agar dihasilkan para religius dan imam yang berkualitas. Strategi Pastoral: a. Menyediakan sarana, bahan, dan kesempatan (kartu doa, pengenalan panggilan, kunjungan, aksi panggilan). b. Mendorong para penanggung jawab rumah formasi mengimplementasikan standar pendidikan religius dan imam yang bermutu. 2. BIDANG PERSAUDARAAN Gereja mewujudnyatakan persaudaraan yang dihidupi Gereja Perdana (Kis. 2: 41-47// 4: 3237; LG 9-16). Masalah: a. Partisipasi umat dalam lingkungan. b. Keterlibatan umat dari tingkat lingkungan dalam program DPP. c. Komunikasi antara DPP, wilayah, dan lingkungan. d. Optimalisasi kelompok kategorial yang ada. e. Penggembalaan pastor paroki pada lingkungan. f. Materi menarik dan mudah dicerna yang sungguh dibutuhkan umat. Tujuan Pastoral: a. Keterlibatan umat lingkungan meningkat. b. Ketersediaan materi yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan umat. c. Lingkungan sebagai oasis bagi pengembangan iman umat. d. Komunikasi yang baik antara DPP dengan wilayah dan lingkungan.

Strategi Pastoral: a. Menginventarisasi personil yang mampu menggerakkan lingkungan menjadi hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. b. Menciptakan kegiatan kebersamaan yang menumbuhkan rasa persaudaraan. c. Mendorong DPP membuat, mengkomunikasikan, dan mengimplementasikan program kerja paroki sampai ke tingkat lingkungan. 3. BIDANG PEWARTAAN Gereja mewartakan keselamatan yang membebaskan (Mat. 10: 5-15; Mat. 28: 18-20; Mrk. 16: 15-19; Kis. 17: 16-29; Rom. 1: 16-17; LG 35; EN 30-39) Masalah: a. Kesadaran umat sebagai penanggungjawab pendidikan iman bagi anak-anak. b. Kecintaan umat untuk membaca dan mendalami Kitab Suci. c. Kualitas dan kuantitas pewarta yang handal. d. Pemahaman dan persiapan penerimaan sakramen. e. Kualitas isi dan metode pewartaaan. Tujuan Pastoral: a. Meningkatnya kesadaran umat sebagai penanggung jawab pendidikan iman. b. Tumbuhnya kecintaan umat pada Kitab Suci. c. Tersedianya pewarta bermutu baik dari segi isi maupun metode. d. Meningkatnya pemahanan umat akan sakramen. Strategi Pastoral: a. Memanfaatkan kesempatan dan sarana pewartaan untuk menyadarkan umat akan tanggungjawab mereka dalam pendidikan iman, kecintaan pada Kitab Suci, dan pemahaman akan sakramen-sakramen. b. Mengadakan berbagai pelatihan bermutu untuk para pewarta. 4. BIDANG LITURGI Gereja merayakan liturgi Katolik dan kontekstual (SC 10, 14-19). Masalah: a. Pemahaman umat mengenai liturgi Katolik. b. Konsep yang jelas tentang inkulturasi liturgi. c. Keseragaman kebijakan pelaksanaan kegiatan liturgi. d. Liturgi khusus untuk anak-anak dan kaum muda. e. Keterlibatan umat dalam liturgi. Tujuan Pastoral: a. Meningkatnya pemahaman, kecintaan, dan keterlibatan umat pada liturgi. b. Adanya kebijakan pelaksanaan liturgi dan inkulturasi sesuai dengan konteks paroki. c. Tersedianya liturgi khusus, antara lain bagi anak-anak, kaum muda, dan dewasa. Strategi Pastoral: a. Menyediakan pendidikan liturgi melalui berbagai bentuk pelatihan, tertutama bagi mereka yang terlibat langsung. b. Merumuskan kebijakan pelaksaan liturgi dan inkulturasi. c. Menyusun dan menerapkan liturgi-liturgi khusus.

5. BIDANG KELUARGA Gereja menumbuhkan keluarga kristiani sebagai Gereja mini dengan semangat kasih (FC 36, 42, 44; GS 47-52; PP 36, CA 39, EV 92). Masalah: a. Pemahaman umat tentang perkawinan Katolik. b. Pemikiran panjang tentang akibat perkawinan campur. c. Ketidakseimbangan aktivitas di luar rumah dan kepentingan keluarga. d. Pendidikan seksualitas dalam keluarga. e. Perhatian pada kaum lanjut usia (lansia). Tujuan Pastoral: a. Meningkatnya pemahaman umat tentang seksualitas, perkawinan Katolik dan masalah kawin campur. b. Terbentuknya keluarga Katolik yang harmonis. c. Terperhatikannya kaum lansia. Strategi Pastoral: a. Menyediakan materi dan nara sumber yang kompeten dalam seksualitas dan perkawinan Katolik. b. Merumuskan dan menyosialisasikan model keluarga Katolik harmonis. c. Menyelenggarakan kegiatan bagi kaum lansia. 6. BIDANG KEPEMUDAAN Gereja memberdayakan kaum muda yang kreatif dalam mewujudkan identitasnya sebagai insan Katolik yang kritis, komunikatif, dan produktif (Yer. 1:4-10; Luk. 7: 14; PP 67; EN 72). Masalah: a. Keterlibatan kaum muda dalam aktivitas kemasyarakatan. b. Regenerasi dan kaderisasi kaum muda. c. Idealisme kaum muda dalam menatap masa depan. d. Figur pendamping dan tokoh anutan, baik dari awam maupun kaum religius, yang dibutuhkan kaum muda. e. Youth center sebagai tempat berkumpul kaum muda. Tujuan Pastoral: a. Tumbuhnya idealisme, sikap heroik, kesadaran tentang jatidiri Katolik pada kaum muda. b. Meningkatnya Keterlibatan kaum muda dalam aktivitas kemasyarakatan. c. Kontinuitas proses pendampingan kaum muda, khususnya regenerasi, kaderisasi. d. Terbentuknya pusat-pusat kegiatan kaum muda. Strategi Pastoral: a. Membangun kerjasama serta jaringan, baik teritorial maupun kategorial, dan memberdayakan organisasi / komunitas / kelompok kaum muda Katolik. b. Membangun youth center di berbagai tingkat beserta program dan kegiatan sebagai bagian dari regenerasi dan kaderisasi.

7. BIDANG PENDIDIKAN Gereja mencerdaskan diri dan sesama melalui pendidikan yang bermutu dan terjangkau (GE 1, 2-8, FC 36).

Masalah: a. Kuantitas guru Katolik yang kompeten dan berkarakter luhur. b. Keberpihakan sekolah Katolik kepada siswa-siswi yang berpotensi finasial dan intelektual di bawah rata-rata. c. Asumsi umat bahwa sekolah Katolik mahal. d. Pendidikan nilai pada sekolah Katolik. e. Kesadaran umat akan solidaritas pendidikan. Tujuan Pastoral: a. Tersedianya guru-guru Katolik yang kompeten dan berkarakter luhur. b. Tumbuhnya solidaritas umat pada kaum lemah sehingga siswa-siswi mendapat pendidikan yang bermutu. c. Berkembangnya pendidikan nilai di sekolah-sekolah Katolik. Strategi Pastoral: a. Mengimplementasikan Nota Pastoral Pendidikan yang dirumuskan KWI pada November 2008. b. Menggerakkan umat paroki untuk terlibat aktif dalam solidaritas pendidikan misalnya dengan menjadi orang tua asuh. 8. BIDANG PEREMPUAN Gereja menghidupi persaudaraan yang sepadan antara pria dan wanita (Kej. 1: 26-27; 2:1825; Surat kepada wanita 4, MD 6, Kerjasama Pria dan Wanita 8). Masalah: a. Tenaga pastoral yang memfokuskan diri pada gerakan keadilan dan kesetaraan gender. b. Stereotipe terhadap perempuan. c. Lembaga advokasi yang memberi pendampingan kepada kaum perempuan. d. Kuantitas dan kualitas komunitas berbasis gender. e. Kuatnya sistem patriarkal. Tujuan Pastoral: a. Semakin tepat pemahaman tentang arti dan hakikat pria dan wanita sebagai citra Allah. b. Terciptannya masyarakat yang berkeadian dan berkesetaraan gender. c. Terciptanya komunitas berbasis gender. Strategi Pastoral: a. Merumuskan dan menyosialisasikan pemahaman tentang keadilan dan kesetaraan gender. b. Membentuk tim advokasi keadilan dan keseteraan gender. c. Membentuk komisi perempuan. 9. BIDANG EKONOMI: Gereja membangun ekonomi mandiri dan berhati nurani demi kesejahteran bersama (MM 73; GS 64; PP 22; Kat. 2426-2429.; GS 69; PP 22; SRS 38).

Masalah: a. Data akurat tentang kaum miskin. b. Jumlah penganggur besar. c. Urbanisasi tanpa persiapan memadai untuk memasuki persaingan kota. d. Optimalisasi koperasi. e. Keharmonisan hubungan pengusaha dan pekerja. Tujuan Pastoral: a. Tersedianya data akurat tentang demografi sosial ekonomi paroki. b. Peningkatan kualitas koperasi dan tata kelolanya. c. Terciptanya masyarakat ekonomi inklusif. d. Pemanfaatkan teknologi tepat guna. e. Tumbuhnya jiwa kewirausahaan. Strategi Pastoral: a. Memberdayakan koperasi di paroki. b. Mengadakan pelatihan sebagai persiapan memasuki dunia kerja dan pengembangan jiwa kewirausahaan. c. Membangun jejaring antarpengusaha, antarpekerja, dan komunikasi antara pengusaha dan pekerja. 10. BIDANG KESEHATAN Gereja membangun masyarakat yang sehat mandiri tanpa diskriminasi (Yoh. 10:10; Mat. 20:29-34 // Mrk. 10: 46-52 // Luk. 18:35-43, Mrk. 7:31-37; Piagam bagi Para Pelayan Kesehatan 1,4). Masalah: a. Kesadaran umat tentang paradigma hidup sehat. b. Kerjasama antara balai pengobatan dengan rumah sakit dan lembaga kesehatan masyarakat. c. Kesadaran umat akan pentingnya jaminan kesehatan. d. Home care dan rehabilitasi medik. e. Kerjasama organisasi sosial dan lembaga kesehatan untuk perawatan lansia.

Tujuan Pastoral: a. Terbentuknya kesadaran umat tentang paradigma hidup sehat yang didukung dengan jaminan kesehatan. b. Terciptanya kerjasama antara balai pengobatan, rumah sakit, dan lembaga kesehatan masyarakat, termasuk perawatan lansia. c. Tersedianya home care dan rehabilitasi medik. Strategi Pastoral: a. Menyelenggarakan penyuluhan dan pelatihan perilaku hidup sehat dan perawatan kesehatan. b. Membangun jejaring antar lembaga kesehatan dan masyarakat. c. Mengembangkan kerjasama organisasi sosial dan lembaga kesehatan, termasuk untuk perawatan lansia. d. Membentuk dana sehat. e. Mengimplementasikan Nota Pastoral Kesehatan hasil Sidang KWI 2009.

11. BIDANG KOMUNIKASI SOSIAL Gereja mencerdaskan diri dalam optimalisasi media komunikasi dan teknologi (IM 3-17, 24). Masalah: a. Program sistematis dari Gereja tentang komunikasi sosial (komsos). b. Penyelenggaraan berbagai upaya untuk meningkatkan pemahaman umat tentang peran komsos. c. Prakarsa untuk membangun komunikasi dengan agama dan kepercayaan lain. d. Tenaga ahli yang berkualitas dalam bidang komsos. e. Pusat informasi dan litbang yang memadai di paroki-paroki. Tujuan Pastoral: a. Terbentuknya kesadaran umat akan hakikat dan fungsi komsos demi peningkatan martabat manusia. b. Tersedianya program dan pelatihan yang berkaitan dengan optimalisasi komsos. c. Tersedianya tenaga ahli yang berkualitas di bidang komsos. d. Terciptanya pusat informasi dan litbang. Strategi Pastoral: a. Membangun pusat informasi dan litbang di keuskupan dan paroki. b. Mengadakan berbagai pelatihan yang berkaitan dengan komsos. c. Melakukan sosialisasi pemahaman dan penyadaran umat tentang penggunaan sarana media komsos. 12. BIDANG HUBUNGAN ANTAR AGAMA DAN KEPERCAYAAN Gereja merangkul mereka yang berkeyakinan lain (Mrk 9: 38-41; Luk. 9: 49-50; Luk 10: 2537; NA 5; DH 12). Masalah: a. Komunikasi dan kerjasama internal antar komisi. b. Dialog antara DPP dengan umat Gereja, agama, dan keyakinan lain. c. Pendidikan kebhinekaan yang mengembangkan sikap pluralis. d. Kegiatan silaturahmi dengan Gereja, agama, dan kepercayaaan lain. e. Lembaga advokasi hukum dan LSM yang membantu menangani permasalahan hak asasi manusia (HAM).

Tujuan Pastoral: a. Terciptanya kerukunan hidup beragama. b. Adanya kemauan untuk bersilaturahmi dan berdialog. c. Terciptanya pendidikan kebhinekaan. Strategi Pastoral: a. Membentuk lembaga advokasi hukum dan LSM yang berkaitan dengan HAK. b. Membangun budaya silaturahmi dan dialog melalui berbagai bentuk kegiatan. c. Merumuskan isi dan materi dialog, terutama berkaitan dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan, misalnya dalam menghadapi kemiskinan dan kebodohan. d. Membela kebhinekaan dengan tetap menjaga integritas iman Katolik.

13. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP Gereja memelihara dan mengembangkan lingkungan hidup asri (Kej. 1: 28; MM 197; SRS 34; CA 37; KASG 470, 481-487; ) Masalah: a. Pemahaman, kesadaran, kepedulian, dan keterlibatan umat tentang pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup. b. Pendidikan mengenai lingkungan hidup di sekolah dan perguruan tinggi Katolik. a. Informasi tentang peran penting individu dalam mengatasi akibat perubahan iklim (climate change, global warming). b. Wadah formal yang menangani masalah lingkungan hidup di tingkat keuskupan dan paroki. c. Gerakan dan aktivitas peduli lingkungan yang berkesinambungan, yang melibatkan umat dan masyarakat luas. Tujuan Pastoral: a. Terbentuknya pemahaman kesadaran dan keterlibatan umat tentang pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup. b. Terbentuknya kemauan untuk membela dan mengembangkan lingkungan hidup yang sehat. c. Terbentuknya wadah formal yang menangani masalah lingkungan hidup di tingkat keuskupan dan paroki. d. Terciptanya gerakan dan aktivitas peduli lingkungan yang dilakukan umat. Strategi Pastoral: a. Menyelenggarakan pendidikan lingkungan hidup dan penyuluhan tentang pentingnya lingkungan hidup. b. Merumuskan program untuk melakukan gerakan peduli lingkungan hidup yang dapat dilakukan sendiri maupun bersama-sama masyarakat. c. Melakukan gerakan peduli lingkungan. d. Merintis terbentuknya komisi lingkungan hidup di tingkat keuskupan dan seksi lingkungan hidup di tingkat paroki. 14. BIDANG KEBUDAYAAN Gereja melestarikan dan mengembangkan budaya yang beradab dan manusiawi serta mendukung kehidupan (GS 53, 57-59,62; CA 51; EiA 21) Masalah: a. Orientasi nilai luhur. b. Sikap primordial kultural. c. Sikap sektarian. d. Kepedulian pada budaya setempat. e. Penghargaaan budaya-budaya lokal. Tujuan Pastoral: a. Terkikisnya sikap primordial kultural dan sektarian. b. Meningkatnya penghargaan dan kepedulian pada budaya lokal. c. Tertanamnya orientasi nilai luhur dalam diri umat. Strategi Pastoral: a. Membangun kesadaran umat tentang keberagaman sebagai kenyataan hidup.

b. Mengusahakan inkulturasi iman pada budaya setempat agar kehidupan menggereja lebih hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. 15. BIDANG POLITIK Gereja melibatkan diri secara proaktif dalam politik berhati-nurani (Rom. 13:5; AA 1-8,28-30; GS 75; KASG 379, 384-392) Masalah: a. Komitmen kebangsaan umat Katolik. b. Kaderisasi umat di bidang politik. c. Dialog dan kerjasama umat dalam membangun jaringan sosial politik. d. Advokasi untuk melindungi kepentingan umat sebagai warga negara. e. Keterlibatan hirarki dalam mendorong umat untuk terlibat dalam dunia politik. Tujuan Pastoral: a. Tumbuhnya kesadaran umat sebagai 100 % Indonesia dan 100% Katolik. b. Terbentuknya kader-kader politik Katolik. c. Tumbuhnya kepedulian hirarki pada persoalan politik. Strategi Pastoral: a. Merumuskan dan melaksanakan kegiatan sebagai proses penyadaran dan kaderisasi politik. b. Membentuk lembaga advokasi.

PENUTUP
Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung ini menjadi titik acuan dalam merumuskan program dan kegiatan pastoral Keuskupan Bandung, baik pada tingkat komisi, paroki dan kelompokkelompok kategorial, sehingga cita-cita Gereja Keuskupan Bandung lima tahun ke depan sungguh menjadi kenyataan, yakni menjadi Gereja yang hidup, mengakar, mekar dan berbuah bersama masyarakat Jawa Barat, dengan menunjukkan keberpihakan kepada kaum lemah dalam masyarakat.

DAFTAR SINGKATAN Sejumlah dokumen Gereja yang diacu dalam Pedoman Pastoral Keuskupan Bandung: AA CA Apostolicam Actuositatem, Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI, 18 November 1965, Dekrit tentang Kerasulan Awam. Centesimus Annus, Paus Yohanes Paulus II, 1 Mei 1991, Ensiklik peringatan seratus tahun Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII. Ecclesia in Asia, Paus Yohanes Paulus II, 6 November 1999, Surat Apostolik tentang Gereja di Asia. Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI, 8 Desember 1975, Surat Apostolik tentang karya pewartaan Injil pada jaman modern. Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II, 25 Maret 1995, Ensiklik tentang Nilai dan Martabat Manusia. Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II, Surat Apostolik tentang Keluarga Kristiani.

EiA EN EV FC

GE GS

IM

Kat. KASG

LG MD MM NA

OT PP

SC SRS

Gravissimum Educationis, Paus Paulus VI, 28 Oktober 1965, Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani. Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI, 7 Desember1965, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini. Inter Mirifica, Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI, 4 Desember 1963, Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial. Katekismus Gereja Katolik, Paus Yohanes Paulus II, 11 Oktober 1992, diterbitkan lewat Konstitusi Apostolik Fidei Depositum. Kompedium Ajaran Sosial Gereja, Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, 29 Juni 2004, berbicara tentang kegiatan orang-orang Kristen di dalam ranah sosial, khususnya kegiatan kaum awam beriman yang menjadi empunya ranah ini secara istimewa; seluruh hidup mereka mesti dilihat sebagai sebuah karya penginjilan yang menghasilkan buah. Lumen Gentium, Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI, 21 November1964, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja. Mulieris Dignitatem, Paus Yohanes Paulus II, 15 Agustus 1988, Surat Apostolik tentang Martabat dan Panggilan Wanita. Mater et Magistra, Paus Yohanes XXIII, 15 Mei 1961, Ensikliktentang Kristianitas dan Perkembangan Sosial. Nostra Aetate, Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI, 28 Oktober 1965, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen. Optatam Totius, Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI, 28 Oktober1965, Dekrit tentang Pembinaan Imam. Populorum Progressio, Paus Paulus VI, 26 Maret 1967, Ensikliktentang Pembangunan Bangsa-bangsa, ekonomi dunia yangmelayani semua umat manusia dan tidak hanya sebagian kecil saja. Sacrosanctum Concilium, Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI, 4 Desember 1963, Konstitusi tentang Liturgi Suci. Sollicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II, 30 Desember 1987, Ensiklik ini ditulis dalam hubungannya dengan Keprihatinan Sosial.

LAMPIRAN 1

Orang Samaria yang Baik


(Luk 10: 25 - 37)

Pengantar Kalimat yang berbunyi tak kenal, tak sayang; tak sayang, tak mungkin terbayang-bayang tampak biasa tetapi sebenarnya mengandung kedalaman, di mana terdapat kaitan erat antara pengetahuan dan pengalaman. Identitas Yesus bukan hanya untuk diketahui tetapi juga untuk dialami secara pribadi agar seseorang memiliki passion (gairah cinta yang berkobar) padaNya. Demikianlah, Yesus bertanya kepada murid (Mat 16: 13-20), bukan hanya tentang apa yang

diketahui, tetapi apa yang sungguh dialami; bukan soal tentang seberapa jauh mengetahui Yesus, tetapi juga seberapa dalam mencinta-Nya. Pengalaman ini mengantar seseorang untuk mencintai Yesus. Orang yang mencintai Yesus akan juga memiliki hati dan budi seperti Yesus. Inilah juga yang menjadi bagian dari Hukum Utama: Kasihilah Tuhan Allah dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Ilustrasi Seorang pendeta Canada pergi ke Kenya untuk tugas misi. Di tengah desa terpencil, jip yang ditumpanginya mogok. Jip tersebut diperbaiki selama 3 hari oleh montir desa. Setelah selesai perbaikan, karena takut diperas, sang pendeta pergi ke toilet, menyembunyikan sebagian besar uangnya di kaos kaki. Ia berpikir kalau ditagih (diperas) untuk membayar biaya perbaikan, ia akan menunjukkan sisa uangnya. Ia tercengang ketika sang montir berkata, Bapak bekerja untuk Tuhan, biarlah Tuhan yang membayar. Bapak tidak usah membayar! Sang pendeta tertegun. Dalam permenungannya, ia berkata, Saya malu. Masakan saya yang setiap hari membaca, merenungkan, dan mewartakan sabda Allah, ternyata hati dan budi saya tidak tertuju pada Allah, tetapi pada uang. Sedangkan montir desa yang membutuhkan uang, ternyata tidak khawatir dengan kemiskinannya karena hati dan budinya tertutu pada Allah! Berubah Arah Perjalanan Orang Samaria yang baik hati mempunyai tujuan tertentu. Tetapi arah perjalanannya diubah karena panggilan akan tanggungjawabnya sebagai manusia. Lebih daripada itu, ternyata hatinya tergerak oleh belas-kasihan (compassion, passion for Christ). Rencana dan jadwal lamanya segera ditinggalkan, rencana dan jadwal baru segera dibuat. Compassion menggerakkan dirinya untuk memiliki passion for other; for humanity. Ada batas-batas kultural dan religius tertentu yang ia atasi supaya ia bisa menyapa dan menyentuh sesama yang membutuhkan kehadiran dirinya. Orang Samaria ini bukan semata mengubah rencana perjalanannya, tetapi juga mencurahkan seluruh tenaga, menyumbang benda yang dimilikinya, dan sarana yang dipunyai. Keberanian untuk mengubah arah perjalanan, tiada lain karena gairah pada sesama manusia yang membutuhkan. Cintanya yang berkobar itulah yang menjadi pemantik hidupnya hingga orientasi hidupnya adalah sesamanya. Memberi Seluruh Hati, Budi, dan Energi Orang Samaria yang baik hati ini adalah simbol pribadi sehati sepikir dengan Yesus yang memberikan hati, budi, dan energinya untuk keselamatan sesama karena tergerak oleh Roh Ilahi. Pertama, ia tergerak hatinya oleh belas kasih. Perhatiannya diarahkan pada korban yang membutuhkan pertolongan. Ia tidak bertanya soal hukum; boleh atau tidak; harus atau jangan menolong orang lain. Ia peduli pada nasib dan hidup sesama. Kedua, ia mendekati, menyentuh, dan menolong si korban. Ia menjalin kontak baik fisik maupun psikis dengan korban. Ketiga, ia membalut luka-lukanya. Ia menghentikan penderitaan sesamanya. Keempat, ia menyegarkan korban dengan cara menyiraminya dengan minyak dan anggur. Minyak berfungsi sebagai penyembuh, makanan (lemak), dan penerang. Artinya si korban tidak sekedar dihentikan penderitaannya (dosa), tetapi juga disembuhkan (ditobatkan, direkonsiliasi), lalu ditumbuhkan (berkembang dalam iman) dengan cara diberi makanan, dan akhirnya diberi jalan penerang menuju keselamatan (diarahkan ke padang rumput yang hijau, Mzm 23). Anggur adalah makanan dan minuman untuk pesta. Korban bukan hanya ditolong seadanya, tetapi dibantu total hingga diberi makan dan minum bagai orang yang sedang berpesta. Anggur adalah tanda pesta dan kegembiraan. Bagi orang Samaria ini menolong sesamanya berarti sebuah pesta; kesempatan emas untuk disyukuri. Menolong bukanlah

beban, tapi korban pujian pada Allah. Kelima, ia menaikkan sang korban ke atas keledainya. Ia berkorban, mau memberikan kenyamanannya kepada sang korban. Keenam, ia membawanya ke tempat penginapan, yaitu tempat peristirahatan agar si korban cepat pulih. Ketujuh, ia merawat. Menolong sesama itu bukanlah tindakan temporal, satu dua kali saja, melainkan tindakan terus-menerus, konstan bagaikan orang yang merawat sesuatu atau seseorang. Di situ ada hati dan waktu. Ternyata keesokan harinya ia masih datang kembali. Tanggungjawabnya tidak setengah-setengah. Ia pun masih berjanji akan kembali lagi. Komitmennya total hingga sesama seakan menjadi tanggungannya, bagian dari hidup. Itulah orang Samaria yang baik hati yang memiliki passion for humanity (gairah cinta yang berkobar untuk menolong sesama). Ia langsung bergerak; melakukan, bukan hanya berdiskusi dan berteori. Ia bukanlah pribadi NATO (No Action Talk Only; banyak bicara, tak mau kerja), tapi pelaku dan pelaksana kerena punya keprihatinan yang dalam pada nasib dan hidup sesamanya. Penutup Salah satu tanda nyata dari passion for humanity adalah kesediaan untuk berbagi dan memberi apa yang paling berharga (Luk 21: 1-4) bagi kepentingan sesama. Berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah (Mat 22: 21). Yang wajib kita berikan kepada Allah adalah hidup kita karena kita itu adalah gambar (dan tulisan) Allah (Kej 1: 26). Gairah memberi; tergila-gila pada nasib dan hidup sesama tak mungkin tanpa sebelumnya ada passion for Christ (Lihat kisah Wanita Samaria dalam Yoh 4: 5-42). Orang tidak mungkin sehati sepikir dengan Yesus kalau ia sendiri tidak mencintai Yesus. Dalam passion for Christ and humanity diandainya ada cinta agapeik pada Yesus dan sesama.Passion berasal dari bahasa Yuhani pathos yang artinya rasa, hati. Maka nabi disebut pathos ilahi, yaitu pribadi yang sehati (seperasaan) dan sepikir dengan Allah sehingga apa yang dikatakan dan dilakukannya sesuai dengan apa yang dimaui Allah. Untuk itu, nabi rela menyingkirkan perasaan dan kepentingan pribadinya demi terwujudnya kehendak ilahi. Kunci menjadi pathos ilahi adalah relasi personal dengan Allah. Carilah dahulu Kerajaan Allah maka segalanya akan ditambahkan bagimu (Mat 6:33). Gairah akan muncul dengan sendiri kalau orang punya intimitas dengan Allah. Antusias berasal dari en-theos (Yunani). Maka, orang yang hidupnya bersemangat itu (antusias) adalah orang yang hidup dalam Tuhan, yaitu orang yang secara pribadi memang sungguh punya relasi intim dengan Allah (mistik). Ini sebenarnya inti hidup beriman, yaitu hidup kontemplatif sekalipun dengan cara aktif. Orang macam inilah yang hati dan budinya bernyala-nyala seperti hati dan budi Allah. Orang yang hatidan budinya terarah pada Allah, akan mencurahkan seluruh energinya bagi Allah. Orang ini pastilah akan membela kemanusiaan, akan mencintai sesamanya, seperti Allah telah lebih dahulu mencintai seluruh ciptaanNya. Passion for others (humanity) adalah efek langsung dari cinta kita pada Yesus. Pelayanan kita seharusnya merupakan efek langsung dari hidup doa kita. *** (Antonius B. Subianto, OSC).

LAMPIRAN 2

Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh


Asah, Asih, Asuh Ungkapan Sunda ini akrab di telinga masyarakat Sunda dan orang yang hidup di Jawa Barat sebagai tradisi lisan. Dalam tradisi tulisan, ketiga ungkapan ini berkaitan dengan ketiga fungsi masyarakat Sunda yakni Resi, Ratu dan Rama. Paling tidak tiga naskah Sunda

kuno: Sanghyang Siksakanda(ng) KaResian (1518) atau Bagian Aturan atau Ajaran tentang Hidup Arif berdasarkan Darma, Amanat Galunggung (abad ke-12 M), dan Fragmen Carita Parahyangan (abad ke-16 M). Ketiga fungsi ini disebut juga Tritangtu di Bwana, atau tiga ketentuan di muka bumi. Ketiga fungsi inilah yang dikaitkan dengan ungkapan tersebut. Ungkapan Asah, Asih, Asuh, masing-masing menjadi tugas untuk ketiga fungsi sosial dalam tatanan masyarakat Sunda. Jakob Sumardjo[1] dan Edi S. Ekadjati (alm.)[2], dua pakar kebudayaan Sunda menyatakan ketiga fungsi sosial Resi, Ratu dan Rama bersifat tak tergantikan dan berinteraksi satu sama lain. Ketiga fungsi dan posisi itu adalah 1. Resi atau pemimpin dan penasihat di bidang kerohanian dan pendidikan nilai-nilai luhur. Ia memiliki watak khas, berkaitan dengan kata asah, yang merujuk pada pembentukan budi atau nurani sehingga pelaksanaan tugasnya membawa orang lain dan dirinya sendiri pada kesejukan dan kesejahteraan. 2. Ratu atau raja, kepala pemerintahan memiliki tugas pemeliharaan dan perwujudan nilainilai luhur dalam kehidupan. Karenanya, dia haruslah seorang yang berwatak teguh. Keteguhan pendirian ini diungkap dengan kata asih atau sebenarnya adalah welas asih atau belas kasih, bela rasa. 3. Rama atau pendiri dan penatua desa juga kepala keluarga, bertugas menciptakan kemakmuran, memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, melindungi dan merawat keluarga bersama ibu. Tugas itu dikaitkan dengan kata asuh atau pengasuhan orangtua terhadap keluarga. Dengan kata lain, rama menyediakan tempat berpijak dengan sabda atau perbuatannya. Ketiga naskah kuno itu ditujukan kepada Resi dan Ratu, dan beberapa bagian menyinggung pula tentang tugas Rama. Isinya berupa anjuran untuk menjadi pribadi yang memiliki integritas dan bermoral. Justru ketiga naskah tersebut hendak menegaskan betapa ketiga tugas yang berkaitan dengan fungsi tersebut tidak bisa diabaikan karena tugas-tugas ini berkaitan dengan dua matra: matra eksternal atau interaksi sosial dalam masyarakat, dan matra internal atau interaksi internal, penataan batin manusia. Sanghyang Siksakandang Karesian di atas menunjukkan bahwa kedua matra ini berhubungan satu sama lain, fungsi matra eksternal tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa ekspresi matra internal dan sebaliknya. Dalam keterkaitan kedua matra inilah, ketiga fungsi dan tugas ini dirangkum dengan kata silih.

Silih Umumnya, kata silih dalam bahasa Sunda tidak hanya diterjemahkan menjadi saling, timbal balik atau berbalas dalam bahasa Indonesia. Makna konotatif kata silih ialah kesetaraan. Implikasi sudah menunjukkan bahwa asah, asih, dan asuh terjadi dalam kedudukan yang sejajar. Ketiga fungsi sosial Resi, Rama dan Ratu tidak tersusun secara hirarkis. Rama (masyarakat umum) Ratu (pimpinan negeri) dan Resi (pemuka kerohanian) berada dalam kedudukan sejajar. Jika digambarkan dalam diagram maka tatanan sosial menurut kebudayaan Sunda adalah kedudukan yang setara. Robert Wessing, seorang pakar Sunda dari Belanda, menemukan fungsi Resi, Ratu dan Rama di Desa Pameuntasan Kecamatan Ciwidey. Fungsi tersebut tidak terdapat dalam sosok figur seorang pemuka jemaat, seorang pemimpin desa atau seorang pendiri desa. Tetapi, fungsi itu dijalankan oleh kampung sebagai representasi fungsi tersebut. Kampung Pameuntasan, Ciseah dan Gajah adalah ketiga kampung itu. Pameuntasan berfungsi sebagai Ratu, Ciseah sebagai Rama (yang mewakili perkampungan muslim) dan Gajah sebagai Resi, yakni komunitas yang menjaga adat dan tradisi Sunda di desa itu [3] atau disebut Kabuyutan.

Kampung Gajah juga merupakan tempat makam pendiri desa Pameuntasan berada. Apa yang ditemukan Wessing merupakan matra eksternal ketiga fungsi dan tugasnya masing-masing. Dalam matra internal, penataan hidup batin seseorang, naskah-naskah Sunda Kuno menunjukkan bagaimana ketiga fungsi dan tugasnya masing-masing dihayati dalam hidup perorangan. Sanghyang Siksakanda (ng) Karesian secara implisit menyatakan bahwa tugas silih Asah yang dilaksanakan para Resi dimulai dari dirinya sendiri. Seorang Resi harus bisa mendidik dan mengajar dirinya sendiri dengan melakukan tata nilai dan moralitas yang diajarkannya kepada Ratu dan para Rama kelak. Dalam hal ini, seorang Resi menggembleng dirinya sendiri, membangun integritas diri. Demikian juga, Amanat Galunggung, amanat untuk calon Raja. Seorang Raja harus bisa mewujudkan belas kasih dalam tindakannya. Karena itu seorang calon Raja harus menggembleng dirinya dengan menghayati tata nilai luhur dan moralitas, dengan demikian Ia belajar untuk berbelas kasih. Dari dua naskah itu bisa ditarik analogi untuk Rama dan tugasnya. Jika Rama tidak mengasuh dirinya sendiri, dan juga tidak mengasuh anggota keluarga dan masyarakatnya, dia tidak bisa disebut sebagai Rama. Inspirasi untuk Hidup Menggereja Inspirasi yang bisa didapat dari ketiga fungsi sosial dan tugasnya masing-masing untuk hidup menggereja di Keuskupan Bandung berkaitan dengan: 1. Dalam matra internal Gerejawi, fungsi dan posisi dalam Gereja: Imam, Raja dan Nabi. Ketiganya secara metaforik menggambarkan pula jabatan dalam Gereja universal dan lokal. Tugas ketiga fungsi itu menguduskan, menggembalakan dan mengajar justru menegaskan bahwa ketiga posisi itu menampilkan kesederajatan dalam Umat Allah. Ketiganya menyatu sekaligus juga otonom. Dengan demikian, ketiga posisi dan tugasnya ini mengandaikan Imam, Raja dan Nabi secara inklusif menentukan keberadaan satu sama lain. 2. Sementara itu dalam matra eksternal: hubungan Gereja dengan dunia, inspirasi kata silih ialah tanpa relasi timbal balik Gereja tidak berjatidiri. Tanpa menghayati fungsi mengajar, memimpin dan menguduskan secara otonom dan simultan, Gereja hanyalah sebuah organisme birokratis yang hirarkik dan kaku. Ia hanya menjadi eksklusif bahkan dalam lingkup internal di antara sesama umat Allah sendiri. Inilah yang ditegaskan Rm. Mangunwijaya dengan gagasannya, Gereja Diaspora. Dengan gagasannya itu, Rm. Mangunwijaya menegaskan bahwa inklusivitas Gereja jejaring bersifat dinamis dan mengandaikan relasi timbal balik di antara sesama posisi penggembalaan dalam Gereja, dan relasi yang sama dengan kaum beragama lainnya. Hanya dengan berelasi semacam itu, Gereja mengejawantahkan panggilannya sebagai Tubuh Kristus. Fungsi penggembalaan, kepemimpinan dan pengudusan adalah hakikat dari Gereja yang diwujudkan dalam posisi-posisi pastoral. Selama Gereja hanya dipahami dari Jatidirinya saja sebagai Tubuh Kristus. Tanpa dijelaskan apa esensi Tubuh Kritus, Gereja tak ubahnya menjadi lembaga birokrasi yang kaku dan beku. Karena itu, misi bukanlah sifat atau atribut Gereja, Misi adalah ekspresi paradigma fungsi atau hakikat Gereja.*** (Stephanus Djunatan, Universitas Katolik Parahyangan). Referensi
Danasasmita, Saleh, et al., ed., 1987, Sewaka Darma, Sanghyang SiksaKandang Karesian, Amanat

Galunggung, Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Ekadjati, Edi S., 2005, Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah Jilid 1, Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan II Ekadjati, Edi S., 2009, Kebudayaan Sunda, Zaman Pajajaran, Jilid 2, Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan II Mangunwijaya, Y.B., Pr., 1999, Gereja Diaspora, Yogyakarata: Penerbit Kanisius

Sumardjo, Jakob, 2003, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-Tafsir Pantun Sunda: Bandung: Kelir Sumardjo, Jakob, 2006, Khazanah Pantun Sunda, Sebuah Interpretasi, Bandung: Kelir Wessing Robert, 1979, Life in the Cosmic Village: Cognitive Models in Sundanese Life, in Art, Ritual and Society in Indonesia, Edward M. Bruner & Judith O. Becker (eds.), Athens: Ohio University, Center for International Studies, Southeast Asia Program, Papers in International Studies, Southeast Asia Series, no. 53, pp. 96 126. Wessing Robert, 2001, Telling the Landscape: Place and Meaning in Sunda (West Java) in the Journal Moussons vol. 4, pp. 33 61.

[1] [2]

Sumardjo 2003, 2006 Ekadjati 2009: 138 139 cf. cat kaki no. 89: kutipan naskah kuno lainnya, Fragmen Carita Parahyangan (abad ke 16 M), Sang rama, sang resi, sang prabu hendaklah mengerti sungguh-sungguh pembagian hak-hak kalian. Sang resi berwatak memberi kesejukan, sang rama berwatak member tempat berpijak, sang prabu berwatak pendirian teguh. Nurani wajib dimiliki oeh sang resi, ucapan wajib dimiliki oleh sang rama, dan kekuatan wajib dimiliki oleh sang prabu. [3] Wessing 1979, 2001

Anda mungkin juga menyukai