Anda di halaman 1dari 9

Parasit Malaria Sejarah Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani.

Gejala klinis penyakit malaria khas dan mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil. Pada waktu itu sudah dikenal febris tersiana dan febris kuartana. Selain itu ditemukan kelainan limpa, yaitu Splenomegali: limpa membesar dan menjadi keras, sehingga dahulu penyakit malaria disebut juga sebagai demam kura. Malaria diduga disebabkan oleh hukuman dewa, karena pada waktu itu ada wabah di sekitar kota Roma. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah rawa yang mengeluarkan bau busuk ke sekitarnya, sehingga disebut "malaria" (mal area = udara buruk bad air). Pada abad ke-19, Laveran menemukan stadium gametosit berbentuk pisang dalam darah seorang penderita malaria. Kemudian Ross (1897), menemukan bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di sekitar rawa. Hospes Parasit malaria termasuk genus Plasmodium dan pada manusia ditemukan 4 spesies: Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Distribusi Geografik Malaria ditemukan 64 lintang utara (Archangel di Rusia) sampai 32 lintang selatan (Cordoba di Argentina), dari daerah rendah 400 m di bawah permukaan laut (Laut Mati) sampai 2600 m di atas permukaan laut (Londiani di Kenya) atau 2800 m (Cochabamba di Bolivia). Antara batas garis lintang dan garis bujur terdapat daerah yang bebas malaria. Di Indonesia penyakit malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di kawasan timur Indonesia. Morfologi dan Daur Hidup Daur hidup keempat spesies Plasmodium pada manusia umumnya sama. Proses tersebut terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata Fase aseksual mempunyai 2 daur, yaitu: 1) daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit) dan 2) daur dafim

Parasit dalam Hospes Vertebrata (Hospes Perantara) Fase jaringan. Bila nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit malaria dalam kelenjar liurnya menusuk hospes, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk melalui probosis yang ditusukkan ke dalam kulit. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah dan setelah 1/2 jam sampai 1 jam masuk dalam sel hati. Banyak yang dihancurkan oleb fagosit, tetapi sebagian masuk dalam sel hati (hepatosit) menjadi trofozoit hati dan berkembangbiak. Proses ini disebut skizogoni praeritrosit atau eksoeritrositer primer. Inti parasit membelah diri berulang-ulang dan skizon jaringan (skizon hati) berbentuk bulat atau lonjong, menjadi besar sampai berukuran 45 mikron. Pembelahan inti disertai pembelahan sitoplasma yang mengelilingi setiap inti sehingga terbentuk beribu-ribu merozoit berinti satu dengan ukuran 1,0 sampai 1,8 mikron. Inti sel hati terdorong ke tepi tetapi tidak ada reaksi di sekitar jaringan hati.

Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati tetapi beberapa difagositosis. Pada PMvax dan P.ovale sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu (beberapa bulan sampai 5 tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni cksoeritrosit sekunder. Proses tersebut dianggap sebagai penyebab timbulnya relaps yaitu parasit ditemukan kembali dalam darah setelah pemberian obat skizontisida darah yang adekuat. P.falciparum dan P.malariae tidak mempunyai fase eksoeritrosit sekunder, sehingga kekambuhannya disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik dan dikenal sebagai rekrudesensi. Hal ini dapat disebabkan skizontisida darah tidak seluruhnya mengeliminasi stadium parasit yang ada di sel darah merah, berkurangnya imunitas alami atau adanya varian parasit baru yang tidak dikenali hospes. Rekrudesensi yang panjang kadang-kadang dijumpai pada P.malariae yang disebabkan oleh stadium eritrositik yang menetap dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan. Kenyataan berikut ini menunjang bahwa relaps tidak ada pada infeksi P.malariae: 1) infeksi P.malariae dapat disembuhkan dengan obat skizontosida darah saja; 2) tidak pernah ditemukan skizon eksoeritrositik dalam hal manusia atau simpanse setelah sikhis praeritrositik; dan 3) parasit menetap dalam darah untuk jangka waktu panjang yang dapat dibuktikan pada beberapa kasus malaria transfusi. Fase aseksual dalam darah. Waktu antara permulaan infeksi sampai parasit malaria ditemukan dalam darah tepi disebut masa pra-paten. Masa ini dapat dibedakan dengan masa tunas/inkubasi yang berhubungan dengan timbulnya gejala klinis penyakit malaria. Merozoit yang dilepaskan oleh skiron jaringan mulai menyerang eritrosit. invasi merozoit bergantung pada interaksi reseptor pada eritrosit, glikoforin dan merozoit sendiri. Sisi anterior merozoit melekat pada membran eritrosit, kemudian membran merozoit menebal dan bergabung dengan membran plasma eritrosit, lalu melakukan invaginasi, membentuk vakuol dengan parasit berada di dalamnya. Pada saat merozoit masuk, selaput permukaan dijepit sehingga lepas. Seluruh proses ini berlangsung selama kurang lebih 30 detik. Stadium termuda dalam darah berbentuk bulat, kecil; beberapa di antaranya mengandung vakuol sehingga sitoplasma terdorong ke tepi dan inti berada di kutubnya. Oleh karena sitoplasma mempunyai bentuk lingkaran, maka parasit muda disebut bentuk cincin. Selama pertumbuhan, bentuknya berubah menjadi tidak teratur. Stadium muda ini disebut trofozoit. Parasit mencernakan hemoglobin dalam eritrosit dan sisa metabolismenya berupa pigmen malaria (hemozoin dan hematin). Pigmen yang mengandung zat besi dapat dilihat dalam parasit sebagai butir-butir

berwarna kuning tengguli hingga tengguli hitam yang makin jelas pada stadium lanjut Setelah masa pertumbuhan, parasit berkembangbiak secara aseksual melalui proses pembelahan yang disebut skizogoni. Inti parasit membelah diri menjadi sejumlah inti yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan pembelahan sitoplasma untuk membentuk skizon. Skizon matang mengandung bentuk-bentuk bulat kecil, terdiri atas inti dan sitoplasma yang disebut merozoit. Setelah proses skizogoni selesai, eritrosit pecah dan merozoit dilepaskan dalam aliran darah (sporulasi). Kemudian merozoit memasuki eritrosit baru dan generasi lain dibentuk dengan cara yang sama. Pada daur eritrosit, skizogoni berlangsung secara berulang- ulang selama infeksi dan menimbulkan parasitemia yang meningkat dengan cepat sampai proses dihambat oleh respons imun hospes. Perkembangan parasit dalam eritrosit menyebabkan perubahan pada eritrosit, misalnya sitoplasma bertitik-titik pada P.vivax. Perubahan ini khas untuk spesies parasit. Periodisitas skizogoni berbeda- beda, tergantung spesiesnya. Daur skizogoni (fase eritrosit) berlangsung 48 jam pada P. vivax dan P. ovale, kurang dari 48 jam pada P.falciparum dan 72 jam pada P. malariae. Pada stadium permulaan infeksi dapat ditemukan: beberapa kelompok (broods) parasit yang tumbuh pada saat yang berbeda sehingga gejala demam tidak menunjukkan periodisitas yang khas. Kemudian periodisitasnya menjadi lebih sinkron dan gejala demam memberi gambaran tersian atau kuartan. Fase seksual dalam darah. Setelah 2 atau 3 generasi (3-15 hari) sebagian merozoit tumbuh menjadi stadium seksual. Proses ini disebut gametogoni (gametositogenesis). Stadium seksual tumbuh tetapi intinya tidak membelah. Gametosit mempunyai bentuk yang berbeda pada berbagai spesies: pada P. Falciparum bentuknya seperti sabit/pisang bila sudah matang; pada spesies lain bentuknya bulat. Pada semua spesies Plasmodium dengan pulasan khusus, gametosit betina (makrogametosit) mempunyai sitoplasma berwarna biru dengan inti kecil padat dan pada gametosit jantan (mikrogametosit) sitoplasma berwarna biru pucat atau merah muda dengan inti besar dan difus. Kedua macam gametosit mengandung banyak butir pigmen. Parasit dalam Hospes Invertebrata (Hospes Definitif) Eksflagelasi. Bila Anopheles mengisap darah hospes manusia yang mengandung parasit malaria, parasit aseksual dicernakan bersama eritrosit, tetapi gametosit dapat tumbuh terus. Inti pada mikrogametosit membelah menjadi 4 sampai 8 yang masing-masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25 mikron, menonjol keluar dari sel induk, bergerak-gerak sebentar kemudian melepaskan diri. Proses ini (eksflagelasi) hanya berlangsung beberapa menit pada suhu yang sesuai dan dapat dilihat dengan mikroskop pada sediaan darah basah yang masih segar tanpa diwarnai. Flagel atau gamet jantan disebut mikrogamet; makrogametosit mengalami proses pematangan (maturasi) dan menjadi garnet betina atau makrogamet. Dalam lambung nyamuk mikrogamet tertarik oleh makrogamet yang membentuk tonjolan kecil tempat masuk mikrogamet sehingga pembuahan dapt berlangsung. Hasil pembuahan disebut zigot. Sporogoni. Pada permulaan, zigot merupakan bentuk bulat yang tidak bergerak, tatapi dalam waktu 18-24 jam menjadi bentuk panjang dan dapat bergerak; stadium seperti cacing ini berukuran panjang 8-24 mikron dan disebut ookinet. Ookinet kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar lambung dan menjadi bentuk bulat, disebut ookista. Jumlah ookista pada lambung Anopheles berkisar antara beberapa buah sampai beberapa ratus. Ookista makin lama makin besar sehingga merupakan bulatan semitransparan, berukuran 40-80 mikron dan mengandung butir-butir pigmen. Letak dan besar butir pigmen serta warnanya khas untuk tiap spesies Plasmodium. Bila ookista makin mem-

besar hingga berdiameter 500 mikron dan intinya membelah, pigmen tidak tampak lagi. Inti yang sudah membelah dikelilingi protoplasma yang merupakan bentuk memanjang pada bagian tepi sehingga tampak sejumlah besar bentuk-bentuk yang kedua ujungnya runcing dengan inti ditengahnya (sporozoit) dan panjangnya 10-15 mikron. Kemudian ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan bergerak dalam rongga badan nyamuk untuk mencapai kelenjar liur. Nyamuk sekarang menjadi infektif. Bila nyamuk mengisap darah setelah menusuk kulit manusia, sporozoit masuk kc dalam luka tusuk dan mencapai aliran darah. Sporogoni yang dimyulai dari pematangan gametosit sampai menjadi sporozoit infektif, berlangsung 8-15, bergantung pada suhu lingkungan dan spesies parasit. Cara Infeksi Waktu antara nyamuk mengisap darah yang mengandung gametosit sampai mengandung sporozoit dalam kelenjar liurnya, disebut masa tunas ekstrinsik. Sporozoit adalah bentuk infektif. Infeksi dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu: 1) secara alami melalui vektor, bila sporozoit dimasukkan ke dalam badan manusia dengan tusukan nyamuk dan 2) secara induksi (induced), bila stadium aseksual dalam eritrosit secara tidak sengaja masuk dalam badan manusia melalui darah, misalnya melalui transfusi, suntikan atau kongenital (bayi baru lahir mendapat infeksi dari ibu yang menderita malaria melalui darah plasenta). Patologi dan Gejala Klinis Masa tunas intrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam badan hospes sampai timbul gejala demam, biasanya berlangsung 8-37 hari, tergantung pada spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum, terpanjang untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pengobatan sebelumnya atau derajat imunitas hospes. Di samping itu juga tergantung pada cara infeksi, yang disebabkan oleh tusukan nyamuk atau secara induksi, misalnya melalui transfusi darah yang mengandung stadium aseksual. Masa tunas intrinsik berakhir dengan timbulnya serangan pertama (first attack). Masa prapaten berlangsung sejak saat sporazoit masuk sampai ditemukan parasit malaria dalam darah untuk pertama kali, karena jumlah parasit telah melewati ambang mikroskopik {microscopic threshold). Masa tunas intrinsik parasit malaria yang ditularkan oleh nyamuk kepada manusia adalah 12 hari untuk malaria falsiparum, 13-17 hari untuk malaria vivaks dan malaria ovale serta 28-30 hari untuk malaria malariae (kuartana). Perjalanan penyakit malaria berbeda antara orang yang tidak kebal (tinggal di daerah non-endemis) dan orang yang kebal atau semi-imun (tinggal di daerah endemis malaria). Kesalahan atau keterlambatan diagnosis malaria pada orang non-imun, akan menyebabkan risiko tinggi terjadinya malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Pada orang non-imun biasanya demam terjadi lebih kurang 2 minggu setelah kembali dari daerah endemis malaria. Demam atau riwayat demam dengan suhu tubuh lebih dari 38C biasanya ditemukan pada penderita malaria. Pada permulaan penyakit, biasanya demam tidak bersifat periodik, sehingga tidak khas dan dapat terjadi setiap hari. Demam dapat bersifat remiten (febris remitens) atau terus menerus (febris kontinua). Demam dapat disertai gejala lain yang tidak spesifik seperti menggigil, lemas, sakit kepala, sakit otot, batuk dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare. Demam harus dibedakan dengan demam pada penyakit lain seperti typhoid fever, dengue fever, infeksi saluran napas akut, hepatitis dan lain-lain. Setelah lebih kurang 1-2 minggu serangan demam yang disertai gejala lain akan diseling periode bebas penyakit. Demam kemudian bersifat periodik yang khas untuk penyakit malaria yaitu bersifat intemiten (febris intermiten). Sebaliknya pada kelompok semi-imun atau imun yang tinggal di derah endemis malaria, gejala klinis biasanya lebih ringan dibandingkan penderita non imun. Di derah ini

dapat ditemukan sejumlah besar penderita dengan parasittemia, tetapi tnpa gejala klinis (asimtomatik). Walaupun demam bukan merupakan indikator yang tepat untuk malaria di daerah endemis, tetapi pada setiap penderita demam, malaria sebagai penyebab tetap harus dipertimbangkan. Sakit kepala, perasaan dingin dan nyeri sendi merupakan geejala klinis yang sering ditemukan pada kelompok anak. Anemia, splenomegali dan hepatomegali juga seringkali berhubungan dengan malaria. Pada infeksi malaria, periodesitas demam berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk aliran darah (sporulasi). Pada malaria vivaks dan ovale skizon setiap brood (kelompok) menjadi matang dalam 24 jam. Sehingga periodesitas demamnya bersifat transient; pada malaria kuartana yang disebabkan oleh P. malariae hal ini terjadi dengan terjadi dengan interval 72 jam. Timbulnya demam juga tergantung pada jumlah parasit (pyrogenetic level, fever threshold). Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa stadium :

1. Stadium menggigil dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil. Penderita
menutupi badannya dengan baju tebal dan selimut. Nadinya cepat, tetapi lemah, bibir dan jari tangan menjadi biru, kulitnya kering dan pucat. Kadang-kadang disertai muntah. Pada anak sering disertai kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam.

2. Stadium puncak demam dimulai pada saat rasa dingin sekuli berubah menjadi panas sekali.
Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala makin hebat, biasanya ada mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut keras. Perasaan haus sekali pada saat suhu naik sampai 41 C (106F) atau lebih. Stadium ini berlangsung selama 2 sampai 6 jam.

3. Stadium berkeringat dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat tidurnya
basah. Suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun, merasa lemah tetapi lebih sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam. Serangan demam yang khas sering mulai pada siang hari dan berlangsung 8-12 jam. Setelah itu terjadi stadium apireksia. Serangan demam makin lama makin berkurang beratnya karena tubuh menyesuaikan diri dengan adanya parasit dalam badan dan karena respons imun hospes. Gejala infeksi yang timbul kembali setelah serangan pertama biasanya disebut rekrudesensi yang timbul karena parasit dalam eritrosit jumlahnya meningkat kembali. Hal ini biasanya terjadi karena dosis obat yang inadekuat atau karena parasit resisten terhadap obat yang diberikan. Demam dapat timbul kembali sewaktu-waktu dalam 4-6 minggu. Di daerah endemis hal ini sulit dibedakan dengan terjadinya infeksi baru. Relaps disebabkan oleh parasit daur eksoeritrosit dari hati rnasuk ke eritrosit dan menjadi banyak (infeksi P.vivax). Relaps dapat terjadi 4 minggu atau lebih setelah pemberian klorokuin (lihat P. vivax). Bila infeksi malaria tidak menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps, maka diperiode laten klinis, walaupun mungkin ada parasitemia dan gejala lain seperti splenomegali. Periode laten parasit terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati

Splenomegali

Limpa merupakan organ retikuloendotel, dimana parasit malaria dieliminasi oleh sistem kekebalan tubuh hospes. Pada keadaan akut limpa membesar dan tegang, penderita merasa nyeri di perut kwadran kiri atas. Pada perabaan konsistensinya lunak. Bila sediaan limpa diwarnai terlihat stadium parasit lanjut dan pigmen hemozoin yang tersebar bebas atau dapat juga ditemukan dalam monosit. Perubahan pada limpa biasanya disebabkan oleh kongesti. Kemudian limpa berubah berwarna hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Eritrosit yang tampaknya normal meqgandung parasit dan butir hemozoin tampak dalam histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid. Hiperplasia, sinus melebar dan kadangkadang trombus dalam kapiler dan fokus nekrosis tampak dalam pulpa limpa. Dengan meningkatnya imunitas, limpa yang mula-mula kehitaman karena banyaknya pigmen menjadi keabuan karena pigmen dan parasit menghilang perlahanlahan. Hal ini diikuti dengan berkurangnya kongesti limpa, sehingga ukuran limpa mengecil dan dapat menjadi fibrosis. Pada malaria menahun konsistensi limpa menjadi keras.

Anemia Pada malaria terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang menyebabkannya. Anemia tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat yaitu pada malaria akut yang berat. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak. Anemia disebabkan oleh beberapa faktor: 1) penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit terjadi di dalam limpa. Dalam hal ini, faktor autoimun memegang peranan; 2) reducecl survival time (eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat hidup lama); 3) diseritropocsis (gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dilepaskan dalam peredaran perifer. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokrom dan normositik atau hipokrom. Dapat juga makrositik bila terdapat kekurangan asam folat. Pada darah tepi selain parasit malaria dapat ditemukan polikromasi, anisositosis, poikilositosis, sel target, basophilic stippling pada sel darah merah. Pada anemia berat dapat terlihat Cabots ring, Howel Jolly bodies dan sel darah merah yang berinti. Dapat terjadi trombositopenia baik pada infeksi P. falciparum maupun P. vivax. Leukopenia ditemukan pada penderita malaria tanpa komplikasi dan leukositosis pada penderita malaria berat. Pigmen malaria (hemozoin) dapat ditemukan dalam sel monosit atau sel PMN. Diagnosis Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yang diperiksa dengan mikroskop. diagnosis laboratorium dilakukan dengan berbagai cara: |1. Diagnosis dengan mikroskop cahaya. Sediaan darah dengan pulasan giemsa merupakan dasar untuk pemeriksaan dengan mikroskop dan sampai sekarang masih digunakan sebagai baku emas untuk diagnosis

rutin. Sediaan darah malaria dapat digunakan untuk identifikasi spesies maupun menghitung jumlah parasit. Pemeriksaan sediaan darah tebal dilakukan dengan memeriksa 100 lapang pandang mikroskop dengan pembesaran 500-600/1000 yang setara dengan (0,2 mikroliteer darah). Jumlah parasit dapat dihitung per lapang pandang mikroskop. Metode semikuantitatif untuk hitung parasit (paracite count) pada sediaan darah tebal adalh sebagai berikut: + = 1-10 parasit per 100 lapangan ++ = 11-100 parasit per 100 lapangan +++ = 1-10 parasit per 1 lapangan ++++ = > 10 parasit per 1 lapangan Hitung parasit secara kuantitatif dapat dilakukan dengan menghitung parasit per 200 leukosit dalam sediaan darah tebal dan jumlah leukosit rata-rata 8000/L darah sehingga jumlah parasit dapat dihitung sebagai berikut : Parasit/ darah = jumlah parasit dalam 20 leukosit x 40

Pada sediaan darah tipis dihitung dahulu jumlah erritrosit per lapang pandang mikroskop. Selain itu perlu diketahui jumlah total eritrosit, misalnya 4.500.000 eritrosit/l darah (perempuan) atau 5.000.000 erotrosit/ l darah pada laki-laki. Kemudian jumlah parasit stadium aseksual dihitung paling sedikit dalam 25 lapang pandang mikroskop dan total parasit dihitung sebagai berikut :

2. Teknik mikroskopis lain Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas teknik mikroskopis yang konvensial : a) Teknik quantitative buffy coat (QBC) berdasarkan kemampuan jingga akridin (acridine orange) memulas asam nukleat yang barada dalam sel. Darah dari ujung jari penderita dikumpulkan dalam tabung mikrohematokrit yang berisi zat warna jingga akridin dan antikogaulan. Kemudian tabung tersebut disentrifugasi pada 12.000 x g selama 5 menit. Parasit yang berfluoresensi dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan salah satu hasil usaha ini, teta[pi cara ini tidak dapat digunakan secara luasseperti pemeriksaan sediaan darah tebal dengan pulasan Giemsa.

b) Teknik Kawamoto merupakan modifikas teknik QBC yang memulas sediaan darah dengan jingga akridin dan diperiksa dengan mikroskop cahaya dengan lampu halogen.

4.

Metode lain tanpa menggunakan mikroskop Beberapa metode untuk mendeteksi parasit malaria tanpa menggunakan mikroskop telah dikembangkan dengan maksud untuk mendeteksi parasit lebih mudah daripada dengan mikroskop cahaya. Metode ini mendeteksi protein atau asasm nukleat yang berasal dari parasit.

a. Rapid antigen detection test (RDT), dasarnya adalah immunochromatography pada kertas nitrosecellulose. Dengan cara ini berbagai protein parasit yang spesifik dapat dideteksi dalam darah dari ujung penderita. Protein kaya histidin II (histidin rich protein II) yang spesifik P.

falciparum digunakan sebagai marker adanya infeksi tersebut. Enzim Lactate dehydrogenase yang dihasilkan oleh berbagai spesies palsmodium dapat digunakan untuk menyatakan infeksi non-falciparum seperti P. vivax. Saat ini sedang dikembangkan marker untuk P. malariae dari enzim yang sama. Enzim lainnya yang dipelajari adalah aldolase. Rapid test malaria ini telah dicoba di berbagai di daerah endemis malaria di dunia, termasuk di Indonesia. Tes ini sederhana dan cepat karena hasilnya dapat dibaca dalam waktu 15 menit. Selain itu tes ini dapat dilakukan oleh petugas yang tidak terampil dan memerlukan sedikit latihan. Alatnya sederhana, kecil, dan tidak memerlukan aliran listrik. Secara umum rapid test mempunyai nilai sensitivitas dan spesifitas lebih dari 90 %. Kelemahan rapid test: 1. 2. 3. Kurang sensitif bila jumlah parasit dalam darah rendah (kurang dari 100 parasit/l darah). Tidak dapat mengukur densitas parasit secara kuantitatif. Antigen yang masih berdar beberapa hari-minggu setelah parasit hilang memberikan reaksi positif palsu. Gametosit muda (immature), bukan yang matang (mature) mungkin masih dapat dideteksi. Biaya tes ini masih cukup mahal.

4. 5.

6. Tidak stabil pada suhu ruang di atas 30C. Hasil positif palsu (false positive) yang disebabkan oleh antigen residual yang beredar dan gametosit muda dalam darah biasanya ditemukan dalam penderita tanpa gejala. Selain itu juga pada orang yang mengandung faktor rhematoid. Seharusnya tidak mengakibatkan overtreatment bila test ini digunakan untuk menunjang diagnosis klinis pada penderita dengan gejala. b. Metode yang berdasarkan deteksi asam nukleat dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu; hibidisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitifitasnya dapat ditingkat dengan PCR. Beberapa pelacak (probe) DNA dan RNA yang spesifik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi keempat spesies plasmodium, tetapi terutama untuk P. falciparum dan ternyata tes ini sangat spesifik (mendekati 100%) dan sensitif (lebih dari 90 %), dapat mendeteksi 2 parasit, bahkan 1 parasit /l darah. Penggunaan pelacak tanpa label radioaktif (non-radiolabelled) walaupun kursng sensitif dibandingkan dengan yang radioaktif, mempunyai self-life lebih panjang serta lebih mudah disimpan dan diolah. Kelemahan tes ini adalah:

1. 2. 3.

Penyediaan primer DNA dan RNA sangat rumit. Alat yang diperlukan untuk hibridisasi rumit. Alat untuk amplifikasi PCR dan deteksi hasil amplifikasi sangat canggih dan mahal.

4. Membutuhkan waktu lama (24 jam) Keuntungan terutama teknik PCR adalah dapat mendeteksi dan mengidentifikasi infeksi ringan dengan sangat tepat dan dapat dipercaya. Hal ini penting untuk studi epidemiologi daan eksperimental, tetapi studi penting untuk pemeriksaan rutin.

Anda mungkin juga menyukai