Anda di halaman 1dari 10

Skenario I Menabrak Jembatan Seorang laki-laki diantar polisi ke IGD RS Daerah.

Pasien tersebut tidak sadar mengalami kecelakaan lalu lintas, naik sepeda motor menabrak jembatan. Saat tiba di IGD penderita muntah-muntah dan kejang, keluar darah dari mulut, hidung, dan telinga disertai suara gurgling dan snooring. Perawat nelaporkan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 108 kali/menit, respirasi 24 kali/menit. Tampak luka terbuka di paha kanan sepanjang 3 cm, angulasi, dan perdarahan aktif. Dokter IGD melakukan primary survey. Airway (A) : didapatkan gurgling, snooring, tampak darah di oropharnyx. Dokter melakukan pembebasan jalan napas dengan cara suction (gurgling) dengan kanul yang rigid, chin lift atau jaw trust manuver (untuk menghilangkan snooring) karena pasien koma dan pemasangan intubasi endotrakeal dilanjutkan oksigenasi 10 liter/menit, dan memasang collar brace. Breathing (B) : RR 24 kali/menit. Thorax : jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra, pengembangan hemithorax sinistra tertinggal, perkusi hemithorax sinistra meredup, auskultasi suara vesikuler menurun pada hemithorax sinistra. Dokter merencanakan pemeriksaan foto thorax (pada adjust primary survey) Circulation (C) : Nadi cepat 108 kali/menit, Tekanan darah 110/80 mmHg, akral hangat, dokter melakukan infus RL dengan IV Cath no.16 20 tetes/menit dan pemasangan kateter urine. Disability (D) : GCS 8, pupil anisokor dekstra < sinistra 3/5 mm, refleks cahaya +/+ hemiparese dekstra. Dokter melakukan pemberian manitol bolus 200 cc IV dan merencanakan pemeriksaan CT scan kepala dengan mempertimbangkan rujukan ke RS dengan fasilitas bedah syaraf. Environment (E) : Semua pakaian dibuka untuk menilai apakah ada kelainan lain yang sifatnya life threathing. Setelah itu pasien diselimuti untuk mencegah hipotermia. Adjust Primary Survey: Dokter melakukan pemeriksaan foto cervical lateral cross table, foto thorax AP dan foto pelvis AP. Hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan hematothorax kiri, pelvis dan cervical dalam batasan normal. Secondary Survey: Kepala : hematom temporoparietal sinistra 8 cm Wajah : oedem periorbita dekstra/sinistra, bloody rhinorhoea dekstra/sinistra, bloody othorhoea sinistra, halo test +, floating maxilla +, malokusi gigi, deformitas mandibula Leher tidak didapatkan kelainan Thorax: didapatkan hematothorax Dokter melakukan pemeriksaan chest tube, abdomen dan pelvis tidak didapatkan kelainan Ekstremitas : vulnus appertum femur dekstra sepanjang 3 cm, nampak angulasi, perdarahan aktif, fat globul +, oedem, krepitasi + Dokter melakukan bebat tekan realignment femur dan imobilisasi, pasien disiapkan untuk dirujuk ke Trauma Center Klasifikasi istilah tidak sadar suara gurgling dan snooring sumbatan jalan nafas total choking tersedak parsial cairan (gurgling), pangkal lidah (snoring), anatomis (crowing) Pernafasan yang berbunyi adalah tanda sumbatan parsial. Cairan yang menyebabkan sumbatan parsial: darah, sekret, air liur, muntah Gurgling: kumuran, snoring: dengkuran, stridor: sumbatan plica vocalis angulasi perdarahan aktif primary survey: penilaian ABCD dan penanganan

pembebasan jalan napas dengan cara suction (gurgling), chin lift atau jaw trust manuver lebih aman karena dugaan cedera tulang leher collar brace imobilisasi kepala dan leher pasien jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra pengembangan hemithorax sinistra tertinggal perkusi hemithorax sinistra meredup GCS 8 pemeriksaan foto cervical lateral cross table halo test + floating maxilla + malokusi gigi pemeriksaan chest tube vulnus appertum femur dekstra fat globul + Indikasi terapi oksigen jangka pendek: Hipoksemia akut (PaO2< 60 mmHg: SaO2 < 90%) Henti jantung dan henti napas Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg) Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolic (bikarbonat <18 mmol/L) Indikasi terapi oksigen jangka panjang PaO2 istirahat 55 mmHg atau saturasi oksigen 88% PaO2 istirahat 55-59 mmHg dengan saturasi oksigen 89% pada salah satu keadaan: Edema karena disebabkan oleh CHF P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mmpada lead II,III,aVF) Eritrosemian (hematokrit >56%) PaO2 > 59 mmHg atau oksigen saturasi >89% Tabel 1. Jenis Peralatan dan Konsentrasi Oksigen JENIS ALAT Nasal kanula Simple Face Mask Partial Rebreather Non Rebrether Venturi KONSENTRASI OKSIGEN 24-32% 35-60% 35-80% 50-95/100% 24-50% ALIRAN OKSIGEN 2-4 LPM 6-8 LPM 8-12 LPM 8-12 LPM 4-10 LPM

Bag-Valve-Mask (Ambubag) Tanpa oksigen Dengan oksigen Dengan reservoir 21% (udara) 40-60% 100% 8-10 LPM 8-10 LPM

Pada terapi oksigen jangka panjang, peningkatan PCO2 arteri biasanya kecil dan ditoleransi baik. Namun kadangkala berkembang hiperkapnia yang serius sehingga harus berhati-hati melanjutkan terapi oksigen. Pemberian oksigen pada pasien PPOK dengan gagal napas tipe 2 dapat menimbulkan efek toksisitas , retensi CO 2 dan asidosis respiratorik, yang gejala awalnya berupa nyeri dada substernal, takipnu, dan batuk yang tidak produktif. Karena untuk deteksi toksisitas oksigen tidak mudah, maka perlu dilakukan pencegahan timbulnya toksisitas oksigen dengan cara pemberian oksigen harus dilakukan dengan dosis dan cara yang tepat. Pemberian oksigen yang paling aman dilakukan pada FiO 2 0,5-1. Menggunakan suplemen oksigen beresiko terhadap api, oleh karena itu hindari merokok, dan tabung harus diyakini aman agar tidak jatuh dan meledak. Primary survey: Airway, Breathing, Circulation, Disability (AVPU) Secondary survey: Anamnesis : Alergi, Medikasi (obat-obat yang biasa digunakan), Past Ilness (Penyakit Penyerta, Pregnancy), last meal, Event/ Environment Pemeriksaan Fisik : Head to Toe (Kepala, Vertebra servikalis dan leher, Toraks Abdomen, Perineum/rektum/penis, Musculo-skeletal, Neurologis) Pemeriksaan penunjang: radiologi, Pemeriksaan Lba : darah, urine, Analisa gas darah

Derajat Gustillo-Anderson Tujuan dari sistem klasifikasi patah tulang terbuka manapun adalah untuk mengira keadaan fraktur dan parameter penatalaksanaan(Cross and Swiontkowski, 2008). Walau banyak sistem klasifikasi untuk patah tulang terbuka, sistem klasifikasi Gustillo-Anderson-lah yang paling sering digunakan di seluruh dunia. Sistem ini menilai patah tulang terbuka berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan lunak dan kontaminasi, dan derajat fraktur (Gustillo et al, 1990). Halhal lain yang juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan pada saraf, energy transfer (derajat comminution dan periosteal stripping), dan wound dimension (Anonymous, 2004). Terdapat tiga macam patah tulang terbuka pada sistem klasifikasi Gustillo-Anderson, dengan derajat yang ke tiga dibagi ke dalam tiga subtype lagi berdasarkan kerusakan periosteal, ada tidaknya kontaminasi dan derajat kerusakan pembuluh darah (Gustillo et al, 1990). Pengklasifikasian patah tulang terbuka menurut Gustillo-Anderson adalah sebagai berikut: 1. Derajat I: Luka biasanya berupa tusukan kecil dan bersih, berukuran kurang dari 1 cm. Terdapat tulang yang muncul dari luka tersebut. Sedikit kerusakan jaringan lunak tanpa adanya crushing dan patah tulang tidak kominutif. Patah tulang biasanya berupa sederhana, melintang, atau oblik pendek. Biasanya berupa patah tulang energi rendah. 2. Derajat II: Luka lebih besar dari 1 cm, tanpa adanya skin flap ataupun avulsion. Kerusakan pada jaringan lunak tidak begitu banyak. Kominusi dan crushing injury terjadi hanya sedang. Juga terdapat kontaminasi sedang. Bisanya juga berupa patah tulang energi rendah. 3. Derajat III: Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan lunak, struktur neurovaskuler, dengan adanya kontaminasi pada luka. Dapat juga terjadi kehilangan jaringan lunak. Luka yang berat dengan adanya high-energy transfer ke tulang dan jaringan lunak. Biasanya disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi sehingga fraktur tidak stabil dan banyak komunisi. Amputasi traumatik, patah tulang segemental terbuka, luka tembak kecepatan tinggi, patah tulang terbuka lebih dari 8 jam, patah tulang terbuka yang memerlukan perbaikan vaskuler juga termasuk dalam derajat ini. derajat III ini dibagi lagi menjadi tiga subtype:

a. Derajat IIIA : Tulang yang patah dapat ditutupi oleh jaringan lunak, atau terdapat penutup periosteal yang cukup pada tulang yang patah. b. Derajat IIIB : Kerusakan atau kehilangan jaringan lunak yang luas disertai dengan pengelupasan periosteum dan komunisi yang berat dari patahan tulang tersebut. Tulang terekspos dengan kontaminasi yang massif. c. Derajat IIIC : Semua patah tulang terbuka dengan kerusakan vaskuler yang perlu diberbaiki, tanpa meilhat kerusakan jaringan lunak yang terjadi (Apley dan Solomon, 2001 dan Gustillo et al, 1990). Klasifikasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan terapi. Klasifikasi ini juga menunjukkan resiko terjadinya infeksi, dilihat dari derajat kontaminasi, derajat kerusakan jaringan lunak, dan tindakan operatif pada patah tulang. Resiko infeksi semakin meningkat seiring dengan derajat yang terjadi. Resiko terjadinya infeksi pada derajat I adalah 0-12%, pada derajat II 2-12%, dan pada derajat III 9-55%. Derajat patah tulang terbuka ini juga sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi, delayed union dan non-union, dan kecacatan atau penurunan fungsi ekstermitas. Penentuan derajat patah tulang terbuka secara definitive dilakukan setelah debridement yang adekuat telah dilakukan (Gustillo et al, 1990). Cedera Kepala Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001). Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan penyakit bedah ( bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro Temanggung, 2005), cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Klasifikasi CEDERA KEPALA Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut: 1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ). 2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ). 3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut : - Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang tengkorak. - Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema cerebra. jenis-jenis cedera kepala 1. Fraktur tengkorak Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekauatan yang ditransmisikan ke dalam jaringan otak. 2 bentuk fraktur ini : fraktur garis (linier) yang umum terjadi disebabkan oleh pemberian kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan fraktur tengkorak seperti batang tulang frontal atau temporil. Masalah ini bisa menjadi cukup serius karena les dapat keluar melalui fraktur ini. 2. Cedera otak dan gegar otak Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna . Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang

bermakna. Sel-sel selebral membutuhkan suplay darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak belakang dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan keruskan neuron tidak dapat mengalami regenerasi. Gegar otak ini merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak tengah yang menyebar ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih tanpa ada kehilangan kesadaran pasien mungkin mengalami disenenbisi ringan,pusing ganguan memori sementara ,kurang konsentrasi ,amnesia rehogate,dan pasien sembuh cepat. Cedera otak serius dapat terjadi yang menyebabkan kontusio,laserasi dan hemoragi. 3. Komosio serebral Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberap detik sampai beberapa menit,getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan amnesia atau disonentasi. 4. Kontusio cerebral Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat menimbulkan edema cerebral 2-3 hari post truma.Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK dan meningkatkan mortabilitas (45%). 5. Hematuma cerebral ( Hematuma ekstradural atau nemorogi ) Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur hilang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak (laserasi),dimana arteri ini benda diantara dura dan tengkorak daerah infestor menuju bagian tipis tulang temporal.Hemorogi karena arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak. 6. Hemotoma subdural Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering disebabkan oleh truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan dengan serius dan aneusrisma.Itemorogi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut, subakut atau kronik. hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau lasersi. Hemotoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah truma kepala. Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor, terjadi pada lansia. 7. Hemotuma subaradinoid Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan amchnoid dengan diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah tersebut terluka. Sering kali bersifat kronik. 8. Hemorasi infracerebral. Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah 25ml atau lebih pada parenkim otak. Penyebabanya seringkali karena adanya infrasi fraktur, gerakan akselarasi dan deseterasi yang tiba-tiba Glasgow Coma Seale (GCS) Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.

Skala GCS : Membuka mata : Spontan

Dengan perintah Dengan Nyeri Tidak berespon Motorik : Dengan Perintah Melokalisasi nyeri 5 2 1

Menarik area yang nyeri Fleksi abnormal Ekstensi Tidak berespon Verbal : Berorientasi Bicara membingungkan Kata-kata tidak tepat Suara tidak dapat dimengerti Tidak ada respons 2 1

4 3

5 4 3 2 1

DARI INET KASUS 1 : MENABRAK JEMBATAN Pada skenario, didapatkan kasus seorang laki-laki yang diduga mengalami cedera kepala. Hal ini dapat dilihat dari adanya gejala muntah, kejang, keluar darah dari mulut, hidung dan telinga. Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang tidak dapat kita hindari pada kejadian trauma kepala. Apabila cedera kepala primer tidak ditangani dengan segera maka dapat muncul manifestasi dari cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan primary survey berupa pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary survey, dan secondary survey. Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka, ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen. Pasien pada skenario ini mengalami penyumbatan jalan napas yang disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar. Pada keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot lidah sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran). Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu dengan melakukan chin

lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical). Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien. Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran). Pembebasan jalan napas dilakukan dengan cara suction, dan pada kasus ini digunakan kanul yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap darah dan muntahan yang berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di orofaring sulit untuk dihentikan dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu dipersiapkan tindakan needle crycothyroidotomi. Karena pasien tidak sadar, maka selain cara-cara tersebut diatas diperlukan usaha untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif berupa pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi. Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring. Monitoring dalam pemberian oksigenasi sangat diperlukan karena jika pasien ternyata mengalami pneumothorax, maka keadaannya justru akan semakin memburuk dengan terapi oksigen, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih dahulu pada pneumothoraxnya. Breathing atau pernapasan merupakan salah satu tanda vital kehidupan. Frekuensi pernapasan normal pada dewasa adalah 12-20 kali per menit. Pernapasan dikatakan abnormal jika frekuensinya telah melebihi dari 30 kali per menit atau jika kurang dari 10 kali menit. Abnormalitas dari pernapasan ini dapat diakibatkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain adalah gangguan pada ventilasi dan gangguan dari jalan nafas pasien. Pada skenario, pernapasan pasien sudah mengalami abnormalitas karena telah mencapai 30 kali per menit. Kemungkinan besar, abnormalitas ini akibat adanya gangguan ventilasi pada pasien. Pada thorax terdapat jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra. Hal ini perlu diperhatikan karena kemungkinan luka yang terjadi tidak hanya pada permukaan dari dinding dada saja, tetapi dapat juga mencederai organ vital di dalamnya yaitu paru-paru. Hal ini diperkuat oleh adanya pengembangan yang tertinggal dan auskultasi suara vesikuler yang menurun pada hemithorax sinistra. Pengembangan dinding dada yang tertinggal dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab, antara lain fraktur dari costa ataupun perubahan pada tekanan di dalam organ paru itu sendiri. Auskultasi suara vesikuler yang menurun atau menjadi redup, menandakan bahwa jaringan paru terisi oleh suatu cairan, yang kemungkinan besar berupa darah. Pemeriksaan foto thorax diperlukan untuk mengetahui secara pasti adanya fraktur pada costa ataupun memastikan adanya hematothorax pada pasien ini. Pada pemeriksaan status sirkulasi, denyut nadi pasien mengalami peningkatan yaitu 108 kali per menit yang dapat dikategorikan mengalami takikardi karena sudah melebihi 100 kali per menit. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan karena perfusi oksigen yang menurun di jaringan akibat terjadinya sumbatan jalan napas, gangguan ventilasi maupun akibat kehilangan darah akibat perdarahan aktif pada pasien. Peningkatan denyut nadi tersebut merupakan kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan agar tetap adekuat. Meskipun terjadi takikardi dan terdapat perdarahan aktif, pasien belum masuk dalam keadaan syok, hal ini dapat dilihat dari tekanan darah dan perfusi jaringan perifer pada pasien(dilihat dari akral) yang masih normal.

Pada keadaan ini, masih tetap diperlukan resusitasi cairan sedini mungkin untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan syok dengan segala konsekuensi metabolik yang mengiringinya. Infus RL (Ringer Laktat) yang diberikan oleh dokter pada kasus ini merupakan golongan kristaloid yang mirip dengan cairan ekstraseluler. Cairan ini mempunyai kadar-kadar fisiologis sesudah infus, setelah terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat dan sejumlah volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan, sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang. Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam laktat melalui siklus Krebb diubah menjadi HCO 3 yang menetralisir asidosis metabolik. Pemberian RL sebanyak 20 tetes/ menit merupakan dosis pemeliharaan yang sering dipakai. Selain itu, untuk menilai keseimbangan cairan pada pasien, dipasang kateter urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kgBB/jam, bila kurang menunjukkan adanya hipovolemia. Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 8. Cedera kepala primer dapat berupa fraktur dari cranium. Pada pasien di skenario ini, kemungkinan besar mengalami fraktur basis cranii dan fraktur maksilofacial. Kecurigaan fraktur basis cranii ditandai dengan adanya halo test + yang merupakan tanda adanya LCS (Liquor Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain itu juga terdapat perdarahan dari telinga, dan hidung. Perdarahan dari telinga, kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii fossa media, dan perdarahan dari hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior. Oedema periorbita dextra et sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii. Fraktur maksilofacial yang terjadi juga dapat menyebabkan perdarahan dari hidung dan telinga. Pada pasien ini, dari hasil secondary survey berupa floating maksila maka dapat disimpulkan fraktur maksilofasial yang terjadi masuk dalam kategori Le fort 2. Adanya deformitas mandibula menandakan juga terjadi fraktur mandibula. Maloklusi gigi yang terjadi merupakan akibat dari pergeseran posisi rahang yang disebabkan fraktur maksila dan mandibula. Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin, masuknya kalsium intrasel, dan pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra selular. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan , tidak teratur dan tidak terkendali. Hal inilah yang mendasari terjadinya kejang pada pasien tersebut. Untuk mengkompensasi keadaan neurotoksik lebih lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan asidosis dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma. Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor, penurunan refleks cahaya, dan hemiparese dekstra yang menunjukkan adanya lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) akibat trauma kepala. Pupil anisokor merupakan tanda khas adanya hematom epidural, dan pada kasus ini diperkuat dengan ditemukannya hematom pada daerah temporoparietal sinistra. Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di

antara tulang tengkorak dan dura meter. Epidural hematom merupakan keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan yang ke dalam ruang epidural. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada salah satu cabang arteri meningea media yang terletak di bawah tulang temporal dan akan terjadi sangat cepat. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral yang ditunjukkan oleh adanya hemiparesis dekstra pada kasus ini. Pasien tidak mengalami lucid interval karena pada epidural hematoma dengan trauma primer berat, pasien langsung tidak sadarkan diri. Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang pusat muntah yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar ventrikel keempat, dan secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari korteks serebral, organ vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n. X dan simpatis) dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan melalui serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam, penutupan glottis, pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior, kemudian kontraksi yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot abdomen akan memeras perut diantara difragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Hal kemudian diikuti dengan relaksasi otot sfingter esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus. Hal ini menyebabkan pada pasien terdapat gejala muntah. Cedera kepala yang terjadi juga akan menstimulasi sistem saraf pusat menghasilkan berbagai mediator. Beberapa sitokin dilepaskan oleh mikroglia dan astrosit di permukaan leukosit dan sel endotel yang mengendalikan migrasi leukosit ke jaringan antara lain: Interleukin 1-, tumor nekrosis alfa, interleukin 6, ICAM-1, E-selektin, L-selektin, P-selektin, dan intergrin. Ekspresi toksik mediator ini melalui 2 cara, yang pertama dengan plugging leukosit ke mikrosirkulasi dan yang kedua dengan memfasilitasi pelepasan radikal bebas oleh PMN yang bermigrasi ke jaringan otak akibat aktivitas molekul adhesi. Aktivitas sitokin ini menyebabkan berbagai manifestasi klinis setelah cedera kepala antara lain: pireksia, netrofilia, dan edema serebri akibat kerusakan sawar darah. Edema serebri yang terjadi kemudian ditangani dengan pemberian manitol bolus 200 cc iv. Manitol bolus merupakan preparat diuresis osmotic yang digunakan untuk menarik cairan dari jaringan intersisial ke intravaskuler sehingga edema dapat berkurang. Pemeriksaan CT scan kepala diperlukan untuk evaluasi selanjutnya. Dari hasil secondary survey pada rontgen dada didapatkan diagnosa hematothorax. Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura . Pengembangan dinding dada pada hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh efek akumulasi darah dalam rongga pleura.

Terdapatnya angulasi, edema, dan krepitasi pada femur dekstra mengindikasikan terjadinya fraktur femur dektra pasien. Fraktur femur yang paling sering terjadi akibat adanya trauma kecelakaan adalah fraktur batang femur. Adanya vulnus apertum sepanjang 3 cm dan fat globul yang positif menunjukkan bahwa fraktur batang femur yang terjadi pada pasien kasus ini merupakan fraktur yang bersifat terbuka derajat III, yaitu lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah). Perdarahan aktif yang terjadi harus dikoreksi dengan baik agar penanganan yang optimal dapat dilakukan jika fraktur mengenai arteri femoralis sehingga mengganggu status sirkulasi pasien. Penatalaksanaan yang dilakukan oleh dokter, yaitu dengan melakukan bebat tekan realignmen femur dan imobilisasi sudah tepat. Kemudian pasien dirujuk ke Trauma Center karena pasien mengalami multitrauma dan memerlukan penanganan secara intensif. HEMOTHORAX Darah dalam cavum pleura Penyebab : trauma, pembedahan, prosedur diagnostik/terapi, neoplasma, infark paru, infeksi (TBC) Diagnosis : Perkusi redup , penurunan suara nafas ipsilateral Klasifikasi : Ringan ( <300 cc), Sedang (300-800 cc) , Berat (>800 cc) Terapi : konservatif (<1/3 cavum pleura), chest tube (32-36F) dan WSD gagal/masif thoracotomy/VATS Komplikasi : empyema, fibrothorax

INDIKASI AIRWAY DEFINITIF Adanya apnea Ketidakmampuan mempertahankan airway dengan cara lain Adanya resiko aspirasi darah / muntah Ancaman segera / potensial sumbatan airway Cedera inhalasi, fraktur maksilofasial, hematoma retrofaringeal Cedera kepala yang memerlukan bantuan napas (GCS < 8) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi dengan BVM

Anda mungkin juga menyukai