Anda di halaman 1dari 11

1

Analisis Faktor-Faktor Pada Keluarga Dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Perumahan Bukit Kencana Jaya, Kota Semarang, Jawa Tengah, Tahun 2007.
Nurul Azizah Khoiriyah *), Retno Mariani *), Lia Astriana**) *) Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang Angkatan Tahun 2006 **) Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang Angkatan Tahun 2005 ABSTRAK Latar Belakang : Tujuan Penelitian adalah untuk mencari faktor-faktor pada keluarga dalam pencegahan Penyakit Demam Berdarah dengue (DBD) di Perumahan Bukit Kencana Jaya Kota Semarang. Metode : Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengidentifikasi kepercayaan masyarakat dan potensi masyarakat dalam pencegahan Penyakit DBD. Dalam penelitian ini, informan penelitiannya adalah keluarga (bapak, ibu, anak), tokoh agama/masyarakat dan petugas kesehatan. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah untuk pengumpulan data. Metode triangulasi dan kecukupan referensi digunakan sebagai teknik validitas dan auditing data sebagai teknik reliabilitas. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan masyarakat masih menganggap bahwa Penyakit DBD sebagai penyakit yang berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian. Potensi masyarakat seperti Pemberantasan Jentik Berkala (PJB) dasa wisma, PJB anak sekolah, Program resik-resik kutho, Kelompok Kerja (POKJA) DBD, Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dan fogging swasta adalah potensi yang dapat dikembangkan. Meskipun demikian, ada beberapa hambatan, yaitu terbatasnya dana dalam pemberantasan Penyakit DBD, kurangnya partisipasi masyarakat, tidak adanya perhatian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan program pemberantasan yang kurang komprehensif dan berkelanjutan. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat potens-potensii yang dapat dikembangkan dalam program pemberantasan Penyakit DBD dan terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan program. Keywords : Keluarga, Demam Berdarah Dengue (DBD), Potensi, Hambatan. PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hampir seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit Penyakit DBD, sebab baik virus penyebab (dengue) maupun nyamuk penularnya yaitu Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus sudah tersebar luas di perumahan maupun tempat-tempat umum di seluruh Indonesia, kecuali wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut (Arsin, 2004). Kota Semarang mempunyai jumlah penduduk 1.378.193 jiwa. Kepadatan penduduknya sebesar 3.688 jiwa per km2, tingkat pertumbuhan penduduk 2,09%, dan

2 arus urbanisasi mencapai 36.778 jiwa (Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005). Sebagai kota metropolitan di JawaTengah dengan ketinggian 0,75 sampai dengan 348 diatas permukaan air laut, suhu udara berkisar antara 250 300 C dan kelembaban udara berada diantara 62 84%, Kota Semarang mempunyai tingkat risiko Penyakit DBD yang tinggi. Ini dapat dilihat dari data RSUD Kota Semarang bahwa Penyakit DBD menempati peringkat 4 besar penyakit yang banyak diderita penduduk Kota Semarang (Suara Merdeka, 2005), dan berdasarkan Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005 menempati prioritas pertama dalam program penanggulangan penyakit menular. Jumlah Penderita DBD sebanyak 1.128 kasus dimana jumlah ini menunjukkan adanya peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya 607 kasus. Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang endemis Penyakit DBD. Setiap tahun selalu dijumpai kasus Penyakit DBD. Dari hasil catatan pada Dinas Kesehatan Kota Semarang, sejak tahun 1969 telah terjadi beberapa kali letusan KLB, yaitu pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1990, 1996, dan yang terakhir pada tahun 1998 dijumpai sebanyak 1400 kasus dengan jumlah kematian 3 orang. Tingkat kepadatan jentik masih cukup tinggi yaitu pada tingkat kepadatan 3 sampai 5 (HI=19,4%, CI 9,5% dan BI=35). Dari 177 kelurahan yang ada pada 16 kecamatan di Kota Semarang, tercatat 124 kelurahan merupakan kelurahan yang endemis Penyakit DBD, 41 kelurahan merupakan kelurahan sporadis Penyakit DBD, dan hanya 12 kelurahan yang bebas (potensial) dari Penyakit DBD (Wuryanto, 2002). Dari data kasus DBD dan klasifikasi desa di Kota Semarang Tahun 2005 yang dilaporkan Dinas Kesehatan Kota Semarang, Kecamatan Tembalang merupakan salah satu kecamatan endemis tinggi (angka endemisnya = 12,6) Penyakit DBD dengan jumlah kasus terbesar di Kota Semarang, yaitu 136 kasus. Dari 12 kelurahan yang dimiliki oleh Kecamatan Tembalang, 2 kelurahan merupakan kelurahan sporadis dan 10 kelurahan merupakan kelurahan endemis Penyakit DBD. Salah satu kelurahan endemis adalah Kelurahan Meteseh, terutama di wilayah Perum Bukit Kencana Jaya. Data kasus DBD dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Data Kasus DBD dan Klasifikasi Kecamatan Di Kota Semarang. Klasifikasi Kecamatan Endemis Tinggi Sedang Rendah 1 Semarang Tengah 27 37 10.1 2 Semarang Utara 43 79 8.5 3 Semarang Timur 26 59 10.2 4 Semarang Selatan 53 97 13.1 5 Semarang Barat 47 112 15.5 6 Gayamsari 31 50 12.4 7 Candisari 59 89 8.9 8 Gajahmungkur 22 97 14.0 9 Genuk 55 69 9.9 10 Pedurungan 80 103 10.3 11 Tembalang 71 113 12.6 12 Banyumanik 42 92 12.2 13 Gunungpati 9 28 5.2 14 Mijen 3 13 5.8 15 Ngaliyan 27 75 17.4 16 Tugu 12 15 18.9 Sumber : Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005. 2002 2003 Kelurahan Meteseh, khususnya Perum Bukit Kencana Jaya (BKJ) yang terdiri dari 4 blok (A, B, C,D) memiliki 5 RW (Rukun Warga), yaitu RW XI, XII, XIII, XIV, XV dan 38 RT (Rukun Tetangga) merupakan perumahan dengan karakteristik yang khas, yaitu secara sosial ekonomi berpenghuni mulai dari kelas menengah - rendah dan menengah tinggi. Kebanyakan rumah dihuni, namun tidak sedikit rumah yang tidak dihuni, karena biasanya hanya berstatus rumah investasi. Semua rumah memiliki tandon air (tempat penampung air), karena sumber air dari PDAM hanya mengalir setiap 2 hari sekali. Kerja bakti warga (yang diwujudkan dalam bentuk bersih-bersih blok/gang) tidak selalu dilakukan setiap 1 bulan sekali. Pada setiap ujung blok terdapat tanah kosong dan pada setiap RW memiliki fasilitas Taman dan Lapangan. Jarak antar rumah tidak ada karena rumah saling berhimpitan dan sebagian besar penduduk bekerja di kantor, baik swasta maupun pemerintah, yang memiliki jam kerja tertentu. Tingkat pendidikan termasuk tinggi, yaitu kebanyakan SMU dan Perguruan Tinggi. Perum BKJ dikenal sebagai Perum yang agamis dengan tingkat toleransi antar umat beragama tinggi, memiliki 2 masjid, 7 musholla, dan 2 gereja. Perum BKJ juga memiliki 1 Sekolah Dasar, 2 Taman Kanak-Kanak, 2 Playgroup dan 9 Taman Pendidikan AlQuran. Perum BKJ hanya memiliki dua orang dokter praktik dan 1 fisioterapis praktik . No Kecamatan Kasus

4 Secara geografis dan transportasi, Perum BKJ yang berada di Kelurahan Meteseh, tidaklah terlalu sulit dan dekat dengan pusat kota (kira-kira 15 km), namun kasus Penyakit DBD cukup tinggi. Berdasarkan survei pendahuluan di RW XIV pada Bulan Pebruari 2006 terdapat 7 kasus dengan jumlah kematian 1 orang (bayi berumur 8 bulan). Kendala yang dapat diamati peneliti adalah ketidaktahuan masyarakat tentang cara pencegahan Penyakit DBD yang efektif dan ketidakmauan masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan. Salah satu cirinya adalah bahwa mereka hanya akan melakukan tindakan pengasapan dan pembersihan lingkungan jika sudah ada warga yang terkena gejala-gejala/penyakit DBD. Keluarga sebagai ujung tombak pembangunan dan sebagai unit terkecil dalam masyarakat perumahan yang menjadi pusat pelaksana kegiatan didalam masyarakat perumahan, mempunyai posisi yang strategis dalam upaya pemotongan rantai penularan Penyakit DBD (WHO, 1999). Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat. Disamping itu, keluarga sebagai suatu unsur dalam struktur sosial merupakan dasar pembentuk utama struktur sosial yang lebih luas. Peran tingkah laku yang dipelajari didalam keluarga merupakan contoh atau prototip peran tingkah laku yang diperlukan dalam segi-segi lainnya dalam masyarakat (Goode, 1995; Glanz, 1990). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peranan keluarga dalam upaya pencegahan Penyakit DBD, guna menunjang program pemberantasan penyakit DBD di kota Semarang. MATERI DAN METODE Lokasi penelitian terletak di Perumahan Bukit Kencana Jaya Kelurahan Meteseh Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kualitatif untuk menggali informasi mengenai potensi masyarakat, faktor kepercayaan, dan faktor psikososial dalam kaitannya dengan pencegahan Penyakit DBD. Secara kualitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian naturalistik-kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati. (Maleong, 2001). Informan dalam penelitian ini adalah keluarga (bisa diwakili bapak/ibu/anak), tokoh masyarakat/agama dan petugas kesehatan. Instrumen penelitian yang dipakai adalah peneliti sendiri sebagai instrumen, Alat bantu penelitian yang dipakai adalah panduan wawancara untuk wawancara mendalam (WM) tokoh masyarakat dan petugas kesehatan, serta panduan wawancara

5 untuk Diskusi Kelompok Terarah (DKT) informan. Triangulasi dan kecukupan referensi digunakan sebagai teknik pemeriksaan terhadap derajat kepercayaan (validitas). Kriteria kebergantungan dan kepastian pemeriksaan (reliabilitas) dilakukan dengan teknik auditing, yaitu dengan cara memeriksa,menyeleksi dan mengelompokkan data hasil wawancara yang disesuaikan dengan topik-topik penelitian. Analisis data kualitatif yang digunakan disini bersifat terbuka dan mengikuti pola pikir induktif. Dalam proses berpikir induktif, pengujiannya bertitik tolak dari data yang telah terkumpul untuk dianalisis. Data kualitatif diolah sesuai dengan karakteristik penelitiannya dan diolah dengan metode analisis deskripsi. Pengolahan data disesuaikan dengan tujuan penelitian. Selanjutnya data diverifikasi dan disajikan dalam bentuk deskriptif (Kusnanto, 2000). Tahapan analisis data adalah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, verifikasi dan penarikan simpulan. Pendekatan yang digunakan adalah emik (Emic Dimension), yaitu peneliti mengidentifikasi masalah informan dan menguraikan dari apa yang telah didengar secara nyata tanpa mempengaruhi opini informan (Maleong, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN a. Faktor Kepercayaan Berdasarkan hasil wawancara mendalam (WM) terhadap 2 orang tokoh masyarakat (toma) / agama (toga), yaitu AB dan S mengenai kepercayaan terhadap Penyakit DBD, didapatkan hasil bahwa AB percaya jika Penyakit DBD menular, jika nyamuk yang sudah menggigit penderita kemudian menggigit orang yang mempunyai golongan darah sama dan kondisi badan dalam keadaan lemah. S mengatakan Penyakit DBD bisa menular, tapi tidak semua menular, hanya karena kebetulan siapa yang kena gigitan. Meskipun demikian, gigitan nyamuk tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa, jika kondisi badan dalam keadaan sehat/fit. Kepercayaan mengkonsumsi jambu biji untuk upaya pencegahan Penyakit DBD ternyata dipercayai oleh AB, karena sudah pernah ada yang mencobanya dan berhasil, tetapi apabila kondisi penderita belum parah. Sedangkan S tidak mempercayai mengkonsumsi jambu biji bisa mencegah DBD, bahkan jambu biji bisa berbahaya bagi usus. Kepercayaan ini belum pasti, karena responden belum pernah menelitinya. Kepercayaan olahraga dan makan teratur dapat mencegah Penyakit DBD dipercayai oleh AB, dengan syarat lingkungan disekitarnya tetap terpelihara kebersihannya. S mengatakan kalau sering berolahraga memang menyebabkan jarang

6 terkena penyakit, namun makan yang teratur belum tentu mencegah penyakit, karena hal itu tergantung kebiasaan masyarakat. Ada kebiasaan pola makan tertentu dimasyarakat, seperti tidak sarapan karena menyebabkan mengantuk/malas, membawa jajan dari rumah, minum teh/kopi dipagi hari. Jika kebiasaan itu dikaitkan dengan risiko terkena DBD, maka mereka tidak setuju. AB dan S sepakat bahwa dengan menjaga kebersihan lingkungan, maka membantu orang lain untuk tidak terkena DBD. Hubungan antara pencegahan Penyakit DBD dengan ajaran agama (berdoa supaya tidak sakit, mematuhi nasehat ustad/kyai), mendapat respon positif dari AB dan S. Menurut AB, Islam (agama) mengajarkan untuk selalu menjaga kebersihan, berdoa supaya terhindar dari penyakit dan tidak tidur pada jam-jam bekerja. Contohnya, wudhu dan membersihkan pakaian kalau mau ibadah sangat berkaitan dengan kebersihan diri, berdoa sebagai sarana kepasrahan terhadap sang pencipta, dan tidak tidur pada pagi dan siang hari merupakan perilaku yang dapat mengurangi kasus DBD. Biasanya selalu ada nasehat-nasehat tersebut dari ustad/kyai, sehingga mereka patuh. Menurut AB, akan lebih baik lagi jika ustad/kyai memberikan penyuluhan tentang DBD. S mengatakan ajaran agama islam sangat berhubungan dengan kebersihan seperti wudhu dan membersihkan pakaian kalau mau ibadah. Apabila ustad/kyai memberi nasehat sesuai syariat harus dipatuhi. AB mengatakan bahwa kondisi daerah yang aman dari Penyakit DBD tetap perlu diwaspadai, sedangkan S lebih percaya bahwa Penyakit DBD belum terlalu berbahaya bagi dirinya dan masyarakat. Pada lokasi penelitian ini, kehidupan beragama sangat kental, sehingga toga/ustadz/kyai mempunyai peran yang penting dan strategis dalam pengambilan keputusan dimasyarakat. Bukti lain adalah bahwa disetiap blok bahkan disetiap RW selalu terdapat musholla/masjid yang sebagian besar mempunyai Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ). Kehadiran tempat ibadah (masjid/musholla) ini mempunyai tempat yang strategis, karena biasanya digunakan untuk mengobrol disela-sela menunggu waktu sholat tiba atau bahkan sehabis sholat, diskusi, melepas lelah, latihan seni (rebana/nasyid/seni islami lainnya), rapat-rapat tamir, dan sebagainya. Dari pantauan peneliti selama ini bahwa untuk kegiatan keagamaan masyarakat cenderung mendukung secara penuh kegiatan tersebut, apalagi jika sudah diberi/diumumkan oleh ustadz/kyai. b. Faktor Sikap Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah (DKT) terhadap informan yang berjumlah 8 orang, yaitu A, D, Gi, Go, H, K, Si, Su, didapatkan hasil bahwa sebagian besar peserta diskusi tidak sependapat bahwa makan makanan bergizi dan pemeriksaan

7 kesehatan secara rutin dapat mencegah Penyakit DBD. Hal ini dikarenakan sikap mereka terhadap pencegahan Penyakit DBD lebih terpaku pada kegiatan PSN melalui 3M untuk memberantas vektor / agent penyakit dan lingkungan, sehingga mereka melupakan pengaruhnya terhadap host atau konsep peningkatan ketahanan diri (imunitas). Para peserta percaya bahwa Penyakit DBD merupakan penyakit yang berbahaya, tetapi nongkrong/cangkrukan disore hari menurut mereka tidak berbahaya dan menyenangkan, serta tidak berisiko tergigit nyamuk Aedes Agypty. Mereka berpendapat bahwa dekat/bergaul dengan orang yang terkena DBD, tidak akan berisiko terkena DBD. Hal ini didasari oleh pengetahuan mereka tentang habitat nyamuk aedes Agypty hanya ada didalam rumah, tidak tahu nyamuk jenis apa yang menggigit mereka, sikap bahwa daerah mereka aman dari penyebaran DBD di sore hari termasuk tidak mungkin menular/tidak berisiko walaupun bergaul dengan orang yang terkena DBD. Hal mendasari adalah pengalaman mereka yang hanya menjumpai nyamuk aedes Agypty ketika didalam rumah dan jarang mereka temui disore hari ketika diluar rumah. Apalagi sebagian besar informan selalu melakukan kegiatan kemasyarakatan/keagamaan pada sore hari. Disamping itu, pengalaman mereka selalu berdekatan dengan penderita DBD (anak, anggota keluarga lain, tetangga) tidak berakibat mereka terkena Penyakit DBD. Semua peserta menyatakan tidak keberatan untuk menolong apabila ada tetangga yang sakit DBD. Mereka juga prihatin jika melihat ada tetangga yang sering terkena DBD. Sebagian besar informan tidak keberatan untuk melakukan kerja bakti supaya bebas dari sarang nyamuk, hanya D dan H saja yang keberatan melakukan kerja bakti. Semua peserta bisa berpartisipasi dalam pemberantasan Penyakit DBD, tanpa dihalangi oleh keluarganya. Disini dapat dilihat, bahwa meskipun hidup dilingkungan perumahan, kultur masyarakat perkampungan/tradisional juga masih melekat pada diri mereka, karena kultur tradisional masih dianggap berguna/tetap dilestarikan dalam kehidupan sehari hari. Semua informan setuju bahwa agama menganjurkan hidup bersih dan sehat, tetapi informan tidak pernah membersihkan TPQ (Tempat Pendidikan Al-Quran) dan masjid, karena sudah ada petugasnya. Sebagian besar informan percaya adanya takdir, tapi harus ada usaha terlebih dahulu dalam hal Pencegahan Penyakit DBD. Hal ini didasari pemahaman informan yang cukup mengenai ilmu agama, sehingga merekapun berpendapat bahwa pemberantasan DBD merupakan tugas bersama,sehingga harus

8 tetap diusahakan untuk memberantasnya dengan semaksimal mungkin. Tetapi, jika hal tersebut tetap gagal, maka baru mereka menyatakan bahwa itu takdir. Disinilah peran toga/ustadz/kyai sangat menentukan untuk menggerakkan masyarakat dalam upaya pencegahan Penyakit DBD. Semua informan merasa tidak repot apabila membersihkan tempat penampungan air (TPA) seminggu sekali, karena sumber air lancar. Semua informan selalu membersihkan ruangan-ruangan dalam rumah supaya tidak lembab,kotor dan gelap. Para peserta berbeda pendapat mengenai menggantungkan baju habis pakai. A, Gi, Su berpendapat bahwa menggantung baju habis pakai menyebabkan nyamuk aedes semakin banyak jumlahnya, sedangkan D, H, K, Go, Si, berpendapat menggantung baju habis pakai tidak menyebabkan nyamuk aedes bertambah banyak. c. Potensi masyarakat Berdasarkan hasil wawancara mendalam (WM) terhadap 2 orang petugas dari puskesmas dan dinas kesehatan yaitu Z dan W mengenai potensi masyarakat berkaitan dengan pencegahan Penyakit DBD, didapatkan hasil bahwa semua informan sudah bekerja dibidangnya lebih dari 4 tahun. Z mengatakan, secara umum karakteristik masyarakat masih berbudaya paternalistik dan tradisional. Perilaku masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan masih kurang baik. Namun, budaya kekerabatan/kekeluargaan dan kebersamaan masih tinggi. Hal ini didukung adanya sikap positif masyarakat terhadap lingkungan kemasyarakatan dan keagamaan, sehingga merupakan modal yang besar dalam program pencegahan Penyakit DBD. Pandangan petugas kesehatan terhadap Penyakit DBD adalah masih menjadi penyakit yang berbahaya, apalagi dengan adanya resistensi terhadap obat pembasmi serangga, perubahan gejala-gejala dan kejadian-kejadian khas lainnya., seperti kebanyakan diagnosa awal penderita keliru/samar dengan tipus, penderita yang masuk tempat pelayanan kesehatan sudah stadium darurat (stadium 3), dan sebagainya. Partisipasi masyarakat dalam pencegahan Penyakit DBD masih kecil/kurang, sehingga perlu trobosan-trobosan, seperti pemeriksaan jentik berkala (PJB) anak sekolah, dasawisma, dan petugas khusus PJB (TPJ/Tugas pemantau jentik), program resik-resik kutho, penggerakan kembali kelompok kerja (pokja) DBD, program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pemberdayaan fogging swasta melalui iuran warga. Potensi yang ada cukup besar untuk dikembangkan, namun butuh dukungan secara luas dari masyarakat dan khususnya pemerintah kota. Namun kendala-kendala yang ada juga membutuhkan penyelesaian secara tuntas. Perlu terobosan-terobosan kegiatan yang

9 aplikatif di tingkat masyarakat, serta dituntut menciptakan strategi dan kebijakan cerdik yang sesuai dengan situasi-kondisi yang ada. Contohnya, dengan menjalin kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dengan beberapa pihak terkait, seperti dasa wisma (Dawis), LSM-LSM, sekolah-sekolah, dinas-dinas atau instansi terkait lainnya. Penggalangan bantuan melalui Dawis dan sekolah-sekolah sudah dijalankan, tetapi belum menunjukan hasil yang optimal. Penggalangan bantuan ke LSM-LSM baru pada tahap persiapan, sedangkan pengembangan PJB melalui pegawai pemerintah Kota Semarang tidak/belum mendapat persetujuan. Hasil WM juga menunjukkan bahwa beberapa kendala yang terjadi juga ternyata karena berhubungan dengan sumber daya manusia, yang masih kekurangan dalam banyak hal (kualitas dan kuantitas). Disamping itu, kendala yang berhubungan dengan stake holders dan decision makers atau policy makers yang lebih tinggi juga memegang peranan kunci dalam upaya pencegahan Penyakit DBD. Perlu adanya pengembangan organisasi untuk meningkatkan mutu dan kinerja petugas kesehatan, disamping pendekatan personal dan pemberian reward & punishment juga sangat diperlukan. Beberapa kendala lain yang masih ada adalah dana program pemberantasan DBD yang terbatas, kurangnya partisipasi masyarakat secara menyeluruh, kurang berminatnya pihak LSM-LSM dalam pemberantasan DBD, belum adanya program pemberantasan yang komprehensif dan berkelanjutan karena kurangnya dukungan pemerintah kota, merupakan masalah-masalah yang harus segera dicari solusinya. Kerjasama juga digalang Dinas Kesehatan Kota Semarang dengan beberapa pihak terkait, seperti dasa wisma (Dawis), LSM, sekolah-sekolah, dinas-dinas lain. Penggalangan bantuan ke LSM-LSM baru pada tahap persiapan, sedangkan pengembangan PJB melalui pegawai pemerintah Kota Semarang tidak/belum mendapat persetujuan. Beberapa kendala yang terjadi juga ternyata karena berhubungan dengan sumber daya manusianya, yang masih kekurangan dalam banyak hal. Meskipun demikian, beberapa potensi lokal muncul dalam wawancara mendalam, meskipun banyak kendala yang ada. Beberapa potensi sudah disebutkan diatas dan beberapa strategi promosi sudah dilaksanakan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Semarang, diantaranya penyuluhan kesehatan tentang DBD, advokasi ke DPRD dan pendekatan kerjasama dengan instansi lain di kepemerintahan Kota Semarang. SIMPULAN 1. Kepercayaan bahwa Penyakit DBD merupakan penyakit

10 yang menular melalu gigitan nyamuk. Mengkonsumsi jambu biji, makan dan olah raga secara teratur dapat mencegah terkena Penyakit DBD. Adanya kepercayaan bahwa ajaran agama berhubungan dengan pencegahan Penyakit DBD. 2. Mempunyai sikap bahwa makan makanan bergizi dan pemeriksaan kesehatan secara rutin tidak dapat mencegah Penyakit DBD. Penyakit DBD merupakan penyakit berbahaya, tetapi tidak berrisiko terjadi penularan ketika bergaul/dekat dengan penderita DBD dan tidak berrisiko terjadi penularan ketika nongkrong/cangkrukan disore hari bersama-sama. Informan menyatakan bahwa tidak keberatan untuk menolong apabila ada tetangga yang sakit DBD dan mereka juga prihatin jika melihat ada tetangga yang sering terkena DBD. Informan juga tidak keberatan untuk melakukan kerja bakti supaya bebas dari sarang nyamuk dan mau berpartisipasi dalam pemberantasan Penyakit DBD, tanpa dihalangi oleh keluarganya. Informan juga mempunyai sikap bahwa agama selalu menganjurkan hidup sehat dan bersih. 3. Potensi Masyarakat yang ada antara lain : a. Karakteristik masyarakat masih berbudaya paternalistik dan tradisional. Namun, budaya kekerabatan/kekeluargaan dan kebersamaan masih tinggi. b. Nilai-nilai religius masih dipegang teguh oleh masyarakat. c. Adanya trobosan-trobosan kegiatan lain, seperti pemeriksaan jentik berkala (PJB) anak sekolah, dasawisma, program resik-resik kutho, dan sebagainya. d. Adanya kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dengan beberapa pihak terkait, seperti dasa wisma (Dawis), LSM-LSM, sekolah-sekolah, dinas-dinas atau instansi terkait lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih setinggi-tingginya, peneliti sampaikan kepada : 1. Kusyogo Cahyo, SKM, M.Kes selaku ilmiah ini. 2. Dekan FKM UNDIP dan seluruh pembimbing dalam penelitian dan penulisan karya

11 civitas akademika yang telah kesempatan dan

memberikan

fasilitas dalam penelitian ini. 3. Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam penyediaan data yang dibutuhkan. 4. Masyarakat penelitian. DAFTAR PUSTAKA : Anonimus, Anonimus, 2005. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2003. Dinas Kesehatan 2005. Potensial Terserang DB. Koran Harian Umum Suara Merdeka, Kota Semarang, Jawa Tengah, hlm 5 Selasa, 1 Desember, metropolitan hlm 7. Arsin Arsunan, dkk, 2004. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Makassar. Jurnal Kedokteran YARSI Lemlit Universitas YARSI Vol 12 (2), Jakarta, hlm 23-33. Glanz, et all, 1990. Health Behavior and Health Education; Theory, Research and Practice. Jossey Bass Publishers, San Francisco-Oxford, pp.39 Goode J William, 1995. Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara, Jakarta, hlm 7-12. Kusnanto Hari, 2000. Metode Kualitatif dalam Riset Kesehatan. Program Magister Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM, Yogyakarta, h-4. Maleong Lexy J, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remaja Rosdakarya cetakan ke XIV, Bandung, hlm 26. WHO, 1999. Demam Berdarah Dengue; Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian. Penerbit Buku Kedokteran Edisi 2, Jakarta, hlm 1-33. Wuryanto Ari, dkk, 2002. Model Pendekatan Keluarga Sebagai Cara untuk Memotong Mata Rantai Penularan DBD di Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia FKM Undip Vol. 1 (1), Semarang, hlm 22-26. Perumahan Bukit Kencana Jaya sebagai informan

Anda mungkin juga menyukai