Anda di halaman 1dari 11

A.

HAKIM DAN MAHKUM


HAKIM Hakim : yaitu orang yang menjatuhkan putusan. Di antara ulama kaum muslimin tidak ada perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara bagi perbuatan mukalaf adalah Allah SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukalaf itu telah di jelaskan secara langsung dalam nash yang di wahyukan kepada Rasul-Nya maupun yang di gambarkan kepada para mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda yang di tetapkannya. Oleh karena itu mereka sepakat dalam memberikan pengertian tentang hukum syara adalah : Ketetapan Alloh yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa al hakim adalah Allah, tetapi perbedaan pendapat itu pada cara mengetahui hukum-hukum Allah. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi 3 mazhab : 1. Mazhab al Asyariy yaitu pengikut Abu Hasan al Asyariy :Akal tidak munkin mengetahui hukum-hukum Alloh atas perbuatan mukalaf kecuali dengan perantaraan para rasul dan kitabkitab Alloh. 2. Mazhab al Mutazilah pengikut Washil bin Athaa.menurut mazhab ini, hokum-hukum Alloh itu mungkin diketahui secara langsung tanpa perantaraan para rasul dan kitab-kitab Alloh. 3. Mazhab Maturidiyah pengikut Abu Manshur al Maturidi. Pendapat ini bersifat moderat dan netral bahwa perbuatan orang-orang mukalaf itu memiliki ciri-ciri tertentu dan memiliki pengaruh pada baik atau buruknya perbuatan itu.

MAHKUM FIH Mahkum fih : yaitu perbuatan mukalaf yang berkaitan dengan hukum. Firman Alloh SWT :

}1: .{
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad itu.(Qs.al-Maidah : 1) Kewajiban yang di ambil dari kitab ini adalah berhubungan dengan perbuatan mukalaf, yaitu memenuhi janji yang kemuian dijadikan hukum wajib. Firman Alloh Swt :

} 282: {
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya.(Qs.al-Baqarah:282) Kesunahan yang di ambil dari kitab ini adalah berhubungan dengan perbuatan mukalaf, yaitu mencatat hutang piutang yang kemudian dijadikan hukum sunnah. Firman Alloh Swt :

}151: .{
Dan janganlah kamu membunuh jiwa.(Qs.al-Anaam:151) Keharaman yang di ambil dari kitab ini adalah berhubungan dengan perbuatan mukalaf, yaitu membunuh jiwa yang kemudian dijadikan hukum haram.

Firman Alloh Swt :

}267: {
Dan janganlah kamu mengambil yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya.(Qs.al Baqarah:267) Kemakruhan yang di ambil dari kitab ini adalah berhubungan dengan perbuatan mukalaf,yaitu menafkahkan harta yang jelek atau rusak yang kemudian dijadikan hukum makruh. Firman Alloh Swt :

}181: {
Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka ), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.( Qs al Baqarah : 184) Kitab ini berhubungan dengan sakit dan bepergian yang kemudian keduanya dijadikan hukum mubah (boleh) berbuka.jadi, setiap hukum syari harus berhubungan dengan perbuatan mukalaf,baik secara tuntutan, pilihan atau ketetapan. Dari sini dikatakan bahwa semua bentuk perintah dan larangan itu berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Dalam perintah yang dituntut adalah melaksanakan yang di perintahkan, sedangkan dalam larangan yang dituntut adalah menahan diri melakukan yang dilarang. Syarat Sah Tuntutan Dengan Perbuatan Perbuatan yang sah menurut syara untuk diharuskan memiliki tiga syarat : 1. Tuntutan perbuatan itu harus diketahui mukallaf secara jelas sehingga ia mampu melaksanakannya sebagaimana yang dituntutkan. 2. Hendaknya diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut dan dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf. 3. Perbuatan yang di bebankan kepada mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin,atau mampu dilakukan atau dihindari oleh mukallaf.

B. MUTHLAQ DAN MUQAYYAD


Muthlaq dan Muqayyad dalam ilmu ushul fiqh pengertiannya bisa disamakan dengan 'amm dan khass. Lafaz atau perkataan yang bersifat Muthlaq berarti dia tidak memiliki keterkaitan atau ikatan. Maksudnya, perkataan itu ditujukan pada sesuatu yang tidak memiliki syarat atau ketentuan. Layaknya lafaz 'amm atau umum, sesuatu yang bersifat umum berarti berlaku untuk semuanya tanpa ada ketentuan atau syarat yang lain. Contoh : manusia itu harus berbuat baik dalam kehidupannya. makna dari kata manusia itu berarti laki-laki dan perempuan, bisa juga manusia yang beriman kepada Allah ataupun tidak. Jadi kalimat ini termasuk muthlaq karena tidak memiliki syarat atau ketentuan terntentu. Sedangkan Muqayyad, kebalikannya dari Muthlaq. Ia memiliki syarat atau ketentuan, sehingga sifatnya terikat. Muqayyad ini bisa disamakan dengan sesuatu yang bersifat khusus. contoh : manusia yang beriman dengan sungguh-sungguh akan merasakan nikmatnya surga. nah, kalimat ini termasuk muqayyad. Karena kata manusia tidak lagi bersifat umum. tetapi ia ditujukan khusus untuk manusia yang beriman. Yang tidak beriman kepada Allah tidak termasuk dalam kalimat di atas. Jadi, pada kalimat ini, ada syarat dan ketentuan dari jenis manusia yang dimaksudkan.
2

Begitu kira-kira gambaran Muthlaq dan Muqayyad. Dalam ilmu ushul Fiqh, ayat-ayat atau lafadz yang bersifat Muthlaq hendaknya jangan dulu dipegang sebagai hukum. Sebaiknya, kita mencari dulu ayat lain atau keterangan dari hadits yang bersangkutan dengan ayat Muthlaq tersebut. Karena bisa saja ada ayat Muqayyadnya, sehingga hukum pada ayat Muthlaq bisa terhapus jika ayat Muqayyadnya ditemukan. Dengan catatan kedua ayat ini (muthlaq dan muqayyad) harus saling berkaitan atau dalam kasus yang sama. Akan tetapi, jika tidak ditemukan ayat yang menunjukkan taqyid atau ikatan..maka ayat muthlaq yang ada wajib hukumnya diamalkan sesuai dengan kemuthlaqannya. Untuk lebih jelasnya...ada contoh lain tentang ayat yang menunjukkan Muthlaq : pada surat al-Mujadilah ayat 3 "Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur"Ayat yang menunjukkan Muqayyad : pada surat an-Nisaa ayat 92 "(Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman" Dari kedua ayat di atas, kita lihat jenis hukuman atau kafaratnya sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Pada ayat yang pertama, sifatnya umum atau muthlaq, tidak ditentukan hamba sahaya-nya beriman atau kafir. Sedangkan pada ayat kedua, sifatnya Muqayyad atau khusus. Hamba sahaya yang dimaksud adalah hamba sahaya yang beriman. Karena ada ayat Muqayyadnya, maka hukuman ayat yang pertama dikuatkan oleh hukuman pada ayat yang kedua. Ini namanya ditaqyid Tu diikat. Jika kita menemukan ayat muthlaq dan muqayyad yang memiliki hukum yang sama, maka wajib ditaqyid. Pada kasus hukum yang ini, berarti hamba sahaya yang dimerdekakan adalah hamba sahaya yang beriman. Akan tetapi jika hukumnya (pada ayat Muthlaq dan Muqayyad) berbeda, maka masing-masing diamalkan sesuai dengan hukumnya. Ada contoh lagi untuk yang satu ini : Ayat yang menunjukkan Muthlaq : pada surat Al-Maidah ayat 38 "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya,"Ayat yang menunjukkan Muqayyad : pada surat Al-Maidah ayat 6 "Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku" Jelas sekali pada kedua ayat diatas, tidak sama dan tidak berkaitan hukumnya. Meskipun dua-duanya sama-sama berbicara tentang tangan. Pada ayat pertama membahas tentang hukuman bagi pencuri. sedangkan yang kedua tentang hukum berwudhu, saat membasuh tangan maka harus sampai siku. Ayat pertama tidak bisa ditaqyid kepada ayat yang kedua, sehingga masing-masing hukumnya harus dijalankan sendiri-sendiri. Maka ia dibiarkan berjalan sesuai dengan kemuthlaqannya. pada kasus pencurian, tangan dipotong sampai ke pergelangan, sedangkan pada saat berwudhu tangan dibasuh sampai ke siku.

C. MANTUQ DAN MAFHUM


Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), dedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat) Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan. Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT :
3

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah (Q.S Al-Isra ayat 23) Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM A. Pembagian Mantuq Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: 1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di tawilkan lagi, seperti firman Allah SWT Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106) 2) Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada pentawilan. Seperti firman Allah SWT Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27) Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia. dan langit yang kami bangun dengan tangan (Q.S. Adz-zariyat: 47) Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.

B. Pembagian Mafhum Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni: 1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian: a) Fahwal Khitab yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.

b) Lahnal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S An-Nisa ayat 10) Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram) 2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT: apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jumat sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jumat. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah. Macam-macam mafhum mukhalafah 1. Mafhum Shifat yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT. Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin (Q.S. An-Nisa ayat 92) 2. Mafhum illat yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan. 3. Mafhum adat yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4) 4. Mafhum ghayah
5

yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ilaa dan dengan hakta. Seperti firman Allah SWT. apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, (Q.S Al-Maidah ayat 6) Firman Allah SWT dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (Q.S. Al-Baqarah ayat 222) 5. Mafhum had yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT.: Katakanlah: Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi Karena Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. 6. Mafhum Laqaab yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fail, seperti sabda Nabi SAW SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, sebagai berikut: Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat: 1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan (Q. S Isra ayat 31). Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah: Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran (Q.S Isra ayat 33)
6

Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah: Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik (Q.S Isra ayat 23). Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.

2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh: Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu (Q.S An-Nisa ayat 23). Dan perkataan yang ada dalam pemeliharaanmu tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh: Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits). Dengan perkataan orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.

4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh: Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid (Q.S Al-Baqarah ayat 187). Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri

D. TAARUDH AL-ADILLAH
a. Pengertian Taarudh Al-Adillah Taarudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil. Secara Istilah Taarudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat terjadi antara Ayat Al-Quran dengan Al-Quran yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, kaerna pada hakikaktnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan. Diantara beberapa definisi Taarudh al- Adillah menurut beberapa ahli ushul fiqh diantaranya yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin menarifkan taarudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya. Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan taarudh secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa taarud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan. b. Bentuk-Bentuk Dalil Yang Kontradiktif Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Quran atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qathi dan juga zhanni. Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain. 1. Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qathi tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qathi mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qathi berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qathi yang saling meniadakan 2. Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qathi, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syari. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qathi, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.

Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qathi dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Quran QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut: Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara maruf. (QS. Al-Baqarah: 180) Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut: Allah mensyaritkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa: 11) Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat alBaqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama. c. Cara Penyelesaian Taarudh Al-Adillah Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut: Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta caracaranya sebagai berikut: Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi

Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut: Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jamu wa al-Taufiq)

dapat ditempuh dengan cara: Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi. Contoh: Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang senang selama satu tahun. (QS. Al-Baqarah: 240) Dengan ayat yang berbunyi: Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari. Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari. Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu. Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci. (QS. AlBaqarah:22) Dan pada ayat lain sebagai berikut: Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya. Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya. Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.

10

Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan

Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara: Nasakh. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi. Contoh: Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah. Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi: Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah. Tarjih. Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan. Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani. Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan

Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu: Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya. Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
11

Anda mungkin juga menyukai