Anda di halaman 1dari 13

Pengajaran Bahasa Asing

Pembicaraan mengenai pengajaran bahasa tidak bisa dilepaskan dari konteks pembelajaran bahasa. Keduanya berkait erat dan melibatkan berbagai variabel yang jumlahnya banyak. Intinya adalah bahwa proses belajar mengajar bahasa itu bukan hal yang sederhana dan tidak bisa diamati sekedar sebagai potongan-potongan kegiatan mengeluarkan dan menimba bahan saja. Pengajaran bahasa asing, termasuk BIPA, sebagai kegiatan profesional telah melahirkan berbagai kerangka teoretis yang melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 - 1960 tampak sekali adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan linguistik dan psikologi akan menjadi landasan terbaik guna memecahkan masalah pengajaran bahasa. Selanjutnya, lahirlah berbagai model yang melihat faktor-faktor berpengaruh dalam menelorkan pedagogi bahasa, seperti model dari Campbell, Spolsky, Ingram, dan Mackey (baca Stern, 1983). Pembelajaran bahasa sering hanya memusatkan perhatian pada tingkah linguistik saja dengan mengabaikan tingkah non-linguistiknya. Dalam konteks ini Bloomfield (1933:499) menyatakan bahwa Whoever is accustomed to distinguish between linguistic and non-linguistic behavior, will agree with the criticism that our schools deal too much with the former, drilling the child in speech response phases of arithmetic, geography, or history, and neglecting to train him in behavior toward his actual environment. Sistem pengajaran formal di sekolah dalam konteks pembelajaran bahasa hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat adalah antara lain variabel pajanan (exposure), usia si pembelajar, dan tingkat akulturasi (Krashen, 1982:330). Dalam berbagai penelitian yang dilaporkan oleh Krashen (1982:37-43), pajanan itu terkadang berkorelasi positif dan berarti dengan kemahiran berbahasa, tetapi terkadang juga tidak. Dalam hal variabel usia yang sering diasumsikan sebagai suatu penduga kemahiran B2, Krashen, Long dan Scarcella yang dikutip oleh Krashen (1982:43) mengetengahkan generalisasi berikut berdasarkan hasil penelitiannya: (1) Orang dewasa bergerak lebih cepat dari pada anak-anak dalam melampaui tahapan dini perkembangan B2-nya; (2) dengan waktu dan pajanan yang sama, anak yang lebih tua melalui proses pemerolehan bahasa lebih cepat dari pada anak yang lebih muda; dan (3) pemeroleh yang memulai pajanan alamiah terhadap B2 pada masa anak-anak pada umumnya mencapai kemahiran B2 lebih baik dari pada yang memulai pajanan alamiahnya sebagai orang dewasa. Tingkat akulturasi si pembelajar terhadap kelompok bahasa sasaran akan mengontrol tingkat pemerolehan bahasanya. Menurut Schumann yang diuraikan Larsen-Free man (di Bailey, Long & Peck (penyunting), 1983), akulturasi itu meliputi dua kelompok faktor: variabel sosial dan variabel afektif.

Sedikit berbeda dengan Krashen, Titone (di Alatis, Altman, dan Alatis (penyunting), 1981:74-75) menduga bahwa motivasi, bakat bahasa, dan jumlah waktu yang dipakai dalam belajar bahasa merupakan tiga faktor yang paling menonjol yang memberikan ciri pada pembelajaran B2. Demikianlah, konteks pengajaran BIPA itu akan merambah ke berbagai hal terkait seperti ketersediaan dukungan lingkungan pembelajaran yang akan memberikan masukan/bahan yang akan dipelajari, guru dengan kemahiran berbahasa Indonesia yang memadai, siswa dengan segala cirinya, dan metode mengajar yang keefektifannya akan sangat bergantung pada semua faktor yang disebutkan terdahulu. Semuanya akan berinteraksi dalam membuat kegiatan belajar-mengajar BIPA menjadi betul-betul berhasil-guna.

Fenomena Pengajaran BIPA


Terdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tawaran BIPA di berbagai negara. Di Australia, seperti yang dituturkan Sarumpaet (1988), hambatan khas terhadap perkembangan BIPA adalah "kurangnya lowongan pekerjaan atau jabatan untuk mereka yang mempunyai kemahiran dalam BI." Di Korea, menurut Young-Rhim (1988), "hambatan lain yang kami rasakan hanyalah mengenai materi pelajaran." Di Amerika Serikat, persoalan mutu pelajaran masih harus diupayakan pemecahannya, sebagaimana diutarakan oleh Sumarmo (1988). Di Jerman, karena minat mempelajari bahasa dan kebudayaan Indonesia terus meningkat, upaya perlu dilakukan "melalui peningkatan penulisan dan penerbitan buku tentang Indonesia baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa Indonesia" (Soedijarto, 1988). Di Jepang guru BIPA "membutuhkan kamus yang lengkap, terutama kamus yang lengkap dengan contoh pemakaian kata yang cukup banyak" (Shigeru, 1988). Dalam menanggapi kebutuhan akan ketersediaan bahan masukan bahasa dalam konteks pengajaran BIPA ini, perlu diamati berbagai faktor: Misalnya, ada beberapa karakteristik masukan agar masukan itu bisa diperoleh secara cepat dalam konteks pemerolehan bahasa. Keterpelajaran masukan tersebut antara lain ditentukan dengan karakteristik: keterpahaman, kemenarikan dan/atau relevansi, keteracakan gramatis, dan kuantitas yang memadai (Krashen, 1982:62-73). Karakteristik keterpahaman bisa diamati dari perkembangan pemerolehan B2 atau bahasa asihg lewat bahan yang tidak bisa dipahami. Karakteristik kemenarikan dan/atau relevansi diharapkan bisa mendorong si pemeroleh untuk memusatkan perhatian pada isi ketimbang pada bentuk. Masukan yang menarik dan relevan diharapkan mampu menciptakan kondisi pada si pemeroleh sedemikian rupa sehingga ia "lupa" bahwa apa yang sedang diresepsinya diproduksi dalam bahasa kedua atau asing. Dalam situasi belajar mengajar di kelas karakteristik ini sukar dipenuhi, karena keterikatan waktu dan keharusan meliput bahan yang sudah tentera dalam silabus. Dalam hal karakteristik keteracakan gramatis, diketengahkan bahwa manakala masukan itu terpahami dan makna dinegosiasi secara berhasil, masukan yang diisitilahkan oleh Krashen sebagai i+1 itu akan secara otomatis hadir.

Dalam membicarakan pengajaran dan pembelajaran bahasa, lingkungan, dalam pengertian "everything the language learner hears and sees in the new language," (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:13), merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kaitan dengan keberhasilan pembelajaran bahasa itu. Faktor lingkungan makro meliputi (1) kealamiahan bahasa yang didengar; (2) peranan si pembelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan rujukan konkret untuk menjelaskan makna; dan (4) siapa model bahasa sasaran (Dulay, Burt dan Krashen, 1982:14). Sedangkan faktor lingkungan mikro mencakup (1) kemenonjolan (salience), yaitu mudahnya suatu struktur untuk dilihat atau didengar; (2) umpan balik, yaitu tanggapan pendengar atau pembaca terhadap tuturan atau tulisan si pembelajar; dan (3) frekuensi, yaitu seringnya si pembelajar mendengar atau melihat struktur tertentu (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:32). Berkenaan dengan faktor lingkungan mikro, yang pertama adalah kemenonjolan (salience). Kemenonjolan ini merujuk pada kemudahan suatu struktur dilihat atau didengar. Ia adalah ciri tertentu yang tampaknya membuat suatu butir secara visual atau auditor lebih menonjol dari pada yang lain. Faktor lingkungan mikro yang kedua adalah umpan balik. Salah satu jenis umpan balik adalah pembetulan, yang lainnya adalah persetujuan atau umpan balik positif. Faktor lingkungan mikro yang ketiga adalah frekuensi yang diasumsikan sebagai faktor berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa. Makin banyak si pembelajar mendengar suatu struktur, makin cepat proses pemerolehan struktur itu. Tetapi penelitian lain ternyata telah menelorkan hasil yang berbeda (Dulay, Burt, Krashen, 1982:32-37). Ciri-ciri bahan masukan dalam pengajaran BIPA ini termasuk bahan masukan itu sendiri dalam bentuk bahan belajar-mengajar telah tersedia cukup banyak bila guru BIPA mau melanglangbuana ke sana ke mari lewat berbagai media yang ada. Salah satu di antara media yang akan membantu pengembangan bahan ajar serta akan berkontribusi pada upaya peningkatan berbahasa itu adalah media teknologi, khususnya internet.

Pemanfaatan Media Teknologi


Dewasa ini, sebuah lembaga pendidikan tanpa dilengkapi jaringan internet akan kehilangan dinamikanya sendiri. Dalam lingkupnya yang lebih kecil, tampaknya sudah mulai diancangkan bahwa seorang akademisi tanpa menceburkan diri ke lautan internet, akan menciptakan rongga kekosongan yang banyak dalam bidangnya masing-masing. Jaringan internet bagi seorang ilmuwan dapat berfungsi sebagai gudang informasi yang sangat luas liputannya. Dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan, internet dapat berfungsi baik sebagai sumber bahan maupun sebagai penata kerangka pemahaman dan kerangka berpikir bagi pendidikan maupun peserta didik itu sendiri. Mengakses internet menjadi lebih mudah dewasa ini tentu saja dengan catatan si pengakses mempunyai penguasaan akan bahasa asing. Penyedia akses menjadi lebih banyak terus. Di kota Bandung saja, terdapat beberapa pilihan penyedia akses internet, seperti netura, sidola, melsa, pos-giro, dan ibm. Salah satu di antara aplikasi standar internet adalah the world wide web yang lebih dikenal dengan singkatan www. Jaringan ini

merupakan database yang terdistribusi yang di dalamnya berisi informasi dengan berbagai bidang liputan. Bahkan jurnal-jurnal pun beribu jumlahnya dapat diakses melalui jaringan ini. Dalam sebutan sehari-hari kita mendengar kata e-mail, yang merupakan kependekan dari electronic mail. Istilah ini diindonesiakan menjadi surat elektronik, mungkin bagus kalau saya sebut saja ratnik. Sekarang alamat ratnik yang dimiliki seseorang sudah menjadi penanda kecanggihan orang tersebut. Dengan menggunakan ratnik ini, seseorang dapat menerima dan membalas surat atau mengirimkan makalah secara langsung tanpa harus pergi ke kantor pos. Seorang mahasiswa dapat berhubungan langsung dengan tidak terbatas oleh jarak ruang maupun perbedaan waktu kepada dosen atau pembimbingnya. Ratnik ini sangat efektif dan efisien. Dalam waktu yang singkat, bila si penerima membuka internetnya, surat kita telah sampai dengan lengkap. Biaya pengirimannya menjadi sangat murah. Sebuah surat yang panjang akan beralih ke provider dari komputer orang yang akan menerima surat itu hanya dalam beberapa detik saja, walaupun orang tersebut berada di balik belahan bumi ini. Biaya pengiriman kita sangat murah karena akan hanya setara dengan penggunaan telpon lokal beberapa detik saja, tak peduli ke bagian dunia mana kita mengirimkan surat tersebut. Bahkan dengan menggunakan aplikasi seperti telnet kita bisa berkomunikasi secara tertulis dengan orang yang mempunyai akses ke internet di manapun di dunia ini. Dengan memanfaatkan berbagai aplikasi yang ada dalam jaringan internet, berbagai upaya pendidikan dapat lebih ditingkatkan. Tawaran program pendidikan, penggunaan perpustakaan, akses ke ensiklopedia, penjelajahan penerbitan, dan penelusuran jurnal ilmiah merupakan hal yang mudah diperoleh lewat internet itu. Bahkan guru bahasa Indonesia bagi penutur asing dapat mengggunakan berbagai sumber tentang Indonesia dan daerah melalui surat kabar atau majalah yang dapat diakses secara cuma-cuma diberbagai homepage, seperti majalah Tempo, surat kabar Republika dan Kompas. Bahan-bahan lainnya dapat diperoleh melalui akses ke berbagai lembaga yang telah memunculkan informasi dan produknya di jaringan internet. Semua sumber-sumber informasi yang dapat diakses itu memberi peluang bagi guru yang kreatif untuk menciptakan cara baru dalam menyajikan bahan pelajaran. Dari situ juga dapat dilakukan upaya pemilihan bahan utama maupun bahan pelengkap untuk kegiatan belajar mengajar. Bahkan dengan cara tersendiri, guru-guru dapat mengambil bahan tertentu dengan mencetaknya sebagai bahan yang dapat dimodifikasi guna kegiatan belajar-mengajarnya. Laman APBIPA yang untuk sementara terdapat pada http://www.ikip-bdg.ac.id/~apbipa atau http://www.apbipa.org mencoba antara lain memasukkan berbagai situs BIPA yang segera dapat dirambah oleh para anggotanya. Terdapat bahan substansial yang bisa diakses baik oleh guru maupun oleh pembelajar BIPA lewat internet. Misalnya, SEAsite yang dapat diakses lewat http://www.seasite.niu.edu/ menyediakan latihan interaktif, teks bacaan dengan fasilitas kamus dan pertanyaan pilihan ganda. Ada juga bagian

percakapan untuk pemahaman menyimak dan hubungan ke sumber berita dan seni budaya Indonesia. Guru dan pembelajar BIPA dapat pula memperoleh pengajaran tata bahasa dan pelafalan dengan format tradisional terdapat dalam laman Learn Indonesian in Seven Days dalam: http://infoweb.magi.com/~mbordt/bahasa8c.htm yang dikembangkan berdasarkan sebuak buklet sehingga belum mencakupi interaktivitas tetapi cukup berguna untuk menyegarkan pengetahuan. Bagi guru BIPA yang kekurangan ide, dapat memperoleh bantuan dari rancangan pengajaran terstruktur untuk menciptakan tugas interaktif di laman Ayo, Berselancar Berita Indonesia! dalam http://www.epub-research.unisa.edu.au/ AFMLTA/resgideO.htm, sebuah gambaran kelas kolaboratif berdurasi 5 minggu yang dikembangkan berdasarkan telaahan terhadap koran-koran Indonesia on-line sebagai bahan gagasan yang dapat digunakan bagi pengembangan laman kelas. Di dalamnya ada juga 10 rencana pelajaran berdasarkan telaahan terhadap gunung berapi di Indonesia.

Keberhasilan pengajaran dan pembelajaran BIPA sangat tergantung pada keberhasilan guru merancang materi pengajaran yang merupakan alat untuk mencapai sasaran belajar yang hendak dicapai. Sasaran tersebut harus sesuai dengan tujuan belajar siswa, tujuan pengajaran, tujuan kurikuler, atau tujuan institusional.

Buku ajar BIPA tidak banyak tersedia di pasaran atau di perpustakaan besar di Indonesia padahal selama lebih dari 30 tahun BIPA sudah diajarkan di Indonesia dan di lebih dari 50 negara di dunia. Salah satu penyebab utama kelangkaan materi BIPA di Indonesia adalah keengganan para pelaku BIPA untuk menuangkan pengalaman mereka. Chaedar Alwalsillah dalam sinyalemennya melalui The Jakarta Post (22 Agustus 1998) 'Are we ready for IFL teaching?' mengatakan bahwa kelangkaan materi BIPA disebabkan oleh ketidakmampuan kalangan akademis untuk menuliskan pengalaman mereka. Sebenarnya materi BIPA di Indonesia sangat melimpah. Tidak benar jika guru di Indonesia kekurangan atau tidak memiliki materi. Sumber materi jumlahnya tak terhingga mulai dari media massa (media cetak dan elektronik), brosur, dan penutur jati (asli). Kekurangan yang paling besar adalah kemauan, keberanian, dan kemampuan untuk mengolah bahan-bahan itu menjadi bahan pelajaran. Dengan kata lain, kelangkaan sumber daya manusia yang handal merupakan masalah utama dalam pengembangan program BIPA di Bali.

1. Analisis Materi
Dalam menelaah materi pengajaran BIPA kita bisa mulai dengan mengamati tugas-tugas (tasks) yang tercakup dalam materi tersebut. Tugas tersebut bisa berupa tugas pedagogis (pedagodical tasks) atau tugas yang benar-benar dilakukan dalam kehidupan sehari-hari

menggunakan bahasa yang sedang dipelajari (real-world tasks). Untuk memudahkan guru dalam memahami dan merancang tugas yang sesuai, Nunan (1989: 9-10) memberikan definisi tugas sebagai: ... pekerjaan di dalam kelas yang menuntut pembelajar untuk memahami, memanipulasi, mengeluarkan ungkapan dan berinteraksi dalam bahasa yang sedang dipelajari dan pada saat yang sama perhatian mereka terpusat pada penguasaan makna dan bukan pada penguasaan bentuk atau struktur. (Terjemahan saya)

Menurut Breen dan Candlin (dalam Sheldon ed. 1987) tugas adalah rencana kerja yang dirancang secara sistematis mulai dari latihan yang paling sederhana dengan tingkat kesulitan paling rendah sampai dengan kegiatan komunikasi total atau pemecahan masalah. Kedua definisi ini mengisyaratkan kepada guru BIPA bahwa hakekat pembelajaran BIPA sebenarnya bukanlah untuk mempelajari aturan-aturan kebahasaan atau mengerjakan latihan-latihan dalam buku ajar. Semua pengetahuan tentang tata bahasa dan kosa kata serta keterampilan menjawab pertanyaan dan mengerjakan tugas-tugas di dalam kelas (pedagogical tasks) harus bermuara pada penguasaan keterampilan dan kemampuan siswa untuk berkomunikasi di luar kelas dalam bahasa yang sedang dipelajari (real-world tasks). Dengan memperhatikan makna tugas menurut definisi di atas, rancangan materi di bawah ini dapat dianalisis berdasarkan kriteria komponen tugas menurut Nunan (989: 11) sebagai berikut. Materi di atas menghendaki siswa untuk melakukan kegiatan bertanya jawab tentang apa yang sedang dilakukan oleh tiap anggota keluarga. Untuk dapat melakukan tugas itu siswa diharapkan telah menguasai struktur kalimat tanya dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian tiap siswa berperan sebagai lawan bicara sementara guru berperan sebagai fasilitator. Secara singkat, analisis materi di atas dapat diringkas sebagai berikut:

Tujuan Input Kegiatan

: Bertanya jawab : Informasi kegiatan keluarga dalam bentuk gambar : 1. Membaca untuk menentukan kegiatan sesuai gambar 2. Kerja berpasangan/kelompok

Peran guru Peran siswa Situasi

: Pemantau dan fasilitator : Pasangan bicara : Kelas/kerja kelompok atau berpasangan

Breen and Candlin (ibid) mengajukan sejumlah kriteria untuk memilih materi yang bermanfaat. 1. Tujuan (instruksional, kurikuler, dst.) 2. Tugas yang dikerjakan siswa 3. Minat siswa 4. Pengembangan kegiatan komunikasi 5. Cara belajar dan konsep siswa tentang bahasa 6. Keleluasaan menentukan pilihan 7. Apa yang telah dan akan dipelajari 8. Cara penyajian 9. Sumber-sumber belajar lain di dalam kelas 10. Situasi belajar-mengajar di dalam kelas 11. Evaluasi terhadap prosedur dan isi pelajaran

2. Tata Letak
Materi yang disadur dari sumber yang telah diterbitkan harus dirancang ulang sesuai kebutuhan. Materi yang diambil dari buku ajar tertentu biasanya dibuat untuk kalangan siswa dalam situasi tertentu. Dengan demikian, guru diharapkan mampu merekacipta materi tersebut agar sesuai dengan kondisi belajar yang sedang dihadapi. Untuk menampilkan materi secara profesional dan untuk memudahkan revisi dan pengembangan lebih lanjut, materi yang dikembangkan di IALF secara nyata memuat data tentang hal-hal berikut.

Perancang (Lembaga)
Perancang bisa lembaga atau perseorangan yang bertanggung jawab terhadap penyusunan materi. Dengan mengetahui perancang materi tersebut, kita akan bisa menghubunginya jika kita hendak memperoleh materi tersebut.

Pemakai (Klien)
Pemakai adalah siswa atau program yang menggunakan materi. Penampilan nama lembaga/program pemakai memberikan kesan bahwa materi tersebut khusus dirancang untuk mereka.

Tingkat
Dengan mencantumkan Tingkat/Kelas pada materi, guru akan memperoleh informasi tentang tingkat kesulitan materi. Jika kelak materi itu hendak digunakan untuk tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah, guru bisa melakukan penyesuaian sebagai mana mestinya.

Sumber

Pencantuman sumber akan memudahkan guru lain untuk melacak kebenaran informasi yang ada di lembar materi dan mengetahui lebih jauh tentang topik yang ada pada lembaran tersebut.

3. Komponen Input bahasa


Tiap lembar materi pada dasarnya mengandung input bahasa. Kadang-kadang input bahasa itu disampaikan secara tersurat atau tersirat dalam jumlah yang bervariasi. Dalam lembaran yang hanya terdiri dari gambar atau ilustrasi pun terkandung input bahasa yang tak terhingga. Komponen bahasa yang tertera di dalam lembar materi dapat berfungsi untuk memperkenalkan pelajaran baru atau melakukan konsolidasi terhadap pelajaran yang telah dipelajari. Materi yang bagus akan membantu siswa untuk mengetahui apa yang sudah dan akan mereka pelajari dari materi yang diberikan.

Tujuan
Materi yang bagus memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan identifikasi tujuan pengajaran. Materi yang efektif mampu menunjukkan kepada siswa apa yang akan mereka pelajari dari materi yang diberikan: belajar bahasa atau keterampilan baru.

Peran siswa dan guru


Materi harus mampu menentukan peran yang akan diambil oleh siswa dan guru. Dalam pengajaran BIPA yang siswanya kebanyakan orang dewasa, guru harus mengakui bahwa tiap siswa telah mengembangkan keterampilan bahasa dan keterampilan belajar yang dapat diaplikasikan dalam proses belajar-mengajar BIPA. Guru perlu menumbuhkembangkan sikap bahwa keberhasilan belajar pada dasarnya tergantung pada siswa itu sendiri (autonomous or independent learning).

Kesesuaian
Materi pelajaran mencerminkan paham yang dianut guru tentang konsep bahasa, belajarmengajar, dan bahasa asing. Jika guru memberikan materi yang sarat dengan latihan tata bahasa ini dapat menjadi indikasi bahwa guru tersebut mengikuti aliran pengajaran bahasa secara tradisional. Sementara itu, guru yang menyajikan materi yang mendorong siswa untuk melakukan kerja kelompok atau berpasangan mungkin menganut konsep bahwa bahasa adalah komunikasi.

Cara belajar siswa


Mengembangkan materi yang benar-benar sesuai dengan cara belajar siswa merupakan tugas yang sangat sulit bagi guru. Namun, jika guru mengetahui karakteristik pengajaran

dan pembelajaran bahasa asing, guru akan lebih mampu menampilkan materi yang cocok untuk siswa.

Usia dan minat siswa


Di samping umur, faktor minat juga perlu diperhatikan dalam merancang materi. Misalnya, Dalam mempelajari kosa kata bahasa Indonesia, siswa-siswa BIPA di Australia lebih senang mempelajari kata bahasa Indonesia asli daripada kata serapan. Ungakapan, "Saya mau ke kamar kecil." akan dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan, "Saya mau ke toilet.". Sehubungan sikap negatif siswa Australia terhadap kata serapan, Hassall (1999) mengatakan: My strong impression is that Australian students underuse these Western loan words (WLWs) compared to educated native speakers. That is, they strongly tend to use native words where educated Indonesian . would often use WLW instead. A major reason I would suggest that Asutralian undersue WLWs is simply that they dislike them. The main basis for this belief is introspection. I hated these words for years as a student, and have though a lot about why, and suspect my reasons apply to a lot of students.

Budaya siswa/bahasa sasaran


Materi harus mempertimbangkan unsur-unsur budaya siswa dan budaya bahasa sasaran. Dalam pelajaran tentang "Perkenalan", misalnya, guru tidak bisa memaksa siswa asing dari Thailand atau Jepang untuk langsung belajar berjabat tangan dalam kelas BIPA. "Menawar" dalam budaya bahasa Indonesia tidaklah mudah untuk dipahami atau dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tidak mengenal budaya tawar-menawar dalam berbelanja. Pengetahuan tentang hal ini memungkinkan guru untuk merancang materi dan kegiatan kelas yang sesuai. Cuplikan materi BIPA di bawah ini mengandung kesalahan sangat serius tentang budaya Bali. Pak Agung tinggal di desa Sangeh di Pulau Bali. Dia petani dan bekerja di sawah setiap hari dari pagi sampai malam. Biasanya Pak Agung bangun pagi pada jam empat dan makan pagi sebelum pergi ke sawah. Di belakang rumahnya ada lima belas ayam putih, dua sapi coklat, duabelas bebek, tiga kambing, dan satu kerbau. Bu Agung juga bekerja di sawah. Di keluarga Agung ada enam orang, Pak Agung, Bu Agung, dan empat anak. Anaknya bernama Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut1 Umurnya lima belas, dua belas, dan enam. Rumahnya kecil tetapi dia mempunyai banyak tanah. Di samping desa Sangeh ada hutan dengan banyak monyet. Setiap hari ada banyak wisatawan yang mengunjungi hutan ini dan memberi kacang kepada monyet. (Hibbs et al, 1996: 96)

Di samping mengandung ketidakcermatan pemakaian bahasa, wacana pendek di atas mengandung masalah budaya yang sangat serius. Misalnya, mungkinkah orang Bali yang

bernama Bapak dan Ibu Agung akan menamai anak-anak mereka dengan Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan sangat tergantung pada asumsi-asumsi budaya yang akan dikemukakan penjawabnya.

Pengembangan berkelanjutan
Materi yang baik memberikan ruang bagi guru untuk terus melakukan revisi dan pembaruan. Guru juga harus mampu melihat ruang untuk menciptakan teknik dan strategi belajar-mengajar selanjutnya pada semua tingkat. Bagi siswa, materi harus memungkinkan mereka untuk mengembangkan keterampilan bahasa yang lain. Misalnya, materi yang pada awalnya dirancang untuk mengembangkan keterampilan menulis, bisa dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan berbicara.

Penutup
Kesiapan, kemampuan, dan pengalaman guru dapat tercermin dari tampilan materi yang diberikan kepada siswa. Tampilan materi juga memberikan petunjuk kepada 'siswa' tentang keseriusan, kepekaan, dan kecermatan guru dalam menyajikan pelajaran. Guru yang peduli dengan kepentingan siswa senantiasa menyiapkan pelajaran dengan baik. Persiapan yang baik memberikan jaminan keberhasilan belajar-yang lebih besar. Tampilan materi harus memenuhi unsur-unsur estetika, pedagogis, dan didaktik metodik. Kebenaran informasi dalam materi hanyalah merupakan salah satu prasyarat materi yang baik. Kita perlu memahami bahwa materi yang baik belum menjamin keberhasilan proses belajar-mengajar. Langkah selanjutnya yang harus dilaksanakan guru adalah merancang kegiatan belajar menggunakan materi yang telah disiapkan. Hanya dengan merampungkan tugas ini guru bisa dengan tenang memasuki ruang kelas untuk 'mengajar'.

BELAJAR BAHASA DAN BUDAYA INDONESIA: SUATU ANCANGAN SOSIALBUDAYA Rahayu Surtiati Hidayat dan Irzanti S. Sutrasno (Universitas Indonesia) Abtrak Paparan ini akan memperlihatkan hasil pembelajaran1 bahasa Indonesia sebagai bahasa asing yang menekankan pada kemahiran berkomunikasi secara lintas budaya. Penelitiannya memperoleh data melalui pengkajian pustaka dan kerja lapangan. Sumber data dalam pengkajian pustaka berupa dokumen Program BIPA FIB-UI dan tulisan peserta program, sedangkan responden dalam penelitian lapangan adalah pengajar dan peserta program. Data kualitatif akan dianalisis untuk memerikan suatu kemahiran berbahasa Indonesia yang disertai dengan kemahiran sosial-budaya. Selain itu, diharapkan penelitian ini akan menghasilkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu pendidikan. Latar Belakang Belajar bahasa asing di negeri penuturnya mempunyai kelebihan, antara lain kesem-patan untuk mengalami interaksi dengan lingkungan masyarakat dan budayanya. Kita tahu bahwa belajar bahasa asing berjalan sejajar dengan belajar kebudayaan asing, baik budaya kebahasaan itu sendiri maupun aspek budaya yang lain, seperti budaya materiil, lingkungan, dan religi. Namun, yang sering terjadi, pemelajar merekam kebudayaan asing dalam bentuk stereotipe masyarakat pendukungnya. Dalam pembelajaran bahasa asing di negeri penuturnya, pemelajar akan memahami, bahkan menghayati, kebudayaan masya-rakat penutur asli itu.

1 Pembelajaran

di sini diartikan sebagai proses membuat orang belajar, sedangkan pemelajaran bermakna proses belajar, sebagaimana ditawarkan dalam KBBI (2005:17). 2 Kami mengusulkan istilah bahasa Indonesia sebagai bahasa asing yang dapat disingkat BISA. Istilah itu lebih tepat karena menerangkan posisi bahasa Indonesia dalam pembelajaran dan menghindari kerancuan dengan nama program pengajaran, yaitu Program Bahasa Indonesia untuk Peserta Asing (BIPA) di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Apalagi, sebenarnya pada Kongres BIPA tahun 1995 sudah muncul usul yang serupa. Kami juga pernah mengusulkan untuk menggunakan istilah tes bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (TIBA).

Dalam hal pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (BISA)2 di Program BIPA FIB-UI, hasilnya nyata. Jumlah pesertanya dapat dikatakan tetap dan kehadirannya ajeg selama tiga semester. Lulusannya merasa puas dengan kemahiran yang mereka kuasai, buktinya makin banyak peserta BIPA yang meneruskan studi ke program reguler baik di jenjang S1, S2, maupun S3, bahkan pada tahun ajaran 2007/2008 ada lulusannya yang mendaftarkan diri ke program D III bahasa Cina dan bahasa Inggris. Memang UI 2

mensyaratkan calon mahasiswa asing untuk menguasai bahasa Indonesia akademik, atau lulus Program BIPA III. Selain itu, dalam rangka pertukaran mahasiswa, lulusan BIPA yang berasal dari Jepang, Korea, dan Rusia mengikuti Program Pengumpulan Satuan Kredit Semester (credit earning) karena kreditnya dapat ditransfer ke program tempat mereka belajar di negeri masing-masing. Pendapat peserta ataupun lulusan akan dijelaskan secara lebih terperinci di bagian lain. Seminar dan Lokakarya Bahasa Indonesia untuk Peserta Asing (BIPA) ini, yang bertemakan Menggalang Citra Indonesia melalui BIPA, merupakan peluang untuk membahas pembelajaran yang berancangan sosial budaya. Apa sebenarnya citra suatu negeri dan penghuninya? Tidak lain adalah kebudayaanya (culture), yaitu berbagai aspek kehidupan manusia yang dikondisikan secara sosial (Hymes 1964). Oleh sebab itu, kebudayaan bukanlah fenomena materiil, melainkan berbagai bentuk hal yang ada di pikiran orang, berbagai model untuk memahami, atau dengan kata lain, menafsirkannya. Oleh sebab itu, setiap masyarakat memiliki kebudayaan khas dan masyarakat dibentuk oleh berbagai komunitas yang masing-masing memiliki subkebudayaan (subculture) yang khas juga. Masalahnya, kebudayaan sangat kompleks sehingga sering ditangkap oleh orang asing hanya sebagian yang akhirnya menjadi stereotipe. Bagaimana agar orang asing yang belajar bahasa Indonesia membentuk citra Indonesia yang tidak stereotipikal? Sebagaimana dijelaskan di atas, belajar bahasa Indonesia di Indonesia memungkinkan bagi pemelajar memelajari (learn) bahasa dan kebudayaan Indonesia di kelas sekaligus memeroleh (acquire) cara berkomunikasi dalam konteks keindonesiaan di luar kelas. Selama mengikuti Program BIPA mereka mendapat kesempatan untuk melakukan kunjungan belajar yang tercakup dalam kurikulum dan belajar seni serta berolahraga yang merupakan kegiatan ekstrakurikuler. Namun, kebanyakan peserta kos di rumah penduduk di sekitar Kampus UI Depok, mereka bergaul dengan mahasiswa Indonesia serumah kos dan menonton acara televisi untuk mengisi waktu luang. Belajar dari lingkungan itulah yang membuat mereka menghayati kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Meskipun demikian, pengajaran BISA perlu dikembangkan menjadi berbasis pemelajar (student-centred learning) (Nunan 1988) dan, sebagai ikutannya, bahasa Indonesia harus diajarkan dengan ancangan sosial budaya (Yalden 1987). Permasalahan Pembelajaran bahasa asing selalu mempermasalahkan pemerolehan kemampuan kebahasaan yang mencakup pengetahuan kebahasaan dan kemahiran menggunakan bahasa dalam komunikasi nyata. Ancangan kemampuan komunikatif yang ditawarkan pada tahun 1970-an dan masih bertahan hingga kini adalah contoh ancangan pengajaran bahasa asing yang lebih menekankan pada aspek kemahiran menggunakan bahasa daripada aspek kebahasaan (Yalden 1987). Meskipun demikian, hasil pengajaran yang seperti itu tetap dirasakan kurang memuaskan, terlalu banyak masalah pemelajaran yang belum ditemukan solusinya. Padahal, sejak lama pengajaran bahasa asing telah menerapkan metode pengajaran berbasis pemelajar Dalam makalah ini kami akan membahas upaya Program BIPA FIB-UI mengajarkan bahasa Indonesia dengan memanfaatkan keberadaan pemelajar di negeri penutur bahasa Indonesia. Artinya, bagaimana pembelajaran BISA menjadi media komunikasi lintas budaya seperti yang dinyatakan dalam subtema semiloka ini. 3

Di muka telah disebutkan bahwa makalah ini akan menguraikan semacam model pembelajaran BISA. Namun, sebelumnya kami perlu menjelaskan Program BIPA di FIB-UI, kemudian hasil penelitian awal tentang hasil pengajaran BISA. Pengajaran Bahasa dan Kebudayaan Indonesia Sejak lama FSUI (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB) menyelenggarakan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing yang berjalan sejajar dengan pengajaran kebudayaan Indonesia, khususnya sejak Program BIPA diresmikan pada 19833. Tujuan penyelenggaraan program itu menyatakan secara eksplisit cakupan bahasa dan kebudayaan, mempersiapkan peserta asing agar mampu berbahasa Indonesia baku baik secara lisan maupun tulis serta mengenal beberapa aspek budaya dan kebudayaan Indonesia. Program itu mencakupi tiga jenjang pendidikan yang masingmasing berlangsung selama satu semester (enam belas minggu). Pesertanya belajar selama 180 menit setiap hari atau 15 jam seminggu. Pada BIPA I, pemelajarpemula dan pemula palsubelajar terutama bahasa Indonesia ragam lisan untuk menguasai pengetahuan dasar kebahasaan dan mampu menggunakannya untuk bertahan hidup di Indonesia. Peserta kursus sangat heterogen, artinya asal, status, ataupun vokasi mereka. Peserta yang ibu rumah tangga biasanya berhenti belajar setelah lulus BIPA I, sedangkan mahasiswa, profesional, dan peneliti melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kemudian, pada BIPA II, mereka yang lulus jenjang terdahulu lebih banyak berlatih menggunakan bahasa tulis (baku) dan mulai mempelajari berbagai aspek sosial budaya dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, khususnya perilaku. Pada jenjang terakhir, BIPA III, peserta kursus belajar menggunakan bahasa Indonesia dalam konteks akademik, baik secara lisan maupun tulis dengan membahas kebudayaan Indonesia, seperti sejarah, adat istiadat, masalah sosial, hukum, dan politik. Oleh karena itu pula, calon mahasiswa asing untuk berbagai program pendidikan reguler di Universitas Indonesia dipersyaratkan lulus BIPA III atau memperoleh nilai yang setara dengan BIPA III dalam TIBA.
3 Sebelumnya,

kursus BISA diselenggarakan oleh Badan Urusan Mahasiswa Asing (BUMA) di FSUI untuk kepentingan beberapa mahasiswa asing yang memperdalam pengetahuan di Indonesia. 4 Untuk keperluan perorangan, Program BIPA FIB-UI juga melayani kursus privat di luar kampus (inhouse training) dengan kurikulum pesanan (taylored made).

Untuk memenuhi kebutuhan pemelajar, Program BIPA FIB-UI juga menyelenggarakan program semester pendek yang disebut BIPA Pas (program antarsemester) dengan intensitas kegiatan 15 jam per minggu selama 89 minggu. Dengan demikian, peserta didik dapat menyelesaikan seluruh program kursus dalam waktu yang lebih singkat4. Program BIPA FIB-UI menerapkan ancangan kemampuan komunikatif (communicative competence approach) dalam pembelajaran BISA. Meskipun penahapan unsur gramatikal masih berdasarkan prinsip dari sederhana menuju ke rumit, kosakata diseleksi demi kepentingan komunikasi sehingga ketersediaan menjadi lebih penting daripada kekerapan. Memang kosakata dasar tetap tercakup dalam pembelajaran di tingkat dasar, namun tidak ditahapkan secara sengaja dan bercampur dengan kata yang termasuk kategori lanjut. Hal itu tidak terhindarkan mengingat ancangan kemampuan 4

Anda mungkin juga menyukai