Anda di halaman 1dari 7

Bagian satu Latar belakang studi wilayah peri urban 1.

1 pendahuluan Wilayah ini bersifat multi dimensional sehungga sangat menarik berbagai disiplin ilmu. Ciri khas wilayah ini sangat istimewa yang tidak dimiliki oleh wilayah lain yaitu dalam hal keterkaitan yang begitu besar dengan aspek kehidupan kota maupun desa yang tercipta secara simultan. WPU mempunyai karakter hibrida antar sifat kekotaan dan sifat kedesaan. Peranan WPU dalam mempengaruhi kehidupan kekotaan dan kehidupan kedesaan baik pada masa sekarang dan terlebih lagi pada masa yang akan datang. 1.2 Konsepsi wilayah peri urban Istilah peri urban merupakan istilah yang berasal dari bahasa inggris yang sudah sangat umum dikenal. Istilah peri urban merupakan kata sifat (adjective) sehingga istilah ini tidak dapat digunakan berdiri sendiri tanpa ada kata bendanya, karena kata sifat pada hakikatnya menjelaskan kata benda. Istilah peri adalah merupakan kata sifat yang dapat diberi makna pinggiran atau sekitar dari sesuatu objek tertentu. Penggabungan istilah peri dan urban membentuk kata sifat baru yang secara harfiah berarti sifat kekotaan dan sekitar sehingga apabila digabungkan dengan kata region, maka kata peri urban region mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada di sekitar kota. Wilayah kekotaan adalah suatu wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris sedangkan wilayah kedesaan adalah wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris. WPU dapat dikenali dari batas terluar lahan terbangun sesuatu kota yang kompak dengan lahan kekotaan utama dan ditandai oleh 100% kenampakan kekotaan/bentuk pemanfaatan lahan non-agraris sampai ke wilayah yang 100% ditandai oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris. Di antara the real urban land dan the real rural land inilah WPU berada.

Dari segi sosial ekonomi, identifikasi WPU ini agak berbeda, karena menyangkut perilaku sosial maupun ekonomi masyarakat. Walaupun secara ilmiah sangat sulit untuk menentukan batas yang tepat. McGee (1994). Sarjana ini mengemukakan bahwa terluar dari WPU adalah tempat di mana orang masih mau menglaju untuk bekerja/melakukan kegiatan ke kota. Perkembangan prasarana dan sarana transportasi memegang peranan yang sangat signifikan menetukan WPU baik dari segi fisikal morfologi maupun dari segi sosial ekonomi. Wilayah mega urban/megapolis /megalopolis penentuan WPU menjadi semakin sulit, karena wilayah ini terdiri dari berbagai kota yang menyatu secara sosial ekonomi, sehingga batasan WPU akan menjadi overlap satu sama lain. Berbagai istilah pernah digunakan untuk wilayah ini antara lain fringe, suburb, pseudo suburb dan urban. Pembahasan mengenai WPU pertama kali dikemukakan dengan istilah urban fringe yang dikenalkan oleh Smith(1937). Istilah tersebut digunakan untuk memberikan gambaran pada suatu jalur wilayah yang terletak pada lahanlahan terbangun tetapi yang berada di luar batas kota. Untuk itu, sarjana tersebut menggunakan istilah urban fringe dan rural fringe. Schnore(1952) membedakan antara satellites dan suburbs. Mckain dan Burnight (1953) membuat studi mengenai daerah pinggiran kota, khususnya mengenai perkembangan fisikal daerah ini dan kemudian diberi istilah extended fringe. Studi duncan dan Reiss (1956) di daerah pinggiran kota Chicago membedakan antara urban fringe, urban fringe, rural non farm, dan rural farm. Martin (1957) membahas mengenai satelite rural areas. Setelah itu, Kurzt (1985) telah berusaha membedakan antara istilah fringe dengan suburb. Reinemann (1960) membedakan antara outlying adjacent zone untuk jalur wilayah yang paling dekat dengan wilayah kekotaan terbangun dan suburban zone untuk jalur di luarnya. Sementara itu wissink (1961) telah mengemukakan istilah yang berbeda, yaitu fringe, suburbs, pseudo suburbs, satellites dan pseudo satellites. Kemudian Wissink (1962) menggunakan istilah inner fringe dan outer fringe. Studi whitehand (1967) membagi daerah pinggirean kota menjadi 3 zone, yaitu IFB (inner fringe belt), MFB (middle fringe belt), dan OFB (outer fringe belt).

Pryor (1971) menggunakan istilah rural-urban fringe untuk menyebut jalur daerah yang terletak antara daerah kekotaan terbangun dan daerah kedesaan. Andreas (1942) membagi dua yaitu urban fringe dan rural fringe. Pryor (1971) tersebut menciptakan model yang dikenal dengasn urban-rural land use triangel model yang menjelaskan tentang sampai seberapa jauh batas urban fringe berada dan dimana batas rural fringe tersebut mulai dan berakhir. Russwurm (1979) mengemukakan teori yang dikenal dengan Regional City di mana dijelaskan adanya struktur keruangan mengenai kota dan daerah di sekitarnya. Berbagai teori tersebut didasarkan pada kondisi kota-kota di negara maju yang pada umunya batas antara kenampakan kekotaan dan kedesaan sangat bersifat diskrit, sehingga untuk penerapannya di negara berkembang, khususnya di Indonesia sangatlah kurang puas. Penyebab utamanya adalah bahwa peralihan kenampakan kekotaan ke kenampakan kedesaan tidak bersifat diskrit tetapi bersifat cintinuum,gradual. Memperbaiki konsep yang dikemukakan Pryor (1971) dengan menambahkan beberapa konsep baru, sehingga daerah antara lahan kekotaan terbangun dan lahan kedesaan terdapat 4 zona, yaitu urban fringe, urral fringe, rurban fringe dan rural fringe. Dari berbagai studi tersebut menunjukkan betapa banyaknya perhatian terhadap wilayah yang terletak antara kota dan desa tersebut sehingga kemudian muncul berbagai istilah yang dikemukakan para pakar. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa semakin baik prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi akan semakin luas wilayah yang terpengaruh oleh kota dalam hal dimensi sosial, ekonomi dan kultural sehingga semakin luas pula WPUnya. Di samping itu, semakin besar kotanya, semakin luas pada WPUnya. Pengertian mengenai WPU oleh beberapa peneliti: - Menurut Andreas (1942) adalah suatu zona yang di dalamnya terdapat percampuran antara struktur lahan kedesaan dan lahan kekotaan (the intermingling zone of characteristically agricultural and characteristically urban land use structure). Sampai sejauh itu, belum pernah diungkapkan

mengenai batas-batas dimana WPU mulai muncul dan sampai di mana batas-batas WPU berakhir. Garnier dan Chabot (1967) mencoba untuk memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Dia mengatakan bahwa WPU berawal dari lahan kekotaan terbangun yang menyatu dengan permukiman utamanya (it begins where the continuous builtup town ends). Singh (1967) dalam penelitiannya di kota-kota di India mengemukakan bahwa WPU adalah rural land with urban phenomena atau suatu lahan kedesaan yang didalamnya sudah muncul gejala kekotaan. Selanjutnya sarjana ini menambahkan penjelasan mengenai makna WPU dengan mengacu pendapat Wehrwein (1942) yang mengatakan bahwa lahan-lahan kedesaan tersebut sebenarnya belum masanya berubah menjadi lahan kekotaan, namun karena suatu keadaan yang terpaksa dalam tanda petik, lahan tersebut telah beruabah menjadi lahan kekotaan. Pada tahun yang sama, Dickinson (1967) juga mencoba memberikan batasan mengenai WPU sebagai suatu daerah kedesaan yang di dalamnya telah terjadi pembangunan-pembangunan perumahan, industri-industri, perkantoran-perkantoran yang bersifat kekotaan. Sementara itu Pryor (1968) mengemukakan tesisinya yang memberikan kejelasan makna yang jauh lebih baik ketimbang dengan pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya. Menurut sarjana ini, WPU yang diistilahkan sebagai daerah rural-urban fringe, adalah wilayah peralihan mengenai pemanfaatan lahan, karakteristik sosial dan demografis dan wilayah ini terletak antara (a) lahan kekotaan kompak terbangun yang menyatu dengan pusat kota dan (b) lahan kedesaan yang disana hampir tidak ditemukan bentuk-bentuk lahan kekotaan dan permukiman kekotaan.

Secara lengkap pencitraan WPU yang diistilahkan rural-urban fringe oleh sarjana ini adalah sebagai berikut: Secara komprehensif, definisi tersebut dapat diungkapkan bahwa WPU atau rural urban fringe merupakan zona peralihan pemanfaatan lahan, peralihan karakteristik demografis yang terletak antara (a) wilayah kekotaan terbangun yang menyatu dengan permukiman kekotaan utamanya dan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pusat kota dan (b) daerah buriloka (hinterland) kedesaannya yang dicirikhasi oleh nyaris langkanya tempat tinggal penduduk bukan petani, mata pencaharian bukan kedesaan dan pemanfaatan lahan bukan kedesaan. Ada 3 atribut utama yang mencirikhasi WPU yaitu: 1. Kondisi pemanfaatan lahan, 2. Kondisi sosial,dan 3. Kondisi demografis Rentangan nilai yang ditampilkan oleh WPU berkisar dari >0% sampai <100% lahan kekotaan dan > 0% sampai <100% lahan kedesaan yang bercampur-baur dalam wilayah tersebut. Batas antara zobikot dan zobides ditandai oleh proporsi 50% lahan kekotaan dan 50% lahan kedesaan. Rentangan nilai yang ditampilkan oleh zobikot berkisar dari >50% sampai <100% lahan kekotaan dan >0% sampai <50% lahan kedesaan yang bercampur-baur dalam wilayah tersebut. Proporsi lahan kekotaan dan lahan kedesaan yang ada pada zobies ini ditandai oleh >0% dan 50% lahan kekotaan serta <100% dan >50% lahan kedesaan yang bercampur-baur pada zona ini. Seperti diketahui bahwa perembetan kenampakan kekotaan ke arah luar sangat bervariasi adanya. Paling tidak ada 3 bentuk utama yang selama ini dikenal, yaitu perembeatan kenampakan kekotaan ke arah luar sangat bervariasi adanya. Paling tidak ada 3 bentuk utama yang selama ini dikenal, yaitu perembetan konsentris, perembetan meminta dan perembetan lompat katak. Zobikot mempunyai rentangan nilai antara >75% sd. 100% lahan kekotaan dan <25% sd >0% lahan kedesaan. Zobikodes mempunyai rentangan nilai antara >50 % sd. <75% lahan kedesaan dan antara <50% sd. >25% lahan kekotaan. Zobides mempunyai rentangan nilai >75% sd <100% lahan kekotaan dan <25% sd >0% lahan kekotaan. 1.3 Delimitasi Wilayah Peri Urban Sementar itu untuk bentuk perkembangan lompat katak tidak dapat digunakan sebagai patokan karena perkembangan lahan kekotaan yang dimunculkannya tercipta secara sporadis dan tidak menyatu dengan lahan kekotaan utama.

Pada kenyataan empiris, bentuk perkembangan fisiskal kekotaan yang menyatu dengan permukiman induknya tidak selamnya berbentuk kompak membulat atau semi membulat, namun ada kalanya berbentuk meminta yang menjalar memanjang dan jauh jaraknya dari permukiman utamanya. Bentuk perkembangan seperti ini menciptakan kota yang mempunyai lengan banyak seperti gurita (octopus like city) atau seperti binatang (star like city). Apabila lengan-lengan gurita ini sudah menyatu dengan lengan gurita kota lain maka terbentuklah corridor yang di kiri-kanan jalan sudah ditandai oleh bentuk pemanfaatan lahan kekotaan sedangkan di bagian belakangnya masih merupakan lahan kedesaan. Secara garis besar ada 3 metoda pendekatan yang dapat dimanfaatkan untuk maksud delimitas subzona WPU, yaitu (1) pendekatan administratif, (2) pendekatan fisikal dan (3) pendekatan sistem sel. 1.3.1 Pendekatan Administratif Teknik ini adalah suatu cara untuk delimitasi subzona spasial WPU yang mendasarkan pada eksistensi unit administrasi sebagai unit analisis (analytical units) dan data mengenai bentuk pemanfaatan lahan. Oleh karena dasar identifikasi subzona WPU adalah unit administrasi, maka ada beberapa tahapan yang perlu dilaksanakan, yaitu: 1) Menyediakan peta dasar yang menggambarkan sebarkan unit administratif yang dimaksudkan (dapat atas dasar RT, dusun, desa/kelurahan, kecamatan dan seterusnya selama unit administrasi tersebut mempunyai catatan yang dapat dipercaya mengenai sebaran dan luas masing-masing bentuk pemanfaatan lahan serta klasifikasi yang seragam); 2) Mempersiapkan data luasan bentuk pemanfaatan lahan; 3) Menghitung proporsi luasan bentuk pemanfaatan lahan yang ada atas dasar klasifikasi yang telah disediakan sehingga, masing-masing unit dapat diketahui akan termasuk ke dalam kategori yang mana (zobides, zobidekot, zobikodes atau zobikot). Batas terawal dari WPU adalah batas wilayah kota secara administratif, walaupun sangat mungkin bahwa di dalamnya masih merupakan lahan pertanian. 4) Memasukan dat tersebut ke dalam peta dasar yang sudah disiapkan dengan representasi data berdasarkan gradasi warna yang dikendaki.

Peta ini sekaligus akan memberikan informasi mengenai sebaran zobides, zobidekot, zobidekos, dan zobikot. Kelemahan metode ini adalah terjadinya generalisasi yang cukup besar karena masing-masing unit administratif dianggap sebagai suatu entitas yang utuh, walaupun sebenarnya terdapat nuansa bentuk pemanfaatan lahan yang sangat bervariasi.

Anda mungkin juga menyukai